DEVASENA | 37. Sebuah Ketidaksadaran

Ketika Sena mundur satu langkah saat Sakti hendak mencium keningnya, dia tahu kata-kata Raras telah mengganggunya.

" Kenapa?" tanya Sakti.

Sena tidak segera menjawab. Benaknya disibukkan oleh hal lain.

Namun kemudian, Sena menggeleng. Gadis itu menarik pelan kaus Sakti dan mencium singkat pipinya.

" Aku berangkat dulu ya," ucap Sena tertawa pelan karena Sakti yang terkejut.

Ah, Sakti yang baru selesai jogging memang appetizer yang paling disukai Sena. Katanya, ada feromon di dalam keringat laki-laki. Sepertinya itu benar, karena Sena selalu merasa pipinya panas setiap melihat baju yang menempel sempurna di dada bidang Sakti ketika laki-laki itu berkeringat setelah jogging, yang membuat aroma mint khas Sakti justru semakin kuat.

Memangnya dia makan daun mint, ya?

Jadi sebelum kerongkongannya kering, Sena memutuskan untuk segera berangkat kerja.

Gadis itu mengayuh sepeda bersama puluhan orang lain yang juga mengawali hari dengan bersepeda. Situasi sudah berbeda dibandingkan pertama kali Sena tinggal di sini. Saat itu, dia yakin dirinya penuh dengan pikiran-pikiran mengerikan karena luka yang masih baru.

Dia kembali teringat Raras. Mengapa dia mengira Sena harus memberikan kesempatan kedua pada Dirga? Itu bukan sebuah kewajiban. Konsekuensi selalu mengikuti sebuah keputusan. Seharusnya Dirga tahu dia akan kehilangan Sena ketika mengambil keputusan untuk berselingkuh. Dan sekarang dia menyesalinya, berusaha memperbaiki diri dan mengharapkan kesempatan kedua.

Seolah hidup Sena hanya untuk menunggunya saja.

Dia juga punya kehidupan sendiri. Kehidupan yang tidak akan berhenti hanya karena disakiti. Meskipun rasanya menyakitkan hingga Sena ingin mati saja, tapi dia tidak punya pilihan lain selain tetap berdiri dan mengikuti berputarnya bumi. Waktu kadang sekejam itu.

Dan apa refleks dirinya tadi? Bagaimana bisa kata-kata Raras mempengaruhinya?

Sena menggertakkan gigi, kesal dengan dirinya sendiri.

Dulu, Dirga memang selalu mengecup keningnya saat mereka berjumpa di kampus di pagi hari. Tapi tolong, Sena tidak sebodoh itu. Tidak ketika Sakti kini menjadi terlalu penting di hidupnya.

**

" Na?"

Sena yang saat itu sedang makan siang di kubikelnya sembari memeriksa sebuah bendel mendongakkan kepala.

" Galuh, gue kira lo masih sakit," Sena menyingkirkan barang-barang di mejanya ketika wanita hamil berjaket rapat itu duduk di hadapannya. " Udah sembuh?"

Galuh tidak segera menjawab. Ketika Sena mengamati wajahnya, ia tahu sesuatu tengah terjadi.

" Galuh, kenapa?" Tanya Sena karena sedari tadi gadis itu diam saja sambil menundukkan kepala.

" Luh, lo ke—astaga! Lo nangis?" pekik Sena ketika disadarinya air mata menetes dari wajah perempuan itu. Sena mencondongkan tubuhnya dan menangkup wajah Galuh agar menatapnya, kemudian ngeri sendiri.

" Lo kenapa?" tanya Sena terkejut. Bagaimana tidak, Galuh terlihat berantakan. Dia yakin wanita itu tidak mengenakan make up sedikit pun ketika datang hingga wajah dan bibirnya menjadi pucat, berbeda dengan Galuh yang dikenalnya. Matanya bengkak dan memerah, juga terdapat kantung mata hitam di bawah kedua matanya.

" Ya Tuhan, Luh, lo kenapa? Lo sakit?" tanya Sena panik sendiri. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang sendiri berada di ruangan karena yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Sesaat, pikiran mengerikan melintas di benaknya kala teringat Ana. Pandangannya jatuh ke perut buncit yang dipeluk erat wanita itu, " Luh...kandungan lo...nggak papa kan? Galuh, bilang sama gue lo kenapa Ya Tuhan?!"

Bukannya menjawab, Galuh justru terisak lebih keras.

" Na, Sena—" panggil wanita itu terbata. " Lo pernah ngobrol sama gue tentang kepercayaan, kan?"

Sena mengerjap, kemudian mengangguk dengan bingung.

" Tolong, Na. Gue bener-bener nggak tahan..." Galuh meremas tangan Sena, " Galang selingkuh, Na."

" A-apa?" tanya Sena terbata. " Lo yakin? Selingkuh bukan hal main-main, Luh. Apalagi dia suami kamu sendiri."

Galuh mengangguk. Gadis itu membungkuk dengan isakan yang semakin keras hingga tersedak sendiri.

" Beberapa hari lalu ada cewek hamil yang datang, Na. Dia bawa tes DNA yang menyatakan kalau yang dia kandung itu anaknya Galang. Lo percaya Na, kandungannya cuma lebih muda dua bulan daripada anak gue." Galuh gemetar hebat. " Gue kenal dia. Dia mantan Galang yang katanya udah putus satu tahun lebih sebelum kita nikah. Tapi begitu gue minta kepastian dari Galang, dia nggak bisa ngelak. Apalagi dengan bukti tes DNA itu. Dia ngaku semuanya di depan gue."

Serupa sesuatu yang hancur, Galuh berpegangan pada tepi meja untuk menopang dirinya agar tetap duduk.

" Gue harus gimana, Na? Gue belum bilang sama orangtua kita. Tapi Na, rasanya sakit," Galuh memukul dadanya. " Na, gue mau mati aja, Na."

Sebuah gelayar ketakutan yang sudah lama pergi kini kembali lagi. Menjalari dirinya melalui setiap pori-pori tubuh Sena serupa udara yang jahat. Merangsek masuk, mencekik setiap sel, membuatnya menggigil.

Isakan Galuh menyela dengung aneh yang menguasai telinganya entah sejak kapan. Gadis itu mengerjap, berusaha memfokuskan diri pada keadaannya yang sekarang.

" Lo..." Sena berdehem. " Lo perlu ngomong berdua sama Galang. Ini bukan sesuatu yang bisa kalian adepin sendiri."

Galuh menggeleng. Ia menatap Sena dengan wajah yang sangat menderita. " Udah Na, demi Tuhan. Dan di depan gue, dia bilang dia pilih hidup sama cewek itu. Malam itu juga, Galang keluar dari rumah, Na. Gue gimana? Anak gue nggak punya bapak, Na. Tolong...Na gue harus gimana?"

Dan dengan begitu, tangis Galuh serupa air bah ketika ibu muda itu tidak mampu lagi menahan kesedihannya.

Ingin sekali Sena mencakar wajah Galang saat itu juga. Gadis itu mendekati Galuh dan memeluknya, berusaha memberikan kekuatan bagi wanita yang kini sudah pasti tengah tersakiti luar biasa. Tanpa sadar, Sena ikut menangis.

Dia bisa apa? Dia juga pernah tersakiti oleh hal serupa dan keputusannya adalah pergi meninggalkan segala penyebab lukanya. Tapi bagi Galuh, itu tidak mungkin. Tidak bisa semudah itu.

" Na..." panggil Galuh pelan, " Sena, sakit Na..."

Demi mendengarnya, Sena menjauhkan diri dan mendapati Galuh tengah merintih sembari memeluk perutnya. Wajahnya mengeriut kesakitan. Susah payah, ia beringsut ke tepi kursi, dan Sena harus melihat noda merah tercetak jelas di kursi itu.

Terhuyung, Sena berlari ke arah interkom.

**

" Jadi, Galuh cerita semuanya sama kamu alih-alih menyelesaikan masalah berdua aja?"

Suara dingin bagai jarum es itu membuat lamunan Sena hancur. Dirinya masih gemetar akan apa yang baru saja terjadi. Saat ini Galuh sedang di bangsal, menjalani semua proses pemeriksaan ditemani Kanya dan Erna karena Sena masih harus menyelesaikan beberapa berkas.

Tapi dia tidak bisa berkonsentrasi. Setiap saat, wajah Galuh yang menderita fisik dan batin berseliweran di depan matanya. Melihatnya saja, Sena merasakan bagaimana sakitnya.

Lalu sekarang orang yang menyakiti Galuh datang ke hadapannya, dengan nada menuduh seakan Galuh yang bercerita padanya adalah sebuah kesalahan.

Kemana Galang yang berwajah bahagia saat pernikahannya? Sekarang, yang duduk di hadapan Sena adalah laki-laki dengan segenap kemurkaannya hingga wajah dan matanya memerah.

" Kamu menilai Galuh yang cerita sama aku itu kesalahan?" hujam Sena gemetar. Kedua tangannya terkepal tanpa sadar ketika benci yang dikenalnya mulai menjalar.

" Itu urusan rumah tanggaku. Dia nggak berhak nyinyir kesana kemari, Na," balas Galang tidak kalah marahnya.

Sena kehabisan kata-kata.

" Dengan kamu yang temperamental begini mau menyelesaikan masalah berdua? Bisa jadi kamu malah bunuh Galuh nantinya," desis Sena.

Galang menggeram.

" Lo beneran mau ninggalin Galuh demi mantan cewek lo, Lang?"

Galang mendengus tidak suka, " Ternyata emang dia ngomong semuanya sama lo." Laki-laki itu menghela nafas. " Iya."

" Jahat lo!" Sena mengepalkan kedua tangannya kala sesak melanda. " Lo udah janji di depan Tuhan, Lang! Segampang itu lo berpaling cuma karena masa lalu?"

Galang mengamati Sena sejenak, kemudian tersenyum paksa, " Galuh pernah bilang kalau lo orang yang sulit jatuh cinta, Na. Dan untuk orang kayak lo, lo nggak berhak menyimpulkan cara gue mencintai masa lalu gue. Cukup lo tahu, dia satu-satunya perempuan yang gue sayang."

Tuhan, segala makian kini ada di ujung lidah Sena hingga tidak ada yang bisa Sena lakukan selain membelalakkan mata.

" Terus kenapa lo nikah sama Galuh, Lang? Hah?! Lo itu...keterlaluan!"

Galang mengangkat bahu tidak peduli, " Dulu gue putus sama mantan gue karena dia pindah ke luar negeri ngikutin bapaknya dan gue ngerasa, Galuh yang bisa ngegantiin dia. Tapi gue salah. Waktu lihat dia lagi, gue sadar kalau gue masih sesayang itu sama dia."

Sena memejamkan mata kala dirinya terhuyung.

" Lo jahat," bisik Sena menekan rasa amarahnya jauh-jauh ke dasar hati, " Lo cowok paling nggak bermoral yang pernah gue temui. Lo punya anak, Lang! Galuh baru hamil anak lo, brengsek!"

" Iya, dia emang anak gue, Na. Dan gue nggak akan pernah menepis fakta kalau gue ayahnya. Gue cuma nggak bisa nerusin hubungan pernikahan sama orang yang nggak gue cinta sementara orang yang gue cinta setengah mati saat ini sedang butuh kepastian dari gue! Sedang butuh gue!"

Sena menggeleng tidak percaya.

" Segitunya lo milih perempuan lain sampai nyakitin istri lo sendiri. Nggak takut dosa, Lang?" hardik Sena gemetar.

Galang tersenyum samar, " Gue akan terus nyakitin Galuh kalau gue terusin pernikahan ini sementara hati gue dimiliki orang lain. Gue nggak bisa. Lo bisa nge-judge gue sesukanya, Na. Tapi lo harus tahu, gue ngelakuin ini agar Galuh nggak terus terluka."

Dan dengan itu, Galang meninggalkan Sena yang menggigit bibirnya erat-erat.

Nggak ada yang namanya hubungan yang rapuh. Yang ada, manusia sendiri yang tidak berusaha menjaganya dan membuka peluang dirinya untuk berselingkuh. Seperti katamu, selingkuh itu pilihan. Nggak ada yang namanya selingkuh jadi sebuah ketidaksengajaan. Setiap manusia punya kesempatan untuk selingkuh, bahkan aku atau kamu sekalipun. Cuma pertanyaannya, apakah itu perlu? Kita punya pilihan untuk nggak melakukannya dan tetap menjaga hubungan dengan pasangan.

Entah mengapa saat ini, kata-kata Sakti terdengar sangat teoritis. Itu benar. Kata-kata Sakti adalah benar. Tapi bukankah orang yang seteguh itu bisa dihitung dengan jari?

Nyatanya, Sena tahu sekali betapa kuatnya peran hati dalam sebuah hubungan. Cinta memang sekuat itu. Rasa itu tidak mengenal norma. Dia tidak mengenal aturan-aturan yang ditetapkan oleh manusia. Seperti Galang yang sebuta itu pada dosa, hingga memilih cintanya daripada tanggungjawabnya.

Sena percaya bahwa setiap hal yang dilakukan manusia akan mendapat balasan dari Tuhan. Hanya saja masalahnya, dirinya tetap akan merasa kesakitan. Sakit yang menggerogotinya dari dalam, membuat jiwa dan raganya rusak sedemikian parah hingga tidak mampu lagi melihat dunia seperti dulu.

**

Hujan lebat mengguyur bumi sejak beberapa jam yang lalu. Menahan Sena di rumah sakit beberapa waktu lamanya hingga mereda dan Sena berani pulang. Dengan keadaan masih gerimis dan jalanan yang licin, gadis itu mengayuh sepedanya.

Sena membenci ini.

Dia sangat benci ketika keyakinannya diaduk seperti sup dalam kuali. Saat ini, dia sedang berusaha mengingat-ingat rasa yakin ketika ia mendengar perkataan Sakti dulu, sementara di saat yang sama, ketakutannya mulai menggelora karena kejadian tadi.

Tapi Sakti berbeda, dia yakin itu. Sejauh ini, hanya dia yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Sena dengan sabar.

Gue cuma nggak bisa nerusin hubungan pernikahan sama orang yang nggak gue cinta sementara orang yang gue cinta setengah mati saat ini sedang butuh kepastian dari gue! Sedang butuh gue!

Air mata Sena merebak.

Tetap saja, bagi Sena apa yang dilakukan Galang adalah sesuatu yang jahat dan tidak bertanggungjawab. Mau seyakin apapun dia melakukannya atas nama cinta, tetap saja Galuh yang sudah menjadi istrinya akan tersakiti. Gadis itu hanya bisa mengusap kasar wajahnya dan mengayuh sepeda lebih cepat sampai ke rumah.

Masih jam segini, bisa dipastikan Sakti belum pulang. Padahal dia ingin sekali segera bertemu Sakti.

Namun ketika ia memasuki gerbang, hal pertama yang disadarinya adalah sebuah mobil asing dengan bodysticker Aztec di sisinya. Itu jelas mobil kantor Sakti, dan lagi, mobil Sakti tidak ada di sini. Sena meremas tangannya beberapa saat, kemudian memutuskan menyambangi unit Sakti yang masih tertutup, tidak yakin sepenuhnya bahwa laki-laki itu sudah pulang pada jam segini. Tapi, siapa lagi kenalan Sena yang bekerja di Aztec kecuali Sakti?

Mengurai gelungan rambutnya namun masih berseragam, gadis itu mengetuk pintu. Tidak butuh waktu banyak, pintu itu terayun dan Sena membatu.

Nathalie berdiri di sana, memakai sebuah kemeja milik Sakti yang sangat Sena kenali. Tampak kedodoran di tubuhnya yang tidak mengenakan bawahan apa-apa hingga tepi bawah kemeja Sakti hanya sampai menutupi pahanya, sementara sisa kakinya terekspos dengan begitu jelas.

" Ya?"

Nathalie mengerutkan kening seraya menautkan jemarinya yang berkuku cat merah. Berusaha sekuat tenaga mengalihkan perhatian dari fakta bahwa perempuan itu tidak mengenakan bra atau apapun di balik kemeja Sakti yang berwarna putih, Sena meraih suaranya.

" Mas-" Sena berdehem kala suaranya terdengar mengerikan. " Mas Sakti ada?"

Sekali lagi, Nathalie meneliti Sena dari atas sampai bawah hingga sebuah pemahaman berkelebat di wajahnya.

" Oh...kamu Sena. Maaf, terakhir kita bertemu, penampilan kamu sangat berbeda," ujarnya tersenyum hingga wajah eksklusif berlipstik merah itu tampak ramah. Ia mengedik ke dalam, " Masuk saja, Sakti di dalam."

Nathalie berbalik meninggalkan Sena dengan seribu pikiran di kepala. Sakti di dalam, dengan Nath berpakaian seperti itu?

Segera saja, seribu pikiran negatif langsung menyerbu seperti lebah yang terusik sarangnya. Namun Sena bertahan, segala kemungkinan bisa terjadi, kan?

Akhirnya gadis itu melangkahkan kaki ke dalam unit Sakti yang anehnya, tampak asing dengan kehadiran Nathalie. Tanpa bicara, Nathalie masuk ke kamar Sakti. Dengan langkah berat, Sena mengikutinya, sedikit takut akan apa yang ia temukan di dalam.

Namun yang ada Sena justru memekik pelan kala menemukan Sakti terbaring di atas kasur dengan selimut sampai menutupi dagunya. Laki-laki itu tertidur, namun dia bisa melihat tubuh itu menggigil pelan.

" Jangan salah sangka dulu, Na. Tadi Sakti jemput aku di bandara pakai motor karena mobil kantor dipakai semua sampai-sampai Anggara harus pinjam mobilnya ke luar kota. Nggak nyangka ternyata pulangnya kita kehujanan. Sudah aku suruh pulang dari tadi, tapi dia nggak mau. Kena AC jatuhnya justru demam," ucap Nathalie meraih jaket dan tasnya di kursi kerja Sakti, " Please, about this, don't take it seriously. Aku nggak punya pilihan selain pinjam kemejanya karena bajuku sendiri basah."

Sekali lagi, perempuan itu tersenyum dan mendekati Sena.

" Sekarang ada kamu, jadi aku pulang dulu. Aku titip dia, Na," Nathalie menepuk bahu Sena pelan. Perempuan itu hendak berlalu, tapi sepertinya ia teringat sesuatu. " Well, mungkin kapan-kapan kita bisa bertemu. Makan siang bersama, mungkin?"

Sena balas menatap Nathalie beberapa saat, kemudian tersenyum, " Tentu."

Mungkin hanya halusinasinya, namun Sena merasa senyum ramah itu agak pudar sebelum terulas kembali dengan sempurna. Nathalie mengangguk pelan dan melangkah pergi.

Sena menggelengkan kepala kuat-kuat dan menepuk pipinya. Dia percaya Sakti. Sena mendekati Sakti yang terbaring ke tempat tidur. Rasa cemas menyergapnya ketika dilihatnya laki-laki itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya berkeringat dan tampak kepayahan. Dilihatnya sebuah baskom dan sehelai handuk di samping tempat tidur. Tampaknya tadi Nathalie sempat mengompresnya.

Meraih tisu, gadis itu menyeka keringat Sakti. Kemudian mengompresnya lagi. Sakti berjengit ketika kulitnya bersentuhan dengan kain, membuat Sena membelai pipi laki-laki itu untuk menenangkannya.

Dulu, siapa yang menemaninya kalau dia sakit?

Membatinnya saja, gelombang aneh menerpa Sena. Membuatnya menatap sayang pada Sakti dan bersyukur bahwa laki-laki ini kuat sekali. Gadis itu mencium pipi Sakti, berdoa semoga laki-lakinya segera sembuh dan memberinya senyuman manis seperti biasa.

" Na..." bisik Sakti lemah, hanya serupa hembusan angin. Sena mengusap pelipisnya, berusaha menenangkan Sakti yang tampak gelisah sekali dalam tidurnya.

Namun belum sempat Sena menjawab, Sakti keburu bicara lagi.

" Nath...Nathalie..." bisiknya letih. " Please..."

*TBC*

Selamat sore semua, semoga berbahagia  ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top