53. Lucifer Juga Malaikat
20 tahun kurungan penjara.
Irene bertanya-tanya apa yang akan ia lakukan selama itu tanpa adiknya, yang bersamanya seumur hidup dan hanya berpisah dengannya karena jarak dengan lokasi pekerjaan.
20 tahun kurungan penjara.
Itu bukan waktu yang singkat. Apa jadinya jika ia hanya bisa bertemu Taeyong saat mengunjungi Lapas? Membawakannya makanan karena ia tidak bisa lagi makan kalguksu sesuka hatinya akibat hidup di tengah-tengah para pelaku kejahatan padahal Taeyong tidak bersalah? Jawabannya adalah neraka.
Memang benar bahwa Irene punya banyak teman, rekan kerja, dan lebih banyak lagi teman kencan, tapi hanya pada Taeyong ia menumpahkan kekhawatiran dan semua keluh kesahnya. Hanya pada Taeyong, Irene menunjukkan sisi lemahnya, dan berlindung dari badai kehidupan yang hendak menumbangkannya.
Han.
Dia pikir dia siapa mencoba memutus ikatan mereka?
Lancang sekali dia hanya dengan memikirkannya.
Irene berdiri. Kata-kata menghampirinya dengan sendirinya. Saat maju ke tengah ruang sidang untuk menyampaikan sanggahan, ia langsung tahu apa yang akan ia ucapkan.
"Dalam dunia hukum, kita mengenal istilah penghapusan pidana yang meliputi 3 alasan; yakni alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan penghapusan tuntutan. Keadaan darurat yang membuat kita harus membela diri dapat dijadikan sebagai pembenaran, sesuai dengan pasal 49 ayat (1) dengan persyaratan adanya serangan lebih dulu.
"Beberapa minggu yang lalu, Yang Mulia, pria bernama Nam Shin hampir membunuh seorang remaja yang lebih kecil dan nyaris tidak bisa melawannya. Remaja ini, Park Jisung, mengalami pukulan ganda yakni kematian ibunya, dan penyerangan yang dilakukan oleh Shin. Saksi Saya, Dong Sicheng, berkata bahwa Jisung sudah lama sendirian, dan ini terbukti dengan absennya ayah kandungnya yang lebih suka mengurus bisnisnya. Ibunya larut dalam pengaruh alkohol. Orang yang ia harap jadi ayah pengganti malah menganiayanya.
"Selama setahun, Park Jisung menyimpan semuanya sendiri. Rasa sayang pada ibunya membutakannya, membuatnya menolak melapor, bahkan tidak berani bercerita pada teman sekelasnya. Apa yang akan kita perbuat bila bertemu anak seperti dia?
"Kita hanya punya 2 pilihan, Yang Mulia; diam dan berpaling, atau menolong dan bertindak, dan inilah yang dilakukan Lee Taeyong. Taeyong memilih bertindak dengan cara mendekati Jisung, mendobrak rumahnya sepulang bekerja untuk membawanya ke rumah sakit, dan ikut campur urusannya hingga mendekam di penjara.
"Apakah dia menyesalinya? Apakah dia sedih atas meninggalnya Shin? Tentu saja tidak, sebab membiarkan dirinya merasakan kedua hal itu akan mengingkari inti dari perbuatannya, tapi ini tak lantas menjadikan dia pembunuh berdarah dingin.
"Lee Taeyong bukan pembunuh. Dia hanya menyelamatkan dirinya sekaligus Jisung dari pelaku yang sejati, yang tidak sekedar merusak fisik tapi juga mentalnya.
"Bila benar Park Jisung mengkhayalkan semua ini, maka kita harus membujuknya untuk jadi penulis seperti tetangganya. Bukti bahwa ini nyata terjadi ada di hadapan Anda; luka-lukanya, catatan medisnya dari dokter yang ahli一yang kesaksiannya bisa kita pegang teguh, serta kesaksian gurunya bahwa dia hanya murid biasa yang suka bermain sepak bola. Tidak ada keuntungan apapun yang bisa ia petik kalau dia berniat mencari perhatian.
"Lagipula untuk apa? Agar dia bisa menangis di kursi saksi yang dia takuti? Supaya orang-orang bisa melihat punggungnya yang penuh luka?"
Irene berhenti sejenak. Sejumput poninya jatuh dan menghalangi pandangannya dari orang-orang yang dia sayang, jadi dia menepisnya dengan anggun.
"Terakhir, Saya ingin mengutip kata-kata dari buku teman penulis Saya yang misterius一" Di sini Winwin tertawa. "一yang berbunyi, "Lucifer dulunya juga malaikat", yang berarti, tidak peduli darimana asalmu, setampan apa wajahmu atau sebagus apapun reputasimu, selalu ada kemungkinan bahwa seseorang tidak sebaik yang terlihat. Banyak pelaku kejahatan yang berwajah bak malaikat, jadi Saya mohon tolong pertimbangkan ini dalam keputusan Anda. Terima kasih, Yang Mulia."
Irene membungkuk pada Kyungsoo. Taeyong bertepuk tangan tanpa suara mengapresiasinya. Joy dengan heboh mengacungkan jempol. Winwin menggeleng-geleng, barangkali senang karena Irene mempromosikan karyanya secara gratis. Sedangkan Jisung tersenyum. Hanya tersenyum, tapi itu sudah cukup.
Pengacara Lee Irene telah memberikan sebanyak mungkin usahanya, berjuang sebisanya, dan bertarung habis-habisan.
Apapun hasilnya nanti, Irene yakin dia sudah melakukan yang terbaik.
Roda berputar, keadaan berbalik.
Setelah Winwin kabur menjelang gilirannya bersaksi, tampaknya Jisung jadi terinspirasi untuk meniru tingkahnya. Jisung melewatkan makan siang, pamit pergi ke toilet, tapi tak kunjung kembali hingga kini. Irene harus mencarinya karena khawatir, dan bersyukur Jisung tidak sepandai Winwin dalam hal bersembunyi.
Jisung tengah bersandar di vending machine yang rusak, asyik menatap butiran-butiran salju yang berguguran. Saking seriusnya, dia sampai terlonjak kaget ketika Irene menyikutnya. "Kenapa di sini? Bosen sama masakan Kakak?"
Jisung mengerutkan hidung. "Aku masih kenyang."
"Cuma karena itu?"
"Sama takut." Jisung mengakui, berjalan beberapa langkah ke depan untuk menyentuh salju secara langsung dengan telapak tangan yang menghadap ke langit. "Gimana kalau hakim itu nggak menangin kita?"
Irene mengukiti jejaknya sambil setengah menggigil. Suhu yang rendah dan kulitnya tidak pernah bersahabat. "Kalau gitu kita bikin Han repot lagi. Kita ajuin banding. Gampang kan?"
Sayangnya Jisung tidak tertipu. Terlepas dari ekspresi ceria yang Irene pasang, Jisung tahu itu adalah dusta dan terdapat kesedihan di baliknya. "Maafin aku."
Irene berdecak jengkel. "Bukan salah kamu. Kenapa sih kamu hobi nyalahin diri sendiri? Taeyong paham konsekuensinya waktu nolong kamu, dan dia nerima itu. Mending kita bahas topik lain. Misalnya..."
"Misalnya?"
Rasa keingintahuan Jisung kontan menyala saat Irene mengeluarkan kertas berukuran sedang agak kusut yang terbungkus amplop putih dari sakunya. "Kamu nggak heran kenapa Joy tadi mampir? Dia ngasih ini. Dan ini dari Ayah kamu."
"Ayah?"
"Coba kamu baca."
Tapi belum lagi Jisung membaca seluruh isi surat itu, dia sudah terpaku tak bergerak berkat tulisan terbesar yang ada di kepala surat, berupa, "SURAT PERNYATAAN PENYERAHAN HAK ASUH ANAK" yang di bagian bawahnya ditandangani oleh Park Jinwoo.
Jisung terlihat nelangsa. "Ayah beneran buang aku."
Tangan Irene mendarat di bahunya dan memberinya tepukan pelan. "Nggak gitu. Kakak yang minta dia tanda tanganin ini. Kamu nggak pantes tinggal sama Ayah kamu atau ... Mamanya Kakak, Jisung."
Bola mata Jisung melebar. "Terus...?"
"Baca aja."
Isi surat itu mudah dimengerti walaupun merobek hati; ketika seorang ayah menyerahkan anaknya pada orang lain padahal kondisi ekonominya lebih dari layak. Jisung membacanya dengan cermat, menyimak dengan penuh perhatian sampai ke poin yang memuat perjanjian Irene dengan Jinwoo.
1. Pihak pertama boleh mengunjungi anak kapanpun dia mau. Pihak kedua tidak boleh menghalang-halangi.
2. Segala urusan mengenai kesehatan dan pendidikan anak yang penting harus didiskusikan dulu dengan pihak pertama.
3. Pihak kedua harus mengurus anak dengan baik, mencukupi kebutuhannya dalam segala hal dan dilarang melakukan kekerasan dalam bentuk apapun pada anak.
4. Anak berhak memilih; jika dia tidak mau, maka kedua belah pihak tidak boleh memaksa dan membebaskan dia tinggal dengan siapapun yang dia inginkan.
5. Jika pihak kedua tidak kompeten, maka dia harus memulangkan anak pada pihak pertama.
Tertanda,
Park Jinwoo
(Pihak pertama)
Dan,
Lee Irene
(Pihak kedua)
Jisung mengangkat kepala memandang tepat ke mata Irene. "Apa ini? Kak Irene mau ngeadopsi aku?"
Yang ditanya tergelak. "Semacam itu."
"Tapi ini ... nggak perlu. Ini karena rasa bersalah kan? Karena Mamanya Kakak?"
"Jisung." Sekarang Irene benar-benar jengkel. "Kakak udah nggak mikirin dia lagi. Kakak ngelakuin ini cuma karena Kakak mau. Pasti seru rasanya kalau punya dua adek."
Jisung masih tidak bisa menerimanya. "Tapi ini berlebihan."
Tangan Irene tersilang di depan dada. Raut wajahnya berubah marah. "Bisa nggak kamu berhenti bilang 'tapi'?"
"Tapi一"
"Jisung!" Pecahlah tawa Irene ketika Jisung masih saja berkata tapi. "Gini, ini nggak ribet sama sekali. Kamar kosong di rumah Kakak harus ditempatin sebelum jadi sarang hantu. Kamu tinggal jawab mau atau nggak. Apanya yang susah?"
Bibir Jisung terkatup rapat sesaat. "Kalau kayak gitu aku ngerepotin terus."
Irene memikirkan persoalan itu sejenak. Namun tak butuh waktu lama karena dia sudah memiliki solusinya. Dalam beberapa hal, Jisung sangat mudah ditebak. "Oke, kalau kamu emang nggak mau bikin repot, gimana kalau tiap pagi kamu nyiram bunga Kakak? Anggep aja itu kerja buat bayar pajak rumah. Setuju?"
"Cuma nyiram bunga?"
"Iya!"
"Buat ganti biaya tinggal di rumah?"
"Bener!"
Gelak tawa Jisung melayang ke awan-awan berlawanan dengan salju yang jatuh ke tanah. "Itu bukan kerjaan yang susah."
"Kalau mau susah, tinggal aja sama Taeyong biar kamu disuruh ngurus baju-bajunya. Jadi kamu mau kan? Ini tergantung pilihan kamu."
Tak segera menjawab, Jisung melipat kertas itu dengan rapi, memandangnya lama sampai matanya berair yang Irene tebak bukan semata-mata karena berkurangnya intensitas berkedip. Jisung memasukkan kertas itu ke sakunya, mendongak agar air matanya tidak menetes. "Aku bingung..."
"Bingung kenapa?"
"Kak Irene kan nggak punya bunga?"
"Oh iya." Irene yang baru teringat mengetuk kepalanya sendiri. "Tapi Kakak udah ada rencana buat beli kok. Nanti kita beli bareng sekalian kamu potong rambut di salon Mamanya Joy, gimana?"
Jisung mengangguk antusias. "Aku mau."
Jeda istirahat yang diberikan Kyungsoo akhirnya berakhir juga.
Ini adalah penghujung. Titik akhir perjalanan mereka yang akan menentukan hidup Taeyong yang terasa seperti berdiri di pinggir tebing; salah langkah sedikit saja, mereka pasti terjatuh. Keputusan Kyungsoo akan berfungsi sebagai tali penyelamat atau angin yang bukan mustahil mengkhianati mereka.
Seandainya gagal, Irene tahu dia tidak akan bisa menyebut dirinya sebagai pengacara dengan penuh percaya diri lagi. Ini akan jadi kegagalan terbesarnya dan walaupun merasa seperti pengecut, dia bertekad mengundurkan diri. Dia akan mencari pengacara yang lebih hebat dan bisa mengurus kasus Taeyong lebih baik darinya.
Irene tertular kebiasaan Winwin yang menggigit bibir bawahnya saat gugup, berhubung di sini ia tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Taeyong?"
"Hm?"
Tinju Irene bersarang di bahu Taeyong yang masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda adanya rasa takut atau gugup atau apapun yang sewajarnya dirasakan oleh terdakwa. "Kalau Noona gagal一"
"Ssst." Taeyong buru-buru memotongnya. "Hakim udah dateng."
Sebulir air mata mengalir menuruni pipi Irene.
"Jangan berisik, jangan nangis. Jelek soalnya."
Sang kakak meninju adiknya lagi.
Di kursinya, Kyungsoo mengamati interaksi mereka tanpa reaksi yang berarti一yang entah pertanda baik atau bukan. Mungkin dia hanya tidak menyangka Irene yang sangat keras saat sedang beraksi itu ternyata bisa menangis juga.
Kyungsoo berdeham. "Semua sudah siap?"
Bersama, kali ini kompak, Irene dan Han menjawab, "Ya, Yang Mulia."
Jari-jari Kyungsoo saling bertumpuk di dekat palunya. "3 hari yang sangat menarik sudah kita lalui. 3 hari yang menegangkan sudah kita lewati. Dengan 6 saksi dari jaksa penuntut dan 5 saksi dari pembela, Saya sudah mendapatkan keputusan mengenai nasib Lee Taeyong.
"Secara pribadi, Saya menganggap kasus ini sangat ... unik, karena seorang kakak yang merupakan pengacara handal harus berdiri mewakili adiknya, melawan jaksa penuntut yang tidak asing baginya. Bukankah ini ketiga kalinya kalian bertemu?"
"Benar, Yang Mulia." Irene harus menahan diri untuk tidak menambahkan, 'Saya sudah menang 2 kali', sementara Han diam saja.
Makan itu, kunyuk.
Kyungsoo tersenyum. "Kalian tidak pernah gagal menyajikan tontonan yang berkualitas. Kalian berdua sama-sama berbakat, punya masa depan yang cerah. Tapi kita di sini untuk Lee Taeyong dan dialah yang harus kita bahas.
"Pemuda ini, pemuda 25 tahun ini, masih muda ketika dia menghadapi tuntutan berat membunuh tetangganya. Namun fokus utamanya bukan pembunuhan itu sendiri, melainkan alasannya, sebab Lee Taeyong tidak melakukannya atas dasar benci atau faktor-faktor lain yang lebih keji.
"Pusat kasus ini adalah Park Jisung. Apakah benar dia mengalami tindak kekerasan dari korban, Nam Shin, sehingga Lee Taeyong harus membelanya dengan cara yang ekstrim? Itulah yang perlu dibuktikan oleh penuntut dan pembela.
"Kasus kekerasan pada anak adalah kasus rendahan. Sampai sekarang Saya tidak mengerti mengapa ada yang sanggup melakukan itu. Tapi yang menumbuhkan tanda tanya di benak Saya adalah, Nam Shin kelihatannya pria yang baik. Kesaksian temannya mengenai dia luar biasa, bahkan Jisung pun mengakui kebaikannya. Siapa yang sesungguhnya kita hadapi? Seorang manajer minimarket, atau seorang aktor yang amat piawai? Jujur saja, sulit menentukannya.
"Di sisi lain, Saya melihat kejujuran dalam diri Jisung. Saya memperhatikan bahwa dia bahkan tidak punya setitik pun kebencian saat membicarakan ayah yang telah meninggalkannya. Anak ini naif, polos. Dia tidak bisa membenci siapapun. Sanggupkah anak seperti ini mengarang kebohongan tentang Ayah pengganti yang ia klaim disukai ibunya? Bisakah dia?
"Tugas seorang hakim adalah memutuskan. Lebih detail lagi, adalah menemukan jarum kebenaran di antara jerami kebohongan, dan itu tidaklah mudah. Ada yang berdusta, ada yang berkata sejujurnya. Tapi Saya percaya kebenaran tak bisa selamanya ditutupi meski menggunakan berlapis-lapis jerami kecurangan."
Dengan dramatis, hakim bermarga Do itu menatap keseluruhan hadirin, terdakwa, dan saksi yang masih hadir hingga hari ini. "Oleh karena itu..."
Irene merasa akan gila dalam 5 menit. Belum pernah dia merasa begitu stres mendengar ceramah Kyungsoo.
"Saya memutuskan..."
Astaga, demi keindahan bintang-bintang dan bulan, tolonglah! Apakah Kyungsoo akan menarik atau mendorongnya dari/ke jurang, sebaiknya dia lakukan saja dengan cepat!
"Bahwa terdakwa Lee Taeyong..."
AHahahahhaHaha nantikan jawabannya di epilog ya 😏
Sebelumnya, makasih buat kalian yang rajin komen sampe sini. Itu sesuanu banget buat gua lhoh, karena tiap gua capek sama ff ini gegara ribetnya nauzubillah, gua pasti inget2 komen kalian. Percayalah yeorobun, diriQ tanpa komenmu bagai siomay tanpa kentank. Makasih banyak, banyak, banyak!1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top