50. Melawan Arus
Winwin berharap lantai terbuka dan menelannya saat itu juga.
Seorang penulis terkenal dari Jepang pernah berkata, 'as long as you have the courage to admit mistakes, things can be turned around', tapi mengakui kesalahan tidak semudah yang dikatakan Haruki Murakami.
Mengakui kesalahan, sejak dulu jadi tugas yang tak bisa diemban sembarang orang, melibatkan merobek ego dan membuka sisi gelap dirimu yang sebenarnya. Bagi Winwin, berada di sini saja sudah sulit, dan mengakui orang macam apa dia saat ada seorang remaja yang membutuhkannya, menjadi tantangan yang lebih berat.
Barangkali karena itulah Han hadir, untuk membantu mengikis sikap pengecutnya sedikit demi sedikit.
"Cukup dengan kosakata penulis Anda, Saya tidak tertarik mendengarnya. Yang ingin Saya tahu adalah, mengapa dari sekian banyak orang di lantai 9, Anda menjadi satu-satunya ikan yang melawan arus? Sekali lagi, mengapa kesaksian Anda berbeda?"
Winwin tidak bisa tidak memuji pemilihan kata Han. Ikan yang melawan arus? Bagus juga. Dia menyukainya. "Mereka semua berpura-pura tidak mengetahuinya. Lantai 9 punya julukan markas orang aneh. Ada Juyeon, si pecandu narkoba. Ada penghuni 93 yang merupakan mantan narapidana. Ada pula penghuni yang hanya keluar di malam hari saat akan bekerja di bar."
"Saya yakin sebutan lainnya adalah keberagaman?" Han mengolok-olok. "Itu masih tidak menjelaskan apa-apa."
"Apa yang Anda harapkan, Jaksa?" Winwin mengusap dahinya, rambutnya yang basah karena keringat. Dia capek. "Keadaannya rumit karena Jisung diam saja selama ini. Dia tidak pernah mengeluh. Tidak ada yang berteriak minta tolong, jadi tidak ada pahlawan yang datang. Sesederhana itu."
Han menggosok ujung hidungnya dan tertawa pelan, sepelan yang bisa ia lakukan tanpa terdengar Kyungsoo. "Berarti markas orang aneh itu sangat kompak, ya?"
"Jika Anda menanyai mereka dengan serius, Anda akan melihat bahwa mereka tidak terkejut dengan kejadian ini. Mereka tahu tapi memilih menutup mata."
"Oh, dan ada bermaksud mengatakan Anda berbeda dari mereka?"
"Saya一" Winwin tercekat. Lidahnya tidak mau merangkai kebohongan. Dia membisu, merutuki tindakannya di masa lalu. Atau yang lebih tepat, tidak adanya tindakan dari dirinya.
Bagi Han, ini baru permulaan. "Anda mengklaim terjadi kekerasan selama setahun. Anda mengklaim Anda tahu lebih banyak dibanding tetangga Anda yang lain. Kalau begitu jelaskan, mengapa tidak ada laporan pada polisi sama sekali?" Han menyerangnya dengan ganas menggunakan kebenaran. "Dong Sicheng, Winwin, atau siapapun nama Anda, bisakah Anda jelaskan mengapa Anda sebatas menjadi pengamat?"
Kata terakhir diucapkan seolah itu adalah kalimat penghinaan yang paling rendah dan efeknya menghajar Winwin dengan telak.
Kepercayaan dirinya musnah. Sosok pemuda gugupnya kembali. Winwin hanya bisa duduk tanpa kata. Hal lain yang ia takutkan terjadi. Dia merusak segalanya; kerja keras Irene dan ekspektasi orang-orang yang berharap ia bisa jadi pembeda.
Winwin menunduk. "Itu karena Saya pengecut."
Pengakuan itu menggema keras layaknya kelereng yang dijatuhkan ke gelas kaca. "Saya tahu Saya harus melapor, Saya tahu Saya harus menolong Jisung, tapi Saya tidak melakukannya karena banyak alasan : Saya malas berurusan dengan polisi, Saya tidak mau membuka identitas penulis Saya, dan Saya tidak mau Asa dipenjara. Tapi terutama, itu karena Saya pengecut."
"Tak satupun dari ketiga alasan-alasan itu pantas diapresiasi."
"Benar." Untuk yang satu ini Winwin setuju dengan si jaksa. "Mereka bilang pengamat jauh lebih kejam dari pelaku, karena diam saja menonton orang lain menderita. Saya bersalah, dan Saya takkan menyangkalnya." Tertawa lirih sebab kesalahannya terlalu banyak untuk disebutkan, Winwin menoleh pada Jisung yang untungnya tidak jauh. "Jisung, Kakak minta maaf. Kakak bener-bener minta maaf. Buat ... semuanya."
Sisa kalimatnya melebur dalam keheningan, berubah menjadi bisikan yang nyaris tak terdengar. Bahkan Winwin berpaling tanpa mengecek reaksi Jisung. Tidak bisa, tidak mau, tidak siap. Dia sibuk bertanya-tanya dalam hati, butuh berapa kesalahan agar seseorang membenci orang lain secara permanen? Apakah pengabaian termasuk kesalahan yang tak termaafkan?
Suara Han mengembalikannya pada kenyataan. "Tapi selain Jisung, pernahkah Anda melihat Shin menyakiti anak-anak lain?"
"Tidak."
"Lalu apakah Anda pernah dengar Shin mendapat komplain dari siapapun?"
"Tidak tahu, Saya tidak peduli padanya."
"Mungkin itulah dosa terbesar Anda, tidak peduli pada orang lain kecuali diri Anda sendiri."
Si hakim merespon cepat dengan memberi peringatan. "Saya tidak mengizinkan hal semacam itu dikatakan di sini, Penuntut."
Padahal Han tidak salah. Itu memang dosa Winwin, keegoisannya yang bertranformasi jadi rasa bersalah; hantu masa lalu yang menjeratnya di masa kini. Winwin hanya menuai apa yang telah ia tanam一entah dia suka atau tidak.
Dalam beberapa cara, ini juga merupakan sidangnya.
"Maaf, Yang Mulia. Tapi menurut catatan Saya, saksi tidak begitu pandai bergaul dengan tetangganya, maka pernyataannya patut dipertimbangkan ulang karena dia tidak terlalu cakap mengenali orang-orang di sekitarnya, dan kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari 1 peristiwa."
"Jadi hanya karena Saya jarang keluar rumah kesaksian Saya dianggap tidak penting?"
Han berkedip dengan tampang polos. "Bukan Saya yang memutuskan itu. Di sisi lain, Anda memang jarang berinteraksi dengan tetangga Anda kan? Pekerjaan Anda sebagai penulis membuat Anda lebih sering berada di dalam rumah."
Tangan Winwin saling menggenggam erat di atas meja, berusaha menjaga sisa-sisa kesabarannya agar tidak menguap. "Ya. Dan biasanya di dalam rumah jugalah hal-hal buruk terjadi kan?"
Berlagak tidak mendengar, Han kembali menekuni buku catatannya yang一berani taruhan一pasti berisi kata "antisosial" dan kata lain dengan konotasi yang sama negatifnya. "Pertanyaan berikutnya, tentang peristiwa di minimarket. Kapan itu terjadi?"
"Sekitar bulan juli. Saya ingat betul karena seperti yang Saya bilang, ponsel Saya rusak."
"Apakah Anda sering berbelanja di tempat Shin?"
"Tidak juga."
"Tapi Anda tahu bahwa pintu tempat itu terbuat dari kaca?"
"Ya."
"Dan Anda pikir Shin akan menampar seorang anak di minimarket yang pintunya terbuat dari kaca dan terletak di pinggir jalan raya?"
Rahang Winwin menegang. "Bukan Saya pikir, jaksa, tapi Saya lihat."
"Tapi bila ucapan Anda benar, bukankah dia akan lebih berhati-hati agar tidak ketahuan? Kita bicara tentang pria yang dituduh sebagai pelaku kekerasan selama setahun, dan tidak terendus siapapun. Tentunya dia bukan orang bodoh."
"Mungkin Shin mengira tidak akan ada yang melihatnya. Waktu itu malam dan minimarket telah masuk jam tutup."
"Anda ke minimarket saat sudah tutup?"
"Shin kadang tidak langsung pulang setelah bekerja."
"Tetap saja, itu lingkungan yang ramai. Seodaemun-gu bukan daerah yang sepi."
Lihai seperti ular, Winwin dibuat lelah dengan kejar-kejaran pertanyaan ini dan dia mengangguk pasrah. "Benar."
"Adakah saksi lain yang bersama Anda?"
"Tidak ada."
"Adakah bukti fisik, misalnya foto atau rekaman video?"
"Ada cctv di situ, tapi Saya ragu rekamannya masih ada." Winwin mendengus. Mengikuti permainan kecil Han, dia melontarkan satu sindiran. "Saya tebak perbaikan fasilitasnya belum selesai?"
Senyum Han merekah, agaknya gembira sudah memancing emosi Winwin. "Bukan tugas Saya untuk memeriksanya."
Winwin memijat bagian dahi yang ada di antara matanya. "Teruskan saja ini. Apa lagi yang ingin Anda tanyakan?"
"Tentang pembicaraan seru Anda bersama Asa."
"Ada apa dengan peristiwa itu?"
"Anda berkata pada Pembela bahwa ibu Jisung kecanduan alkohol sejak sebelum bercerai, jadi saat kejadian, masalah itu pasti belum teratasi karena Asa tidak pernah mendapat perawatan."
"Ya."
"Dong Sicheng, tolong katakan pada kami, apakah Anda bicara dengannya ketika dia sungguh-sungguh sadar?"
Dari kursi yang ditempatinya, Jisung menunjukkan tanda-tanda kegelisahan saat nama ibunya disebut-sebut, terlihat tidak nyaman karena Han tidak segan-segan menggunakan orang yang sudah meninggal demi membela orang meninggal lain.
"Dia merespon pertanyaan Saya dengan baik dan masuk akal."
"Apakah dia meminum alkoholnya?"
Winwin mungkin bukan orang paling pemberani di dunia, tapi dia juga bukan pembohong. "Ya..."
"Itu artinya, sah-sah saja meragukan apa yang dikatakan Asa pada Anda."
"Saya tidak sependapat. Anda pasti tahu akohol membuat kita bicara lebih jujur."
"Tepat sekali. Tapi kita tidak perlu mengundang seorang ahli untuk tahu bahwa orang-orang seperti Asa, yang jadi budak alkohol, mengalami perubahan suasana hati dan perilaku, bahkan pada kasus yang parah, daya ingat mereka bisa berkurang."
"Berkurang berbeda dengan kacau."
"Siapa yang bisa menjamin dia tidak meracau?"
Lewat sela-sela gigi yang dikatupkan, Winwin mendesis, "Anda pikir Saya tidak bisa membedakan orang yang meracau dan bicara jelas?"
"Saya tidak berkata begitu. Maksud Saya adalah, kita tidak boleh mempercayai mentah-mentah apa yang kita dengar, apalagi jika itu tanpa bukti."
"Lucu, bukankah Anda asal menyimpulkan ucapan Asa tidak bisa dipercaya tanpa bukti juga?"
Senyum Han mengecil. "Mari katakan saja posisi kita sejajar soal itu."
Namun Winwin menolak disejajarkan dengan Han. Dia enggan jadi saksi yang lemah, ketika Irene saja berkata dia adalah saksi kunci dan salah satu harapannya. Winwin berdiri. Dia mampu menahan tangannya untuk tidak menggebrak meja, tapi tidak mempu menahan semburan amarahnya.
"Anda ingin mendeskriditkan kesaksian Saya dengan menyinggung kebiasaan jarang keluar rumah Saya dan menyerang Asa karena dia tidak akan bisa membela diri, boleh saja. Tapi kenapa Anda tidak akui dulu bahwa Anda melakukan ini bukan semata-mata karena pekerjaan? Anda berteman dengan Shin. Anda sering mengunjunginya, sehingga Anda dekat dengan pegawai minimarket termasuk Kang Yoon yang mengontrol cctv."
Wajah Han diselimuti kemarahan yang sama besar一kalau tidak lebih besar一yang nyaris tidak bisa dipendam. "Apa Anda menuduh Saya memanipulasi bukti? Saya bisa balik menuntut Anda atas pernyataan itu."
"Saya tidak berkata begitu." Winwin masih ingat apa yang dikatakan Han, bahkan bisa menirunya dengan sempurna. "Maksud Saya adalah, kalau urusan pribadi dicampurkan dalam pekerjaan, tidak baik jadinya."
Han meradang murka. "Dengan siapa Saya berteman berada di luar konteks persidangan, dan itu tidak berarti apapun!"
"Bukan Saya yang memutuskan itu, bukan pula Anda." Winwin mengangkat kepalanya menghadap Kyungsoo, memaksa dirinya menyingkirkan bayangan ayahnya dan tidak menunduk lagi. "Tapi sang hakim."
Kyungsoo menanggapi dengan ketukan palu sebanyak 3 kali agar suasana kembali kondusif. Dia tampak lebih serius, tidak lagi tersenyum seperti yang beberapa kali ia lakukan saat sesi tanya-jawab menjadi lebih asyik dengan ketegangan yang beranjak naik.
Sang hakim sedang menulis di selembar kertas.
Dia masih menyimak, namun sebagian konsentrasinya diserap oleh catatan yang ia buat. Profil wajahnya yang tampan terarah pada kertas itu, barangkali mencatat skor keyakinannya pada setiap saksi yang datang, menganalisis hubungan antara semua orang yang terlibat, atau mengurutkan fakta-fakta inti yang ada.
Siapa tahu?
Tapi ada kemungkinan ke-4 yang menurut Winwin paling mungkin; Kyungsoo tengah membuat keputusan.
Ketika sidang berakhir, Winwin terlihat seperti orang yang terkuras habis.
Pengandaian lainnya adalah, dia mirip atlet yang sudah berjuang keras, berhasil sampai di garis finish, tapi tidak tahu apakah dia menjadi pemenangnya atau bukan.
Han mencecarnya habis-habisan, lebih dari yang Irene duga bisa jaksa itu lakukan. Dan kini di antara siraman rasa lega karena sidang hari ini terbilang cukup lancar, Irene merasa kalut karena 1 pertanyaan; apa yang akan Han perbuat pada Jisung besok?
"Kamu nggak apa-apa?"
Winwin yang baru keluar dari toilet dengan air yang menetes-netes dari dagu dan rambutnya terlonjak kaget. "Maaf tadi aku bikin semuanya berantakan."
"Tadi kamu bagus kok." Setidaknya untuk ukuran yang gugup bicara pada polisi dan hampir saja kabur, itu sudah luar biasa. "Trims, Win." Dia mengulurkan sebotol teh pada pemuda itu. "Ini bayarannya."
Winwin tergelak. Dia menimang botol Nu green tea di tangannya dan menghela napas. "Mana Jisung?"
"Lagi diajak ngegosip sama Joy. Taeyong udah balik."
Maksudnya kembali ke Lapas bersama para petugas, tapi Irene tak sanggup mengatakan itu. Tidak ketika hari penentuan kian dekat dan apa saja bisa terjadi terlepas dari seberapa besar usaha dan harapannya.
"Besok gilirannya kan?"
"Iya."
Winwin dan Irene kompak diam. Mereka tidak mengatakan apa yang sama-sama ada dalam pikiran; bisakah Jisung melaluinya? Sebab duduk di kursi penonton dan kursi saksi sangat berbeda. Belum lagi menghadapi Han yang jelas bukan perkara gampang.
Sambil meringis, Winwin membuka tutup tehnya. "Kalau aku aja bisa, dia juga pasti bisa. Iya kan?"
Kedengarannya seperti Winwin berusaha meyakinkan dirinya sendiri, namun Irene mengangguk. Itu juga yang dia tanamkan dalam hati. Mereka melanjutkan langkah, berjalan sampai menemukan Jisung yang bersandar di pintu mobil ungu Irene yang ngejreng, sendirian. "Joy kemana?"
"Ambil barang yang ketinggalan," jawab Jisung, tersenyum pada Winwin, tanpa kemarahan setitik pun, tanpa dendam. "Gimana rasanya jadi saksi?"
"Lumayalanlah." Meski dari raut wajahnya, Winwin tampaknya ingin menjadikan itu sebagai pengalaman sekali seumur hidup. "Besok jangan tegang, ngerti? Kamu harus makan yang banyak."
"Apa hubungannya jadi saksi sama makan?"
"Nggak ada, biar kamu sehat aja," jawab Winwin lugu. Lugu dan tidak nyambung. Satu lagi perkataannya yang di luar konteks.
Irene mendorongnya keras-keras hingga ia hampir jatuh. "Jangan terlalu dipikirin. Mending kita makan dulu."
Tapi Jisung rupanya tidak ingin melarikan diri atau menghindari topik itu. Dia menaikkan pandangannya ke langit, pada sang bintang paling terang, yang seakan bersinar hanya untuknya. "Aku siap buat besok."
"Beneran nih?" Irene menggodanya, jahil seperti biasa setelah tak harus berperan menjadi pengacara. "Kamu nggak takut?"
Ketika Jisung tertawa一tawa yang jarang ia perdengarkan一rasanya musim dingin berubah menjadi lebih hangat. "Nggak lagi."
APAKAH KALIAN SYUDAH SIYAP YEOROBUN???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top