49. The Dark Side

Denah ruang sidang itu begini : di mulai dari luar, ada sepasang pintu kayu berat yang bahkan bagi laki-laki, harus dibuka menggunakan 2 tangan. Dan mungkin demi semacam lelucon miris, orang yang membukanya akan langsung berhadapan dengan meja hakim yang kalau sedang sial, lengkap dengan hakimnya pula yang punya tatapan tajam.

Hari ini jelas bukan hari keberuntungan Winwin.

Di kanan dan kirinya, adalah bangku penonton, masing-masing 4 baris dan tiap kursi bisa diisi setidaknya 5 orang. Lalu semakin ke depan, adalah meja pengacara dan jaksa yang dibatasi dengan pagar kayu setinggi pinggang. Mungkin untuk mengamankan mereka bila persidangan tidak berjalan sesuai kemauan orang-orang.

Lebih jauh lagi, namun lebih dekat dengan kursi pengacara, adalah kursi saksi yang hanya diperuntukkan bagi 1 orang. Jendela-jendela besar yang berhias kerai dari rotan dan dapat dibuka tergantung cuacanya, berada di belakangnya. Jadi saat seseorang duduk di situ, rasanya pasti tidak jauh berbeda dengan duduk di panggung dan ada yang mengarahkan lampu sorot padamu.

Berita baiknya, baik di China atau Korea, rupanya tidak ada perbedaan mencolok pada desain ruang sidang.

Berita buruknya, tidak ada perubahan yang mencolok, semua ruang sidang ternyata sama menyeramkannya.

Ketika ia muncul, Irene yang sekali ini gelisah menoleh, tercengang hingga menghentikan ucapannya. "Pembela memanggil Park一Winwin?"

Yah, tidak bisa disalahkan. Winwin saja kaget dengan keputusannya sendiri dan terheran-heran kenapa dia belum kabur sejak tadi. Keberanian ini hal baru, dan dia hanya berharap bisa mempertahankannya selama mungkin. "Maaf aku terlambat."

Kakinya maju selangkah, dan dengan itu ia resmi memasuki ruang sidang. Rasanya seperti terlanjur berbelok ke suatu jalan dan tidak bisa berputar balik. Atau terjun ke kolam kekacauan. Tidak ada bedanya.

Winwin menelan ludah. Kepalang basah, ia teruskan saja langkahnya melewati wajah-wajah asing yang ia duga adalah mahasiswa atau mahasiswi jurusan hukum yang belajar sekaligus menanti hiburan. Juga Jisung. Di bangku terdepan, di belakang Taeyong, Jisung duduk bersama Joy, menatapnya.

Belum-belum sudah melakukan kesalahan lagi, Winwin ingin meminta maaf karena mungkin sudah membuat Jisung berpikir dia kembali bersikap pengecut ... hampir.

Tapi ia tidak bisa, karena Irene yang cepat pulih dari keterkejutannya bertanya pada hakim apakah dia boleh meralat kata-katanya karena sekarang saksinya sudah datang dan hakim itu setuju.

"Pembela memanggil Dong Sicheng."

Matilah dia. Meski sekilas, Winwin melihat tampang beberapa orang yang kaget mendengar namanya dan seketika berbisik-bisik. Harapan bahwa di ruangan ini tidak ada penggemarnya pupus sudah. Dengan kata lain, ia harus mengucapkan selamat tinggal pada identitas penulisnya yang misterius.

Pasrah, tak ada yang bisa Winwin lakukan selain duduk di kursi saksi dan selanjutnya berharap pemeriksaan ini segera berakhir.

"Tolong sebutkan nama Anda."

"Dong Sicheng." Suaranya terlalu pelan. "Tapi Saya lebih suka dipanggil ... Winwin."

Dia tersenyum. Senyum yang terbentuk saat kau sedang gugup dan tidak tahu harus apa lagi. Senyum konyol, senyum yang terlalu lebar. Dia tidak tahu kenapa dia tersenyum ketika sebetulnya tidak ingin tersenyum dan一

Oh sudahlah. Fokus. Rileks!

"Apa pekerjaan Anda?"

"Saya ... penulis fiksi."

"Di mana Anda tinggal?"

"Seodaemun-gu, apartemen Ahyeon, unit 97."

"Sejak kapan Anda tinggal di sana?"

Bahkan matematika sederhana jadi terasa rumit saat sedang gugup bukan main. "Sejak ... 2015."

"Apakah Anda mengenal seluruh tetangga yang satu lantai dengan Anda?"

"Ya." Dia hanya tidak akrab dengan sebagian besar mereka, tapi Winwin menyimpan itu dalam hati.

"Bagaimana dengan penghuni unit 92?"

"Saya dekat dengan mereka." Winwin menarik napas panjang, mempermudah tugas Irene dengan mengimbuhkan, "Kecuali Jinwoo dan Shin."

Irene merespon mirip kelinci yang diberi wortel dan tidak menyia-nyiakannya. "Bisakah Anda memberitahu kami alasannya?"

"Jinwoo ayah yang tidak bertanggung jawab. Dia tidak layak disebut ayah. Menurut Saya, dia bahkan tidak layak punya anak. Selama ini Jinwoo berpikir uang saja cukup untuk Jisung, tapi dia tidak memperlakukannya dengan baik."

"Apakah Anda tahu tentang kunjungan Park Jinwoo yang semakin jarang?"

"Ya."

"Berapa lama tepatnya itu terjadi?"

"Lebih dari setengah tahun. Dia pasti berpikir karena bercerai, segala urusan tentang anaknya ada di tangan Asa."

"Apakah Jisung mengatakan sesuatu pada Anda?"

Akhirnya, Irene mendapatkan apa yang ia inginkan; saksi yang berkata 'iya' terhadap pertanyaan ini. "Pada awalnya iya. Dia menceritakannya karena Saya adalah tetangganya yang paling dekat. Dia bilang ayahnya tidak bisa dihubungi dan Shin kesal karena itu. Tanggungannya jadi semakin banyak."

"Apa yang Anda lakukan saat itu?"

"Saya datang ke tempat kerja Jinwoo tapi Saya tidak bisa menemuinya atau dia tidak mau bertemu dengan Saya. Jinwoo membenci Ahyeon dan menganggap semua penyewanya tolol. Dia bajingan sombong."

Itu mungkin sebutan yang terlalu kasar, tapi Winwin hanya mengatakan kebenaran. Dan uniknya, lega juga bisa mengungkapkan hal itu. Untuk pertama kalinya sejak duduk di kursi saksi, Winwin merasa sedikit santai.

Terlebih karena si hakim membiarkannya, barangkali berpikir baik pengacara dan saksinya sama saja.

Fyuh...

Irene menahan senyum. "Apa yang terjadi pada Jisung sejak ayahnya tidak datang lagi?"

"Dia jadi pemurung. Pendiam. Dan kedatangan Shin memperburuk keadaanya一baik secara fisik atau psikis."

"Apakah ada alasan Anda mengatakan itu?"

"Ya." Winwin menggeleng. "Shin sering memukulinya."

Banyak orang yang bereaksi berbeda-beda atas pernyataan itu; Taeyong tersenyum. Joy mengacungkan jempolnya. Jari-jemari jaksa Han mengetuk-ngetuk meja dalam tempo cepat namun tanpa suara. Dan Kyungsoo mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Lain halnya dengan Jisung. Jisung ya Jisung. Tidak banyak reaksi, namun matanya lekat-lekat memperhatikan Winwin.

"Apakah Anda punya bukti atas kalimat Anda barusan?"

Winwin mengetuk sisi samping kepalanya. "Buktinya adalah ingatan Saya."

"Mohon jelaskan pada kami. Apakah Anda pernah melihat dengan mata Anda sendiri secara langsung Shin memukul Jisung?"

"Ya."

"Di mana itu terjadi?"

"Tempat kerjanya."

"Bagaimana kejadiannya?"

"Saya sedang berjalan ke minimarket untuk belanja, seperti biasa. Ponsel Saya rusak, jadi Saya tidak bisa berbelanja secara online." Winwin mendesah. "Di minimarket biasanya disetel musik untuk menghibur pengunjung, jadi Shin pastilah tidak mendengar Saya datang. Saya melihat Jisung menata barang-barang, dan Jisung menjatuhkan sesuatu. Shin marah sekali."

"Apa yang dia perbuat?"

"Menamparnya." Winwin menyingkap lebih banyak tirai kepalsuan yang menyelubungi Shin. "Shin membentaknya, mengatainya tidak becus dan segudang kata kasar lainnya."

"Apa yang lantas Anda lakukan?"

Pertanyaan berulang ini mengundang senyum di wajah Winwin. Sebab dia tahu, dia akan sering ditodong dengan kalimat itu, sebagai seseorang yang memang seharusnya bertindak banyak.

"Saya buru-buru masuk, membantu Jisung berdiri. Saya tidak menyangka Shin bisa sangat kasar. Jadi Saya tanya pada Shin, 'Apa-apaan ini? Kenapa harus pakek kekerasan?', dan Shin menjawab itu tidak sengaja."

"Tapi menampar seseorang tidak sama dengan tanpa sengaja menyenggol barang bukan? Apakah Anda mempercayainya?"

Kepala Winwin tertunduk lesu. "Ya. Itu kesalahan pertama Saya."

"Kenapa?"

"Karena Shin bertingkah baik di depan orang lain. Dia punya rapor cemerlang. Saya tahu Saya bodoh, tapi waktu itu Saya pikir dia mungkin sedang lelah. Dan orang yang lelah kadang bertindak di luar batas."

"Apa yang dikatakan Jisung tentang peristiwa itu?"

"Tentu saja kalimat favoritnya." Winwin melirik Jisung dari sudut matanya dan tersenyum muram. "Dia selalu bilang, 'Aku nggak apa-apa' tidak peduli sebanyak apa masalahnya."

"Apakah pernah ada kejadian serupa di mana Anda menjadi saksi lagi?"

"Tidak, tapi sejak itu Saya mendapati luka-luka di tubuh Jisung."

"Luka-luka seperti apa?"

"Banyak," ujar Winwin pahit. "Beragam. Pertama kali Saya menyadarinya adalah ketika Saya mengajaknya makan dan dia bercerita tentang betapa berbedanya sikap Shin di luar dan di dalam rumah. Saya kira dia bercanda, jadi Saya memukulnya dengan buku. Hanya pukulan ringan, tapi dia mengaduh. Katanya bahunya sakit."

"Apakah Anda memeriksanya?"

"Ya. Ternyata ada banyak lebam di situ. Saya tanya darimana dia mendapat semua ini? Dia mengarang alasan konyol bahwa dia jatuh, dan Saya mulai curiga."

"Mungkinkah lebam itu memang terbentuk karena jatuh?"

"Mustahil," jawab Winwin tegas, yang ia tegaskan ulang lewat gelengan kepala kuat. "Sangat tidak mungkin."

"Kalau begitu apa yang Anda lakukan dengan kecurigaan Anda?"

"Bicara dengan Shin, karena Shin tampaknya menyalahkan Jisung perihal absennya ayahnya. Saya tidak mau dia memarahi Jisung karena ulah Jinwoo tapi Shin lagi-lagi bilang itu tidak sengaja, sekedar salah paham. Dia punya masalah di tempat kerjanya sehingga emosinya tidak terkontrol."

"Anda mempercayainya kedua kalinya?"

Winwin cukup yakin, sejatinya maksud Irene adalah, kamu sebego itu, ya? karena bisa-bisanya dia tersandung batu yang sama 2 kali, yang dia sendiri pun tidak mengerti.

Dia menghela napas. "Ya, tapi itu tidak bertahan lama karena besoknya Jisung memakai jaket."

"Ada apa dengan masalah jaket?"

"Dia menggunakan itu untuk menutupi luka-lukanya. Sejak itu Jisung sering memakai pakaian berlengan panjang."

Tidak terkecuali hari ini, yang membuatnya jadi sumber tontonan orang-orang. Jisung dan mantel putihnya yang menjuntai sampai ke lutut, mendadak membuat setiap kepala penonton yang hadir berputar ke arahnya.

"Apakah dia sering memakai jaket?"

Winwin terdiam sejenak, mematung kaku di tempatnya. "Hampir setiap hari."

Irene berpindah ke topik lain. "Apa respon ibunya mengenai luka-luka itu?"

"Asa justru merupakan orang yang menjawab kecurigaan Saya."

"Ibunya mengatakan sesuatu?"

"Benar. Saat Saya bertanya tentang Jisung, dia menjawab bahwa dialah yang berbuat begitu. Dia dan Shin."

"Apakah Jisung menyebabkan masalah serius?"

"Tidak. Satu-satunya salah Jisung menurut Asa sebenarnya sangat sederhana : dia lahir. Itu saja."

"Bagaimana bisa kelahiran seorang anak dianggap sebagai kesalahan?"

Kalau dibicarakan begini memang terdengar jahat dan tidak berperasaan, tapi itulah kenyataan, seperti buah-buahan yang tidak semuanya manis. Jisung mungkin memaafkan ibunya, namun kekerasan tetaplah kekerasan一apapun alasan dan siapapun pelakunya.

Ini adalah realitas yang bisa dilihat oleh mereka yang masih memiliki hati nurani; tak ada pembenaran bagi Asa.

Yang ada hanya pemicu tindakannya.

"Itu berhubungan dengan Jinwoo. Anda masih ingat saat Jinwoo berkata bahwa Asa adalah pihak yang menginginkan anak?"

Irene mengangguk.

"Jinwoo adalah kebalikannya. Jinwoo tidak menyukai anak-anak. Dia jarang menghabiskan waktu di rumah dan saat mereka bercerai, Asa mengira itu karena Jisung membuat Jinwoo tidak betah."

"Itu artinya bukan hanya ayah, tapi ibunya juga berpaling darinya?"

Tenggorokan Winwin bagai diganjal sebuah batu. Dia tahu bagaimana rasanya diabaikan ayahnya sendiri. Tapi setidaknya ibunya tidak meninggalkannya. Tidak seperti Jisung yang tak punya siapa-siapa untuk dijadikan sandaran.

"Ya. Karena itulah Asa menelantarkannya. Asa terpengaruh Jinwoo. Terlebih dia mengalami kecanduan alkohol yang mengakibatkannya sulit berpikir jernih."

"Sejak kapan?"

"Sejak tahu Jinwoo berselingkuh."

Kontak mata mereka terputus dan entah disebabkan apa, Irene tiba-tiba membuang muka. "Pernahkah Asa mendapatkan perawatan untuk menghilangkan kecanduannya?"

"Tidak pernah. Saya sudah mencoba membujuknya menemui psikiater. Hasilnya nihil. Dia menolak."

"Lalu apa yang dilakukan Shin mengenai kecanduan alkohol itu?"

"Dia tidak melakukan apa-apa."

"Shin mendiamkannya?"

"Ya. Dia sayang pada Asa. Shin tidak tega menolak permintaannya, walaupun Asa meminta alkohol yang tidak baik untuk kesehatan fisik dan mentalnya."

"Dia sayang pada Asa." Cinta adalah cinta, namun hanya ada kejijikan dalam suara Irene saat menyalin ucapannya. "Tapi dia tidak sayang pada Jisung?"

"Sama sekali tidak. Selama ini Shin telah menipu banyak orang. Shin tidak seperti yang digambarkan pegawainya. Shin tidak baik. Dia hanya pandai berakting baik."

"Dan Asa, ibunya, adalah saksi yang turut menjadi pelaku?"

Mata Winwin terpejam. Orang yang dilindunginya sudah tiada, jadi tidak ada gunanya dia setia menyimpan rahasia. "Asa sedang berada dalam tahap depresi, tapi ... ya. Dia sudah berhenti peduli pada Jisung sejak bercerai. Itulah alasan kenapa Shin bersikap seenaknya."

"Tidak pernah ada usaha melindungi anaknya?"

"Tidak ada. Sudah lama Jisung sendirian."

Irene menggulung kertas berisi daftar pertanyaannya, tanda dia akan mengakhiri gilirannya. Sekarang tidak terlihat marah lagi, ekspresinya melembut. "Terimakasih banyak, Winwin. Sekian dari Saya, Yang Mulia."

Dengan itu, tibalah saat yang dikhawatirkan Winwin, ketika hakim yang masih tidak berani ia tatap terlalu lama mengalihkan pandangan pada Han dan jaksa itu berkata, ya, Saya akan dengan senang hati bertanya beberapa hal padanya, kemudian maju.

Sejujurnya Winwin tidak takut pada Han. Dia juga tidak (terlalu) takut duduk di kursi saksi ini dan kini resmi jadi saksi yang paling lama ditanyai. Tidak. Sejujurnya, hal yang paling ditakuti Winwin adalah kemungkinan Han mengorek sisi dirinya yang memalukan, yang kelihatannya bukan lagi kemungkinan semata.

Han tersenyum, dingin dan mengancam. "Dong Sicheng, Anda memberikan kesaksian yang menarik sekali tadi, apalagi mengingat keterangan Yoon Juyeon. Mengapa begitu? Mengapa penghuni unit 97 dan 99 punya pendapat yang sangat bertentangan?"

Winwin menggigit bibir bawahnya. "Kahlil Gibran."

"Maaf?!"

"Kahlil Gibran," ulang Winwin. "Penyair itu pernah berkata, 'we are all like the bright moon, we still have our darker side'."

"Dan apa hubungannya itu dengan pertanyaan Saya?"

"Itu jawabannya. Alasan Juyeon dan orang lain di lantai 9 menyangkal adanya tindak kekerasan pada Jisung adalah karena kita semua punya sisi gelap. Kita tidak bisa memungkirinya." Malu berpadu dengan penyesalan, Winwin menunjuk dadanya. "Termasuk Saya."

Nyampe chapter 50 dan belom kelar juga awokwokwok 🙂 Makasih banyak buat yang masih tahan baca sampe sini 💚🤧

Coba dong, kasih tau siapa karakter favorit kalian sekalian alasannya? 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top