48. Let's Winwin!
Namanya Dong Sicheng, dan dia jatuh cinta pada kata-kata.
Sejak kecil, tidak seperti anak-anak lain yang terpesona pada angka 2 yang bisa berubah jadi bebek, Sicheng lebih tertarik pada fakta bahwa huruf "z" tampak seperti garis zig-zag dan bahwa huruf "c" mirip lengkungan bibir yang tengah tersenyum.
Bertahun-tahun yang lalu, dengan bimbingan gurunya yang cantik, Sicheng belajar menulis untuk pertama kalinya. Dia serius sekali menghafal deretan abjad, membedakan huruf "w" dan "m", juga mengingat cara membaca kombinasi huruf "ng" yang membingungkan hingga tak lama, dia bisa melakukannya tanpa bantuan.
Surat cinta pertama yang ia tulis adalah surat untuk wanita paling hebat dalam hidupnya, sang ibu, yang tertawa saat membacanya.
"Mama cantik mirip Iron Man perempuan, tapi kalau marah mirip beruang. Aku sayang Mama selamanya, jangan paksa aku makan sayur lagi, ya?"
Berlanjut ke catatan-catatan sederhana di buku hariannya yang bercerita tentang keseruan masa kanak-kanaknya di negeri darimana panda berasal.
"Hari ini aku ngajak Yiyang lihat kodok di halaman belakang, tapi kodoknya nakal dan lompat ke Yiyang. Terus Yiyang nangis deh..."
"Buat apa lari cepet di pelajaran olahraga kalau nggak dapet piala? Nggak asyik."
Namun, ayahnya menentang hal ini.
Menurutnya, mengeluarkan uang untuk membeli buku sama saja dengan membeli sampah一tidak peduli itu karya Rainer Maria Rilke, James B. Stewart, atau Jeffery Deaver.
Sicheng tidak bangga mengakui ini, tapi Ayahnya merupakan alasan dia diam-diam membeli buku dan menyimpannya di kolong tempat tidur. Mereka harus disembunyikan, termasuk semua catatannya, kalau tidak mau sampai dibuang.
"Buat apa nulis kayak gini? Cerita-cerita nggak jelas gini? Nggak guna!"
Sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga一yang lebih menyerupai bencana daripada anugerah一ayahnya berharap Sicheng mengikuti jejaknya di bidang hukum. Pengacara, jaksa, terserah. Asal jangan jadi penulis yang tidak bisa menjamin apa-apa. Untuk apa mengejar angan-angan yang belum pasti kalau ada profesi yang lebih menjanjikan di depan mata?
Namun dia menolaknya, bukan itu yang aku mau.
Ia tidak bisa berhenti一tidak walaupun berusaha keras. Menulis sudah menjadi bagian dari jiwanya, hampir-hampir seperti bernapas. Kalau tidak bernapas, kau mati. Kalau tidak menulis, ia merasa sepi.
Sederhananya begini, ayahnya hanya perlu mendengar dan membuka mata. Sicheng bisa menunjukkan padanya bahwa tulisannya bukanlah omong kosong semata, tapi masalahnya, dia memutuskan menjadi buta dan tuli. Dia tidak mengerti, dan Sicheng rasa, takkan pernah mengerti.
Ayahnya memberinya dua pilihan : kuliah jurusan hukum, atau minggat dari rumah.
Yang ditelinganya lebih terdengar seperti : putuskan hubungan kekeluargaan, atau putuskan tanganmu.
Ini lebih parah dari writer's block yang tak kunjung hilang berbulan-bulan. Lebih buruk daripada ditantang temannya, Xiao Jun, mencoba bungee jumping, padahal ia takut ketinggian. Karena meski semua anak pada akhirnya memang akan meninggalkan rumahnya menjelang dewasa, Sicheng lebih tahu; sekali bersikap nekat dan pergi, ia selamanya tidak akan bisa kembali.
Pada akhirnya dia tidak memilih一tidak sanggup.
Ibunya meringankan beban itu untuknya.
Pada malam ketika dia melihat-lihat brosur universitas yang diinginkan ayahnya, sang ibu masuk ke kamarnya. Sicheng masih ingat bagaimana wajah wanita itu, betapa cantik dia saat sinar lampu mengenai matanya. Warna mata ibunya berwarna gelap, tapi di mata yang sama, Sicheng melihat cahaya yang menuntunnya agar tak tersesat.
"Hadiah kelulusan." Ibunya meletakkan kamus 3 bahasa sekaligus; Inggris, Korea, dan Jerman di pangkuannya.
Dia meraih kamus paling atas, yang berhias gambar bendera dominan putih dan membuka halaman pertama.
Di dalamnya, ada sejumlah uang dan buku tabungan dengan total jumlah yang terlalu besar untuk diasumsikan sebagai biaya liburan.
Sicheng mendongak, memaksakan hadirnya sekelumit tawa. "Aku diusir?"
Ibunya membalasnya dengan seulas senyum. "Jangan ngawur. Itu sama biaya kuliah. Jurusan sastra kan nggak murah."
Wanita itu memegang tangannya dengan tangannya sendiri yang lebih mungil. Kehangatannya menyebar ke kulit Sicheng, menyelubungi dirinya dengan kasih sayang dan cinta abadi seorang ibu.
"Korea kayaknya bagus. Tapi kamu bebas pilih yang mana aja."
Dengan begitu Sicheng pun paham; ibunya tidak membuangnya. Ibunya malah terlampau mencintainya, dan memberinya pilihan tambahan yang tidak ditawarkan ayahnya.
Sicheng menunduk, mengelus tulisan tambahan yang dibuat sang ibu.
Tertulis menggunakan spidol hitam, adalah kata-kata penyemangat khas mereka yang kerap diucapkan ibunya saat ia akan menghadapi situasi sulit; masuk sekolah di hari pertama, mengikuti sebuah lomba atau ujian, menghadapi ayahnya...
"Let's Winwin!"
Selama beberapa hari berikutnya, kamus itu jadi satu-satunya buku yang ia baca dan untungnya bisa dibaca secara terang-terangan. Dia memulai dengan target kecil; menghafal 20 kata sehari, menonton drama Korea, mendengarkan lagu-lagu dari negeri ginseng itu.
Kemudian pada hari ke-6, dia pergi.
Sicheng sempat menemui ayahnya di pengadilan, menontonnya menjatuhkan hukuman pada seorang pria yang terbukti menganiaya pacarnya.
Namun dia merasa bukan pelaku saja yang divonis bersalah.
Mereka tidak bicara. Sicheng menggunakan metode yang sama dengan yang dipakai ibunya. Lewat sebuah surat yang ia minta pada petugas supaya diberikan pada hakim Dong yang tegas itu, dia menulis pada ayahnya, "Nanti aku pulang kalau udah sukses."
Dia kira itu merupakan saat terakhirnya menapakkan kaki di ruang sidang.
Ternyata dia salah.
Dong Sicheng tiba di Korea menjelang malam, dengan mata mengantuk, punggung pegal, tangan kram, dan perut yang lapar.
Dari bandara Incheon, dia naik taksi yang dikemudikan seorang pria paruh baya yang bersemangat menceritakan keindahan Korea begitu tahu ini kali perdana ia datang ke negaranya. Sungguh warga negara yang baik. Sicheng tidak tega memberitahunya bahwa ia nyaris tidak mengerti apa yang pria itu katakan.
Sopir taksi itu mengantarnya ke daerah Seodaemun-gu, yang ia klaim terdapat apartemen yang mungkin cocok dengan seleranya. Perjalanan mereka mulus, dan di akhir perjalanan itu, si sopir memberinya sebungkus rokok sebagai hadiah selamat datang.
Apartemen yang ia maksud rupanya bernama Ahyeon, yang dikelola seorang wanita dengan nama yang sama. Secara keseluruhan, bangunannya bagus, tapi sikap wanita itulah yang tidak bagus. Barangkali ada hubungannya dengan seringnya Sicheng memintanya mengulangi ucapannya dan bicara pelan-pelan.
Mereka membuat kesepakatan hari itu juga, dan Sicheng diberi tempat di lantai 9.
Dia naik lift dengan sepasang ibu dan anak yang juga hendak ke lantai tujuannya. Mereka memencet tombol angka 9 di saat yang bersamaan dan saling berbagi tawa. Si ibu membawa plastik belanjaan yang penuh sesak, salah satunya berisi teh Nu green tea. Rambutnya panjang, bentuk alisnya berada di antara tebal dan tipis, dan di bawah alis itu, dia punya mata sipit yang lucu.
Anak laki-laki yang Sicheng duga adalah anaknya dari cara mereka berdekatan, tidak mirip dengannya. Anak itu seperti hamster; bermata sipit juga, berpipi bulat, dan dia sibuk memeriksa kameranya sehingga hanya melirik ibunya dan Sicheng yang mengobrol sekilas saja. Seragam sekolahnya menunjukkan dia murid sekolah menengah pertama, tapi dia sudah cukup tinggi.
Ketika sudah hampir sampai, si ibu bertanya, "Nama kamu siapa?"
Ting!
Lift berbunyi. Saking kagetnya, Sicheng yang sedari tadi mengepit kamus bahasa Korea-nya menjatuhkan buku itu. Halamannya terbuka di tulisan ibunya sendiri dan ia memungutnya.
Sicheng menginginkan awal yang baru di kehidupan barunya, sekaligus memiliki sesuatu yang akan mengingatkannya pada ibunya. Maka pada tetangga barunya, dia berujar, "Winwin."
Mereka berpisah. Ibu dan anak itu masuk ke unit 92 sedangkan ia menuju unit 97 yang bersih dan berbau cat. Tampaknya baru direnovasi, tak ada satupun barang peninggalan penghuni yang lama. Sicheng tak punya pilihan selain berbaring di lantai dan memakai ranselnya sebagai bantal.
Malam itu dia bertanya-tanya apakah mulai sekarang ia harus terbiasa dengan nama Winwin. Dia nyengir geli, lantas menarik keluar hadiah pertamanya di Korea dari saku. Iseng, dia mengambil sebatang rokok. Gerakannya kikuk saat menyelipkannya ke bibirnya sebelum tersadar ia tidak bisa menyulutnya. Tidak ada pemantik atau korek api! Cengirannya dengan segera berganti menjadi tawa.
Lalu tiba-tiba, pintu di ketuk, membuatnya kaget.
Sicheng berdiri, berpikir ada yang salah mengetuk pintunya saat akan menemui temannya, tapi ia melihat si bocah kamera yang memegang teh botolan dan sesuatu yang beraroma sedap dari sebuah mangkuk yang tertutup rapat.
Bocah yang diperkirakan Sicheng 4-5 tahun lebih muda darinya itu menyodorkan bawaannya. "Kak Winwin kan? Ini dari Mama, biar nggak usah jauh-jauh cari makanan."
Sicheng yang tahu menolak pemberian orang yang bermaksud baik itu tidak sopan menerimanya, tapi perutnya yang berbunyi menjadi alasan kedua. "Makasih..." Kalimatnya menggantung. "Nama kamu?"
Bocah itu tersenyum ceria. Pipinya jadi semakin mirip mochi. "Jisung. Park Jisung."
Kini, bertahun-tahun kemudian ketika ia sudah terbiasa dengan nama barunya, Winwin duduk di tempat yang tak sengaja ditemukannya dan tidak terpikir oleh orang lain untuk mencarinya di sana; smoking area.
Dia lega bisa sendirian. Hanya dia dan pikirannya. Tanpa ada yang mendesak atau memaksanya menjadi ini itu, persis ayahnya yang sampai sekarang belum memberi maaf. Tempat ini sepi, yang artinya sempurna sekali. Orang lain lebih suka makan siang yang bergizi daripada mengisap rokok.
Tidak masalah.
Sebab saksi kunci, saksi penting atau apalah istilahnya, butuh istirahat dan untuk itu, ia harus mengabaikan ponselnya yang terus-menerus berbunyi.
Tapi mereka yang terhubung dengan darah memang biasanya punya kesamaan. Irene dan Taeyong sama-sama keras kepala dan pantang menyerah. Saat 5 menit setelahnya Irene masih saja menelpon, justru Winwin-lah yang dia buat menyerah.
"Ya?"
"Apanya yang 'ya'?!" Gelombang kemarahan dahsyat menghantamnya dari ponsel itu. "Berengsek Winwin! Di mana kamu? Di mana kamu, kutu kupret?"
"Lagi ... nyantai sebentar." Walaupun ia tidak merasa santai sama sekali, itulah yang dikatakannya, karena berbohong tanpa bertatap muka jauh lebih mudah.
"Kamu jangan coba-coba kabur, ya! Hari ini giliranmu, dan aku nggak bisa asal nukar kesaksian kamu sama Jisung."
"Kenapa nggak?"
"Han pasti bilang dia nggak siap buat meriksa silang Jisung dan Kyungsoo pasti nggak akan seneng. Aku nggak mau dia punya kesan yang jelek di persidangan ini."
"Kyungsoo itu hakim yang tadi?"
Irene mendesis kesal. "Iya! Cepet balik, Win. Kalau nggak aku bikin petisi buat boikot buku kamu yang Turn Back Time itu."
Pandangan Winwin sejenak tertutup asap dari bibirnya sendiri, akibat isapan terakhir rokoknya yang lantas ia buang. "Atas dasar apa?"
"Sampulnya yang terlalu seksi."
Winwin tertawa terbahak-bahak.
Itu, juga memutus sambungan. Dia tidak suka mengecewakan orang lain, namun dia tidak menemukan cara yang keren untuk mengungkapkan pada Irene bahwa dia mungkin batal menjadi saksi.
Sejak awal, ini merupakan ide buruk.
Membayangkan dirinya duduk di kursi saksi saja membuatnya merasa seperti berjalan di jembatan kaca yang bisa rubuh kapan saja. Sepanjang pagi, adrenalin mengalir deras dalam pembuluh darahnya. Berlanjut ke tangannya yang mengalami tremor.
Winwin tidak tahu apa penyebabnya; glossophobia atau bayangan ayahnya yang muncul tiap ia menatap sang hakim.
Siapa yang mengira dia punya semacam trauma pada ruang sidang?
Bahkan 2 batang rokok tidak berdaya. Tangannya masih gemetaran. Jantungnya berdegup cepat dalam dada. Winwin takut akan mengatakan sesuatu yang keliru dan mengacaukan segalanya.
Kalau menolong dirinya saja tidak bisa, bagaimana dia akan menolong Jisung?
Dengan tangan yang lembap, ia meraih rokok ketiga. Ini melewati batas ketat yang ia terapkan pada dirinya sendiri, tapi Winwin berharap yang ketiga bisa membantunya tenang.
Seseorang menubruknya dari belakang.
Rokoknya terjatuh. Pemantiknya juga. Pelakunya, seorang anak perempuan yang berlari karena dikejar perempuan lain yang lebih besar langsung meminta maaf. Anak itu membawa botol minuman hijau yang menggelinding ke kaki Winwin, dan karena isinya banyak, botol tersebut menimbulkan bunyi duk duk duk tiap membentur lantai.
Tapi lagi-lagi, lewat botol itu, ia menangkap suara yang berbeda. Celah dalam sistem waktu semesta terbuka, dan ia tersedot ke masa lalu ketika ia mengucapkan beberapa baris kalimat perpisahan pada Asa,
"Kamu bisa istirahat sekarang, Asa. Jangan khawatir soal Jisung. Aku emang egois dan pengecut, tapi semua orang bisa berubah. Aku bisa berubah. Gimanapun caranya, aku bakal bantu dia. Semua hutang dan salahku sama dia, pasti aku bayar."
Winwin tertegun. Itu botol teh dengan merk yang sama dengan yang diberikan Asa padanya bertahun-tahun silam.
"Kak?" Gadis kecil pemilik botol itu mengulurkan tangannya, meminta minumannya dikembalikan.
Winwin menurutinya, namun lama setelah gadis itu pergi, dia masih berlutut dengan satu kaki di lantai dan mata yang menatap langit di kejauhan. Dia mulai tertawa. Warnanya belum bisa disebut cerah, tapi siapa saja yang memperhatikan pasti sepakat dengannya : kegelapan sedang jatuh perlahan-lahan pada kekalahan.
Melupakan rokok serta pemantiknya, dia berdiri dengan bertumpu pada kursi. Ponselnya berbunyi lagi tapi dengan lagu yang berbeda dan lebih singkat. Ada sebuah pesan masuk dari Irene :
"Cepetan dateng, Winwin. Tolong."
Winwin memasukkannya ke saku tanpa membalasnya. Dia tahu apa yang harus ia lakukan. Kakinya berjalan. Satu, dua. Satu, dua. Lama-lama kian cepat. Dalam hitungan menit, dia telah berada di hadapan sepasang pintu ganda besar yang ia dorong sampai terbuka.
Semua orang di dalam kontan terdiam.
Satu-satunya orang yang berdiri di sana tercengang, tampak seperti ingin menghajar sekaligus memeluknya. "Winwin?"
"Maaf aku terlambat."
Dan Winwin melangkah maju一seorang knight yang bosan jadi pengamat.
Kalo gini Winwin dah cocoque jadi author belom? Wkwkwkwk 😳 :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top