45. Terakhir Dan Pertama

Hari kedua persidangan.

Hari ini, salju turun lebih deras dari kemarin, seolah ada sungai di langit dan sungai itu tengah meluap sekarang. Butiran-butiran seputih kristal tumpah ruah tak terkendali. Dewi badai sedang melolong mengeluarkan pekikan angin ribut yang membuat pembawa berita acara ramalan cuaca memperingatkan semua warga agar lebih berhati-hati. Matahari kalah bersaing, sinarnya ditutupi awan gelap yang seakan menjadi pertanda akan hari yang berat.

Barangkali, cuaca buruk inilah yang menjadi alasan keterlambatan teman Jisung.

Irene mondar-mandir di depan patung sang Dewi Keadilan, melakukan kebiasaan lama bila gugup melanda yang ingin ia hentikan; menggigiti kuku.

Tidak semua saksinya akan dipanggil hari ini, tapi teman Jisung adalah salah satunya. Masalah muncul saat kurang dari 10 menit sebelum sidang dilaksanakan, orang yang ia tunggu-tunggu belum juga tiba dan Jisung tak bisa menghubunginya.

"Belum diangkat?"

Jisung menggeleng. "Mungkin dia lagi main di laut."

"Tapi rumah temen kamu kan nggak deket sama laut?"

Jisung hanya tersenyum.

Di Korea, ada sebuah pepatah bahwa "orang tua takkan bisa menang dari anaknya" dan teman Jisung membuktikan itu. Sebenarnya, Irene tidak mau mengundang saksi di bawah umur, karena ia pikir persidangan terlalu rumit bagi mereka, namun begitu mendengar apa yang terjadi pada Jisung, temannya mengajukan diri untuk berbuat lebih dari sebatas menulis surat pernyataan; dia ingin hadir secara langsung.

Orang tuanya yang berpikiran sama dengan Irene menolak idenya, tapi si bocah cerewet itu terus membujuk mereka sampai akhirnya memberikan restu.

Pertanyaannya, di mana bocah itu sekarang?

8 menit lagi. Jisung yang menyadari betapa gelisahnya Irene berusaha mengajaknya bercanda. "Nanti kalau dia dateng, jangan deket-deket sama dia." Jisung menunjuk telinganya. "Biar ini nggak rusak."

"Kenapa?"

"Dia kalau ngomong kayak orang mau ngajak berantem soalnya."

Sesaat, Irene terkikik bersamanya. Meski hanya bertemu sekali, dia ingat teman Jisung memang bicara dengan intonasi yang lantang.

Tak lama, sebuah Bentley biru mengkilap berwarna mirip air laut berhenti tidak jauh dari mereka. Penumpangnya membuka pintu, mengeluarkan satu kaki terbungkus sepatu yang kelihatannya mahal dan baru, disusul kaki lainnya. Celananya senada dengan warna mobilnya, bersanding dengan kaus Stephen Curry bernomor 30. Sebuah headband melingkar di kepalanya, hitam-putih seperti warna pakaian yang sering Winwin kenakan. Sekilas lihat, dia terkesan seperti melangkah begitu saja dari lapangan basket.

"Kak pengacara!" Penumpang itu melambai ceria pada mereka. "Tadi aku nyasar!" Lalu serangkaian tawa keras yang membuat orang-orang di sekitar menoleh padanya keluar dari bibirnya, amat mirip dengan一tidak bercanda!一mamalia laut yang sangat cerdas.

"Waduh." Irene berpandangan dengan Jisung, kaget. "Suara ketawanya lucu."

"Mirip lumba-lumba." Jisung menghela napas. "Aku mau beli minum dulu biar dia nggak kekurangan air."

Namun Irene lebih tahu; Jisung tidak haus atau sekedar ingin bersikap ramah. Tampaknya setelah menceritakan rahasia yang ia punya, dia jadi sedikit malu pada temannya一sebuah pola pikir yang keliru bagi korban.

"Chenle." Irene menyapanya dengan cara yang sama yang digunakan Jisung : Chonlo. "Kakak kira nggak jadi dateng."

Chenle, yang merupakan orang China dan diklaim Jisung lebih tua darinya tapi lebih pendek, nyengir lebar. "Nggak mungkin. Itu si Jisung Park mau ke mana?"

"Dia beli minuman dulu." Irene tersenyum mendengar Chenle mengucapkan nama temannya dengan cara yang berlebihan sehingga lebih terdengar seperti "Jwisong Pwark".

"Mestinya jangan dibiarin, nanti si poop hand itu ngerusak vending machine."

"Poop hand?"

Sambil terus bergosip, mereka berjalan ke ruang pertemuan, menyusul Taeyong, Winwin dan Joy yang sudah di sana lebih dulu. "Dia kalau megang sesuatu nggak pernah awet. Aku curiga pas dia minjem pulpen bukannya dipake tapi malah di kunyah."

"Pantes dia bilang HP-nya rusak, makanya Kakak pinjemin dia punya Taeyong."

"Nggak sengaja di dudukin sama pantat jeleknya itu." Chenle mencibir. "Dia jago ngerusakin barang-barang. Tapi..."

Ketika Chenle berhenti berjalan, Irene menirunya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa?"

Sosok Chenle yang suka bercanda mendadak lenyap, digantikan oleh dirinya yang lebih serius. Dia menoleh ke arah Jisung pergi, dan memelankan suaranya. "Dia udah nggak apa-apa kan? Maksudnya udah nggak ada yang bakal bikin dia dateng ke sekolah kayak orang kalah tawuran?"

Kepedulian itu mengembalikan senyum Irene, kepedulian itu mengingatkannya pada pertemanan adiknya sendiri dengan rekan kerjanya yang sering bertingkah bak kucing dan tikus, dan dia mengangguk. "Dia baik-baik aja mulai sekarang."

Hari kedua sidang dimulai tidak berbeda dari hari pertama, dan Kyungsoo masih jadi sosok yang tepat waktu seperti biasanya.

Irene yang nyaris terlambat tersenyum menyesal pada sang hakim, yang untungnya tidak mendapat komentar sinis darinya. Kyungsoo menjelajahi ruang sidang dengan matanya, membuat Irene bertanya-tanya apa artinya saat pria itu masih memandang dirinya dan Taeyong lekat-lekat. Serta Jisung yang setia bertahan di sebelah Joy yang memakai kaus bertuliskan "WE SHOULD ALL BE FEMINISTS" keluaran Dior.

"Pembela, Anda bilang Anda punya berkas penting untuk Saya?"

Irene yang tak ingin dia menunggu segera bangkit. "Ya, Yang Mulia. Seperti janji Saya kemarin, Saya membawa catatan medis Lee Taeyong yang berkaitan dengan ketidakmampuannya minum alkohol."

Dia menyerahkan selembar kertas ke juru tulis yang diteruskan pada Kyungsoo dan 1 kertas lagi untuk Han. "Lee Taeyong masuk rumah sakit kira-kira setahun yang lalu dan di kolom diagnosisnya tertulis bahwa dia dehidrasi karena muntah tanpa henti yang diakibatkan alkohol."

Diam sejenak, Irene bersyukur Taeyong adalah tipe pria yang suka bersih-bersih, jadi menemukan surat ini bukanlah perkara sulit.

"Dia harus menerima 2 botol cairan infus dan induksi alkohol untuk mengeliminasi kadal alkohol dalam darahnya, dan yang menarik, Anda bisa lihat sendiri kadar alkohol yang Saya maksud sebetulnya sangat rendah. Dokter yang menanganinya telah menambahkan pesan kecil bahwa sebaiknya dia menghindari alkohol sama sekali. Itulah yang Lee Taeyong lakukan sejak saat itu, Yang Mulia."

Kyungsoo mengangguk-angguk, membaca dokumen resmi berhias logo rumah sakit terkenal itu dengan serius sementara Han, di sisi lain, hanya melirik sekilas dan tidak mengatakan apa-apa.

"Diterima. Ini saja?"

Irene tersenyum. "Untuk sementara."

Dia kembali duduk di kursinya, beradu pandang dengan Winwin yang mengapit Jisung dan terlihat semakin gugup karena gilirannya sudah semakin dekat.

Tapi pertama-tama, mereka semua perlu mendengarkan kesaksian saksi terakhir Han.

Dan yang mengejutkan, saksi ini bukanlah seseorang yang diduga oleh Irene.

"Saya memanggil Yoon Juyeon."

Juyeon. Bukan Dohyun yang disebut Winwin tukang gosip dan sekali, pernah terpergok bicara dengan Han di taman Ahyeon. Yoon Juyeon adalah pria seumuran Irene yang butuh bercukur dan membuat Taeyong tampak seperti mahasiswa teladan karena penampilannya yang serampangan.

Dengan cepat, Irene meraih jurnalnya dan membaca catatan yang ia dapat dari Jisung dan Winwin mengenai seluruh penghuni lantai 9.

Sebuah keterangan mencolok menyita fokusnya; Juyeon, 29, mantan pecandu narkoba.

Ditambah lagi, rupanya, pernah ada insiden seru antara dia dan Taeyong.

Ditatap intens oleh Irene, Taeyong si pelaku hanya mengedikkan bahu dan tidak protes meski Irene menginjak kakinya di bawah meja. Dasar tukang cari masalah!

"Mohon sebutkan nama Anda."

"Nama Saya Yoon Juyeon. Saya bekerja di perusahaan percetakan Ju Ri."

"Di mana Anda tinggal?"

"Apartemen Ahyeon lantai 9, unit 99."

"Berapa lama Anda tinggal di sana?"

"4 tahun."

"Apakah Anda kenal baik dengan semua penyewa apartemen?"

"Tidak semuanya." Juyeon menciptakan celah dengan jari telunjuk dan jempolnya untuk mengisyaratkan 'sedikit'. "Hanya beberapa."

"Bagaimana dengan penghuni unit 92, Nam Shin?"

Gelak tawa memenuhi ruang sidang, berasal dari kursi saksi. "Saya rasa semua orang kenal dia. Tokonya yang paling dekat dengan apartemen dan orang-orang berbelanja di sana."

"Bagaimana pendapat Anda mengenai Nam Shin?"

"Dia baik一salah satu orang paling baik yang pernah Saya temui. Shin sangat ramah. Dia kerap memberi diskon kalau Saya mampir ke tempatnya."

"Menurut pengamatan Anda, bagaimana sikap Nam Shin pada keluarga barunya; Asa dan Park Jisung?"

Tatapan Juyeon melayang pada Jisung dan ada senyum kecil yang lebih mirip seringai di wajahnya. "Saya kira mereka beruntung  mengenal Shin. Asa mengalami gangguan mental karena perceraiannya, dan Shin mengurusnya dengan baik."

"Jadi Anda bermaksud berkata bahwa Shin memperlakukan Asa dengan penuh cinta?"

"Ya. Shin kadang mengajak Asa makan di restoran agar dia tidak jenuh di rumah."

"Apakah perlakuan baik tersebut juga diterapkan pada Jisung?"

"Tentu saja, tapi seringnya mereka keluar berdua karena Jisung sibuk dengan sekolahnya."

"Tuan Yoon." Han berjalan kesana-kemari menyerupai setrika model lama. "Anda pasti tahu bahwa kita berada di sini sebagian karena Shin dituduh melakukan kekerasan pada Jisung. Pertanyaannya, apakah pernah Anda melihat secara langsung Nam Shin memukul Jisung dalam cara paling halus sekalipun?"

"Itu menggelikan, jawabannya tidak."

"Anda yakin? Jisung mengklaim memperoleh perlakuan tak menyenangkan itu selama setahun."

"Setahun. Dan Anda pikir tetangganya tidak akan tahu?" Juyeon mengeluarkan tawa sumbang lagi yang membuat Irene ingin menutup telinganya "Tidak ada kejadian semacam itu. Saya amat sangat yakin."

"Seperti apa hubungan mereka menurut penilaian Anda?"

"Saya kira baik. Shin ikut membiayai sekolahnya."

"Selama kurun waktu itu, pernahkah Anda melihat unit 92 dikunjungi petugas dinas sosial?"

"Tidak, tamu yang datang normalnya hanya teman Shin. Kedatangan petugas dinas sosial pasti menghebohkan dan Saya tidak akan melupakannya."

"Apakah ada peristiwa khusus yang Anda ingat belakangan ini, yang berkaitan dengan Nam Shin?"

Han sudah sampai di poin utamanya dan dengan mulus mengarahkan Juyeon untuk menendang bola ke gawang yang ia inginkan. "Ya, ada."

"Tolong ceritakan pada kami."

"Waktu itu pagi. Saya tidak ingat tanggalnya, tapi Saya mendengar keributan di luar antara anak baru itu dan Shin."

"Apa yang mereka ributkan?"

"Sesuatu tentang Jisung. Taeyong menuduh  Asa melakukan kekerasan dan menyebut-nyebut tentang polisi."

"Bagaimana respon Shin saat itu? Apa dia marah? Terpancing, atau bahkan berbuat kekerasan itu sendiri pada Lee Taeyong?"

"Tidak. Sebenarnya Shin tenang sekali. Dia tahu itu tuduhan palsu dan menghadapinya dengan baik. Justru si anak baru yang marah, dia sempat menendang pintu lift."

"Apa hasil dari perdebatan mereka?"

"Jisung pulang ke rumahnya dengan Shin. Dia mengakui itu kesalahpahaman saja."

"Jadi Jisung pun mengelak dari tuduhan itu?"

"Ya."

"Mereka tidak ke kantor polisi?"

"Tidak ada yang perlu dilaporkan. Jadi tidak."

"Terakhir, bagaimana karakter Jisung di mata Anda?"

Juyeon memikirkannya dengan cara yang sama saat Taeyong berjuang keras dalam tugas mengarangnya sebelum menyerah dan meminta bantuan Irene. "Jisung pendiam. Aneh. Saya tidak akan kaget kalau ternyata dia hanya mengkhayalkan semua ini untuk mendapat perhatian."

Irene hendak berdiri, mengajukan keberatan, tapi lalu berpikir, tidak, itu tidak perlu. Dia akan menghajar pria ini sebentar lagi.

Dan itu benar-benar ia lakukan.

"Yoon Juyeon. Anda tadi berkata bahwa Anda sudah 4 tahun tinggal di Ahyeon?"

"Ya."

"Apakah Anda tinggal secara terus-menerus di sana ataukah ada jeda tertentu?"

Juyeon menepiskan rambutnya yang menjuntai menutupi mata. "Apa maksud Anda?"

Irene berpura-pura mengecek catatan yang sudah ia hafal isinya. "Maafkan Saya kalau Saya salah, tapi menurut catatan Saya, Anda pernah tinggal di pusat rehabilitasi dan baru keluar bulan lalu. Apa komentar Anda mengenai ini?"

Kurang dari semenit dan sudah dipojokkan, kelihatannya itu membuat Juyeon kaget dan ia membisu.

"Penyalahgunaan PCP." Irene mengetuk-ngetuk halaman jurnalnya. "Apa itu benar?"

"Ya." Juyeon yang sadar tidak bisa mengelak tak punya pilihan selain mengaku. "Benar."

"Berarti bisa dibilang, Anda tidak tahu banyak tentang kehidupan Jisung bersama Nam Shin kan?"

"Tidak setuju. Saya ini tetangganya!"

Nada suaranya mulai naik, permainan pun mulai seru. Irene mencoba tidak tersenyum. "Saya tahu. Tapi bukankah Anda tinggal di unit 99? Itu jauh dari unit 92 kan?"

"Jaraknya tidak terlalu jauh."

"Jaraknya 7 unit. Itu sudah termasuk jauh."

"Saya mengenal Shin sebelumnya."

"Dari interaksi saat belanja?"

"Bukan!" Bantah Juyeon kilat, hampir seperti membentak. "Kami kadang bicara berdua."

Irene melayangkan senyum lebar padanya, dengan lubang jebakan yang terselip di sana. "Begitukah? Lalu bagaimana dengan Jisung? Anda pernah bicara bersamanya?"

"Pernah!"

"Tapi Anda bilang dia pendiam. Apa yang kalian bicarakan kalau begitu?"

"Itu ... soal..."

"Ya?" Sengaja bicara dengannya layaknya bicara dengan anak-anak, Irene menguji seberapa lama dia akan bertahan hingga kehilangan kesabaran. "Tidak apa-apa, tuan Yoon, pikirkan saja pelan-pelan."

Juyeon melotot bengis. "Saya tidak ingat."

"Tidak ingat?" Irene mendongak pada pria itu dengan tampang terkejut. "Bagaimana dengan perihal biaya sekolah? Apa Anda ingat darimana Anda mendapat informasi itu?"

"Shin yang mengatakannya setelah berdebat dengan si anak baru."

"Nam Shin mengeluh karena ia harus membiayai Jisung?"

Juyeon mengusap wajahnya, marah pada dirinya sendiri karena sudah dibodohi Irene. "Bukan begitu maksud Saya."

"Jadi maksud Anda, Anda hanya mengetahui hal itu dari pihak Shin saja?"

Pria itu tak punya apapun untuk dikatakan.

Namun Irene bersikeras menginginkan jawaban. "Ya atau tidak?"

Terpaksa, Juyeon mengangguk kaku bagai boneka yang lehernya digerakkan tali.

Lubang jebakan dibuat hanya untuk satu tujuan; menjebak seseorang. Dalam ruangan sidang itu, ada yang tidak memperhatikan langkahnya dan terperosok jatuh.

Tapi jelas, bukan Irene orangnya.

10 menit berikutnya, dia mempermainkan Juyeon, membuatnya membeberkan sendiri selemah apa pernyataannya hingga di akhir sesinya, Juyeon kemungkinan menyesal datang.

Baru awal dan Han sudah geram.

Irene tidak sabar menonton reaksinya saat ia mengundang saksi pertamanya nanti.

Dokter Mark Lee.

Itu yang di mulmed sebenernya spoiler buat kemunculan Mark chings 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top