44. Now, We'll Be Okay
Suho masuk dengan mantel cokelat muda dan wajah rupawan yang membuat ruang sidang rasanya berubah menjadi panggung untuk menyambut seorang bangsawan.
Hari ini, gayanya santai.
Dia membiarkan rambutnya yang tidak melewati batas leher itu bebas dari gel sehingga saat ia bergerak, poninya sekilas menyapu mata dan Irene menahan napas karenanya. Menurut Irene, lucu bagaimana poni saja berpengaruh besar. Saat poninya tersingkap, dia terlihat dewasa. Tapi saat poni itu menutupi dahinya ... Irene yakin imut adalah kata yang tepat. Apa ini? Kekuatan dari sebuah poni?
Bibir Irene melengkung membentuk senyum sebelum ia menyadarinya.
Dan, Suho membalas senyumnya.
Suho duduk di kursi saksi. Tidak ada ketegangan atau perasaan gusar, dia sepenuhnya tenang menghadapi Han.
Mereka saling berhadapan; seorang polisi dan jaksa yang masih menyimpan konflik internal, dan Irene bertanya-tanya apakah Suho masih mengingat penghinaan Han di rumah sakit.
Kalau dia, dia takkan pernah melupakannya.
"Sebutkan nama Anda."
Tidak ada 'tolong'? Irene nyaris tersenyum lagi karena dia tahu Han sengaja. Tolong memang hanya sebuah kata, tapi itu bukan kata biasa. Saat dihilangkan, kalimat Han jadi terkesan seperti perintah.
"Kim Suho." Tapi Suho tetap sopan, seakan ingin menunjukkan betapa berbedanya mereka.
"Pekerjaan Anda?"
"Saya detektif yang bertugas dengan petugas Lee Youngjin, menangani kejadian di apartemen Ahyeon."
"Kalian tiba di saat yang bersamaan?"
"Ya. Tapi Saya masuk lebih dulu karena Saya mengenali Lee Taeyong, sedangkan rekan Saya menghalau tetangga yang berusaha melihat-lihat."
"Apa yang pertama kali Anda saksikan?"
Jebakan terpasang, dan Suho yang mengerti melangkah dengan waspada. Pertanyaan yang diajukan di ruang sidang layaknya meletakkan seseorang di ladang penuh ranjau dan kalau tidak hati-hati, kau hanya akan mempermalukan dirmu sendiri. "Taeyong di lantai bersama Shin. Winwin memberikan penjelasan. Dan Jisung bersandar di dinding."
"Jadi yang terdekat dengan korban adalah terdakwa?"
"Benar."
"Apa yang dilakukan terdakwa waktu itu?"
"Dia ... seingat Saya Lee Taeyong diam saja. Dia duduk di samping Shin, menyentuh lehernya."
"Mencekiknya?"
Spekulasi ngawur itu membuat Irene terkesiap dan Suho mengernyit. "Saya yakin bukan itu yang terjadi, jaksa. Lee Taeyong hanya memeriksa denyut nadinya. Saya melihatnya dengan jelas dan Saya pasti akan menghentikannya kalau dia melakukan itu."
"Apa maksud Anda dengan 'hanya memeriksa denyut nadi'?"
Berputar-putar, mengulang-ulang apa yang sudah dikatakan一Irene mengenalinya sebagai trik kecil Han untuk memojokkan saksi dengan harapan mereka kelepasan bicara dan mengatakan hal-hal yang dia mau.
Han menggiring saksi dengan keahlian seorang peternak mengarahkan domba ke kandangnya. Pintar. Pengalaman menjadi guru, dia mahir dalam hal ini.
"Saya kira maksud Saya sudah jelas. Memeriksa denyut nadi ya ... memeriksa denyut nadi. Itu saja."
"Jadi terdakwa tidak berusaha menolong korban?"
"Kita tidak bisa mengharapkan Lee Taeyong melakukan itu. Dia tidak punya keahlian apapun dalam bidang medis."
"Kita tidak perlu jadi dokter untuk bisa menutup sumber luka demi menghentikan pendarahan kan?"
Dengan berat hati, Suho mengangguk. "Ya."
"Jadi dia tidak berusaha menolong korban? Tegaskan pada kami, detektif."
"Tidak..."
"Apakah terdakwa menunjukkan penyesalan atas perbuatannya?"
"Tidak."
Kata 'tidak' yang terbaru lebih tegas dari sebelumnya, lebih yakin dan lebih kukuh. Tanpa disadari bahwa kata itu telah menggali sebuah lubang di hati Irene yang sempat berpikir ini dia, ini pria yang punya kesempatan untuk jadi lebih dari sekedar teman untuknya.
Apakah Irene salah menilai Suho?
Selama sesaat, Han tersenyum penuh kemenangan. Namun secepat senyum itu muncul, secepat itu pula Suho membuatnya memudar.
"Tapi menurut Saya, ini berkaitan dengan pendirian. Bagi Taeyong, Shin adalah pelaku penyiksaan anak, jadi saat Shin meninggal, dia tidak merasa bersalah. Sebagai perbandingan, kita tidak akan merasa kasihan saat ada bandar narkoba yang dieksekusi mati, kenapa? Karena kita yakin dia sudah merugikan masyarakat dan pantas menerima hukuman. Prinsip yang sama berlaku untuk Taeyong. Ini tidak berarti dia tidak punya hati nurani atau semacamnya."
Masih duduk tenang seperti malaikat yang penuh pesona dan kharisma, Suho kembali tersenyum.
Mungkin ada domba yang terlalu cerdik untuk bisa ditundukkan.
Mungkin ada polisi yang sudah sebegitu berpengalaman sehingga bisa selamat melewati ladang ranjau yang disiapkan Han.
Irene hampir cekikikan. Semudah itu, Suho membalut hatinya sebelum hati itu terluka. Mengisyaratkan bahwa dia berbeda dengan saksi Han yang lain, Suho terlalu terhormat dan punya banyak akal sehat.
"Jaksa?" Ketika Han diam saja, terpaku oleh gelombang keterkejutan yang belum reda, Kyungsoo memanggilnya. "Anda sudah selesai?"
Han menggeram dan nyaris saja membentak sang hakim. "Belum! Maksud Saya, belum, Yang Mulia." Ulangnya lebih halus. "Detektif Kim, Saya punya pertanyaan terakhir untuk Anda."
"Saya mendengarkan."
"Apakah semua pernyataan Anda ini sepenuhnya obyektif, tidak terpengaruh oleh perasaan pribadi Anda?"
Suho menggaruk bagian samping dahinya. "Saya tidak memahami pertanyaan Anda."
Main-main, seolah itu tidak berarti, Han menggelindingkan sebuah bola fakta yang menghebohkan. "Bukankah Anda dan pembela berkencan?"
Kyungsoo menyangga dagunya untuk kedua kalinya setelah sebelumnya bersedekap. Tatapan penuh selidik itu menjelajahi Irene dan Suho bergantian seakan sedari tadi mereka mengenakan topeng. Ketidaksukaan Kyungsoo pada kejutan sama tersohornya seperti kegemarannya pada kopi kalengan.
Dapat, Han bisa dibilang memperoleh tendangan penalti.
Akhirnya terusik, Suho pun berdiri. "Saya menjunjung tinggi profesi Saya lebih dari apapun. Memang benar saya dan pembela berkencan, tapi Saya memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan."
"Ah, tapi tidak ada yang tahu betul soal itu kan? Sulit memastikan kebenarannya."
Suho memandang Han cukup lama sampai bila orang lain yang melakukannya, akan terasa tidak nyaman. "Menyeret hal pribadi ke ruang sidang padahal jelas itu tidak ada hubungannya. Menurut Saya, Anda adalah satu-satunya orang yang tidak profesional di sini."
Bola ditendang, tapi kiper berhasil menepisnya.
Skor imbang untuk Suho dan Han.
Ketika Kyungsoo mengalihkan giliran bertanya padanya, Irene sedikit limbung.
Langkahnya goyah dan kepalanya mendadak kosong. Pertanyaan yang ia siapkan hanyut di sungai kekaguman akan sosok Suho yang sekarang. Apa yang terlintas di benak Irene hanyalah bagaimana cahaya lampu yang jatuh mengenai wajah Suho membuat matanya seakan bersinar-sinar.
Peduli setan mengenai pendapat orang-orang yang saat ini memandangnya seperti orang melepaskan anak panah. Itu tidak penting. Tidak ada yang penting lagi.
"Detektif Kim." Sebutan itu terasa aneh dan asing di lidahnya.
"Ya?"
Tampan. Tampan sekali. Suho bicara dengan intonasi dan nada yang lebih lembut, seperti saat mereka makan di restoran. Dengan pakaian itu, sebenarnya mereka bisa saja langsung pergi dari sini dan melanjutkan kencan mereka yang sempat terputus di tengah jalan. Mereka bisa pergi, berpura-pura tidak ada masalah sama sekali.
Sesaat, ilusi itu teramat kuat hingga Irene harus menggeleng dan mengingatkan diri di mana ia berada.
"Pertanyaan pertama Saya adalah." Untuk pertama kalinya hari itu, dia membawa kertas agar tetap fokus. "Anda tadi berkata bahwa Anda langsung masuk ke unit 92 karena mengenali Lee Taeyong. Apa kalian pernah bertemu?"
"Bisa dibilang kami teman baru."
"Sebelum atau sesudah penahanan?"
"Sebelum."
"Di mana tempatnya?"
"Rumah sakit."
"Apa yang dilakukan Lee Taeyong saat itu?"
"Dia dan Winwin一temannya一membawa Jisung ke rumah sakit karena sejumlah luka."
"Bukan sakit?"
"Sama sekali bukan. Itu luka penganiayaan. Saya yakin karena Saya sudah sering menangani kasus kekerasan anak." Suho membasahi bibirnya. "Lebih sering dari yang Saya mau, dan ini membuat Saya prihatin."
Kertas selanjutnya di balik. "Apa Anda bicara dengan Lee Taeyong?"
"Saya berbicara dengan ketiganya. Dari Winwin, Saya tahu bahwa Taeyong adalah orang pertama yang berinisiatif menolong Jisung."
"Bagaimana dengan Jisung?"
"Jisung tidak banyak bicara. Dia keras kepala dan kami tidak menemukan solusi atas masalahnya karena dia tidak mau melapor." Suho melirik Han, meminta tanpa kata agar Irene mengungkit kemunculan pria itu.
Namun Irene justru mengganti topik. Dia punya rencana lain dan berniat menghajar Han bersama saksi dari pihaknya. "Apa kesan pertama Anda tentangnya?"
"Dia terlihat ... sedih. Gamang seperti remaja pada umumnya sekaligus bingung karena pelaku adalah orang terdekatnya."
"Apa dia menyebut-nyebut nama Shin?"
"Selain dari cerita Winwin, tidak. Tapi dari cerita itu, Saya tidak mendapat kesan yang positif tentang Shin."
Winwin akan menjelaskannya besok, jadi Irene kembali mengganti topik. "Apa Shin datang menemui Jisung di rumah sakit?"
"Tidak."
"Ibunya?"
"Tidak juga. Hanya ada Taeyong dan Winwin yang menemaninya, dan Saya baru ingat waktu itu Winwin bilang dia tidak punya keluarga lain."
"Berikutnya, detektif Kim." Irene berdeham. "Seperti apa sikap Lee Taeyong sewaktu ditahan?"
"Saat itu dia pingsan. Tapi sebelum kesadarannya hilang, dia tidak berusaha melawan Saya."
"Apakah dia pernah mencoba melarikan diri?"
"Tidak. Tidak pernah. Dia bersedia bekerja sama dan menjawab pertanyaan Saya dengan baik."
"Apakah sikap yang sama dia terapkan di rumah sakit?"
Suho tersenyum simpul. "Benar. Dia tidak membuat masalah sedikitpun."
Irene membolak-balik halaman kertasnya, mencari-cari catatan fakta menarik yang diceritakan Taeyong di hari pertama ia dan Jisung mengunjunginya di Lapas. "Namun, detektif, memang ada masalah di rumah sakit kan? Saya dengar itu melibatkan rekan Anda."
"Ya. Namanya Goo Bong Joo. Dia petugas yang Saya tugaskan untuk mengawasi Taeyong."
"Apa yang terjadi padanya?"
Melirik pun tidak, Suho membicarakan Han seolah pria itu tidak ada di ruangan yang sama dengan mereka. "Jaksa Han datang di hari Nam Shin meninggal dan memprotes karena Lee Taeyong belum ditahan. Rekan Saya sudah menjelaskan bahwa penahanan tidak bisa dilakukan tanpa surat perintah, tapi dia tidak mendengarkan dan malah memukulnya."
"Apa petugas Goo terluka?"
"Dia harus mendapat perawatan meski cederanya ringan."
"Apa yang dilakukan jaksa Han setelah itu?"
"Berusaha menyerang Taeyong, tapi Saya mencegahnya dengan membawanya pergi dari sana. Perbuatannya melanggar hukum dan dia harus bertanggung jawab, tapi petugas kami tidak mau memperpanjang masalah itu dan dia bersedia membayar denda."
"Apakah jaksa Han meminta maaf pada petugas Goo?"
"Tidak."
Han murka, tidak sekedar marah. Dia sudah membuat Lee Youngjin mengoceh tentang perbuatannya yang mengganggu investigasi, dan hal yang sama ia ungkit sekarang tapi dirinya tak bisa membantah atau melakukan apa-apa.
Kyungsoo tidak bodoh. Antara menghambat penyelidikan dan menyerang petugas, dia pasti tahu mana yang lebih fatal.
Irene menengadah pada sang hakim, dan tersenyum begitu lebar sampai pipinya membentuk 2 bola kecil yang merona tidak hanya karena sentuhan blush on. "Sekian dari Saya, Yang Mulia."
Hari pertama sidang berakhir.
Taeyong, yang sepanjang hari mencoba terlihat tidak peduli, menghembuskan napas lega. Kakaknya ibarat dinding, menghadang hal buruk apapun yang dilemparkan jaksa padanya dan sejauh ini, upayanya berhasil. Dinding itu terlampau kokoh, terlalu kuat untuk diruntuhkan dengan rentetan omong kosong.
Pada saat sidang selesai, Taeyong merasa rileks. Dia tahu dia telah meletakkan nasibnya pada orang yang tepat一pengacara mata duitan yang sekali ini rela tidak dibayar.
Seorang petugas dari Lapas kemudian mendekatinya, berperan sebagai jemputan yang tidak diharapkan. Petugas itu kembali memborgolnya, melingkarkan sepasang besi dingin ke tangannya. Begitu terpasang, praktis pergerakan Taeyong terhambat.
"Besok aku dateng lagi." Irene menghibur disertai tepukan di bahunya. "Bawa sarapan enak."
Taeyong mengangguk, menatap satu persatu orang yang mendukungnya, yang beberapa berasal dari lingkaran pertemanan barunya di Ahyeon; Joy, Winwin, Suho, dan Jisung yang tampak sama tidak sukanya dengannya saat menatap borgol.
Taeyong tertawa. "Ikut Joy sana." Pukulan pelan yang lebih mirip tepukan mendarat di kepala Jisung. "Potong rambut."
Sebelum Jisung menjawab, Taeyong sudah ditarik menuju mobil, dipaksa berjalan lebih cepat dan semakin cepat keluar dari ruang sidang.
Segalanya normal一relatif normal menilik situasinya. Irene mengikutinya dari belakang, enggan melepaskan sampai ia hilang dari pandangan. Matahari bersinar cerah. Musim dingin ya terasa dingin. Segalanya normal, sampai Taeyong yang menunduk karena hujan salju mendengar sebuah suara yang membuatnya terpaku di tempatnya.
"Halo, Taeyong."
Getaran tidak nyaman menjalari tubuhnya. Bukan terkejut, perasaan malulah yang membuat Taeyong mendongak dengan gerakan yang bagai diperlambat.
"Kaget, ya?"
Bahkan para polisi di sampingnya tidak kuasa memaksanya mengayunkan kaki. Taeyong tetap di sana. Menolak sekaligus ingin pergi dari gadis yang kini mendekat padanya dengan langkah-langkah pasti.
Seulgi tiba di hadapannya. "Kenapa?" Tanya gadis itu. "Kamu nggak dateng ke bioskop?"
Kepala Taeyong sudah akan berpaling pada Irene tapi Seulgi mencegahnya. "Aku mau denger alasannya dari kamu sendiri."
Namun Taeyong membisu walaupun tahu ia harus mengatakan sesuatu.
"Aku nunggu kamu 2 jam di sana. Aku kira kamu sakit atau kecelakaan. Kenapa kamu malah main-main di penjara?"
Suho muncul, mengatakan sesuatu pada petugas yang bersamanya dan mereka menjauh, memberi privasi. Irene juga. Hingga hanya tersisa dirinya dan Seulgi di tengah guyuran salju minggu pertama bulan januari.
"Aku udah milih filmnya lhoh." Jelas sekali bagi keduanya tawa Seulgi penuh kepalsuan. "Aku ngabisin popcorn banyak banget sambil nunggu kamu, kayak orang bego."
Taeyong masih diam. Dia ingin sembunyi, tidak mau Seulgi tahu keadaannya yang sekarang. Taeyong ingin kabur, kemana saja asal Seulgi tidak melihat gelang barunya yang jelek dan menyedihkan.
"Taeyong?"
"Maaf." Itu kata pertamanya, sedangkan kata keduanya, "Maaf..."
Seulgi berdecak, menghadiahi bahunya satu tinjuan keras. "Bego! Kamu sengaja bikin aku nunggu, ya?"
"Nggak." Taeyong menggeleng, nyengir sebisanya. "Buat apa aku ngelewatin makanan gratis?"
Seulgi yang pernah berjanji akan membeli popcorn itu memberengut padanya. "Masih bisa bercanda?!" Tapi kemudian dia tertawa, lebih tulus. "Kamu ngapain sih di penjara?"
"Noona udah jelasin semuanya kan?"
Seulgi mengangguk.
"Ini cuma sementara." Setidaknya Taeyong berharap keadaan ini memang sementara. "Nanti aku balik. Kita ke bioskop 3 kali dan aku yang traktir semuanya."
"Tiket, biaya parkir, popcorn, minuman..."
Taeyong mengiyakan. "Semuanya."
Mata indah Seulgi digenangi air mata yang mendesak keluar dan akhirnya menitik juga ketika ia berkedip. Gadis dengan julukan Seulbear itu maju, tangannya terulur dan menggapai Taeyong ke dalam pelukannya. "Awas kalau bohong ya..."
2 insan itu sejenak melebur dalam pelukan yang mengikat mereka menjadi satu. Amat hangat, salju seakan bisa terbakar.
2 pasangan sekaligus, menurut gua ini part yang paling uwu di sejarah NASI 🤧 Tapi besok kita serius lagi, kita ketemu saksi Irene ya 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top