43. Perihal Mengurus Anak
Irene pernah berhadapan dengan orang-orang seperti Kang Yoon sebelumnya.
Tidak hanya dalam drama, mereka juga sering muncul di ruang sidang. Mereka, orang-orang yang mengetahui suatu kebenaran tapi memilih membungkusnya dengan dusta一tak punya kesetiaan, lebih-lebih lagi harga diri.
Pada dasarnya, Irene percaya semua orang itu baik. Tidak satu orang pun terlahir jahat, kerasnya hiduplah yang mengubah sebagian orang menjadi lebih iblis dari iblis sendiri. Semakin kita dewasa, tampaknya batas antara yang benar dan yang salah jadi kian memudar, jadi setipis kertas yang gampang terbakar.
Penilaian kita pada 2 hal itu mudah goyah, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah kebutuhan materi. Kita harus hidup. Dan untuk hidup, kita butuh uang. Tapi untuk mendapatkan uang, kadang kita perlu mengucapkan kebohongan. Itu rantai setan yang sulit terputus; sekali kau berbohong, kau akan menciptakan kebohongan-kebohongan lain.
"Yang sebenarnya terjadi adalah, Jisung一Saya ulangi, Jisung一ditabrak seorang pria di depan minimarket itu. Memang ada yang mabuk, tapi bukan Taeyong, melainkan orang yang menabrak Jisung tadi. Taeyong datang untuk menolong karena pemabuk itu mengatakan kalimat-kalimat kasar yang一" Irene tersenyum pada Yoon. "Secara ajaib salah diingat oleh saksi kita ini keluar dari mulut Taeyong."
Duduk di kursi saksi, gusar tidak hanya karena berbohong tapi juga penyampaian Irene yang lebih meyakinkan, Yoon dengan keberanian yang menyedihkan membantah, "Bukan seperti itu kejadiannya."
"Maafkan Saya atas kata-kata ini, tapi Anda tidak punya bukti atas cerita versi Anda."
"Anda juga tidak punya," sambung Han sengit, kebencian berkobar di matanya. "Tidak ada bukti yang membenarkan cerita Anda yang mungkin didasari atas kasih sayang itu!"
"Lebih tepatnya," ralat Irene. "Saya belum punya. Saya bisa mendapatkan rekam medis Taeyong yang akan memberitahu Anda bahwa dia hanya pria culun yang tidak bisa minum segelas alkohol pun tanpa masuk rumah sakit."
"Apa yang menjamin dia tidak akan minum?"
"Rasa bencinya pada makanan rumah sakit," jawab Irene luwes. Tanpa keraguan, tanpa jeda yang akan membuat Kyungsoo berpikir itu adalah alasan karangan. "Nah," Dia berbalik pada Yoon. "Begitu kejadian aslinya kan?"
"Tidak..." Tapi setelah dinanti, Yoon tidak mengucapkan apa-apa lagi.
Irene mendorong anak rambutnya yang terlepas dari ikatan ke balik telinga. "Anda tidak mau mempertimbangkan ulang pernyataan Anda?"
"Tidak. Lee Taeyong memukul orang yang menabraknya. Saya yakin itu."
"Ah," desah Irene. "Saya tidak bangga mengakui ini, tapi Taeyong memang memukulnya. Lagi-lagi ini soal alasan. Meski caranya salah, Taeyong memukul seseorang karena berniat menolong Jisung, bukan memukul seseorang karena mabuk. Kedua hal itu sangat berbeda."
"Tapi itu tetap saja kekerasan kan?"
"Benar. Dan dusta tetap saja dusta meski ditambah sedikit kebenaran." Sebelum Han sempat menyuarakan keberatan, Irene dengan cepat mengganti topik. "Pertanyaan selanjutnya, berapa lama Anda bekerja di minimarket?"
"Beberapa bulan."
"Siapa bos Anda kalau boleh tahu? Manajer di tempat itu?"
Yoon membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Tidak ada kata, tidak ada nama. Dia bungkam, mematung di kursinya.
"Tuan Yoon," tegur Kyungsoo. "Tolong jawab pertanyaan itu."
Yoon memejamkan matanya beberapa saat. "Nam Shin."
"Nam Shin yang sedang kita bicarakan?"
"Ya."
"Menarik sekali!" Pekik Irene dengan suara yang dibuat-buat kaget. "Kebetulan yang serasi! Saya mungkin membuat pernyataan Saya atas dasar kasih sayang, tapi siapa yang bisa menjamin saksi kita tidak membuat pernyataan atas dasar rasa setia kawan atau semacamnya? Bisa saja kan, dia mendapat promosi setelah ini?"
"Keberatan!" Han berdiri. "Tidak relevan, Yang Mulia!"
Kyungsoo mengelus gagang palunya tapi tidak mengetukkan benda itu. "Diterima. Pembela, ingat apa yang Saya katakan pada Anda."
"Maafkan Saya," ujar Irene, mengarahkan kalimat itu pada Kyungsoo dan hanya pada Kyungsoo. Bukan Yoon atau Han. "Saya akan pindah ke topik lain, kalau begitu. Jadi Shin adalah bos Anda, ya?"
"Benar."
"Apa Anda mengenal Jisung?"
Yoon refleks memandang Jisung yang balik memandangnya di bangku depan. "Saya pernah beberapa kali melihatnya."
"Bagaimana hubungannya dengan Shin?"
Maksud pertanyaan tersebut jelas, dan Yoon langsung menyanggah tuduhan yang belum terucap itu. "Shin tidak pernah melakukan kekerasan apapun padanya. Dia sosok ayah pengganti yang baik."
"Benarkah? Bisa tolong sebutkan contohnya?"
Yoon mengambil lebih banyak jeda untuk berpikir, hampir semenit penuh. "Shin biasanya membawakan dia makanan. Terakhir kali, Shin membelikannya bubur saat dia sakit."
"Tapi kita tidak tahu pasti bubur itu masuk ke perut Jisung atau tidak, bukan?"
"Benar."
"Ada contoh lain? Perlakuan yang mengindikasikan dia 'ayah pengganti yang baik', seperti istilah Anda?"
"Dia ... Shin ... Eh一" Yoon kesulitan menyelesaikan ucapannya. Berakhir dengan berdeham-deham layaknya orang yang terkena radang tenggorokan.
"Sungguh ayah pengganti yang sangat baik." Seloroh Irene dengan wajah datar. "Sekian dari Saya, Yang Mulia."
Sidang ditunda selama 30 menit untuk makan siang.
Di luar, matahari menjanjikan hari yang bagus meski salju masih terus gugur. Orang-orang merapatkan mantelnya menahan gempuran hawa dingin, termasuk seorang pria dengan wajah sebal yang membuka pintu Jeep-nya dengan kasar. Jeep itu terparkir di dekat sebuah mobil hitam mengkilap yang elegan, lantas setelah terbuka, dia menyalakan pemanas dan minggat secepatnya dari gedung pengadilan.
Tapi Irene tidak.
Ada saksi lain. Ada perdebatan lain. Dia tertahan di sini, terikat dengan tempat ini, sampai Kyungsoo mengetukkan palu dan mengumumkan keputusannya. Irene memikirkan lalat dalam jeratan jaring laba-laba, dan bertanya-tanya apakah dia sudah menjadi seperti itu, sebab untuk pertama kali dalam hidupnya, pekerjaan ini membuatnya takut.
Suara yang kemudian menyambangi telinganya hanya membuat perasaannya semakin buruk, tidak keruan dan semakin kusut. "Mana Jisung?"
"Makan," jawab Irene tanpa menoleh. "Apa mau kamu, Jinwoo?"
"Apa sekarang anak nggak boleh ketemu sama ayahnya?" Balik bertanya, Jinwoo mengomel tidak senang. "Dia makannya banyak, pasti biaya nginepnya mahal kan?"
"Kalau maksud kamu apa aku bakal minta ganti rugi, itu nggak akan terjadi." Uap dingin mengalir keluar dari bibir Irene seiring dengan tubuhnya yang meninggalkan kehangatan dan ketegangan ruang sidang, beserta konflik yang sementara tertunda di sana.
Tadi, Jinwoo tahu-tahu menghadang mereka saat akan kembali ke ruang pertemuan. Dia memerintah一bukan meminta一pada Jisung untuk bicara dengannya menggunakan nada menuntut seolah sedang berhadapan dengan bawahannya.
"Jisung, ayo ngomong sama ayah sebentar."
Tidak hanya Jisung yang terkejut karena Jinwoo tidak segera pulang dan mengurus bisnis apapun yang ia prioritaskan, tapi juga Irene dan一terutama一Winwin yang sampai ternganga lebar. Kehadirannya yang tidak diharapkan siapapun membuat semua orang melongo dengan bibir terkunci rapat.
Hanya Irene, yang dapat segera pulih dan mengendalikan situasi. Dia meminta Jisung membantu Joy mengeluarkan makanan yang sudah ia persiapkan dari mobil dan makan lebih dulu, sementara dirinya menghadapi Jinwoo berbekal sebuah kertas yang terlipat 3 kali di sakunya.
"Tunggu sampai dia masuk sekolah." Jinwoo terkekeh geli. "Siapa yang bilang di ruang sidang itu kalau biaya sekolahnya mahal?"
"Aku punya uang." Tanpa bermaksud sombong, Irene memaparkan sebuah fakta. "Gaji pengacara nggak kalah dari direktur kayak kamu, dan aku bangga sama gaji itu karena aku nggak pernah ngegusur usaha orang buat bangun mall."
"Tahu apa kamu soal pembangunan mall? Asal nyimpulin dari analisis sampah di koran?"
Irene memasukkan tangannya ke saku celana, merasa nyaman hanya dengan menyentuh tekstur kertas yang ada di situ. "Apa mau kamu, Jinwoo?"
Tersinggung karena Irene tidak kunjung menatapnya, Jinwoo mendengus. "Jisung. Dia nggak bisa tinggal sama kamu selamanya."
"Kenapa nggak?"
"Karena dia masih punya orang tua."
"Ayah yang ninggalin dia setengah tahun?"
Di luar atau di dalam ruang sidang, Irene masih punya kekuatan untuk membungkam Jinwoo dengan telak. "Itu masa lalu. Mau gimanapun, aku ayahnya, dan kamu cuma orang asing."
"Orang asing ini." Irene menunjuk dadanya sendiri. "Udah ngurus anakmu waktu kamu sibuk sama bisnis sialanmu, dan aku bisa terus ngurus Jisung. Kamu nggak usah khawatir, aku nggak bakal mukulin dia一aku bukan Shin."
"Ngurus anak itu nggak gampang."
"Masa?" Irene memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Pantes kamu gagal."
Tidak ada balasan dari Jinwoo. Pebisnis itu kelewat syok. Tidak bisa bicara ataupun kalau bisa, kata-katanya akan terbawa angin yang juga menyengat kulit mereka yang tidak tertutup pakaian.
"Denger," sambung Irene, akhirnya berbalik juga untuk bertatap muka dengan lawan bicaranya. "Aku nggak tahu Han udah ngadu apa sama kamu, tapi aku serius, Jinwoo. Aku nggak keberatan tinggal sama Jisung. Aku sama Taeyong beda 4 tahun, dan aku bisa ngurus dia tanpa bantuan orang tua. Satu adik lagi nggak masalah buat aku."
"Dia ... Jisung ... Nggak ngerepotin?"
"Sama sekali nggak." Tapi kemudian Irene mengernyit. "Kecuali waktu main game. Dia bikin backsound sendiri dan agak terlalu semangat kalau udah ketemu game."
Bahkan Jinwoo, yang dari luar terlihat tanpa humor dan kaku, menganggapnya lucu dan tersenyum. "Cowok. Biasalah." Dia menghela napas mengenang kebiasaan putranya, disertai senyum kecil. "Dia baik. Dia dari dulu baik."
"Dan dia layak dapet kehidupan yang baik juga setelah semua yang dia alami kan? Apa, ya? Istilahnya, happy ending."
Jinwoo menyetujuinya dengan anggukan. "Bener, tapi ... kenapa kamu peduli sama dia?"
Ada banyak alasan yang bisa Irene susun untuk pertanyaan itu, dan sambil memikirkannya, dia menyibukkan diri dengan menghirup bebauan di sekitarnya; aroma lembut salju, aroma manis roti yang ditenteng seseorang yang melintas di dekat mereka, serta aroma parfum Jinwoo sendiri yang menyengat hidung. Lalu Irene sadar, alasannya memang banyak, tapi hanya ada satu jawaban. "Nggak ada. Kalau ada alasannya, justru namanya nggak tulus."
"Gimana kalau nanti kamu bosen sama dia?"
"Bosen?"
Jinwoo tidak menggubris pertanyaannya. "Atau dia sakit dan butuh biaya besar? Dia bisa aja bikin kamu marah dan kamu nyesel ngasih dia tempat tinggal."
"Aku bisa ngatasin itu," kata Irene yakin. "Aku sama Taeyong sering berantem gara-gara hal sepele, saling ejek. Dan kalau Jisung bikin aku kesel, aku masak sayur seminggu biar dia kapok."
Jinwoo menggaruk ujung alisnya dengan bantuan jari telunjuk. "Ngomong emang gampang."
"Aku udah buktiin itu beberapa hari ini." Irene mengingatkan "Sebelumnya dia juga tinggal sama aku di rumah Taeyong."
"Dia seneng? Bahagia?"
Jawaban yang ditawarkan Irene teramat sederhana. "Waktu ibunya meninggal, aku takut mentalnya terganggu dan aku mulai cari psikiater buat dia, tapi nggak ada tanda-tanda trauma serius. Jisung bisa tidur nyenyak, ketawa sama Joy, dan nafsu makannya normal. Jadi kalau kamu tanya apa dia bahagia? Menurutku jawabannya iya."
"Dia masih nggak banyak omong."
Irene tersenyum. "Itu butuh proses, Jinwoo. Kamu kira bikin seseorang ceria lagi kayak nyeduh ramen?"
"Tetep aja." Jinwoo membantah. "Ngurus anak itu nggak gampang."
"Aku bakal ambil tanggung jawab itu dari kamu." Irene mengeluarkan kertas yang sejak tadi pagi, bersemayam di sakunya, terlindung dari guyuran salju dan mata orang lain. "Jangan tersinggung, tapi dari keterangan kamu waktu sama Han, kamu jelas nggak siap punya anak. Itu bisa jadi solusinya."
"Apa ini?"
Sesosok bayangan tinggi menghampiri mereka dengan cepat. Kemeja flanel merahnya mencolok di antara lanskap putih gedung pengadilan. Rona penasaran di wajahnya tidak bisa disamarkan menengok Jinwoo tengah membaca kertas dengan 3 kata pertama di bagian atasnya berbunyi, "SURAT PERNYATAAN PENYERAHAN..."
Tulisan selanjutnya terhalang oleh jari Jinwoo.
Pria itu terpana, memandangnya dengan mata terbelalak kaget. "Kamu yakin soal ini?"
"Pertanyaan itu harusnya buat kamu." Irene mengangkat kedua bahunya santai. "Kamu nggak harus jawab sekarang. Kirimin surat itu nanti ke alamat rumah aku." Dia diam sejenak. "Kalau kamu mau sedikit aja berbuat baik sama anakmu sendiri, kamu pasti tandatanganin itu."
"Tapi一"
Tapi apa yang hendak Jinwoo sampaikan disela oleh kehadiran Jisung di samping mereka, yang terheran-heran saat ayahnya buru-buru memasukkan kertas yang dipegangnya ke saku celana. "Ada apa?"
"Gosipin kamu." Sifat iseng Irene bangkit lagi dan dia mengacak-acak rambut Jisung yang belum juga di potong. "Kamu udah makan?"
Tiba-tiba Jisung tersenyum, lebar sekali. "Kak Taeyong sama Kak Joy lagi lomba makan. Katanya, kalau Kak Irene nggak dateng 5 menit lagi, mereka bakal ngabisin semuanya."
"Wah, dasar kunyuk tukang makan!" Irene bergegas menuju ruang pertemuan, bersungut-sungut sepanjang perjalanannya, dengan omelan tambahan akan menghajar mereka kalau kehabisan makanan yang ia masak sendiri.
Irene meninggalkan Jisung bersama Jinwoo一2 orang yang secara genetik terhubung dekat tapi terpisah jauh yang tidak berkaitan dengan jarak.
Tepat pada waktu yang sudah ditentukan Kyungsoo, semua orang kembali ke ruang sidang dengan perut yang lebih terisi.
Taeyong lebih ekspresif lagi; dia sempat bersendawa sebelum Irene一yang tidak sepenuhnya kenyang一memukulnya. Makan siang yang enak memperbaiki banyak hal; suasana hatinya, tekadnya, bahkan Winwin yang grogi setengah mati pun tersenyum saat dia menjewer Taeyong dan Joy bergantian.
Saksi selanjutnya dipanggil.
Pria itu adalah rekan Yoon, bertubuh lebih kecil dan pendek. Tapi dia telah manambal lubang yang dibuat Yoon dengan berkata dia pernah memergoki Shin memberi sejumlah uang pada Jisung.
Selama hampir 30 menit yang menjemukan, Jo Sihoo memuji-muji Shin setinggi langit hingga di akhir pidatonya, Shin terkesan seperti bukan manusia, melainkan malaikat.
Lee bersaudara bosan. Kyungsoo bosan. Semua orang bosan. Han benar-benar bekerja keras dalam kasus ini dengan mengundang banyak saksi demi menciptakan image positif bagi Shin.
Lalu, tibalah saksi berikutnya yang berpenampilan paling rapi sekaligus punya wajah paling tampan menurut Irene.
"Saya memanggil Kim Suho."
Han punya 6, kalo Irene cuma 5. Jadi silahkan tebak2 sendiri siapa saksi terakhir Han dan siapa aja saksinya Irene ya 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top