42. Hurt Me Once, I'll Kill You Twice

Katanya, Suho itu rekannya.

Tapi dari segi fisik, Lee Youngjin dan Suho sangat berbeda. Youngjin mirip buldozer; tinggi dan besar. Gumpalan otot yang akan menumbuhkan ketakutan pada penjahat manapun yang ia tangkap, punya senyum menyebalkan, serta kombinasi pakaian yang memerlukan evaluasi fashion.

Dan sebagai informasi tambahan, dia pandai sekali bicara. Pastinya, tidak sekali dua kali diminta bersaksi telah mengajarinya bahwa kesaksian yang dibubuhi kalimat-kalimat sopan akan lebih diserap hakim daripada kata-kata emosional yang disertai teriakan.

Saat Irene mengambil gilirannya bertanya, dia terlihat sangat mungil di hadapan pria itu, mempertegas tinggi badannya yang oleh Joy dijuluki "mini".

"Petugas Lee Youngjin, Anda masih ingat Saya kan?"

Keduanya sama-sama memakai topeng sekarang; tersenyum ramah pada satu sama lain dan menyembunyikan kejengkelan yang masih bercokol dalam dada. "Ya. Kita bertemu di ruang interogasi."

"Saya merasa bersalah karena tidak sempat meminta maaf. Mencoba menerobos TKP yang belum diselidiki bukanlah sikap yang patut dicontoh, bukan?"

"Tepat sekali."

"Tapi apakah ada yang benar-benar Saya rusak waktu itu?"

Pantang menyerah, Youngjin berkilah. "Ini bukan masalah ada kerusakan nyata atau tidak, tapi lebih pada perilaku. Sikap yang tidak disiplin mencerminkan sebanyak apa pengetahuan yang ada dalam diri seseorang."

Irene menggaruk sisi samping kepalanya seolah ingin mengecek seberapa besar kapasitas pengetahuan yang ditampung otaknya. "Sekali lagi, maaf, tapi bukan itu yang Saya tanyakan. Pertanyaannya adalah, apa Saya menyebabkan kerusakan sekecil apapun di unit 92 apartemen Ahyeon? Ya, atau tidak?"

Dengan berat hati, Youngjin mengakui, "Tidak, tapi Saya berharap Anda tidak mengulangi perilaku tidak terpuji itu."

Senyum Irene tidak memperlihatkan umpatan yang ia suarakan dalam hati. "Apakah Saya bahkan melewati ambang pintu?"

"Tidak."

"Apakah Saya menyerang Anda? Atau petugas lain?"

"Tidak."

"Mari beralih ke topik selanjutnya, kalau begitu." Irene dalam penyamaran sebagai gadis yang polos berkata. "Anda berkata bahwa saat interogasi, Park Jisung tidak bicara sepatah katapun sampai Saya datang?"

"Benar. Dia agak ... menyusahkan."

"Namun, detektif, apakah itu bisa menjadi alasan Anda menuduh Saya menyetirnya?"

Perburuan di mulai dan Youngjin langsung menghindar. "Saya tidak berkata seperti itu."

"Itulah kesan yang Anda timbulkan."

"Itu tergantung persepsi masing-masing. Anda kelihatannya dekat dengan Park Jisung dan dia patuh pada Anda. Beberapa kali, Saya ingat dia melirik Anda sebelum menjawab pertanyaan Saya."

"Dan di sinilah kesalahpahaman terjadi." Irene bertepuk tangan sekali. "Park Jisung mungkin belum sepenuhnya dewasa, tapi Saya percaya dia cukup independen untuk membuat keputusan sendiri. Ini bukan soal dia patuh pada Saya, tapi lebih pada kemauannya. Dia mau bicara bersama Saya mungkin karena Anda membuatnya tidak nyaman sebab membentaknya terus-menerus?"

Youngjin bergerak-gerak gelisah di kursinya. "Saya bisa mengatakan hal yang sama tentangnya karena dia membuang-buang waktu Saya."

"Boleh Saya tahu kenapa?"

Pertanyaan Irene yang mengulang hal yang sudah jelas membuat Youngjin mendesis jengah. "Karena dia memilih tutup mulut. Dia diam selama hampir 2 jam."

"Pasti Anda kesal sekali, ya? Tapi maafkan Saya kalau Saya salah." Senyum Kyungsoo merekah mendengarnya, dia sudah mengenal Irene untuk tahu bahwa kalimat itu hanyalah permulaan yang digunakannya sebelum menyerang saksi. Tak ubahnya penembak jitu mengokang senjata sebelum menembakkannya. "Bukankah anak di bawah umur harus didampingi wali atau penasihat hukumnya saat di interogasi?"

"Ya..."

"Apakah Park Jinwoo ada di sampingnya saat anda memaksanya bicara?"

"Tidak, tapi Ayahnya memberi persetujuan bahwa Saya boleh memeriksanya tanpa kehadirannya asal dia mengecek catatan pemeriksaan itu sebelum disahkan."

"Oh, jadi sekarang polisi menerima perintah dari warga sipil, ya?"

Wajah Youngjin berubah merah padam. Kulit kecoklatannya yang terbakar matahari merona dihinggapi rasa malu dan ... kemarahan.

"Itu bukanlah perintah." Semburnya, dengan intonasi yang hampir menyamai bentakannya pada Jisung. Wataknya yang asli tidak bisa ditutupi terlalu lama. "Saya lebih suka menyebutnya kesepakatan."

"Kalau Saya memberitahu kesepakatan kecil Anda dan Park Jinwoo ini pada komisaris Anda, misalnya, apa Anda pikir dia akan setuju?" Maksud Irene sejatinya adalah, kamu beneran cari masalah sama aku?

Dia sebenarnya tidak ingin membeberkan ini, berpikir Youngjin mungkin punya istri dan anak yang harus dia biayai dan betapa gawat kehidupannya jika ada pemotongan gaji. Hanya saja, dia tidak bisa diam saat ada yang berniat menjatuhkannya. Pukulan dibalas dengan pukulan lain; itu baru adil.

Tapi lucu sekali saat Youngjin, dalam keadaan terpojok, masih berusaha melawan seperti hewan yang tidak punya kesempatan hidup yang menolak mati tanpa berjuang. "Mungkin saja, pengacara Lee. Atasan Saya mungkin membolehkannya kalau yang Saya hadapi adalah anak yang keras kepala dan sempat membuat Saya berpikir dia bisu!"

"Bisu?" Irene memijat bagian tengah dahinya, persis di antara mata, dan tergelak. "Bisu, ya? Petugas Lee Youngjin, apa Anda pernah mendengar tentang PTSD?"

Youngjin mendelik. "Anda kira Saya bodoh? Tentu saja Saya tahu! Tapi Jisung tidak mengalaminya. PTSD atau post-traumatic stress disorder tidak terjadi secara instan! Itulah kenapa disebut pasca."

"Benar, tapi itu bukannya mustahil terjadi," tandas Irene. "Jangan lupa bahwa Jisung adalah orang yang menemukan mayat ibunya dan setelah itu mengalami penyerangan secara fisik. Ini kejadian traumatis yang mendalam, bisa mengarah pada PTSD. Dan Anda mengharapkan Jisung bereaksi normal padahal orang dewasa saja pasti akan syok berat?"

"Wah, entahlah. Saya kira siapapun yang diam selama 2 jam akan membuat orang lain kesal."

Layaknya batu, Youngjin begitu keras dan dipenuhi hasrat balas dendam, tapi Irene adalah air dan ia menghantam batu itu dengan kekuatan yang sanggup untuk merusaknya. "Tidak kalau orang lain itu punya sedikit saja empati dan mengerti tentang trauma serta mengingat prosedur yang tadi Anda banggakan."

"Yang Mulia," imbuhnya pada Kyungsoo. "Inilah yang Saya sebut perlakuan tidak adil. Petugas yang menangani Jisung melakukan pelanggaran prosedur dan klaimnya tentang Saya yang 'menyetir' Jisung tak lebih dari asumsi belaka. Seperti yang dia bilang, itu tergantung persepsi masing-masing. Sekian dari Saya."

Irene duduk kembali di samping Taeyong usai Lee Youngjin pergi.

Bahu mereka bersentuhan dan dengan rasa hangat yang menyebar darinya seperti satu lampu yang menerangi seluruh ruangan, Irene membiarkan dirinya tampak lemah walau sejenak dengan menghela napas lelah.

Baru 2 saksi, dia mengingatkan dirinya sendiri, agar tetap waspada, karena meski sejauh ini dia berhasil menumbangkan mereka, hasil akhir dari persidangan masih seburam kaca yang tertutup embun tebal. Tidak ada yang pasti di ruang sidang一itu yang membuat permainan ini semakin seru sekaligus menantang. Permainan dengan hanya 1 pilihan baginya; maju terus.

Tidak ada jalan lain selain itu, terutama saat kini ia punya seseorang untuk ia lindungi.

Irene mengarahkan lehernya ke belakang, ingin tahu keadaan Jisung dan lega melihat dia tersenyum berkat sesuatu yang diucapkan Joy. Joy, yang selalu bisa diandalkan dalam urusan mencari teman baru dan membuat orang lain bahagia, dengan gayanya yang ceria dan kadar percaya diri yang berlebihan. Mereka sepertinya sedang memintal benang persahabatan sementara Winwin menunduk dan menutup dahinya dengan satu tangan.

Irene benar-benar khawatir pada pemuda itu.

Tapi atas persetujuan Kyungsoo, Han memanggil saksi ketiganya dan perasaan itu harus disingkirkan sementara. Irene menatap tanpa berkedip saat seorang pria yang belum pernah ia lihat masuk dengan gerak-gerik yang memancarkan keraguan.

Han mendekati saksi itu seperti anak-anak yang menyambut ibunya sepulang dari pusat perbelanjaan; antusias. "Mohon sebutkan nama Anda."

"K-kang Yoon."

"Dan tempat kerja Anda?"

"Saya bekerja 6 hari dalam seminggu di minimarket yang ada di Seodaemun-gu."

Petunjuk akan dibawa kemana percakapan ini muncul di kepala Irene. Jisung sudah memberitahunya bahwa Shin adalah manajer di minimarket yang tidak jauh dari apartemen. Dia memasang telinga baik-baik, siap mendengar dusta lain yang ia harap tidak lebih menggelikan dari ocehan Lee Youngjin.

Mau apa pria yang gemetar ini?

"Shift kerja apa yang Anda dapat akhir-akhir ini?"

"Seringnya pagi."

"Apakah ada kejadian menarik yang Anda ingat dan kebetulan berhubungan dengan Lee Taeyong selama Anda bekerja?"

"Ya ... bisa dibilang begitu."

"Tolong ceritakan pada kami."

Kegelisahan Yoon meningkat. Bukan saksi, dia lebih mirip murid baru yang diminta memperkenalkan diri di depan teman-teman baru yang tidak ia kehendaki. "S-saya sedang bekerja hari itu, seperti biasa. Saya mengurus kasir saat tiba-tiba ada keributan di luar."

"Keributan macam apa?"

"Orang-orang berkumpul karena ada perkelahian."

"Dan orang itu adalah Lee Taeyong?"

"Benar."

"Apa yang terjadi? Apakah Anda tahu penyebabnya?"

Yoon meringis. "Waktu itu dia memukul orang hingga terkapar di aspal karena orang itu tidak sengaja menabraknya. Saya mendengar dia mengatainya sampah."

Tubuh Taeyong berubah kaku merespon keterangan itu, tapi Irene dengan sigap menahannya. Tangannya ada di atas lengan Taeyong, memintanya tetap diam.

"Sampah?" Han menyalinnya dengan suara yang lebih lantang. "Itu sebutan yang sangat kasar. Apa Anda ingat kalimat tepatnya?"

Tetes-tetes keringat meluncur jatuh dari dahi Yoon seperti hujan deras di musim dingin. "'Makanya kalau jalan lihat-lihat, dasar sampah anak pelacur murahan'. Seperti itu."

Beberapa penonton di kursi barisan belakang terkesiap kaget. Bisikan mulai menggema di ruangan itu, bercampur baur bersama bunyi dari Kyungsoo yang mengadu kukunya dengan meja hakim.

Menikmati reaksi itu, Han melanjutkan, "Apakah korbannya terluka?"

"Hidungnya mengeluarkan darah."

"Anda melihatnya?"

"Ya, Saya keluar karena tidak ingin dia membuat keributan di area kerja Saya dan karena Saya ingin dia mabuk di tempat lain saja."

Nada suara Han berganti jijik seakan dia sedang membicarakan popok bayi. "Jadi dia mabuk?"

"Benar."

"Apakah ada orang lain yang bersamanya?"

Tatapan Yoon berpindah pada Irene tapi menghindari menatap gadis itu terlalu lama. "Kakaknya."

"Apa kakaknya mengatakan sesuatu untuk menghentikannnya?"

"Tidak. Hm, sebenarnya kakaknya tertawa karena dia pikir itu lucu."

"Apa yang mereka lakukan setelah itu?"

"Pergi. Makan di warung tenda di dekat situ."

"Dan korbannya?"

"Dibiarkan tergeletak di sana. Mereka tidak peduli padanya."

"Saya mengerti." Han menggeleng prihatin. "Kedengarannya dia bukan pemuda baik-baik seperti yang ditekankan oleh pembela, ya? Lee Taeyong punya kecenderungan untuk melakukan kekerasan."

Irene seketika berdiri. "Keberatan! Itu pendapat pribadi dan kita tidak bisa mengambil kesimpulan apapun sebelum Saya selesai dengan pemeriksaan silang Saya!"

"Diterima." Kyungsoo menenangkannya, melambaikan tangan agar dia kembali duduk. "Jaksa, jaga bicara Anda."

"Maaf, Yang Mulia." Namun siapapun bisa melihat tawa yang mengancam mendobrak sikap serius palsu Han. "Itu saja dari Saya, terimakasih."

Kyungsoo mengalihkan perhatian lagi pada Irene, mengarahkan lampu sorot padanya. "Pembela? Ada pernyataan untuk saksi ini?"

Irene bicara melalui sela-sela gigi yang terkatup rapat menahan geram. "Ya, Yang Mulia."

Kedua kalinya berdiri, dia mengingat-ingat apa yang dikatakan Jisung dan apa yang dia lihat tentang tempat kerja Shin yang sempat ia kunjungi.

Monorehkan kesan yang salah pada Taeyong, dengan membuatnya terlihat seperti preman yang hobi memukul orang memang merupakan keuntungan untuk Han. Dengan begitu, dugaan bahwa Taeyong secara "tidak sengaja" membunuh Shin bisa dikikis sedikit demi sedikit.

Sangat Han sekali; menggunakan berbagai cara entah itu legal atau tidak.

"Kang Yoon." Irene menyapa. "Pertanyaan pertama Saya, apakah Anda tahu ancaman hukuman bagi orang yang memberikan kesaksian palsu di bawah sumpah?"

Yoon malah menatap Han, gugup mendekati panik.

Irene segera bergeser, menutupi sosok si jaksa dengan tubuhnya dan memutus koneksi mereka. "Anda terancam hukuman pidana sekurang-kurangnya 7 tahun atau denda. Denda yang amat banyak, sungguh."

Han mengulang apa yang ia lakukan beberapa detik yang lalu. "Keberatan! Pembela mengancam saksi!"

"Ditolak." Kyungsoo bahkan tidak memandang Han yang meradang marah karena penolakannya. "Itu tak bisa dianggap ancaman, jaksa. Pembela, lanjutkanlah."

Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Irene meneruskan aksinya, membidikkan pistol tak kasat mata dalam bentuk kata-kata pada Yoon. "Seperti yang Anda katakan, Saya juga ada di tempat kejadian dan seingat Saya, bukan begitu kejadiannya. Anda juga tidak menyebut-nyebut kehadiran Jisung."

Yoon mengusap dahinya. "Jisung tidak ada."

"Anda yakin?"

"Ya."

"Anda yakin Taeyong sedang dalam keadaan mabuk?"

"Ya."

"Lucu, karena terakhir kali Taeyong mabuk adalah saat dia salah minum dari gelas temannya dan masuk rumah sakit karena toleransi alkoholnya sangat rendah. Omong-omong, itu terjadi setahun yang lalu, tepat saat dia diterima jadi pegawai hotel."

"Saya tidak berbohong!" Sergah Yoon, tapi dia justru terdengar takut.

"Apa Anda punya bukti yang mendukung pernyataan Anda?"

"Tidak."

Irene memutar tumitnya pada Han. "Apa Anda setidaknya punya rekaman CCTV?"

Jawaban yang sudah diperkirakan Irene terlontar dari bibir Han. "Tidak." Dengan alasan konyol, "Saat itu, CCTV mati karena ada perbaikan fasilitas."

"Betapa pasnya." Irene tertawa一tawa parau yang tidak mencapai matanya. "CCTV mati ketika ada kejadian penting. Bagaimana dengan saksi lain?"

"Tidak ada," ujar Yoon, sekarang suaranya menyerupai bisikan. "Teman Saya sedang ada di gudang, mengatur stok barang."

"Kalau begitu boleh Saya tahu apa yang Anda lakukan sebelum perkelahian Lee Taeyong merebut atensi Anda?"

"Saya ada di kasir, dan kasir itu dekat dengan pintu masuk."

"Apa yang Saya tanyakan adalah apa yang Anda lakukan, bukan di mana Anda berada." Gagal berupaya tetap bersikap sopan, dia mengimbuhkan. "Anda tahu perbedaannya kan?"

"Y-ya. Saya sedang, uh, menghitung uang kembalian pengunjung."

"Pengunjung itu pria atau wanita?"

"Maaf?"

"Pengunjung itu pria atau wanita?"

"Wanita, seingat Saya ... tapi bisa juga pria, karena biasanya kami berinteraksi sebentar jadi Saya tidak yakin." Yoon mengerutkan kening. "Apa ini penting?"

Irene mengenyampingkan pertanyaannya. "Apakah Anda berinteraksi dengan Lee Taeyong?"

"Tidak. Saya sudah bilang. Dia langsung pergi meninggalkan korbannya."

"Ini semakin membingungkan. Saya heran." Irene bertanya-tanya. "Mengapa Anda lupa pada hal itu tapi mengingat dengan persis kata-kata yang diucapkan Lee Taeyong, padahal keduanya terjadi dalam selisih waktu yang singkat?"

Agak panjangan dikit tydak apa2 ya chings, biar cepet tamat gitu lho 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top