40. Perang Kata-kata
2020
Sang dewi keadilan berdiri tegak di bagian depan gedung pengadilan.
Tubuhnya terbuat dari marmer putih, setinggi 5 meter. Gaunnya bermodel kuno, berkibar ke belakang menampakkan satu bahu mulus dan sebagian pahanya oleh angin abadi yang hanya bertiup di sekitarnya. Rambutnya panjang dan ikal, dikepang dan dijalin dengan bunga-bunga yang keelokannya mempesona mata.
Perwujudan hakim sejati; mata sang dewi ditutup sehelai kain yang mengibaratkan bahwa dia tak membedakan siapapun. Semua orang tak berbeda, semua orang punya hak yang sama. Di tangan kanannya, dia memegang sebuah timbangan yang gagangnya dihiasi ukiran-ukiran yang tiap garisnya sehalus rambut. Timbangan itu sejajar, tanda hukum itu tidak memihak. Hukum tidak peduli berapa jumlah uangmu atau apa jenis kelaminmu.
Di setiap gedung pengadilan di Seoul, terdapat patung dewi yang serupa atau setidaknya mirip, dengan yang kini diperhatikan Irene. Ini ritual, kebiasaan yang rutin ia lakukan sebelum memasuki ruang sidang. Memandang kecantikan dewi Justitia selalu membuatnya tenang dan saat ini, Irene butuh sebanyak mungkin ketenangan.
Tidak jauh dari situ, seorang pria berpostur sedang tengah memukul-mukul sebuah vending machine yang menelan uangnya tanpa memberikan sesuatu sebagai imbalan. Sekilas lihat, kecuali bagi mereka yang tahu, takkan ada yang mengira pria itu hakim.
Do Kyungsoo adalah salah satu hakim muda yang selama masa prakteknya, sudah punya banyak musuh berkat vonisnya yang tidak kenal ampun. Sekali, dia pernah mendapat ancaman pembunuhan yang menghebohkan koran tapi tidak mengejutkan wartawan. Di dunia yang kotor ini, menjadi orang baik mempunyai resiko tersendiri.
"Perlu bantuan?"
Tanpa menunggu jawaban, Irene memasukkan beberapa koin ke celah yang kecil di mesin dan memilih kopi kalengan yang sering ditenteng sang hakim. Kakinya menendang keras-keras lubang lebih besar yang berfungsi jadi tempat pengambilan minuman. Sedetik kemudian, kaleng kopi meluncur turun dari sana.
Irene mengambilnya. "Mesinnya agak rewel belakangan ini."
Kyungsoo menyeringai. Dia masih memakai pakaian biasa karena menurutnya, pakaian hakim terlalu panas. "Apa ini? Sogokan?"
Mata Irene mengedip jahil. "Nggak dong. Aku tahu kamu lebih suka aku daripada si kampret Han."
Seringai Kyungsoo bertambah lebar. Dia mengambil kopinya dan menghadiahi Irene acungan jempol. "Sampai ketemu, Irene."
Sepeninggalan pria itu, Irene menggeleng-geleng, lantas membeli 5 kaleng soda dari si mesin. Dia berputar balik, masuk ke ruang pertemuan yang tidak jauh dari sana, tempat Jisung, Joy, Winwin, dan Taeyong duduk melingkari sebuah meja bersama tas kerjanya.
Masing-masing 1, dia membagikan sodanya pada mereka. Semua orang menenggaknya, termasuk tokoh utama dalam kasus ini; terdakwa Lee Taeyong yang masih saja santai. Tidak ada gurat-gurat keresahan sedikitpun di wajahnya, seakan ini sidang orang lain dan bukan hidupnya yang akan ditentukan. Wajah yang sudah dikenal Irene seumur hidup itu masih sama seperti saat akan berangkat kerja atau nongkrong bersama teman-temannya. Bedanya, kini ada luka kecil di samping mata kanan Taeyong yang menjadi peninggalan peristiwa di rumah Jisung.
"Lukanya membekas." Walaupun tahu tidak akan menyakiti, Irene tetap menyentuh bekas luka itu dengan hati-hati. "Apa nggak bisa ilang?"
Taeyong acuh tak acuh. "Biarin aja."
"Masih ganteng kok." Puji Joy, diiringi acungan jempol seperti Kyungsoo. "Tapi sadis juga ya, yang mukul kenceng banget."
Sindiran itu meski ditujukan pada orang di sebelahnya, tampaknya malah memantul dari Winwin karena pemuda itu asyik menenggak sodanya. Sejak tiba dan bergabung dengan mereka, Winwin sudah terlihat tidak baik. Dia mondar-mandir gelisah, mengaku mual. Butuh segenap usaha agar dia mau duduk dan tidak membuat semua orang gila dengan mengoceh tidak jelas dalam bahasa China.
"Win, kamu nggak apa-apa?"
Winwin melambai-lambai tangannya layaknya seseorang yang terjebak di tengah laut dan mengharapkan bantuan dari kapal yang lewat. "Apa aku nggak bisa ngasih pernyataan aja?"
Irene menghela napas. "Kita udah bahas ini 3 kali, dan jawabannya masih nggak bisa. Kamu saksi penting, kamu ada di TKP. Dan kalau kamu ngotot nggak mau hadir, kamu bakal dapet surat pemanggilan."
Dengan tampang menderita, Winwin menyentuh perutnya. "Aku nggak enak badan."
"Mau dibeliin obat?"
Jisung yang simpatik pada keadaan tetangganya tersebut menyeletuk, "Bukan sakit yang ... itu, tapi glossophobia."
3 mulut, milik Joy, Irene dan Taeyong bertanya bersamaan, "Apa itu?"
"Takut bicara di depan publik," jelas Jisung. "Winwin-ge nggak suka kumpul sama orang-orang, apalagi ngomong di depan mereka."
Joy dan Taeyong kompak menahan tawa. Hanya tatapan Irene yang mencegah mereka mengeluarkan tawa itu. Bagi Irene, itu bukanlah lelucon yang lucu karena ia pernah mengalaminya di awal-awal karier. Dia mengerti dan karena itu, mengeluarkan permen yang selalu ia sediakan saat sedang bekerja. "Nih, makan ini. Biasanya manjur buat aku." Dia menepuk-nepuk bahu Winwin yang sudah merebahkan kepalanya di atas meja. "Nggak apa-apa, Win, nggak apa-apa. Tarik napas pelan-pelan, rileks."
"Rileks," ulang Winwin, tapi wajahnya seperti orang yang mau muntah. "Baba dulu kerjanya jadi hakim..."
"Baba?"
Sejenak, mata Winwin menerawang jauh, jauh melewati semua orang dan tampaknya kembali mengembara ke masa lalu yang tak seorang pun tahu. Mata itu terpejam sesaat, sebelum Winwin membukanya lagi dan menerima permen dari Irene. "Apa nanti waktu dipanggil harus pakai nama asli?"
"Iya, kenapa?"
Sebelah alis Taeyong terangkat naik. "Winwin bukan nama asli kamu kan?"
"Apa iya?" Seru Joy kaget. "Terus siapa?"
"Itu ... nama samaran. Nama keren." Tangan Winwin kembali bergerak-gerak gugup lagi. "Nama ... ah!" Dia mengacak rambutnya dan menghembuskan napas frustrasi. "Jisung, kamu permah tanya siapa nama asli kakak kan? Waktu itu kakak bilang mau ngasih tahu pas kamu udah gede. Kayaknya." Dia menyentuh ujung kepala Jisung yang sedikit lebih jangkung darinya. "Sekarang saatnya, ya?"
Dia berpaling ke Irene, menunjuk dengan dagu tas kerja wanita itu. "Boleh aku...?"
Mereka memperhatikan ketika Winwin membuka tas Irene, mengeluarkan sebuah novel yang ia bawa untuk hiburan sekaligus pengalih perhatian bila sudah sangat stres.
Itu adalah buku karangan Dong Sicheng, yang bercerita tentang seorang malaikat yang melakukan 1 dari 7 dosa mematikan. Dengan sayap yang patah, kerinduan untuk pulang, malaikat itu一yang di buku bernama Lucas一bertemu gadis manusia yang pada akhirnya mengajarinya tentang kehidupan, dan bahwa terlepas dari banyaknya orang-orang yang membuang hati nurani mereka, akan selalu ada orang-orang baik yang berusaha menjadikan dunia ini menjadi lebih baik pula.
Winwin membuka halaman pertama buku dengan sampul model pria berambut perak itu, yang punggungnya terluka, dan meminjam pulpen Joy.
"Oke." Dia melirik Jisung yang jelas-jelas sangat penasaran sampai mencondongkan tubuh mendekat, dan nyengir. "Jadi, Jisung, nama asli kakak itu..."
Dia menuliskannya.
Persidangan di mulai pada pukul 10, dan karena semua perangkat pengadilan tahu Kyungsoo benci orang yang tidak tepat waktu一serta tak segan-segan melontarkan komentar kejam一mereka sudah berkumpul 10 menit sebelumnya.
Jadi, pada minggu pertama yang masih kental dengan suasana tahun baru, Irene justru berada di ruang sidang dengan map bertuliskan "Kasus LTY" yang membuatnya merasakan suatu ironi pahit.
Taeyong duduk dengan tenang, tidak bereaksi meski ada beberapa orang yang berbisik-bisik tentangnya. Adiknya yang bebal, adiknya yang berharga, jago sekali soal urusan memakai poker face. Joy benar; bahkan pakaian biru jelek yang dipinjamkan penjara tidak bisa mengurangi kadar ketampanannya.
Atau mengikis keberaniannya.
Sebab Taeyong menyangga kepalanya dengan satu tangan dan tersenyum pada Han yang duduk di kursi jaksa penuntut. Keduanya seperti 2 hewan yang akan berhadapan, siap bertarung sampai mati.
Hari ini, Han seperti mengeluarkan aura kegelapan. Tidak tersenyum, serius tingkat tinggi. Tas kerjanya menggembung oleh berkas-berkas. Pakaiannya disetrika sampai tidak menyisakan kerutan. Sepatunya mengkilap. Rambut depannya diberi gel sehingga ia bisa leluasa memelototi Taeyong.
Irene sendiri, seperti kebiasaannya, menjepit poninya dan menggelung rambutnya dengan erat di punggung. Dia memakai pakaian terbaiknya, sepatu yang baru dibeli dan dipilihkan khusus oleh Joy, juga tekad yang membara di dadanya. Dalam hatinya, ada kata-kata yang ia ucapkan terus menerus; harus bisa, harus bisa, harus bisa. Sebab hidup satu-satunya keluarganya-lah yang dipertaruhkan.
Seorang petugas di pintu samping membuka pintu itu dan dengan suara lantang mengumumkan, "Semuanya berdiri!"
Irene berdiri, disusul Taeyong, Han dan orang lain di ruangan itu saat Do Kyungsoo melangkah dengan penuh wibawa ke kursi hakim yang lebih tinggi dari kursi semua orang. Melalui kursi itu, dia akan mendapat pemandangan yang bagus, meneliti ekspresi orang-orang yang mencobaa mengarahkan keputusannya untuk menguntungkan mereka. Sang hakim memperbaiki posisi jubahnya, sebelum memberi isyarat agar semua orang duduk.
"Terimakasih atas sikap disiplin kalian, Saya senang kali ini tidak ada yang terlambat. Baik. Apa semua siap?"
Serentak, Irene dan Han merespon, "Ya, Yang Mulia."
"Bagus." Kyungsoo berpaling pada Taeyong, lalu kembali pada Irene, agaknya mencari-cari kemiripan di antara mereka sebab kabar bahwa keduanya bersaudara sudah tersebar kemana-mana. Di bibir Kyungsoo, ada segaris senyum tipis. "Hari ini kita berkumpul di sidang terdakwa Lee Taeyong yang dituduh melakukan kekerasan berujung pembunuhan pada seorang pria 39 tahun bernama Nam Shin. Sebagai permulaan, saya persilahkan bagi jaksa penuntut untuk memberikan pernyataan pembukanya."
Han langsung berdiri lagi dengan sigap. "Terimakasih, Yang Mulia."
Sementara dari bawah meja, Irene meninju paha Taeyong. "Apapun yang dia bilang, jangan ngebantah."
Jawaban Taeyong adalah anggukan samar.
"Yang Mulia." Han mengawali. "Kasus ini mungkin bagi Anda adalah kasus yang biasa, dimana seorang pemuda一" Dia membuat tanda kutip dengan tangannya. "一secara tidak sengaja telah membunuh seorang pria dan mengklaim itu sebagai pembelaan diri. Tapi yang ingin Saya tekankan adalah, Anda harus memandang kasus ini dengan lebih serius karena ini bisa saja membawa pengaruh buruk dan membuat para calon pelaku kejahatan lain jadi terinspirasi.
"Apa yang harus Saya lakukan bila ingin balas dendam pada mantan istri Saya tapi Saya tidak ingin dihukum? Oh, mari ajak dia bertemu dan buat seolah ada perkelahian. Apa yang harus Saya perbuat bila Saya ingin membunuh teman yang tidak membayar hutangnya? Bunuh dia, katakan pada polisi itu kecelakaan. Begitulah, Yang Mulia. Kasus ini jauh lebih besar dari yang terlihat. Bila seorang pembunuh bisa lolos dengan mudah menggunakan alasan ini, maka orang lain akan memakai alasan yang sama untuk kamuflase kejahatannya. Kita semua tentu tidak ingin bukan ruang sidang semakin ramai walaupun itu pekerjaan kita?"
Kyungsoo terkekeh. Dia terkenal punya selera humor yang unik.
"Lee Taeyong," lanjut Han, memandang Taeyong dingin. "Memang dikenal sebagai pemuda yang ramah, dan semacamnya, tapi dia membunuh orang lain, mengakibatkan nyawa korban melayang dan karena itu dia harus memperoleh hukuman yang setimpal. Pembunuhan tetaplah pembunuhan一apapun alasannya. Saya percaya Anda memiliki insting keadilan yang tajam dan dapat menggunakannya dengan baik. Sebab tidak peduli korban sudah meninggal atau hidup sebatang kara, dia layak mendapat keadilan. Saya mohon Anda memberikan penilaian yang objektif. Sekian dari Saya, Yang Mulia."
Senyum Kyungsoo belum hilang juga saat dia mengangguk pada Irene. "Pembela? Giliran Anda."
Irene berdiri. Jari-jarinya terasa dingin dan jantungnya berdetak cepat sampai-sampai ia takut akan ada yang mendengarnya. Namun dari langkahnya, tak ada apa-apa selain rasa percaya diri.
Dia berjalan ke tengah ruangan, membalas senyum Joy yang memainkan alisnya dari tempat duduk baris pertama, serta Jisung di sebelah Joy yang tegang dan Winwin yang mirip orang mabuk laut.
Menyempatkan diri menoleh ke Kyungsoo, Irene berkata, "Yang Mulia, Saya setuju bahwa pembunuhan layak diganjar hukuman yang setimpal, seperti ucapan jaksa penuntut, tapi perlu digarisbawahi, bahwa dalam kasus tertentu, alasan harus diperhitungkan. Lee Taeyong tidak berbuat begitu untuk semata-mata memuaskan sisi psycho-nya, atau ingin balas dendam. Kita semua pernah berada di situasi terdesak, yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan baik dari segi agama atau norma masyarakat. Tapi yang terjadi adalah, Lee Taeyong menolong seorang remaja yang selama setahun, mengalami tindak kekerasan di rumahnya.
"Kasarnya begini, jika tidak ditolong, Park Jisung akan mati. Dan mungkin kita justu berada di sini dengan Nam Shin sebagai terdakwanya. Saya mohon agar Anda mempertimbangkan inti dari kasus ini : Lee Taeyong menyelamatkan Park Jisung. Dia terluka. Jisung terluka. Dan sepantasnya, kita tidak memenjarakan seseorang yang hanya membela dirinya dari orang yang mengancam melukai kita lebih parah.
"Korea adalah negara hukum yang adil, dan Saya mengharapkan Anda berlaku adil juga. Ini bukan soal inspirasi, Yang Mulia, ini soal pemuda yang berniat baik menyelamatkan nyawa remaja yang telah ia anggap adiknya sendiri. Kebebasan adalah hadiah yang lebih dari layak kita berikan untuknya, sebab pelaku yang sesungguhnya sudah mendapat jatah hukumannya."
Irene menunduk hormat pada Kyungsoo, dan mengakhiri pidatonya dengan seulas senyum. "Sekian dari Saya, Yang Mulia."
Bagian akhir penyataan pembukanya yang terang-terangan menyindir Shin membuat mata Kyungsoo berkilat-kilat jenaka dan Han berang.
Tapi ini ruang sidang, pergelutan yang diizinkan di sini hanya dalam bentuk perang kata-kata. Jadi Kyungsoo berdeham. "Siap memanggil saksi Anda, Jaksa?"
"Ya, Yang Mulia." Han mengangguk, namun pandangannya tertuju pada Jisung. "Saya memanggil saksi pertama Saya, Park Jinwoo."
Mau kenalan sama Han?
Dia sebenernya salah satu aktor favorit gua, tapi gua kagak nemu cast lain sih 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top