39. Titik Terendah, Sementara
Sebelum ini, hidup Lee Taeyong termasuk biasa-biasa saja.
Dia tidak pernah terlibat dalam masalah besar selain masuk ruangan guru konseling karena berkali-kali tidur saat pelajaran tengah berlangsung. Dia tipe yang mudah akrab dengan tetangganya (apartemen Ahyeon tidak dihitung) dan dia tidak punya mantan pacar yang merepotkannya dengan urusan hati. Diangkat jadi staf bersamaan dengan Doyoung yang masuk sebulan lebih awal menjadi bukti prestasinya di tempat kerja.
Singkatnya, Taeyong tak pernah menyangka akan berurusan dengan polisi dalam sebuah kasus pembunuhan.
Taeyong tidak akan bohong, dia pikir, Shin memang lebih dari pantas untuk mati. Dunia akan jadi tempat yang lebih baik tanpa orang yang sok jadi bos sepertinya. Malah, menurutnya, kematian Shin sebenarnya terlalu mudah. Setelah semua yang dia lakukan pada Jisung, dia seharusnya lebih menderita.
"Jangan bergerak."
Polisi "teman" kakaknya memerintah, dibarengi senyum yang rasanya terlalu ramah, sementara dia mengikat tangannya menggunakan tali yang terhubung dalam jarak pendek dengan orang di depannya一orang yang sama-sama bermasalah.
Tali itu terasa kasar di kulit Taeyong, tapi dia diam saja. Dia punya prasangka mengeluh tidak ada gunanya. Lagipula, untuk sampah masyarakat, kenyamanan bukanlah yang utama.
Si polisi beralih mengikat tangan orang lain setelah selesai. Dia menepuk punggung Taeyong pelan. Kartu pengenalnya berkata namanya adalah Kim Suho, menjawab pertanyaan yang tidak diutarakan Taeyong. Kali ini, dia bertekad akan mengingatnya.
Selagi menunggu apapun yang akan terjadi selanjutnya, Taeyong menunduk menatap tangannya yang polos tanpa hiasan apa-apa. Kemarin, barang-barang pribadinya sudah disita, terpaksa ia letakkan di keranjang kecil berbentuk persegi yang disediakan polisi. Karena tidak punya banyak, ia hanya meletakkan jam tangan dan uang yang terselip di saku celananya.
Kemarin, juga ada kejadian seru.
Jaksa yang pernah menjemput Jisung mengamuk di rumah sakit, tidak bisa mengendalikan emosi dalam terpaan dukanya. Tidak berbeda dengan cinta, kesedihan membuat kita jadi orang bodoh yang akan melakukan hal-hal yang di situasi normal, sangat kita hindari.
Han memojokkan polisi yang menjaganya, mengunci polisi itu lewat kerah bajunya dan mendorongnya ke dinding. Teriakannya tidak hanya mengganggu Taeyong, tapi juga pasien lain yang keluar dari kamar mereka, separuh girang karena mendapat hiburan gratis. "Kenapa si bangsat itu masih di sini? Kenapa dia nggak dipenjara juga? Kalian para polisi selalu aja kerjanya lelet! Apa yang kalian tunggu?"
Si bangsat yang ia maksud adalah Taeyong, yang menontonnya dari ambang pintu, persis di batas antara kamar perawatannya dan koridor, jadi ia tidak bisa disebut keluar dari kamar. Dia hanya berkedip, bosan dan tertarik menjadi satu.
"Tahan dia! Jangan ngasih perlakuan istimewa karena kakaknya!" Saking marahnya, wajah Han sampai berubah merah padam. "Kalian bisa kerja nggak sih?"
Taeyong bisa melihat si polisi lebih terganggu karena ludah Han yang terciprat ke arahnya daripada cengkeraman pria itu di lehernya dan dia hampir tertawa. "Nggak bisa sembarangan nahan orang, surat penahanan baru keluar 48 jam一"
"Persetan sama surat penahanan! Dia udah bunuh orang!"
"Itu belum pasti. Harus ada penyelidikan lebih lanjut!"
Disahuti seperti itu, Han jadi semakin marah. Dia lepas kendali, kepalan tangannya menghantam wajah si polisi, menjatuhkan orang yang hanya menjalankan tugas itu ke lantai. Kerumunan penonton menjerit, tapi Han rupanya belum selesai. Dia mendekati Taeyong, melotot padanya.
"Masih bisa ketawa, Lee Taeyong? Kamu nggak tahu hukuman apa yang nungguin kamu?"
Karena memang tidak tahu, Taeyong sekedar mengangkat bahunya.
"20 tahun penjara," sembur Han, berbaik hati membebaskannya dari kebingungan. "Bisa aja tanpa peluang pembebasan bersyarat!"
Taeyong tersenyum miring. "Kalau hukuman buat orang yang nyerang petugas?"
Han mengambil ancang-ancang memukul dirinya, dan itu pasti terjadi kalau saja Suho tidak datang dan menarik pria itu. Suho menendang kaki Han, mengakibatkan dia jatuh terjerembab dengan wajah lebih dulu. Aksi susulannya meliputi menekan punggung Han dengan lututnya dan memborgolnya. Han di bawa ke kantor polisi sambil menjerit-jerit bahwa dia jaksa, namun di mata Taeyong, dia lebih mirip orang gila.
Betapa lucunya.
Yang tidak lucu adalah ancaman hukumannya. 20 tahun penjara, tanpa peluang pembebasan bersyarat.
Wow, itu waktu yang lama.
"Jalan!" Polisi lain, yang menerima jam tangannya dan jelas-jelas tidak ramah, memukul punggung Taeyong dengan tongkat pemukul berwarna hitam, karena dia melamun, tertinggal dibanding rekannya.
Taeyong berjalan, memasuki bus berwarna putih yang bagian sopir dan penumpangnya diberi sekat besi bersilang-silang seperti taksi一agaknya mencegah penyerangan dari belakang. Dia tak bisa menghilangkan pemikiran bahwa saat digelandang seperti ini, dia sama saja dengan kambing yang dimasukkan ke kandang.
Hari ini, suasana hati Taeyong sangat muram.
Dia duduk di jendela, mengabaikan orang di sebelahnya yang mencoba mengajaknya bicara. Kepalanya rebah ke kaca, menebak-nebak dia akan di antar kemana. Selama ini, dia hanya mendengar tentang Lapas di TV saja, tapi kini, ia akan mengunjunginya dan tinggal di sana untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Suho mengawasinya dari luar. Dagunya menunjuk sopir, lantas mengangguk.
Taeyong tahu apa yang ia bicarakan karena Suho pernah mengungkitnya;
Kalau udah sampai di Lapas, jangan jauh-jauh dari petugas.
Dia juga berkata bahwa sebaiknya Taeyong tidak cari masalah, menjaga lidahnya agar tidak membuat siapapun marah, dan jadi penghuni yang baik.
Bis mulai bergerak. Taeyong menghibur diri dengan memikirkan Irene, Jisung, dan一terutama一Seulgi serta kencan mereka yang gagal. Hidup itu lucu; satu kejadian bisa mengubah banyak hal. Satu keputusan bisa menuntunnya pada penyesalan panjang.
Dia tidak menyesal menggantikan Jisung, dia hanya menyesal tidak bisa menepati janjinya.
Apakah Seulgi menunggu dia di bioskop一resah sebab ia tidak kunjung tiba? Apa Seulgi mengira dia sengaja tidak mau datang tanpa kabar?
Taeyong harap, Irene tidak melupakan pesannya dan Seulgi tidak membencinya. Gadis itu, beruang manis itu, padahal baru beberapa hari tapi Taeyong sudah rindu. Dia menutup mata membayangkan senyumnya. Jika sudah seperti ini, Taeyong bersedia makan ayam sebanyak apapun asal bisa bertemu Seulgi sebentar saja, hanya untuk melepas rindu ini.
Nanti bisa bertemu lagi tidak, ya?
Lapas rupanya terletak di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk. Di sekeliling tempat itu, ada pagar pembatas tinggi yang akan menyulitkan siapapun yang punya gagasan memanjatnya untuk kabur. Petugas bersenjata menyambut para penghuni baru dengan wajah-wajah masam dan moncong senjata. Di lain waktu, Taeyong pasti akan mengaguminya karena bisa melihat pistol yang ada di game yang sering ia mainkan dari dekat, namun kini, ia kehilangan minat melakukan apa saja kecuali bernapas.
Teman perjalanannya melangkah lebih lambat supaya bisa meneruskan ocehannya, belum puas juga meski Taeyong tidak menanggapi. "Kasus apa, bro? Kayaknya dari tampangmu bukan kasus yang berat, ya? Nyuri? Narkoba? Atau一"
"Pembunuhan," jawab Taeyong tanpa menoleh, dan orang itu seketika diam.
Di tempat ini, kelihatannya kasta seseorang diputuskan melalui kasus yang menjeratnya. Pembunuhan adalah kasta tertinggi sekaligus paling ditakuti, berkebalikan dengan mereka yang mempermalukan harga diri pria dengan pemerkosaan dan melakukan kekerasan pada wanita. Dia beberapa kali mendengar cerita tak mengenakkan tentang orang-orang semacam itu.
Mereka terus berjalan. Seseorang memberi Taeyong pakaian berwarna biru. Namanya didata. Selnya ditunjukkan.
Tiap sel memiliki pancaran horor tersendiri, dengan satu kesamaan menyerap emosi positif dan menggantinya dengan perasaan putus asa. Tahanan. Yang benar saja. Dia menyeret kakinya ke sel malas-malasan, merasa seperti orang yang berada di alam mimpi. Lantai dingin. Udara dingin. Sel yang dingin. Dia merasa seperti terkubur dalam tumpukan salju.
Penjaga menutup pintu usai ia masuk, menguncinya, dan meninggalkan Taeyong dengan pikiran menyedihkan yang membandingkan keadaan dirinya tahun lalu dengan tahun ini. Hasilnya sungguh jauh berbeda.
Tahun lalu, menjelang perayaan tahun baru, dia berkumpul di acara makan-makan bersama teman-temannya sepulang kerja. Dia dan Doyoung masih merupakan teman baru, tapi mereka sudah terbiasa saling ejek dan balapan di sepanjang perjalanan ke restoran. Dia ingat Kai mentraktir mereka karena kalah taruhan dengan Wendy si order taker. Taeil duduk di samping Wendy tapi tak berani menyapanya.
Tahun ini, dia dipenjara.
Ya ampun, Taeyong tak pernah menyangka akan merasakan ini, tapi dia merindukan Doyoung, candaan mereka, yang sesekali menggoda Taeil karena ketidakberaniannya menyatakan cinta.
Dia mengusap wajah. Apa yang terjadi pada hidupnya?
Pagi keesokan harinya, Taeyong terbangun di tempat yang sama.
Harapannya bahwa semua ini hanya rangkaian mimpi buruk yang panjang pupus sudah. Ini bukan mimpi dan mau tak mau dia harus belajar menerimanya. Realita yang kejam mengucapkan selamat pagi padanya lewat petugas yang menendangnya karena mengira dia masih tidur. Sekali, dua kali. Tidak berhenti sampai ia benar-benar duduk dan memandangnya.
"Pengacaramu jenguk. Ayo bangun."
Tanpa kata, Taeyong mengikuti dengan tenang. Dia lega karena tidak diborgol lagi, seperti saat digiring dari rumah sakit ke mobil polisi. Rasanya memang tidak sakit, tapi memalukan. Ia benci saat ruang geraknya jadi terbatas karena borgol sial yang membuat menggaruk punggung saja jadi tindakan yang sulit.
"Masuk."
Penjaga itu mendorongnya, memasuki sebuah ruangan pertemuan sempit yang samar-samar tercium bau roti yang manis. Keju. Cokelat. Perutnya bergemuruh merespon aroma itu. Dia lapar.
"Hei."
Berdiri di depan kursi reyot dengan kotak berisi roti dan gelas kopi, Irene tersenyum sehangat api unggun di malam yang sunyi di hutan berkabut. Kakaknya rela datang sepagi ini, bahkan sebelum kantuk hilang sepenuhnya dari para penjaga, hanya untuk membawakannya sarapan yang layak.
Di sebelahnya, belum bisa melepaskan kebiasannya menunduk, adalah Jisung yang memandangnya dengan perasaan bersalah. Bergerak-gerak gelisah, mengatupkan bibir rapat-rapat, kembali jadi remaja yang gugup dan canggung.
Untuk pertama kalinya sejak dia ditetapkan jadi tersangka, Taeyong tersenyum.
Menghampiri mereka rasanya seperti pulang ke rumah yang nyaman dan menenangkan. Mendadak, semua ini jadi tidak berarti lagi. Bebannya lenyap. Ketakutannya musnah. Dan segera saja, dia mulai tertawa.
Irene mengerutkan kening. "Baru sehari di sini udah kena gangguan jiwa?"
"Nggak." Taeyong mengibaskan tangan. "Aku cuma inget kata-katanya Han. Dia bilang aku kena ancaman 20 tahun penjara."
"Si tytyd ayam bilang itu ke kamu?" Irene mengepalkan tangan. "Jangan percaya sama dia!"
"Aku tahu." Taeyong benar-benar tahu. Justru, tadi dia menertawakan dirinya sendiri yang bisa-bisanya mempercayai Han dan meragukan kakaknya一pengacara yang sudah mengalahkan Han 2 kali. Itu konyol. Dia telah membiarkan omong kosong Han merasuk dalam kepalanya dan jadi racun. Padahal, bila harus meletakkan nasibnya di tangan orang lain, tentu saja, ia tanpa ragu akan memilih Irene, si princess modern yang tidak butuh ibu peri untuk mendapat kemenangannya.
Apa yang sebenarnya ia takutkan?
Termakan omongan Han? Itu menggelikan.
"Jisung, apa kabar?"
Diajak bicara, Jisung menatapnya secara langsung dan mengamati pakaian Taeyong sangat lama. Kalimat pertamanya adalah apa yang sudah diduga Taeyong, "Aku minta maaf."
Tidak adanya reaksi berarti dari Irene membuat Taeyong sadar akan satu hal. "Kamu nggak bisa jaga rahasia, ya?"
Dia menjewer telinga anak itu, tapi bibirnya tersenyum.
"Jisung?"
Dia menunggu sampai Jisung menatapnya lagi sebelum menambahkan, "Nggak apa-apa. Ini bukan salah kamu. Tapi," katanya penuh penekanan, ketika melihat Jisung mengerjap-ngerjapkan matanya cepat. "Jangan nangis. Awas aja kalau berani-berani nangis. Jangan cengeng, tikus."
"Yang nangis nanti makan bungkus rotinya aja," goda Irene jahil, dengan kilatan nakal di matanya. "Jadi masih mau nangis?"
Jisung menggeleng. Menggeleng lagi lebih tegas. Dia mengusap matanya dan menggeleng ketiga kalinya, di sambut tawa dari Lee bersaudara.
Tiga angka yang bagus.
Bertiga ternyata lebih baik dalam hal keluarga.
Kenapa bukan rutan? Coba lihat deskripsi ini :
Di situ ada tulisan "Indonesia" dan pas gua cari, kagak ada sejenis rutan di luar negeri. Adanya cuma Lapas. Apalagi di film "One Way Trip" tersangka langsung dimasukin ke Lapas abis surat penahanan keluar. Makanya jan bingung kenapa gua kagak pake rutan ya, beda negara aja soalnya 😳
Bonus jidat kinclong Taeyong pas main game :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top