36. Ketetapan Hati
Anak itu tidur.
1 hari yang melelahkan bagi Jisung sudah berlalu dan sekarang, di atas tempat tidur yang biasanya dipakai Joy setelah pesta curhat mereka yang kadang berakhir sampai tengah malam, Jisung tertidur dan Irene mengamatinya dari ambang pintu.
Selimut yang ia berikan pendek, tapi Jisung meringkuk sehingga selimut tersebut menutupi seluruh tubuhnya. Raut wajahnya tenang, damai, tanpa ada jejak kejadian buruk apapun yang menimpanya. Mimpi menjadi obat, dia aman di sana, dan bila berada di alam mimpi dia bisa bebas dari rasa takut, maka Irene akan membiarkannya tidur lebih lama.
Irene memutar tubuh. Telur yang ia goreng masih tergeletak di atas teflon di kompor, jadi ia memindahkannya ke piring. Dulu, dia ingat sering memasak telur mata sapi dan menghiasnya dengan potongan sosis yang ia rangkai menjadi wajah tersenyum. Taeyong bilang itu kekanakan, tapi setiap kali meletakkan kotak bekal ke tempat cuci piring, Irene selalu mendapati kotak itu bersih tanpa sisa.
Kali ini, dia memasak lagi, untuk seorang anak yang sama sekali tidak punya hubungan dengannya.
Dalam hitungan menit, dia selesai, dan menuliskan sesuatu di sticky notes mengenai rencananya mengunjungi Taeyong. Irene menempelkannya ke lemari es, tempat kertas itu bisa ditemukan dengan mudah, lalu dia mengambil kunci mobil dan keluar.
Ada hal yang harus ia bicarakan dengan Taeyong. Apa yang dikatakan Winwin tak bisa berhenti mengusik kepalanya.
Rumah sakit, seperti biasa, adalah definisi dari kata 'kesibukan'.
Tempat ini selalu ramai, tak peduli matahari atau bulan yang bersinar. Para pekerja medis mondar-mandir dengan wajah serius dan usaha yang kerap tak dihargai dengan sepantasnya. Rekan Suho, polisi yang sama yang memberi hormat pada pria itu, masih berjaga di luar, kepalanya ditopang dinding dan mulutnya ternganga lebar.
Tidurnya pastilah tidak nyenyak karena dia langsung bangun begitu mendengar bunyi langkah kaki Irene. Mereka berbincang. Si polisi mengenalinya dan ekspresinya berubah ceria kala Irene menyodorkan kaleng kopi dan sekotak donat yang sudah ia persiapkan. Dengan senyum, polisi itu mempersilahkan Irene masuk.
Salah satu pelajaran penting dalam hidup : selalu berlaku ramah pada siapapun, timbulkan kesan yang baik.
Taeyong sedang duduk di ranjang dengan mangkuk nasi dan sup yang ia aduk-aduk menjadi gumpalan menjijikkan. Kepalanya mendongak, tapi senyumnya ditujukan pada kotak donat lain yang Irene bawa, beserta kaleng kopi dingin serupa dan kotak bekal berisi kalguksu.
"Udah mendingan?"
Adiknya mengangguk. "Rumah sakit salah ngasih makanan buat kambing."
Senyum Irene mengembang. "Makan nih."
Seperti itu saja. Irene duduk di samping Taeyong yang terlalu tenang untuk ukuran orang yang berada di bawah pengawasan selagi ia makan. Jiwa yang kuat tidak mudah hancur. Ranting yang tebal akan sulit dipatahkan. Irene bisa melihat bahwa Taeyong masih setengil biasanya, bahkan santai.
Irene berniat menunggu sampai dia selesai, tapi apa daya, dia tidak tahan. "Taeyong?"
"Hmm?"
Lirikan mata Irene tertuju ke pintu dan ia memelankan suara. "Siapa orangnya?"
Pesona donat terlepas dari Taeyong, meninggalkan dia sejenak dengan wajah kosong seperti saat diinterogasi Suho. "Apanya?"
Kursi Irene bergeser memangkas jarak. "Aku perlu tahu kejadian aslinya. Aku nggak akan marah."
"Apa yang sebenernya kita omongin ini?" Taeyong tertawa, sekelumit nada gugup terselip di suaranya. "Aku nggak ngerti."
Irene tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun. "Kamu tahu kan pengacara itu punya kode etik? Apapun rahasia klien, harus kami simpen rapat kalau masih mau praktik一entah itu masuk akal atau nggak. Entah itu sesuai norma atau ngelanggar peraturan, pokoknya kalau klien cerita, mulut pengacara harus dikunci. Kamu tenang aja, cerita aja."
"Aku tetep nggak ngerti一"
"Sialan, Taeyong." Kalau saja ada meja di jangkauan tangannya, Irene takkan ragu menggebrabnya keras-keras, tapi hanya ada selimut, dan Irene meremasnya kuat-kuat. "Kamu coba bohongin Kakakmu sendiri, yang ngajarin kamu caranya ngiket tali sepatu? Kamu pikir kamu bisa bohongin aku?"
Menghela napas, Taeyong menyumpal mulutnya dengan potongan donat terakhir sebelum beralih ke makanan favoritnya. "Aku nggak bohong."
Irene menarik napas dalam-dalam. Jari-jarinya terjalin erat di pangkuan. "Oke," katanya. "Oke, kalau gitu kamu ceritain gimana kejadiannya dari akhir ke awal."
Kerutan yang tidak mampu ditutupi oleh poninya muncul di dahi Taeyong. "Dari akhir ke ... awal?"
"Ya. Kamu bisa?"
Taeyong diam.
"Kalau kejadian versi kamu bener, kamu pasti nggak ada masalah nyeritain itu dari sudut manapun. Psikologi sederhana." Irene tersenyum sabar, di tengah semburan rasa frustrasi yang mengancam akan menelan pengendalian dirinya.
Sementara di sisi seberang, Taeyong berhenti makan. Sorot mata gelapnya keras, seperti saat dia sudah menetapkan sesuatu dalam hatinya. Sikap tubuhnya tegang, tapi yang membuat Irene tak habis pikir, dia masih memilih tutup mulut.
Mau main-main tebak-tebakan rahasia, rupanya. Irene mendekat, membisikkan kata-kata yang tidak akan bisa didengar si polisi meski dia menempelkan telinganya ke daun pintu, "Bukan kamu pelakunya, ya?"
Topeng wajah datar yang Taeyong pakai sesaat retak, dan kebenarannya tertulis di sana. Dusta yang terpintal seperti benang yang sudah terlalu kusut hingga tidak bisa diuraikan. Fakta bahwa dia membohongi Suho, memanfaatkan kelengahan Irene yang sibuk memvisualisasikan ceritanya dalam benaknya, semua itu mendadak jelas bagai pemandangan yang tertutup kabut. Atau barang yang terkubur dalam tanah penuh kebohongan.
Bangkai tercium, tapi Irene tidak menyukai apa yang dia temukan. Pipinya bersemu merah saat kemarahannya menyala-nyala. "Kamu gila, ya? Taeyong kalau mau sok jadi pahlawan, kamu nggak harus ngelakuin ini!"
"Noona, nanti polisinya denger一"
Irene menepis tangan Taeyong yang terulur seolah hendak mengembalikan ketenangan dirinya yang jatuh. Dia merenggut tasnya, terlampau marah untuk melanjutkan pembicaraan. Kakinya berbalik, segera berderap pergi.
"Noona!"
Persetan dengan noona.
Sebutan itu tak bisa menjangkau hati Irene sekarang, atau memadamkan api kemarahan yang membara dalam dirinya. Taeyong tidak mau bicara, namun seperti bermain monopoli, Irene akan terus melaju dan menciptakan kesempatannya. Ada seseorang yang perlu ia temui, sosok yang mungkin bisa lebih terbuka. Taeyong tidak mau bicara, lantas apa? Itu hanya berarti Irene harus mencari jawabannya sendiri.
Mobil ungu kebanggaan Irene mengerem di depan apartemen Ahyeon.
Bangunan tempat tinggal Taeyong sekarang jadi lebih suram sekaligus lebih ramai dari biasanya. Beberapa kelompok kecil melintas dengan langkah lambat, sesekali menunjuk-nunjuk dan membicarakan sesuatu yang sangat seru. Bibir-bibir mereka bergerak membentuk kata 'polisi', 'bunuh diri', dan 'lantai 9'.
Tidak lagi.
Irene menyaksikan mereka dari dalam mobil dan berpikir, ini harus dihentikan. Dia tak bisa membiarkan Taeyong tinggal di tempat jelek ini terlalu lama. Ini sarang masalah, dan Irene akan membawa adiknya pergi dari sini. Sebagai tindakan balas dendam, Irene tidak hanya akan mengambil ponsel, tapi juga seluruh barang-barang Taeyong dan memindahkannya ke tempat yang lebih baik. Walaupun ia cukup yakin Taeyong tidak keberatan pindah, tetap saja ini pembalasan dendam yang manis.
Tangannya bergerak mengambil ponsel, berniat menghubungi perusahaan yang menyediakan jasa sewa truk untuk pindah rumah, tapi tangannya tergelincir keringat berkat mengemudi terlalu lama dan ponsel itu meluncur lepas dari genggamannya.
Benda pipih putih itu terjatuh menghantam bungkusan plastik berisi beberapa buku. Irene ingat dia membelinya setelah bertemu Jung Jaehyun, tapi lupa menggabungkannya dengan bukunya yang lain di rak yang ada di kamar.
Mengomel, Irene memungut lagi ponselnya dan melanjutkan niat. Tidak yakin butuh berapa, dia memutuskan menyewa 2 unit, sembari turun dari mobil.
Belum lagi beranjak, seseorang dari pos satpam berjalan dengan langkah-langkah lebar menghampirinya. Jangkung dan berambut gelap, dia pria yang di tangannya terselip sebatang rokok. Hadirnya Irene membuat dia menginjak rokok itu dan melumatnya hingga padam, lalu menunggu Irene menyelesaikan panggilan.
"Winwin," sapa Irene, berusaha dan gagal mengabaikan bau asap memualkan dari tubuh Winwin. "Permen cowok lagi?"
Winwin nyengir. "Jangan ke atas. Di sana masih kacau, garis polisnya belum dilepas dan tadi pagi ada polisi yang dateng."
"Sayangnya harus." Irene bersandar di bodi mobilnya yang pintunya terentang belum ditutup. "Ada yang mesti aku ambil di tempat Taeyong, salah satunya Ruby."
"Ah ... si anjing?" Winwin mengangguk-angguk. "Tapi kenapa sampai perlu nyewa truk?"
"Taeyong harus pindah. Dia nggak bisa tinggal di sini lagi. Mungkin kamu juga harus pertimbangin buat ikut pindah, soalnya ... kamu lihat apa?"
Tatapan Winwin tertuju ke bagian dalam mobilnya. Ada senyum di wajahnya, yang jelas tidak terukir disebabkan oleh kalimat Irene, melainkan apa yang ia tengok. Pria itu membungkuk, mengangkat benda yang menarik perhatiannya. "Suka baca buku?"
Buku-buku di genggaman Winwin adalah buku yang masing-masing terdapat logo bertuliskan "best seller", dari seorang penulis yang belakangan ini sedang naik daun. Sampulnya yang didominasi warna gelap sudah cukup menjelaskan bahwa buku itu bukan tipikal cerita romance yang disukai gadis remaja.
"Oh, ini? Karangan Dong Sicheng. Aku suka karyanya karena dia berani ngambil tema yang berat dan nggak biasa."
Winwin tiba-tiba terserang batuk-batuk hebat dan cengirannya menjadi lebih lebar. "Jelaslah. Dia penulis yang berani, nggak berpatokan sama satu genre aja."
"Keren, ya? Kamu penggemarnya juga?"
Sekarang Winwin terlihat hampir tertawa. Dia harus mengatupkan bibirnya rapat-rapat agar tawa itu tidak keluar. "Bisa dibilang gitu. Denger-denger dia ganteng banget, mirip Im Siwan."
"Masa?" Irene sangsi, tidak percaya. "Dong Sicheng itu penulis yang misterius. Di semua bukunya, dia nggak pernah muat info pribadi一paling-paling sebatas ucapan makasih一apalagi ngadai meet & greet, jadi sempet ada rumor kalo dia itu cewek yang lagi nyamar."
Senyum Winwin mendadak terhapus, seolah terbawa angin sepoi-sepoi yang berhembus. "Mana ada! Dia itu cowok, asli luar dalam depan belakang!" Semburnya. "Dia cuma terlalu rendah hati aja, makanya suka ngumpet!"
Irene dibuat bingung oleh reaksinya. "Kamu tahu dari mana?"
Winwin tergagap. "I一internet! Iya, dari internet!"
Kepala Irene terangguk ringan karena tak ingin memperpanjang masalah. Ponsel ia masukkan ke saku, dan lengannya terlipat di depan dada. "Aku selalu penasaran sama dia, tapi susah cari infonya. Menurutku Dong Sicheng itu unik, dia sering bikin tokoh yang keluarganya berantakan. Apa jangan-jangan itu pengalaman pribadinya, ya?"
"AHAHAHAHAHA." Winwin terbahak-bahak mengejutkan Irene hingga terlonjak. "Itu一itu cuma kebetulan hahahaha!"
Irene memberinya pandangan ganjil karena tawanya membuat orang lain menoleh pada mereka. Apa derasnya salju mempengaruhi orang untuk bersikap aneh? Mungkin bisa saja kalau orang itu jarang keluar rumah. "Aku nggak yakin, tapi seenggaknya karya dia bagus. Aku jadi bisa belajar cara pikir cowok dari dia, walaupun..."
Winwin menelan ludahnya dengan susah payah. "Walaupun...?"
"Diksi dia biasa aja." Tanpa alasan yang jelas, Winwin merespon layaknya balon yang kempes mendengar kalimat ini. "Serius, diksi yang dipakai Dong Sicheng itu standar. Daya tarik utamanya ada di topik yang dia angkat. Kalau dia nulis romance, pasti dia kebanting sama penulis lain."
Winwin mengusap hidungnya seperti orang yang hendak menangis. "Gitu, ya? Diksinya kurang keren? Kira-kira apa yang harus ditingkatin?"
"Diksi." Irene, bertindak jadi kritikus kejam, mengacungkan satu-persatu jarinya dengan sadis. "Percakapan antar tokoh yang perlu dibuat lebih fresh dan lincah. Variasi latar belakang tokoh. Penjelasan yang harus lebih luwes. Itu aja kok."
"Oke, dicatat." Uniknya, Winwin benar-benar mencatat semua itu di ponselnya. "Ini bisa jadi pengingat yang bagus buat dia biar nggak sombong dan banyak belajar lagi."
"Harus dong." Irene menerima buku yang disodorkan Winwin dan mengembalikan mereka ke kursi penumpang, lalu menutup pintu. Keduanya mulai berjalan ke pintu masuk Ahyeon. "Aku harap dia bisa perbaiki itu. Tapi secara pribadi, aku bener-bener suka buku-bukunya. Karakter ceweknya kuat, temanya beragam dan realistis. Apalagi, dia nggak takut nyoba hal baru."
Punggung Winwin seketika jadi lebih tegak. Wajahnya berbinar. Dia menyetujui Irene lewat anggukan penuh semangatnya. "Itu karena dia hobi nulis dari kecil."
Irene menoleh padanya. "Kira-kira cerita selanjutnya tentang apa, ya?"
"Bisa apa aja." Winwin kembali tersenyum. "Mungkin tentang karyawan hotel kayak Taeyong-ge?"
Tawa Irene menghangatkan suasana di sekeliling mereka yang sendu dikarenakan awan-awan kelabu yang menghalangi sinar matahari. "Kalau butuh referensi, kamu sogok aja dia pake kalguksu. Aku masuk, ya? Nanti aku mau ngomong beberapa hal sama kamu jadi jangan kemana-mana."
Sorenya, Irene pulang dengan Ruby dan beberapa barang pribadi Taeyong yang ingin ia bawa sendiri. Dia sudah bicara dengan Winwin, serta mengancam para pekerja yang ia sewa agar berhati-hati dengan perabotan Taeyong.
Ruby menggonggong dari kursinya, senang diajak pergi karena Irene selalu memberinya makanan ekstra. Tidak ada Taeyong, tapi itulah yang istimewa dari hewan; cinta mereka tidak berubah hanya karena terpisah waktu dan jarak. Dunia hewan tampaknya sangat sederhana dan mudah.
"Yuk," ajak Irene, menggendongnya. Bersama, manusia berkaki 2 dan anjing berkaki 4 itu pun masuk ke rumah.
Ruang duduk dalam keadaan gelap, maka Irene menghidupkan lampunya.
Ruby menggeliat minta diturunkan dan berlari kencang ke arah seseorang yang duduk sendirian di kursi, menekuk kedua lututnya. Anjing itu melonjak-lonjak girang, melompat ke pangkuan Jisung yang hanya diam.
"Jisung?"
Si pemilik nama menengadah.
"Kenapa nggak nyalain lampu? Udah makan?" Poni Jisung sungguh mengganggu. Irene harus menepisnya agar bisa melihat mata Jisung secara langsung dan terkejut, karena kulit yang ia sentuh sangat panas. "Kamu sakit?"
Jisung menurunkan tangan Irene dari keningnya. "Aku mau ngomong sesuatu."
"Tentang apa?"
Jisung membisu sebentar, kemudian, "Pengakuan."
Buat yang kagak tau Im Siwan, dia itu aktor yang cocok jadi cast babehnya Winwin saking miripnya wkwkwkwkw :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top