35. Yang Bebas & Yang Terperangkap
Salah satu hal yang paling Irene suka dari sepatu high heels一selain bahwa sepatu itu membuatnya jadi lebih tinggi一adalah tentu saja bunyinya!
Setiap kali berjalan, akan ada bunyi tuk tuk tuk yang mengiringinya, memberitahukan kehadirannya pada orang-orang tanpa ia harus bersuara. Mereka akan menoleh mencari asal suara tersebut, kemudian menoleh lebih lama pada wajahnya.
Jadi ketika Irene datang, polisi yang bersama Jisung berpaling dari kegiatannya memukul anak itu, dengan sorot mata terganggu dan semburan kata-kata tidak ramah. "Siapa yang nyuruh kamu masuk? Keluar dari sini!"
Irene bisa merasakan otot-otot di wajahnya menegang. "Maaf ya, kamu polisi gadungan atau gimana?"
"Apa? Kamu bilang apa?"
Dalam beberapa langkah lebar tergesa, Irene menghampiri Jisung, dan menepuk bahunya. "Aku bilang satu-satunya orang yang tolol di sini cuma kamu, karena udah interogasi anak di bawah umur sendirian."
Polisi itu tertawa parau, menggaruk dagunya yang kotor belum dicukur. "Denger, kamu siapa一"
Irene mengeluarkan kartu identitasnya dari dompet dan melemparnya ke atas meja seperti seorang penjudi membeberkan kartu AS miliknya. "Lee Irene. Firma hukum Damjang. Pengacaranya Park Jisung. Dan sebagai pengacara, aku mau komplain atas pelanggaran prosedur ini."
Si polisi meneliti kartunya lebih lama dari yang diperlukan, membandingkan fotonya di kartu dengan dirinya yang berdiri di depannya, membaca setiap huruf seperti anak-anak yang baru belajar mengeja, dan memicingkan matanya. "Pelanggaran? Nggak ada pelanggaran apapun di sini."
"Masa?" Irene merebut kembali kartunya dan dengan sengaja, dihadapan polisi itu, membersihkannya seakan mensterilkannya dari kontaminasi kuman. "Setahuku anak di bawah umur harus didampingi pengacara atau minimal walinya yang sah sebelum dimintai keterangan. Kalau nggak, bahkan meskipun dia ngaku jadi tersangka pembunuhan一" Jisung mendongak mendengar kata ini. "一pengakuan itu dianggep nggak valid."
Pantang mundur, polisi itu membantah, "Wali anak ini udah meninggal."
"Dia punya Ayah!" Tapi kemudian Irene bertanya-tanya apakah Jinwoo masih bisa disebut wali Jisung atau tidak.
Si polisi menyunggingkan seringai. "Ya, dan Ayahnya udah ngasih persetujuan lewat telepon supaya Park Jisung boleh diinterogasi duluan, dengan syarat hasil keterangannya boleh dia lihat nanti."
"Park Jinwoo一ya ampun!" Segela caci maki dalam daftar perbendaharaan kata Irene rasanya tidak cukup untuk mengutuknya. Kepala Irene rasanya berubah jadi bom waktu yang disulut oleh amarah. "Tetep aja," imbuhnya, "Ini pelanggaran. Jangan asal bikin prosedur baru. Dan apa maksudnya itu tadi? Kenapa harus mukul dia?"
Tangan si polisi mengangkat gulungan kertas yang sempat ia pergunakan. "Ini cuma kertas."
Benda yang disebut 'cuma kertas' itu direnggut paksa Irene dan dibanting ke lantai. Lalu saat protes mulai meluap dari bibir pria itu, Irene dengan tenang menyahut, "Itu cuma kertas." Dia menunduk pada Jisung. "Kamu nggak apa-apa?"
Jisung tidak menjawab.
Kepalanya masih tertunduk, perhatiannya sepenuhnya fokus pada tangannya yang sedang...
"Jisung, kamu ngapain?"
Kulit tangan kiri Jisung memerah karena ia menggosoknya terus-menerus, lecet, bahkan sudah menimbulkan luka. Lapisan luarnya terkelupas menandakan berapa lama kira-kira dia melakukan itu, titik-titik darah merembes dari lukanya.
"Jisung?" Merasa ngeri, Irene ingat bahwa dalam sebuah artikel, ia pernah membaca ada anak yang mengalami trauma mendalam dalam hidup mereka dan tidak mau bicara lagi, mengalami perubahan pada pola makan, jadi pemurung, takut bertemu orang lain ... Irene menepuk bahu Jisung sedikit lebih keras. "Jangan..."
Detik berikutnya dia berhenti, kehilangan kata-kata. Kamu nggak apa-apa terdengar bodoh karena jelas dia tidak baik-baik saja. Tapi jangan kayak gini juga terasa tidak tepat. Kalimat itu perintah dan Jisung tidak butuh lebih banyak orang yang mirip Shin dalam hidupnya. Menghardik, membentak, memukul, Irene tak pernah percaya pada tindakan mendisiplinkan semacam itu.
Saat Jisung mendongak, irene terkejut melihat matanya yang sembab, bibirnya yang kering karena lama tidak minum, kesedihan di wajahnya, suaranya yang bergetar, "Darahnya nggak ilang..."
"Darah siapa?"
"Shin. Darahnya banyak di tangan."
Tapi saat ditengok, tangan Jisung, kecuali dari darahnya sendiri dan beberapa luka gores, tidak terdapat darah lain. Jejak Shin yang ia sebut itu benar-benar tidak ada. "Jisung, tangan kamu bersih. Mana ada darahnya Shin?"
Jisung menggeleng. "Aku masih bisa lihat darah itu, waktu dia jatuh..."
Hati Irene terenyuh. Jisung ingat, disiksa oleh ingatan itu, menjadi tawanan bagi pikirannya sendiri yang menahannya di peristiwa yang mengerikan. Seperti perpanjangan tangan, Shin memukulnya dengan detik demi detik moment itu.
Tanpa bertanya lagi, Irene meletakkan dompetnya di meja dan menarik Jisung berdiri. "Ayo kita cuci."
Si polisi menghalangi mereka yang akan membuka kenop pintu dengan berdiri di jalur mereka. "Karena ternyata dia nggak bisu, anak itu harus ngasih keterangan dulu. Dia udah 2 jam di ruangan ini tapi nggak ngomong sama sekali. Jadi tolong, duduk lagi. Sekarang."
Suara dingin Irene bagai pisau beku yang terbentuk dari salju yang mengeras menyahut, "Minggir."
"Kamu nggak denger一"
"Minggir," dia mengulang dengan sebaris ancaman, "Kecuali kamu mau dapet teguran dari komisarismu karena bikin prosedur yang nggak jelas. Apa kira-kira hukumannya ya? Skorsing? Pemotongan gaji?"
Sambil melemparkan tatapan bengis, polisi itu mundur perlahan-lahan. "Jalang."
Enggan membuang-buang tenaga berdebat dengan orang bodoh, Irene melanjutkan langkahnya ke toilet pria. Winwin dan Joy berdiri melihat mereka, dan sebagai balasan, Irene menggeleng untuk memberitahu semuanya belum beres. Dia mengetuk 3 kali, menunggu beberapa detik, dan bergumam, "Permisi!" sebelum masuk.
Seorang pria yang keluar dari salah satu bilik toilet sambil mengancingkan celananya terkesiap kaget dan hampir terpeleset saat ia terburu-buru masuk lagi. "Whoa. Ada apa ini? Kok ada cewek?"
Tidak mengacuhkannya, Irene membimbing Jisung ke deretan wastafel, menyalakan keran air. Dia membersihkan tangan itu dengan sungguh-sungguh hingga yakin tidak ada sisa darah. Busa sabun memenuhi lubang wastafel. Berikutnya mesin pengering tangan melakukan tugasnya. "Udah kan? Nggak ada bekasnya sekarang."
Apa yang dilihat Irene tampaknya tidak sama dengan yang disaksikan Jisung karena dia bergeming, mengambil alih tangannya sendiri dan menggosoknya lagi. Lagi. Dan lagi.
"Cukup." Irene menghentikannya dengan suara lantang penuh kekhawatiran. Dia tidak memikirkan ini sebelumnya, tapi apa yang dialami Jisung pastilah sangat buruk, jauh lebih buruk dari pukulan bertubi-tubi di punggung, sebab dia baik secara fisik maupun mental, terlihat hancur.
Berapa banyak anak yang bisa pulih usai menemukan ibunya bunuh diri sekaligus diserang oleh 'ayah' tirinya yang sinting?
Irene meraih Jisung ke dalam pelukannya. "Bukan salah kamu. Apapun kejadian di sana, itu bukan salah kamu, ngerti?"
Jisung tidak sependapat. "Itu emang salah aku. Kalau Shin meninggal, sama aja aku yang bunuh dia."
"Itu一" Irene baru akan mengucapkan lebih banyak kalimat penghiburan sebelum sadar apa yang dikatakan Jisung. "Apa maksud kamu? Taeyong yang dorong Shin kan?"
"Bukan." Suara Jisung sekarang nyaris tidak terdengar. "Tapi一"
Tapi apapun yang akan ia ungkap dipotong oleh hadirnya Winwin, yang membuka pintu dan memberi peringatan, "Jisung."
Pandangan Irene berpindah-pindah pada mereka. "Kenapa?"
Sama seperti Taeyong, Winwin memilih menghindari tatapannya. "Nggak ada. Polisi nyuruh kalian balik."
Winwin tidak tahu bahwa Irene tidak hanya lebih tua, namun juga lebih mahir berdusta. Di ruang sidang, dia melakukan beberapa hal yang tidak ia banggakan; berbohong, berkelit, menggiring opini dewan juri agar memberinya kemenangan. Dengan kata lain, membohongi seorang pengacara adalah tindakan yang sia-sia. Seperti menutupi gajah dengan papan kayu seukuran tubuh rubah, Irene tahu dia menyembunyikan sesuatu.
"Winwin?"
Noda di salah satu ubin toilet mendadak jadi sangat menarik bagi Winwin sampai ia mengamatinya dengan berlebihan. "Aku mau cari makanan dulu."
Pemuda itu buru-buru berbalik, mengira dengan begitu rahasia yang ia simpan akan aman, tapi Irene yang mungil bisa bergerak cepat kalau ia mau dan tanpa rasa takut, mencekal lengan Winwin. "Apa? Apa yang nggak aku tahu? Winwin, kalau ini tentang Taeyong..."
"Tolong jangan salah paham." Upaya Winwin menenangkannya terdengar payah. "Taeyong-ge sendiri yang mau."
"Mau apa? Kalian bertiga kenapa sih?"
Tatapan Winwin meluncur melewati Irene dan malah terfokus pada Jisung. "Aku nggak mau dia marah." Dia melepaskan tangan Irene darinya dengan lembut. "Kalian bersaudara serem banget soalnya." Setelah itu dia menyingkir seraya tertawa canggung.
Bagian atas kepala Irene mulai berdenyut-denyut nyeri karena semua masalah ini. Ada terlalu banyak benang kerumitan dan terlalu sedikit waktu serta kemampuan untuk menguraikannya. Dia pusing, tapi bukan obat medis yang bisa menolongnya, melainkan seseorang yang dengan ajaib memberitahunya bahwa Taeyong bebas dari pengawasan polisi, Shin pergi jauh-jauh, dan mereka berdua一bertiga一bisa memulai kembali kehidupan mereka yang membosankan tapi damai.
Mata Irene menyipit menatap kepergian Winwin. "Ayo, Jisung. Kamu tetep harus ngasih pernyataan. Mungkin dia asal bicara."
Selalu, akan ada waktu untuk setiap masalah yang bukan prioritas. Irene terbiasa mengurutkan segala hal dan mengurusnya nanti. Satu-persatu, pelan-pelan. Tidak boleh terburu-buru meski sangat ingin tahu.
Sembari tersenyum, Irene mengajak Jisung yang ragu-ragu lagi ke ruangan tempat si polisi galak menunggu dengan asap yang seolah keluar dari telinganya.
Semakin marah karena diancam, polisi itu menodongkan tiap pertanyaan seperti sedang menembakkan peluru asli; kasar, merusak, tajam menusuk.
Jisung memberitahu cerita versinya yang mirip dengan cerita Taeyong; dia pulang karena Hyuk, menemui kejutan yang tidak menyenangkan, lolos dari Shin, lantas ditolong oleh Taeyong. Bedanya, dia tidak terlalu mendetail. Sering diam, sering melamun, jelas tertekan.
Dan Irene pun tahu, Jisung juga berbohong.
Mereka selesai lebih lama karena sikap diam Jisung, dan itu mengakibatkan kejengkelan si polisi bertambah. Menurut Irene, untuk pembalasan dendam, pria itu berkata, "Oh, jangan lupa ke rumah sakit. Pihak rumah sakit nelepon ke sini supaya ada yang ngurus mayat ... Park Asa?"
Irene harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak melakukan sesuatu yang akan ia sesali di kemudian hari menyangkut senyum si polisi.
Faktor kedua, dikarenakan suara Park Jinwoo yang ia dengar sebelum matanya menangkap sosoknya. Sumpah serapah berpadu dengan keluhan, mendahului tangan Jinwoo yang membuka pintu. Dia muncul dengan setelan kusut dan ekspresi yang mengungkapkan dia lebih suka berada di kantornya, menghasilkan uang, daripada berada di kantor polisi.
"Kamu bikin masalah apa?" Jisung bahkan belum berdiri saat Jinwoo menyerobotnya dengan pertanyaan itu. "Kenapa harus ada polisi? Dan pengacara ini? Kenapa Asa belum ngusir dia?"
Polisi di belakangnya melambaikan tangan acuh tak acuh meminta Jinwoo duduk. "Park Jinwoo? Dimohon tenang dulu一"
Jinwoo kelihatannya terlalu bodoh untuk memahami apa arti kata tenang. "Nggak, nggak bisa. Anak ini kenapa? Dia nggak bikin masalah serius kan?"
Tanggapan Jisung pada pertanyaan itu adalah duduk tenggelam di kursinya, tidak berusaha membela diri di depan Jinwoo.
"Ada ribut-ribut di rumahnya. Ibunya meninggal. 1 orang lagi," jelas si polisi. "Ada di rumah sakit, kondisinya parah."
Darah seakan terkuras dari wajah Jinwoo, meninggalkannya dalam keadaan memucat. "Sebentar, apa? Jisung." Kemarahan yang ia selipkan pada nama anaknya seperti terjangan ombak ganas. "Kamu ngapain? Kamu ngapain? Kenapa nggak ada habisnya bikin masalah? Dan kenapa kamu diem aja? Ngomong!"
Si polisi tak dapat menahan tawa.
Irene membereskan barang-barangnya dengan cepat, mengajak Jisung berdiri bersamanya. "Enaknya abis ini makan apa?"
Jinwoo menatapnya berang. "Sampai urusan ini selesai, dia nggak boleh kemana-mana. Kalau bener Asa meninggal, berarti hak asuhnya jatuh ke Ayahnya kan?" Tanyanya pada si polisi, yang dibalas anggukan. "Kamu, tunggu di luar. Kita omongin ini nanti."
"Bikin jadwal marahin anak?" Pegangan Irene di lengan Jisung melilit semakin kuat. "Park Jinwoo, nggak satupun anak layak dapet Ayah kayak kamu."
Malas berlama-lama di ruangan yang sama dengan pria itu, Irene berjalan melewati pintu untuk kesekian kalinya, mengabaikan fakta bahwa tindakan ini, sebenarnya bisa saja dinilai sebagai penculikan.
Jinwoo benar; setelah Asa meninggal, hak asuh Jisung ada padanya.
Demi membuat Jisung sedikit lebih baik, Joy memberinya jaket kakak lelakinya yang tertinggal di mobil yang walaupun terbuat dari bahan wol yang kelihatannya gatal, masih lebih baik daripada jaket Jisung yang lama.
Dengan Winwin yang bertingkah tidak terjadi apa-apa, mereka makan di sebuah restoran dekat kantor polisi atau setidaknya, Irene, Joy, dan Winwin-lah yang makan sebelum pergi ke rumah sakit.
Tidak menyangka akan melakukan ini, terlebih pada wanita yang tidak dia kenal, Irene mendapati dirinya berada di kamar mayat, menandatangani surat-surat yang diperlukan untuk proses kremasi jenazah Asa.
Rasanya seperti deja vu dalam cara yang menyedihkan.
Petugas kamar mayat paling tidak sangat baik pada Jisung, memuji betapa cantik ibunya selagi membersihkan tubuh wanita itu. Dia bertanya di mana mereka berencana meletakkan abunya, dan meski Jisung tidak menjawab, dia masih tersenyum lebar.
Di sebelah Winwin yang juga mengucapkan selamat tinggal, Jisung menunduk ke bahu Asa dan menangis, suara pilu yang mengiringi perpisahan seorang anak dengan ibunya. Tanpa kata, hanya isakan teredam.
Saat itu kemiripannya dengan Taeyong begitu jelas sampai Irene harus memalingkan wajah.
Jisung berbisik, "Maafin aku, Ma."
Joy menyikutnya ringan, mendekatkan mulutnya ke telinga Irene. "Aku masih nggak paham kenapa kamu peduli sama dia, tapi apa menurutmu dia butuh psikiater?"
Setelah itu, Park Asa bebas dari dunia ini sebelum Irene menemukan jawaban atas pertanyaan si pembawa sukacita.
Ada yang kangen Shin kagak neh? H3h3h3 nantikan nasib dia nanti ya 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top