34. Sebagai Seorang Kakak

Joy sungguh sesuai dengan namanya; membawa sukacita.

Entah karena memang sedang dalam mode rajin atau tergiur hadiah yang Irene janjikan padanya, Joy berhasil mendapat informasi mengenai Jung Jaehyun dalam waktu beberapa jam setelah Irene memintanya, berbekal informasi sekolah serta kelas Jisung. Tidak tahu pula siapa yang memberitahunya karena sekolah sedang libur, tapi yang jelas, Irene puas.

Jung Jaehyun yang dari namanya saja sudah  seksi di kehidupan nyata sangat tampan dan merupakan nutrisi lezat bagi mata wanita. Dia masih muda, manis, berpikiran terbuka, dan menyimak perkataan Irene dengan seksama.

Yang mengejutkan, Jaehyun tidak terlalu kaget mendengar cerita tentang salah satu muridnya, jadi meski akting baik-baik saja Jisung di apartemen sukses besar, dia tidak selihai itu menutupi semuanya di sekolah.

Irene pulang 1 jam kemudian dengan catatan penambahan nama baru di barisan saksi miliknya.

Dia kira, hari ini akan jadi hari yang indah.

Ekspektasi Irene luluh lantak saat dia tiba di Ahyeon dan mendapati mobil patroli polisi  terparkir di halaman. Lantai 9 kedatangan 2 polisi yang berkumpul di unit 92. Taeyong ada di sana. Taeyong, adiknya yang selalu memakai pakaian ala preman sehingga sering disalahartikan menyeramkan oleh orang lain. Dan Jisung. Mereka berdua sedang dalam keadaan tidak baik yang membuat jantung Irene menciut karena hantaman rasa takut hadir dalam bentuk ganda.

"Ada apa ini?" Seorang polisi yang tadinya bicara pada Winwin menghalanginya saat dia akan masuk, menghalangi dirinya saat akan menghampiri adik-adiknya. "Mereka kenapa? Taeyong! Jisung!"

Polisi lain tengah menunduk pada Taeyong, membacakan hak Miranda dengan suara lembut yang tidak salah lagi, merupakan milik Suho.

Suho menoleh mendengar keributan yang ia sebabkan. "Irene, diem di sana. Tolong jangan cemari TKP."

Bagaimana? Bagaimana ia bisa diam melihat mereka terluka seperti itu? Irene tidak tahu caranya. Ia tidak mengerti apa itu diam dan mengapa dia harus peduli pada TKP saat di otaknya ada gema yang menyuruhnya lari pada Taeyong dan Jisung, meyakinkan dirinya sendiri bahwa luka mereka tidak separah kelihatannya.

"Lepasin, berengsek! Lepas一"

Lalu, Taeyong pingsan.

Ada yang menjerit. Suara melengking seorang gadis yang tidak dapat mengontrol ketakutannya memenuhi udara, menyebarkan teror yang ia rasakan pada dunia. Gadis itu tampaknya tidak peduli bahwa dia bisa mengganggu kenyamanan penonton lain. Yang dia tahu, adiknya terluka, adiknya terluka, dan ia benci pada orang yang menahannya untuk menolong adiknya itu.

Butuh beberapa saat bagi Irene untuk sadar bahwa suara tersebut berasal dari tenggorokannya sendiri.

Dia jatuh berlutut, saat Suho menelpon ambulans. Suho memeriksa orang kedua yang terbujur di dekat Taeyong. Jisung menangis. Winwin menutup matanya dengan kedua tangan.

Begitu saja, lantai 9 yang biasanya sepi mendadak jadi ramai.

Ambulans tiba dalam waktu yang rasanya kabur bagi Irene. Mereka mengangkat Taeyong, orang yang ternyata adalah Shin, dan wanita bertubuh kecil yang wajahnya ditutupi selembar kain putih. Garis polisi dipasang. Peringatan agar tak melewati garis itu disuarakan. Winwin dan Jisung dibawa dan Irene rasanya terbagi 2 oleh dilema antara mengawasi yang mana.

Namun seperti semua krisis, dia percaya dia akan mengatasinya.

Mengusap air mata, Irene bangkit. Akan ada waktu untuk bersikap cengeng, tapi bukan sekarang. Tidak sekarang. Dia mengeluarkan ponsel, menghubungi Joy dan sebelum gadis itu bicara, dia sudah menyerobot dengan permintaan, "Joy, ke Ahyeon. Cepet. Tolong ikut Jisung ke kantor polisi. Ada masalah. Masih nggak tahu apa itu tapi aku harus bareng Taeyong. Oke?"

Joy menggumamkan sesuatu tentang perintah mendadak yang tidak ia suka dan bahwa Irene keterlaluan sekali sebab mengganggu acara bersantainya, tapi di akhir kalimat dia menukas, "Oke."

Petugas ambulans mengizinkan Irene untuk duduk bersama Taeyong dan untuk kali ini, Irene bersyukur dia selalu membawa kartu identitasnya kemana-mana. Seandainya 'kartu keluarga' gagal, dia bisa pamer kartunya sebagai pengacara.

Mereka mengobati Taeyong. Mengatakan sesuatu tentang denyut nadi yang stabil dan cedera yang harus diperiksa lebih lanjut. Mereka bekerja, Irene juga. Sekilas terlihat tidak peduli, Irene bersandar memejamkan mata, menganalisis apa saja yang sudah dia saksikan.

Shin terluka. Ibu Jisung meninggal. Taeyong juga. Jelas sudah ada perkelahian yang terjadi. Apa pemicunya? Kapan? Sebagai kakak, Irene tahu Taeyong bukan tipe orang yang akan melakukan penyerangan lebih dulu一terlebih tanpa alasan yang bisa diterima.

Jadi kemungkinan Taeyong mengkonfrontasi Shin dapat dicoret.

Lebih masuk akal, Shin menyerang Taeyong. Itu sesuai dengan temperamennya yang bisa sewaktu-waktu meledak. Irene masih ingat kemarahan Shin saat dia membawa Jisung.

Atau, C, Shin melakukan sesuatu pada Jisung dan Taeyong membantunya. Asa jadi korban salah sasaran.

Tarik napas, hembuskan. Ini tidak seburuk perkiraannya, pasti. Dia hanya kelewat kalut, sampai-sampai tidak bisa berpikir jernih. Setiap masalah punya jalan keluar. Setiap jalan keluar hanya perlu ditemukan. Memegang ini seperti doa, Irene jadi lebih tenang dan ia sudah tidak panik lagi ketika mereka tiba di rumah sakit.

Irene berbelok ke toilet, membasuh wajahnya. Dia mengeluarkan ikat rambut, mengikat rambut itu dengan ikatan kencang, jadi tidak akan ada sejumput rambut pun yang lolos. Dia menjepit poninya, butuh penglihatan yang jelas untuk saat seperti ini. Setelah itu dia menunggu Taeyong selesai diperiksa.

Taeyong akan baik-baik saja. Jisung akan baik-baik saja. Mereka akan baik-baik saja.

Satu-satunya orang yang harus kena masalah adalah Shin dan kalau dia masih hidup, Irene bersumpah akan mengejarnya kemanapun, membalasnya, bahkan meski dia bersembunyi di balik punggung Han.

Suho datang menawari dirinya sekaleng soda dingin. "Irene, aku minta maaf, tapi aku harus dapet keterangan Taeyong setelah ini."

"Nggak usah minta maaf." Irene mengerti. Dia menerima soda itu dan meminumnya. "Itu tugasmu."

Suho duduk di sebelahnya tanpa berkata-kata lagi. Tidak tampak seperti teman kencannya, dia menjalankan tugasnya sebagai polisi dengan serius. Tidak ada percakapan lagi di antara keduanya sampai dokter keluar, memberitahu mereka bahwa  luka Taeyong tidak serius.

Irene berterimakasih, lantas mendahului Suho masuk. Dia melihat Taeyong, menggenggam tangannya. Obat apapun yang diberikan dokter padanya membuat Taeyong tidur cukup lama, tapi Irene tidak beranjak. Dia di sana, tinggal di samping satu-satunya keluarga yang ia anggap hidup.

Menit demi menit berlalu, waktu seakan menguji kewarasannya, menyiksanya dengan bunyi tik tik tik yang rasanya jadi luar biasa keras.

Kemudian, Taeyong bangun.

Taeyong membuka matanya perlahan, mengerjap karena silaunya cahaya lampu. Memejamkan mata lagi, membukanya lagi. Dia menoleh pada Irene.

"Ada yang sakit?"

Mendengar itu Suho seketika siaga. Si polisi mendekati mereka, mengibaskan tangannya di depan wajah Taeyong. "Taeyong? Bisa lihat? Bisa denger jelas? Perlu dipanggilin dokter?"

Bibir Taeyong bergerak mengeluarkan sialan pelan yang tak didengar siapapun kecuali Irene. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak apa-apa."

Irene meremas tangannya yang bebas dari jarum infus, tertawa.

Suho berdeham, dengan canggung membacakan ulang hak Miranda karena Taeyong keburu pingsan sebelum ia selesai. Usai memastikan secara resmi Irene adalah pengacaranya, Suho melanjutkan, "Ceritain apa yang terjadi di unit 92."

Irene memperhatikan saat Taeyong menatap langit-langit, pose yang dilakukan orang-orang kala berusaha mengingat-ingat suatu kejadian. "Itu pembelaan diri."

"Dari awal." Suho menggeleng. "Kenapa kamu ada di rumah Jisung?"

Taeyong menolak menatap siapapun secara khusus. "Harusnya aku lagi siap-siap nonton sama pacar sekarang. Aku lagi mikirin mau pake baju apa一ada bukti chat一tapi aku denger Jisung teriak dan aku nyamperin dia."

"Jarak unit kamu ke Jisung itu 3 unit."

"Yah, tapi aku nggak punya masalah pendengaran." Taeyong menggerutu. "Unit Jisung itu nggak kedap suara, dia juga teriak keras banget, jadi telinga aku yang sehat ini bisa denger."

"Oke." Suho menarik rambut depannya ke belakang, mengatur stok kesabaran. "Dan berikutnya apa? Apa yang kamu lihat?"

Bahkan dalam keadaan terbaring dengan kepala diperban, Taeyong ternyata masih bisa membuat orang lain kesal. "Aku lihat Shin ngamuk. Dia pegang lampu, warnanya krem. Dia mau mukul Jisung, tapi aku ngehalangin dia. Aku dorong Shin bangsat itu."

"Dan?"

Tiba-tiba Taeyong diam.

"Dan apa?" Suho mendesaknya, sesekali mencatat keterangan itu. "Ayo, Taeyong. Bicara."

Dengan nada yang lebih ramah, Irene bertanya, "Kamu inget kejadiannya kan?" Sejujurnya dia agak khawatir Taeyong lupa, karena hal semacam itu bisa saja terjadi. Ada beberapa menit yang tidak tertangkap korban yang mengalami gegar otak parah.

Anggukan Taeyong menjawab pertanyaan Irene, sekaligus memberinya kelegaan. Taeyong menyentuh bagian belakang kepalanya, berkata, "Ini. Kepala Shin kena bagian tajam meja. Aku lihat ada darah di sana. Dia kepleset botol soju-nya Asa. Dia nggak gerak lagi, tapi," buru-buru Taeyong mengimbuhkan, "Itu karena dia nyerang aku juga. Aku nggak punya pilihan lain."

"Luka kamu?"

Taeyong mengulangi gerakan kepalanya. "Dia nyekik Jisung. Dia mukul aku pake lampu itu. Salah satu botol yang lain dia pecahin ke lenganku. Dia kalap."

"Apa penyebabnya?"

"Asa." Wajah Taeyong diselimuti kesedihan saat membahas wanita yang tak pernah Irene temui. "Asa bunuh diri. Shin kira itu salah Jisung. Waktu itu aku nyuruh Jisung beli makanan, dan ada satpam, namanya Hyuk一bisa dikonfirmasi一yang bilang kalau Ayahnya dateng. Jisung naik, pulang ke rumahnya. Dia bilang pas masuk udah nemuin Mamanya bunuh diri."

"Kenapa kamu nggak nemenin dia?"

"Aku nggak tahu dia mau pulang." Taeyong mengangkat bahu sebisanya dalam kondisi berbaring. "Dia bilang mau ke rumah Winwin."

"Winwin langsung nelepon polisi."

Pernyataan, bukan pertanyaan, tapi Irene tahu Suho sedang memberi Taeyong pertanyaan jebakan yang akan ia cocokkan dengan keterangan Winwin.

Taeyong menggeleng. "Dia nolong Asa dulu. Asa temennya. Winwin khawatir. Aku juga udah usaha nolong Shin tapi ... apa dia meninggal?"

Ujung pulpen hitam Suho mengetuk-ngetuk buku catatannya. "Belum, tapi dia lebih parah dari kamu."

Irene tidak repot-repot menyembunyikan helaan napas leganya. Mengharapkan kematian seseorang bukanlah tindakan terpuji tapi Shin layak mendapatkannya.

Ada lebih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan Suho, misalnya, sejak kapan Winwin muncul? Bagaimana tepatnya Taeyong 'mendorong' Shin? Tapi Taeyong bisa menjawab semuanya tanpa jeda keragu-raguan lagi.

Suho belum bisa melabeli Taeyong dengan status tersangka, tapi mulai sekarang Taeyong akan diawasi. Hadiah dari sikap kooperatifnya adalah dia tidak diborgol ke tempat tidur, apalagi mengingat ditanya-tanya saja sudah membuat dia kepayahan.

Seorang polisi lain memberi hormat ringan pada Suho dan berjaga di luar ruangan, tepat ketika Taeyong mengakhiri penjelasannya dengan kalimat, "Jisung nggak salah. Dia bener-bener cuma korban."

"Kita lihat itu abis penyelidikan," ujar Suho, bergegas menyusul rekannya.

Irene menunduk pada adiknya dan sekali lagi bertanya apa Taeyong tidak merasa sakit. Dia mengelus rambutnya, meringis melihat luka yang mungkin akan membekas di dahi Taeyong. Tapi dia tidak menangis. Dia harus kuat untuk mereka berdua. "Kamu nggak masalah di sini sendirian? Aku harus ngurus Jisung. Joy bilang dia di kantor polisi, diinterogasi sendirian juga. Aku nggak yakin Park Jinwoo mau dateng buat dia."

Taeyong memberinya isyarat mengusir. "Si tikus itu lebih butuh ditemenin."

Senyum Irene terkesan sendu. "Adek kita yang satu itu emang bandel, ya?"

Taeyong tergelak. "Tapi kalau udah selesai..."

"Apa?"

"Ambil hp aku di rumah." Dia memohon,  sedikit malu tapi juga sedih. "Cari kontak namanya Seulbear, bilang aku minta maaf karena nggak bisa dateng."

Terbiasa bergerak sendiri bila tidak sedang bersama Joy, irene tidak mencari Suho setelah ia menyetujui permintaan Taeyong (anak itu punya pacar!), dia langsung menghentikan sebuah taksi di depan rumah sakit dan meminta si sopir ngebut ke kantor polisi dengan imbalan beberapa uang tip.

Walaupun tingkat kejahatan di Korea tidak terlalu tinggi, tetap saja, kantor polisi selalu ramai oleh petugas, saksi, dan tersangka yang digiring ke sel sementara mereka.

Irene berulangkali berucap, "permisi" demi melewati keluarga yang tak rela anak mereka ditahan, sambil menekan rasa takutnya sendiri bahwa kalaupun Taeyong harus berada di sini, dia tidak akan tinggal terlalu lama一Irene akan memastikannya.

Rambut Joy yang di cat merah membuat kehadirannya jadi mencolok, sehingga tidak sulit menemukannya. Di samping gadis itu, ada seseorang yang tampak salah kostum karena mengenakan piyama bermotif garis-garis dan untungnya bukan motif yang lebih lucu seperti, katakanlah, beruang madu.

Tapi Winwin terlihat tidak mempedulikan penampilannya saat dia berdiri menyambut Irene. "Taeyong-ge gimana?"

"Taeyong oke." Irene celingukan, mencari 1 orang yang merupakan tujuannya kemari. "Mana Jisung?"

Joy menunjuk ke bagian dalam kantor polisi, ke arah sebuah ruangan yang tertutup rapat. "Aku nggak bisa masuk karena bukan walinya. Park Jinwoo belum dateng. Dia lama banget di sana, Irene. Kayaknya ada masalah. Polisinya galak."

Berusaha bersikap profesional, Irene tidak mengumpat. Dia berjalan cepat ke ruangan itu, menatap beberapa wajah familiar yang pernah ia jumpai di pengadilan dan memberi mereka senyum atau anggukan, lantas membuka pintu.

Di dalam, dia melihat ruangan yang tidak asing lagi; 2 kursi yang dipakukan ke lantai mengepit meja polos membosankan yang di atasnya, terdapat lampu berpenerangan redup yang mengakibatkan orang depresi.

Seorang polisi berjaket hitam mondar-mandir kesal, berhenti di hadapan seorang anak laki-laki yang menunduk di kursinya sendiri. Tidak ada suara yang keluar dari anak itu saat si polisi mengangkat gulungan kertas di tangannya, memukulkan benda itu ke kepala si anak dan membentak, "Masih nggak mau ngomong, hah? Kamu pikir tugas polisi cuma nunggu kamu ngomong? Banyak tugas yang lebih penting di luar sana. Pake mulutmu, pake, tolol!"

Sumpah chings, walopun di sini seulyong yang ngenes karena gagal pacaran tapi gua lebih kasian sama si dedeq yang gua siksa dari awal awokwokwok :vv kagak ngerti juga mengapa diriku sekejam ini 🤧🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top