33. Peristiwa 9 Menit
Lee Taeyong sedang tersenyum-senyum menatap ponselnya.
Sungguh ajaib apa yang bisa dilakukan oleh sebaris pesan yang dikirimkan sang pacar, bagaimana tanpa bertatap muka pun, kau bisa merasakan kehangatan menyeruak dari teks di layar yang menyebar ke hatimu. Cinta mungkin bagi sebagian orang adalah racun, yang dalam beberapa hal, bisa sangat gawat karena merusak akal sehat, tapi bagi yang lain, racun itu terasa manis.
Dengan pikiran, Taeyong mencari-cari pakaian yang pantas untuk ia kenakan ke kencannya dengan Seulgi. Mengobrak-abrik lemari melalui ingatan visual, dia ingat kakaknya membelikan sebuah mantel biru cerah kemarin, karena menurut irene, koleksi pakaiannya terlalu gelap dan suram dan mirip preman.
Mungkin, itu bisa dipakai.
Tidak bisa tidak nyengir tolol, Taeyong mengetik, "Aku jemput jam 7?"
Sembari menunggu balasan Seulgi dan belum-belum sudah membayangkan topik apa yang akan ia bahas nanti, Taeyong menyandarkan kepalanya ke lengan sofa, mendengarkan penyanyi di TV melantunkan lagu cinta一membuat suasana kian sempurna.
Taeyong baru saja bergumam mengikuti bagian rap lagu tersebut ketika teriakan itu terdengar.
Teriakan yang dikeluarkan seseorang saat terpojok, putus asa, meminta tolong.
Seulgi menguap dari pikirannya dan ia bangkit, membiarkan ponsel terjatuh. Hampir tersandung selimutnya, Taeyong buru-buru membuka pintu, mendapati bahwa bukan dia saja yang mendengar teriakan itu, tapi juga Winwin.
"Itu suara siapa?" Winwin tampaknya baru saja berguling dari tempat tidurnya karena dia memakai piyama. "Jisung?"
Mereka kompak menoleh ke unit 92 dan Taeyong mengumpat. "Si bego itu udah dibilangin supaya nggak pulang!"
Kapan sebenarnya anak muda zaman sekarang akan belajar untuk mematuhi perintah demi kebaikan mereka sendiri? Dalam hati bersumpah akan mengomeli Jisung habis-habisan, Taeyong bergegas menuju unit itu, menekan kombinasi password yang masih ia ingat. "Jisung? Jisung, kamu di dalem?"
Tidak ada jawaban.
Alasannya diketahui Taeyong setelah pintu terbuka dan pemandangan mencengangkan terhampar di depannya.
Winwin menabrak bahu Taeyong yang berhenti mendadak melihat kekacauan rumah keluarga Park; Shin tergenang darahnya sendiri, mata membelalak, tidak bergerak. Pecahan tajam botol soju menusuk kakinya dan Jisung meringkuk tidak jauh dari situ, untuk pertama kalinya, menangis. "Aku nggak sengaja. Aku nggak sengaja. Maafin aku..."
Menit pertama.
Taeyong mendekati anak itu, memegang bahu kurusnya, mengguncangnya. "Apa ini? Kamu ngapain?"
Jisung malah terus menangis. Kepalanya yang juga terluka masih mengeluarkan darah.
"Jawab, Jisung!"
Di belakangnya, Winwin dengan efisien sudah menutup pintu, lalu mengayunkan kakinya untuk memeriksa Shin, memegang pergelangan tangannya dan membisu untuk waktu lama. "Aku nggak yakin soal ini, tapi kayaknya dia masih hidup."
"Mana Asa?" Meninggalkan Jisung yang kacau, Taeyong melangkah ke ruangan lain. Secara otomatis tertarik pada pintu yang terbuka dan ia memasukinya.
Bila Taeyong pikir ini tidak bisa jadi lebih buruk lagi, dia salah, karena di sana, di atas tempat tidur berlapis sprei katun dengan motif dedaunan musim gugur, Park Asa terbaring dengan mata terpejam dan dada yang tidak lagi menarik napas.
Pisau tergeletak bersama lampu meja berhias darah. Warna merah dimana-mana, menyebar ke lantai seputih susu.
Wajah tegang Winwin yang mengekorinya seketika memucat. "Asa?"
Tetangganya terseok-seok menghampiri Asa. Keadaan Shin memang mengejutkan, tapi dia tidak begitu peduli. Asa lain. Asa adalah temannya dan dalam setiap langkah pada wanita itu, Taeyong dapat merasakan kengerian Winwin.
"Asa? Sialan Asa, bangun! Kenapa bisa begini? Hei, bangun!"
Asa bergeming. Tidak ada lagi darah yang mengalir dari luka sayatan di tangannya menjadi tanda bahwa jantungnya sudah berhenti berdetak. Dia meninggal.
Menit kedua.
Otak Taeyong berpikir cepat; Asa tidak bisa diselamatkan. Shin kemungkinan sekarat dan bukan mustahil menyusul Asa. Jisung menangis di ruang duduk, histeris.
Kemungkinan apa yang terjadi bisa dipersempit.
Berputar balik ke tempat Jisung, Taeyong berjongkok, memaksa Jisung menatapnya. Suara paling tegasnya bertanya, "Kamu yang ngelakuin ini?"
Jisung menggeleng repetitif. "Aku bener-bener nggak sengaja, maafin aku. Tolong maafin aku. Shin一"
"Shin kenapa?"
"Shin marah." Agak terlambat, Taeyong melihat bahwa bukan hanya kepala Jisung saja yang terluka, namun juga lehernya. Bekas kemerahan melingkari leher itu, menandai cekikan yang dilakukan oleh jari-jari besar dan kejam. "Mama ketemu Ayah. Hyuk nyuruh aku ke sini tapi..."
Dia berhenti. Tlidak bisa melanjutkan karena disela tangis.
Apa saja yang sudah dia alami? Neraka macam apa yang sudah dia lewati?
Menebak-nebak, Taeyong berkata, "Mama kamu bunuh diri?"
Kali ini respon Jisung adalah anggukan. "Shin marah," ulangnya. "Dia kira itu gara-gara aku. Aku dorong dia dan dia jatuh. Dia nggak gerak lagi." Mata sipit Jisung kini digenangi air mata sekaligus rasa takut. "Apa aku bunuh dia?"
Menit ketiga.
Taeyong melakukan hal yang benar dengan memeluknya, seiring dengan pemahaman yang muncul. Penyebabnya sudah jelas dan akibatnyalah yang sedang Taeyong pikirkan. Buntut peristiwa ini akan panjang, melibatkan bidang yang oleh kakaknya dijadikan pekerjaan; hukum.
Polisi. Pengacara. Jaksa, dan ... penjara.
Winwin keluar dari kamar Asa seraya membanting sebuah dompet hitam. "Park Jinwoo bangsat! Daridulu dia bisanya bikin masalah! Dasar bajingan!"
Bahkan hanya dengan memikirkan penjara, kaki Taeyong goyah saat ia berdiri. Dia menatap Jisung, berpikir, apakah anak yang mentalnya sudah tidak keruan sepertinya bisa bertahan di penjara?
Tidak.
Taeyong mengalihkan pandangan pada Winwin. Tekad di matanya lebih kuat dari baja saat ia memutuskan sesuatu. "Win, Jisung nggak boleh masuk penjara."
Gerakan tangan Winwin yang mengacak-acak rambutnya membeku di udara. "Apa?"
"Tadi dia beli makanan," Taeyong menerangkan. "Dan Hyuk nyuruh dia ke atas karena Ayahnya dateng. Jinwoo pasti ngomong sesuatu ke Asa yang bikin dia bunuh diri. Terus Shin dateng, Shin ngira itu salah Jisung."
"Jadi ini pembelaan diri?"
Taeyong menegaskan ucapannya, "Dia nggak salah. Dan dia nggak boleh masuk penjara."
Angka di jam di pergelangan tangan winwin memberitahu Taeyong berapa lama waktu berlalu sejak mereka masuk. Detik demi detik yang berjalan mempersempit keberhasilan rencana yang ia susun. Dia tahu bahwa dalam keadaan ini, tidak boleh ada banyak waktu yang terbuang.
Winwin berdiri kaku di depannya. "Kita harus apa?"
Taeyong memberinya isyarat untuk mengikutinya ke kamar Asa, lantas mengambil lampu meja rusak yang berada di samping pisau yang digunakan Asa untuk pergi dari dunia ini. "Pegang ini."
Bimbang sebentar, Winwin menurutinya.
Taeyong menunjuk kepalanya sendiri dan membasahi bibirnya. "Pukul. Yang keras. Bikin cedera parah yang nggak akan mancing kecurigaan polisi kalau itu luka buatan."
Menit keempat.
Winwin mundur selangkah, terlihat seakan Taeyong-lah yang hendak memukulnya. Saat dia mengerti, dia jadi semakin ngeri. Rona merah meninggalkan pipinya, membuat dia nyaris tak ada bedanya dengan Asa. "Nggak, nggak. Ini gila. Yang bener aja. Ini pembelaan diri! Mana mungkin polisi nahan Jisung? Nggak mungkin! Kita cuma perlu jelasin aja!"
"Tapi sampe ada hasil penelitian resmi, dia pasti dipenjara." Taeyong yakin, sebagai adik seorang pengacara yang sering mendengar cerita kakaknya. "Mau itu pembelaan diri, mau itu disengaja, tetep aja dia harus tinggal dipenjara, Win!"
"NGGAK!" Winwin bersikeras menolak.
Di saat yang sama Jisung bergabung dengan mereka menyuarakan pendapat yang sama, "Jangan. Aku yang salah, aku yang harus tanggung jawab."
Tidak secara kasar, Taeyong mendorongnya. Dia mengeratkan genggaman Winwin pada lampu meja karena pria itu terlihat akan membuangnya. "Nggak ada waktu. Polisi bakal curiga kalau ada banyak jeda antara kita ke sini dan nelepon mereka."
"Pikirin dulu, ge." Bujuk Winwin. "Penjara itu bukan tempat nongkrong yang bagus."
"Itu sebabnya dia nggak boleh ke sana!" Jelas Taeyong, menuding Jisung yang berdarah-darah dan berantakan. "Ayo, Win. Cepet lakuin."
"Masalahnya一"
"LAKUIN SEKARANG!"
Mata Winwin terpejam sesaat, bibirnya mengeluarkan erangan panjang frustrasi. Nyaris mendengar pikirannya, Taeyong tahu dia menyesal keluar dari unitnya yang aman tanpa konflik. Tapi dia mengangkat tangan, membuat ancang-ancang dengan lampu itu sementara Jisung menghalanginya.
"Kak Winwin, jangan一"
Taeyong menghitung dalam hati; 1, 2...
Belum sampai pada hitungan ketiga, lampu itu lebih dulu menghantam sisi kanan wajahnya, mengirimkan gelombang rasa sakit luar biasa bersama darah yang menetes dari pusat luka yang terbentuk.
Taeyong mengumpat. Menit kelima.
Sakit, tapi ini belum cukup. Cermin yang merefleksikan dirinya memamerkan luka itu yang terlalu kecil dan remeh untuk bisa disebut luka hasil pembelaan diri.
Sekali lagi Taeyong menunjuk wajahnya. "Lagi. Yang parah. Ini terlalu ringan."
Tangan Winwin gemetaran hebat. "Nggak bisa. Aku nggak pernah mukul orang..."
"Lagi! Pukulanmu lebih mirip pukulan anak-anak. Kenapa lembek banget jadi cowok?"
Kilatan kemarahan melintas di mata Winwin. Salah satu kata yang Taeyong ucapkan telah memicu suatu emosi atau ingatan dan tanpa perlu dipaksa lagi, Winwin memukulnya lebih keras dari sebelumnya hingga ia terkesiap, jatuh terduduk.
Lampu itu ikut jatuh saat Winwin dengan panik mengecek kondisi Taeyong dan terlihat ingin menampar dirinya sendiri. "Ge, maaf. Seharusnya aku nggak mukul sekeras itu, maaf."
"Nggak, nggak." Tapi selama beberapa detik, Taeyong dibutakan rasa sakit dan bertanya-tanya apakah ia sudah gegar otak. "Nggak apa-apa." Dia menenangkan Winwin, sekaligus jantungnya yang berdetak kencang. Diraihnya lagi lampu yang melukainya, dan dengan tangan yang lain, dia menyeret Jisung ke lokasi Shin terbaring.
Begitu dilepas, Jisung merosot lagi, memukul-mukul kepalanya yang sudah terluka.
"Telepon polisi," perintah Taeyong, selagi dia meletakkan lampu itu di tangan Shin, memastikan dalam setiap sentuhan, polisi pasti menemukan jejak DNA Shin. "Bilang kamu denger Jisung teriak dan Shin nyerang dia."
Agar semakin meyakinkan, Taeyong mengambil pecahan botol soju dan melukai lengannya. Harus parah, harus mengerikan, tapi tetap saja ketika melakukan dan mengulang proses itu, gigi Taeyong terkatup rapat dalam usahanya menahan ringisan.
Menit keenam.
Berikutnya, dia memutar tubuh menghadap Jisung usai Winwin menyelesaikan teleponnya dengan suara terpatah-patah dan kata-kata yang separuhnya adalah dusta. "Jisung, denger."
Jisung terisak. Dia mengulang-ulang kalimat bahwa dialah yang salah, mengancam rencana Taeyong yang sudah setengah terlaksana.
"Denger!" Taeyong berganti membentak. "Jangan ngubah cerita. Jangan nambahin hal yang nggak perlu. Bilang sama polisi kamu teriak, dan Kakak masuk nolongin kamu. Kakak yang dorong Shin. Bukan kamu, ngerti?"
Mencoba memberi pengertian, Taeyong memperlihatkan lukanya sendiri. "Jisung, ini bakal sia-sia kalau kamu jujur. Jadi mending kamu nurut. Ceritain awalnya ke mereka tapi ubah ending-nya." Taeyong memaksa dirinya tertawa. "Bikin seolah-olah Kakak jadi pahlawan. Bisa kan?"
Dengan suara bergetar, Jisung berbisik, "Nggak bisa..."
"Harus bisa," desak Taeyong. "Pokoknya harus bisa. Si bangsat ini sama aja menang kalau kamu masuk penjara, walaupun dia juga udah mau mati."
Sayangnya, Shin tidak mati.
Meski samar, Taeyong bisa melihat dadanya yang naik-turun menarik, menghembuskan napas. Lukanya tampak parah, tapi apa benar itu cukup membunuhnya?
Sebuah gagasan terbentuk di benak Taeyong. Gelap dan jahat, gagasan itu layaknya asap hitam pekat yang melahap sisi baiknya.
Dia meraih botol soju lain yang masih utuh, menimang-nimang benda itu. Kalau ini dipukulkan pada Shin, peluang pria itu selamat akan menipis. Dan bukankah itu bagus? Dengan begitu takkan ada yang bisa merusak rencana ini...
Mungkin...
Menit ketujuh.
Winwin menampar tangannya sampai botol itu terlepas dan menggelinding ke bagian lain rumah. "Nggak. Itu kelewatan. Aku setuju ngerekayasa bukti, tapi kita nggak akan bunuh dia. Kalau iya, apa bedanya kita sama dia?"
Taeyong mengusap wajahnya, mengabaikan tetesan darah hangat yang menetes ke kemejanya. "Dia nggak pantes hidup."
"Bukan kita yang berhak mutusin itu," gumam Winwin, dengan keraguan di suaranya yang menjelaskan bahwa dia sempat memikirkan hal yang sama.
Mereka saling bertukar pandang dan Taeyong menghela napas. "Inget ceritanya, Win. Jisung teriak. Kamu masuk terlambat karena nyari pakaian atau apalah. Kamu nggak langsung nelepon polisi karena kamu meriksa Asa, ngerti?"
Winwin mengiyakan. "Kak Irene gimana?"
Baru saat itulah Taeyong memikirkan kakaknya yang entah berpetualang ke mana. Irene, tak diragukan lagi, akan sangat kaget ketika tahu dia sudah terlibat dalam hal apa. Tapi Taeyong memutuskan masalah penting ini menurut penilaian terbaiknya, "Jangan kasih tahu dia."
Kemudian dia menunduk pada Shin, meraba denyut nadi di lehernya. "Si bangsat ini一"
Taeyong terdiam karena 2 hal; denyutan rasa sakit yang berdentum di kepalanya, dan pintu yang menjeblak terbuka. 2 polisi berjalan masuk dengan pistol dalam posisi siaga.
Menit kedelapan.
Mereka mengatakan sesuatu. Winwin membalas dengan sesuatu yang lain.
Taeyong tiba-tiba kehilangan tenaganya dan ia tidak bisa mendengar apa-apa. Telinganya berdenging. Gambar-gambar berkelebat cepat di matanya. Ruangan bergoyang-goyang, menyulitkan dia fokus.
"Sialan一"
"Taeyong? Lee Taeyong?" Seorang polisi memanggil dengan suara yang anehnya, terasa familiar. Mulut pria itu bergerak-gerak tapi tak ada kata yang ditangkap Taeyong. Suaranya terputus-putus seperti saat melakukan panggilan dengan sinyal yang buruk. "Anda ... hak ... didampingi pengacara ..."
Seseorang menyela ucapannya dengan sebuah teriakan bingung dan kalut. Rekan si polisi harus mencegah orang itu masuk, tapi tampaknya dia tidak berhasil karena orang itu keras kepala. "Ada ... ini? Taeyong! Jisung!"
"Irene, jangan一"
"Lepasin, berengsek! Lepas一"
Kemudian, bukan sebuah tindakan pura-pura, Taeyong merintih pelan memegangi kepalanya saat semakin banyak darah keluar dan ia tumbang di sebelah Shin.
Hal terakhir yang ia dengar adalah seseorang yang menjeritkan namanya, dan suara yang lebih kecil meminta maaf lagi dan lagi sambil menangis.
Setelah itu, dia pingsan.
Menit kesembilan.
Jadi gaes, prolog itu sebenernya bocoran konfliknya HAHAHAHAHA, dan buat yang bingung, Miranda rights walopun asalnya dari Amerika tapi juga berlaku di Korea kok, contohnya pernah di pake di film Parasite :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top