31. Urusan Keluarga
Gadis berambut panjang itu menatap Jinwoo dengan kemarahan yang menyala-nyala di matanya.
Datang-datang mengaku sebagai pengacara, dia menunjukkan foto-foto yang membuat Jinwoo tercengang. Pipinya merona merah, matanya berkilat-kilat. Gadis itu tampaknya menahan kata-kata yang tidak ingin ia ucapkan tapi upayanya tidak berjalan lancar. Semburan kemarahannya tidak terkendali dan jika saja semua itu tidak diarahkan padanya, Jinwoo pasti akan kagum karena ada seseorang yang melindungi Jisung seperti itu.
Apa yang terjadi?
Dasar orang-orang Ahyeon tolol. Dia baru pergi sebentar dan sudah ada masalah yang melibatkan pengacara. Jinwoo benar-benar kesal karena setelah ia menyingkir jauh-jauh pun, tangan-tangan kerumitan rupanya masih bisa meraih dan mencengkeram kakinya, mengancam menenggelamkannya dalam kubangan urusan keluarga yang membosankan.
Waktunya benar-benar tidak tepat, sial baginya. Publisitas memang bagus, tapi publisitas negatif bisa menjadi layaknya bola yang di lempar ke dinding dan memantul ke kepalanya. Akibatnya seperti kebakaran beruntun; mitra kerja tidak senang, pekerjaan akan terhambat dan uang sulit masuk ke kantongnya.
Dengan enggan, Jinwoo turun dari mobilnya dan untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan yang lalu, dia kembali ke apartemen Ahyeon.
Jinwoo menengadah. Tidak banyak perubahan di sini. Bekas rumah lamanya masih kumuh dan penuh dengan penghuni rendahan. Sejauh ia memandang, tidak ada wajah baru, hanya tetangga lama yang memelototinya seolah ia turun dari tank tentara.
Melewati mereka tanpa niat menyapa一sungguh, apakah itu ada gunanya?一Jinwoo hanya mengangguk singkat pada Hyuk. Dia bergegas ke lantai 9, menuju unit 92 yang tak ingin ia datangi lagi.
Setelah mengetikkan password ulang tahun putranya, pintu terbuka.
Bau alkohol menghantam Jinwoo seperti gelombang musim panas, memenuhi paru-parunya dengan aroma yang biasanya ia temui di bar dan tempat lain yang ia hindari. Botol-botol kosong berbaris tak beraturan di lantai, sebagian menggelinding dalam posisi yang berbahaya, di tempat-tempat yang dulunya bersih dan tertata rapi.
Mata Jinwoo menyipit. Dia tidak suka ini.
"Asa?"
Memanggil si mantan istri, Jinwoo berjalan hati-hati di karpet usang yang butuh segera di cuci. Sepatu yang tidak ia lepas meninggalkan jejak kotor di sana tapi ia tidak peduli. Ia tidak akan membiarkan kulitnya menyentuh apapun. Tempat ini kotor dan menjijikkan.
"Asa一" Jinwoo memanggil untuk kedua kalinya tapi seketika berhenti.
Duduk di dapur dalam naungan cahaya remang-remang dengan sebotol alkohol di genggaman tangan kurusnya, Asa berkedip menatap Jinwoo. Dan sudah, hanya itu saja. Kalau dia terkejut karena kehadirannya, dia tidak terlalu menampakkan itu.
Jinwoo menarik sebuah kursi lalu mengurungkannya. Dia tidak mau kursi itu mengotori jas kerjanya mengingat ia masih harus ke ke kantor.
"Mana Jisung?"
Asa menuangkan alkohol ke gelas, meneguknya dengan suara keras. Jawaban darinya tak lebih dari acungan jari ke kamar Jisung dan pandangan yang tidak fokus.
Bersyukur kali ini wanita itu tidak menangis, Jinwoo melangkah ke arah yang ditunjuk dan membuka pintu.
Kamar Jisung kosong.
Malah, tempat itu agak berantakan一yang merupakan hal aneh karena Jisung bukan tipe remaja yang betah dengan kamar yang tingkat kebersihannya rendah. Koleksi foto keluarga yang seingat Jinwoo berderet di dinding hilang dan yang lebih mengejutkan, kamera yang ia berikan atas saran Winwin terlihat rusak di atas laci.
Ini baru mengkhawatirkan, karena meski Jinwoo mengakui dia tidak terlalu dekat dengan anaknya, dia tahu Jisung menyukai kamera itu dan Shin tidak tampak di manapun.
Merasa dipermainkan, Jinwoo dengan geram berputar balik ke dapur dan mengulang pertanyaannya, "Mana. Jisung? Jawab."
Bahu Asa mengedik acuh tak acuh. "Nanti juga pulang."
Wanita yang dulu akan kalut kalau Jisung ada kegiatan sekolah sampai malam dan lupa memberitahunya itu bahkan sama sekali tidak menampakkan emosi, apalagi kepedulian. Dia bagai ada di dunianya sendiri; tempat alkohol menggantikan dan menendang kasih sayang untuk anaknya.
Kesabaran Jinwoo habis dengan cepat. "Asa apa-apaan ini? Ada masalah apa Shin sama Jisung? Apa ini cuma karena uang?"
Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan lembaran-lembaran uang tebal yang telah ia persiapkan, melemparnya ke meja di depan wajah Asa.
"Kenapa ngurus 1 anak aja nggak bisa? Dari kecil Jisung nggak pernah bikin masalah. Barang mahal yang dia minta cuma kamera. Dan dia bahkan nggak banyak omong. Kenapa sampe ada masalah yang ngelibatin pengacara?"
Melirik pun tidak, Asa bangkit dan mengambil botol yang Jinwoo curigai bukan botol keduanya. Di lemari es yang biasanya tersedia snack untuk Jisung, sudah terganti oleh botol-botol alkohol berwarna hijau yang dijual di minimarket tempat Shin bekerja. "Bawa aja dia. Bawa dia jauh-jauh."
Decakan sebal terlontar dari bibir Jinwoo. "Itu tugasmu. Ngurus anak itu tanggung jawabmu. Bukan aku yang minta punya anak!"
Perdebatan basi yang sudah berulangkali mereka bicarakan ini membuat Jinwoo muak, tapi bedanya, alih-alih mengingatkan Jinwoo akan pembagian tanggung jawab seperti dulu, respon Asa kini berbeda. "Kenapa? Yena nggak mau bantu? Dia kelihatannya baik buat ukuran jalang."
"Jangan ungkit Yena soal ini!" Jinwoo menyergah dengan kasar. "Yena nggak salah. Yena juga nggak ada hubungannya sama Jisung!"
"Tapi sebenernya ada kan?" Asa mendongak dan di matanya, terlihat kesedihan yang mendalam, tidak pudar atau lenyap, walaupun sudah lama mereka berpisah. "Jinwoo, kenapa harus dia? Kenapa nggak bisa tetep di sini?"
Ketika suaranya pecah dan mantan istrinya menangisi hubungan mereka yang tidak bisa lagi diperbaiki, Jinwoo sadar bahwa di dunia ini ada luka yang tidak mudah disembuhkan. Luka yang masih berdenyut sakit dan menyiksa, tanpa bisa diobati dokter manapun kecuali dia yang disebut Sang Waktu.
Merepotkan.
Inilah alasan Jinwoo malas berkunjung karena jika tidak mengamuk, Asa pasti akan bersikap cengeng dan bertanya apa yang kurang darinya, kenapa dia lebih memilih Yena. Tersedu-sedu seperti bayi, menodong Jinwoo dengan rasa bersalah padahal jelas sikapnyalah yang membuat Jinwoo menolak tinggal. Siapa yang bisa tahan dengan rumah tangga hambar dan terlalu menekan? Kalau ada, pasti bukan Jinwoo orangnya.
"Asa, kita udah bahas ini berkali-kali dan nggak ada jalan keluar. Aku serius, apapun masalah Jisung sama Shin, jangan sampai ada pengacara yang bisa bawa-bawa nama Kyungyoon. Ada proyek besar dan proyek itu nggak boleh kacau. Usir pengacara itu gimanapun caranya."
Asa terisak memeluk dirinya sendiri di kursi, menggeleng keras kepala. "Kalau kita nggak punya anak ... kalau Jisung nggak ada..." Kalimatnya terpatah-patah karena dia harus berjuang menghentikan tangis. "Semua ini karena Jisung kan?"
Mulut Jinwoo terbuka tapi tak mampu mengeluarkan kata-kata. Dia berdiri di sana, merasa seperti ayah paling buruk di dunia yang melimpahkan kesalahan pada anaknya yang tidak meminta dilahirkan, namun di sisi lain, Jinwoo tak bisa membantahnya.
Jinwoo yang tidak siap dipanggil ayah, melarikan diri pada Yena yang lebih penurut dan tidak membebaninya dengan segudang tanggung jawab.
Ini bukan tentang keegoisan, Jinwoo hanya ingin bahagia.
Tidak tahu harus melakukan apa, Jinwoo mengusap tangannya yang berkeringat ke celananya. "Asa, udahlah."
Asa terus menangis dan Jinwoo tidak akan heran bila Shin membencinya karena ini; membuat wanita yang ia cintai menangis, padahal, dia sama sekali tidak bermaksud begitu.
Semakin bingung dan canggung, Jinwoo mengeluarkan lebih banyak uang dengan berat hati. "Ini, nanti aku kirim lagi bulan depan. Beliin Jisung kamera baru dan jangan bikin keributan."
"Tapi, Jinwoo一"
Menepiskan tangan yang telah berjasa membesarkan Jisung bisa dibilang seorang diri di luar faktor finansial, Jinwoo mundur dan tanpa ia sadari, menjatuhkan dompetnya. "Tolong." Dia menghela napas. "Urus Shin juga. Aku harus ke kantor sekarang."
"Jinwoo! Jinwoo!" Asa mengejarnya, tersandung dan hampir terjatuh.
Tapi Jinwoo tidak berhenti. Ada hal yang lebih penting dari sekedar mendengarkan rengekan Asa. Dia berjalan lurus ke pintu keluar, menendang botol yang menghalangi jalannya dan membuka pintu itu untuk kedua kalinya.
"Jinwoo kalau kamu pergi一"
Sekarang Asa menjerit; suara serak khas orang yang lebih dari sering menenggak alkohol.
"一Kita nggak akan ketemu lagi!"
Jinwoo menoleh sekilas ke belakang. "Itu bagus kan?" Lantas dia menutup pintu dan membiarkan tangisan Asa teredam benda itu walaupun tidak sepenuhnya berhasil. Sejujurnya memang itu yang diharapkan Jinwoo; Asa pergi dari hidupnya, berhenti merecoki dirinya dan Yena. Bila perlu, Asa pergi saja selamanya.
Di dunia yang kejam ini, tak ada tempat bagi wanita yang lemah sepertinya.
Tak jauh dari tempat itu, siang menjelang sore, Park Jisung mengecek foto-foto di kamera barunya dengan senyum yang tercetak di wajahnya.
Banyak objek menarik di sekitar apartemen kalau dia mau berjalan sedikit一entah itu dalam bentuk orang atau benda atau hewan. Dia beruntung karena di lingkungannya, terdapat berbagai macam tempat yang memiliki pemandangan bagus; taman, toko roti, deretan cafe di pinggir jalan, lapangan yang sering dipakai bermain basket atau sepak bola一tergantung kelompok mana yang datang duluan, dan jalanan yang jarang sepi yang kadang-kadang, dilewati seorang pengemudi dengan mobil bergaya klasik yang langka.
Bagi Jisung, memotret adalah kegiatan yang menyenangkan karena selain bisa membekukan waktu, dia juga bisa mengabadikan kenangan yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi.
Karena alasan inilah, dan harapan menemukan sesuatu yang pantas mengisi album fotonya, Jisung membawa kameranya saat ia pergi ke warung tenda. Tadi pagi, Irene gembira sekali usai mendapat panggilan dari Joy sampai-sampai ia menghentikan kegiatan memasaknya setelah bicara dengan berbisik-bisik.
Dia meninggalkan Taeyong yang kelaparan dan menurut Irene mengalami "error" bila tidak segera makan. Jisung menawarkan untuk membeli makanan karena Taeyong terlihat bingung, persis seperti saat pria itu bilang ada salep luka bernama coco crunch.
Di tengah perjalanannya, Hyuk mencegat dan menggerakkan tangannya ke atas. "Jisung!"
Jisung mendekatinya dengan pandangan bertanya-tanya.
Hyuk menghampirinya sebelum ia tiba di pos dan membalikkan tubuhnya ke pintu masuk. "Cepet naik. Ayahmu ada di atas."
Tidak langsung percaya, Jisung berhenti berjalan. "Ayah? Tapi Ayah一"
Hyuk mengangguk tidak sabar. "Cek sendiri sana, itu pun kalau dia belum pulang. Shin udah dikabari karena dia kelihatannya marah tadi."
Jisung tidak berkata bahwa Jinwoo memang sering marah saat berada di rumah, dia buru-buru melesat ke lift. Tanpa tahu apa yang akan ia bicarakan nanti dengan pria yang kerap menghindar berada satu ruangan dengannya itu, Jisung hanya berniat melihatnya. Ini sudah berbulan-bulan, apa yang membuatnya pulang?
Kemudian Jisung mengingatkan dirinya sendiri bahwa Ahyeon bukan lagi rumah ayahnya.
Tiba di lantai 9, dia mampir ke unit Taeyong untuk menyerahkan kalguksu pesanannya dan meletakkan kameranya di tempat yang tidak bisa dijangkau Ruby.
Sayang, pemiliknya lebih dulu memergoki saat ia akan pergi lagi dan memegang bagian belakang jaket Adidas yang ia beli kemarin. "Mau kemana? Makan dulu."
Jisung memejamkan mata sejenak dan sambil menatap ke arah lain kecuali mata Taeyong, dia berkata, "Rumah Kak Winwin."
Sekali lihat, dia tahu bahwa dia gagal menipu Taeyong. Perihal berbohong, memang bukan keahliannya. Tapi karena terdesak, mengingat kalimat Hyuk, Jisung berkelit. "Cuma sebentar, nanti aku balik."
Memanfaatkan kelengahan Taeyong, Jisung berhasil meloloskan diri dan berlari keluar. Dia membuka pintu rumah yang berhari-hari tidak ia datangi dan masuk.
Cklek.
Pintu tertutup otomatis di belakangnya.
Sudah sejak lama一kalau mau jujur sejak ada Shin一Jisung merasa tidak nyaman di sini, tapi kali ini ia mengabaikan perasaan itu dan melangkah ke dalam, melewati ruang duduk menuju dapur.
Sebuah benda hitam menarik perhatiannya dan Jisung menunduk mengambilnya. Itu dompet. Dompet yang sangat ia kenal, bahkan sebelum ia membaca kartu tanda pengenalnya.
Milik Jinwoo.
Yang artinya, Jinwoo benar-benar datang.
Jisung menelan ludah dengan susah payah. Apa dia terlambat? Tidak ada suara Jinwoo. Justru, rumah ini sangat hening seakan tidak ada lagi makhluk hidup yang mendiaminya. Pelan-pelan, dia melangkah lebih jauh ke kamar. Meski tahu Shin sedang bekerja dan bahwa pria itu butuh waktu setidaknya beberapa menit untuk sampai, dia tetap saja takut.
Ada yang berbeda.
Jisung tidak tahu bagaimana ia tahu atau cara menjelaskannya, namun ia tahu, merasakan sesuatu yang membuat hawa dingin di rumah ini menguat, menjadi jauh lebih dingin dari tumpukan salju di luar.
Ragu-ragu, dia mencengkeram kenop pintu kamar ibunya, merasakan besi dingin itu dan berpikir, apakah dia harus masuk?
Di bagian lain rumah itu, pintu kamarnya sendiri terbuka. Ibunya mungkin sedang bersama Shin dan kalau ada di kamar, dia pasti akan marah.
Pada akhirnya, rasa penasarannya menang dan Jisung membuka pintu itu.
Apa yang ia saksikan membungkam mulutnya yang baru akan memanggil Asa.
Wanita itu terbaring di atas tempat tidur, tertutup selimut hingga ke perut. Wajahnya condong menghadap tembok dan sebelah tangannya terjulur dari kasur, meneteskan darah yang sudah membentuk genangan lebar seperti danau.
Pisau yang seharusnya ada di dapur tergeletak di lantai dan Jisung mengerti; pisau itulah yang digunakan ibunya untuk bunuh diri.
Siap2 buat besok ya kawand, bakal ada adegan kayak gini :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top