30. 2 Burung Dan 1 Batu
Semakin siang, mall semakin ramai.
3 laki-laki dari eskalator sebelah memandang Irene nyaris tanpa berkedip saat ia menyelesaikan teleponnya dengan Joy. Dengan tubuh setengah bersandar di pembatas yang pegangannya berlapis sesuatu (karet?) berwarna hitam, dia memikirkan apa saja yang akan dia katakan pada Jinwoo meski satu-satunya hal yang dia inginkan tak lain adalah menghajarnya.
Berselingkuh. Menelantarkan anak. Mengusir Taeyong dengan cara rendahan, dan kini terkuak bahwa pasangan selingkuh Jinwoo adalah ibunya? Daftar perbuatan tercela Park Jinwoo semakin panjang saja. Membenci seseorang kadang merupakan tindakan yang tidak terhindarkan, tapi ini pertama kalinya Irene membenci seseorang yang tidak ia kenal sebesar ini. Irene rasa, dia telah terlibat dalam urusan yang seharusnya dia hindari, jurang yang tak seharusnya ia dekati.
Mencoba menebak kemana arah kasus Jisung seperti memainkan permainan yang sering tayang di TV; dipaksa menutup mata, meraba sebuah kotak, dan memegang apa yang ada di dalamnya. Oh, apa ini? Kertas? Bebek karet? Ternyata itu kaktus, tapi saat ia menyadarinya, itu sudah terlambat. Kaktus itu menusuk tangannya dan ia terluka. Sejarah kelam keluarganya bertambah.
Yang lebih buruk adalah, Irene tidak bisa mundur一itu bukan pilihan lagi! Setelah mengetahui berita buruk ini, ia merasa harus membantu Jisung, bukan sekedar "perlu" atau "ingin". Di luar standar apa yang benar, Irene merasakan tanggung jawab, perasaan bersalah yang ingin ia lenyapkan.
Maka, melewati seorang petugas keamanan yang sedang memarahi remaja-remaja cowok yang bergurau saling dorong, Irene berjalan menuju toko terdekat dengan eskalator. Dia mengeceknya, memeriksa dengan seksama, tapi tak menemukan Park Jinwoo di sana sehingga pindah ke toko sebelah yang ternyata memberinya keberuntungan.
"Park Jinwoo."
Di antara deretan, tumpukan tirai berbagai motif, pria yang dia cari tengah mengamati sebuah tirai berwarna kuning dengan motif bunga-bunga khas musim panas yang ceria. Jinwoo menoleh saat Irene memanggilnya, menampakkan seraut wajah mirip Jisung dalam versi yang menonjolkan keangkuhan. "Kamu siapa?"
Membayangkan ibunya tinggal serumah dengan pria ini, di bangunan berjendela besar yang siap di pasang tirai itu, Irene merasakan sesuatu di perutnya yang membuatnya mual. "Kita harus bicara." Merebut tirai tersebut dari tangan Jinwoo, menyerahkannya pada pegawai toko, ia mengimbuhkan, "Ini tentang Jisung一itu pun kalau kamu masih inget sama anakmu."
Di mall itu, setiap beberapa meter, terdapat bangku putih tanpa sandaran yang terbuat dari kayu dengan model berselang-seling yang disediakan oleh pihak pengelola, dan Irene menggunakan salah satunya untuk bicara dengan Jinwoo.
Dia tidak mau turun ke food courd, lalu bertemu ibunya lagi. 10 menit dengannya telah menumpuk begitu banyak kekesalan yang akan bertahan lama dan Irene tidak ingin menambah kekesalan itu. Meski ada terlalu banyak orang dan lokasinya tidak ideal, dia tidak mengeluh (kecuali dalam hati) dan menjelaskan apa yang terjadi pada Jisung secepat dia bisa. Bukti foto yang tersimpan di ponselnya menjelaskan lebih jelas, membuat kerutan di dahi Jinwoo kian banyak.
Selagi bicara, Irene mengingat kata-kata Taeyong di rumah sakit, "Jinwoo mungkin nggak terlalu peduli sama dia, tapi Ayah mana yang tega ngelihat anaknya kayak gini?"
Taeyong bicara atas dasar kasih sayang. Sebuah naluri kuno yang bahkan dimiliki oleh hewan dan orang manapun yang berpikiran waras. Melindungi anak seharusnya jadi insting utama orang tua, sealami paru-paru mereka menghirup napas, dan Irene mencari tanda itu dalam diri Park Jinwoo dengan teliti.
Sekarang, 1 orang lagi yang punya peran penting dalam kisah ini tengah mengamati foto-foto di ponsel irene lama sekali sampai-sampai dia berpikir Jinwoo sudah lupa pada wajah Jisung. Karena tidak membawa tas kerjanya, hanya itu yang bisa dia tunjukkan, namun itu pasti cukup untuk meyakinkan Jinwoo bahwa anaknya dalam kesulitan kan?
Sayangnya respon pertama Jinwoo hanya berupa, "Ini Jisung?"
Apa dia benar-benar melupakan anaknya? Irene bersyukur tidak ada gelas di depannya kali ini. "Kamu pasti bisa ngenalin dia kalau nggak ngilang berbulan-bulan."
Jinwoo menggeleng, tidak jelas apakah untuk menghalau sindiran Irene atau semata-mata ungkapan tidak percaya melihat kondisi Jisung. "Kenapa?" Dia bertanya. "Jisung baik. Dia nggak pernah bikin masalah. Kenapa ada orang yang ngelakuin ini ke dia?"
Karena Shin sudah sinting? Karena Shin tidak punya otak, apalagi empati? Karena Shin ternyata penipu handal dengan reputasi terlalu bersih? Bagai menular, Irene ikut menggeleng. "Kamu Ayahnya. Kenapa nggak coba tanya langsung ke Shin?"
Nama itu menimbulkan efek seperti batu yang dilemparkan ke permukaan air yang tenang; riak yang mengusik ekspresi datar Jinwoo dan membuatnya menoleh dengan pandangan terkejut. "Shin? Maksudmu Nam Shin?"
Irene memutuskan melemparkan lebih banyak batu agar permainan semakin seru. "Ya, dan Asa. Tapi Asa terpengaruh sama depresinya, dia nggak sepenuhnya salah." Setelah menimbang-nimbang sejenak, berpikir apakah dia bersikap lebih halus pada Asa atas dasar solidaritas antar wanita, Irene mengangkat bahu. "Mungkin."
Ekspresi Jinwoo terlihat seakan Irene baru saja memberitahunya bahwa mall ini akan diserang dinosaurus 5 menit lagi dan mereka harus segera melakukan evakuasi. Dominan di sana, adalah ketidakpercayaan, bercampur dengan humor aneh yang memunculkan garis-garis halus di sekitar matanya. Dia hampir tertawa. Irene menceritakan masalah Jisung padanya dan dia hampir tertawa. "Maaf, tapi itu nggak masuk akal. Asa sayang sama dia. Dan Shin dikenal punya kepribadian yang positif. Mungkin ini salah. Mungkin Jisung cuma berantem sama temen-temennya? Itu bisa aja terjadi kan?"
Di suatu tempat di sudut telinganya, Irene tiba-tiba mendengar suara tawa Han yang penuh ejekan. "Hei, Park Jinwoo." Sepasang kekasih yang melintas di dekatnya menoleh mendengar suara ketus Irene. "Apa kamu setolol itu? Apa ini kelihatan kayak luka karena berantem? Ini penyerangan! Kalau kamu nggak mau biayain Jisung, kamu nggak usah khawatir karena aku nggak minta uang sama sekali. Aku cuma minta kamu peduli! Dia ini anakmu, anak! Mana kasih sayangmu?"
Irene sadar dia sedang berteriak一sesuatu yang bahkan jarang terjadi di ruang sidang. Seumur hidup, dia mengandalkan ketenangan, seperti harimau yang menyerang setelah yakin mangsanya tak punya peluang untuk lolos. Marah-marah bukanlah gayanya; itu hanya mengingatkan dia pada Yena dan Irene benci itu.
Tapi ya Tuhan, dia tidak tahan lagi. Irene berubah pikiran. Dia ingin ada gelas di tangannya, supaya bisa menghantamkannya ke wajah Jinwoo. Dia yakin kalau Taeyong ada di sini, Taeyong akan melakukan sesuatu yang menghibur.
Jinwoo menarik dirinya berdiri secara mendadak dan mengeluarkan ponsel. "Asa. Harus bicara sama Asa dulu."
"Oh bagus. Baru inget sama dia sekarang?" Irene mengepalkan tinjunya kuat-kuat di atas lutut. Respon Jinwoo yang lambat tidak memuaskannya. "Kemana aja kemarin? Kenapa kamu pikir kewajibanmu selesai cuma karena kamu dan Asa cerai?"
Panggilan yang dilakukan Park Jinwoo tampaknya tidak berjalan sesuai yang dia inginkan karena dia mulai menunjukkan kegelisahan dengan berjalan mondar-mandir. "Karena Shin."
"Apa?"
Jinwoo harus menunduk untuk menatap Irene karena tinggi badan dan posisinya. "Shin yang minta. Dia bilang nggak perlu dateng lagi."
Mulut Irene ternganga tapi tak dapat segera menutupnya kembali. "Dan kamu nurut gitu aja?"
Dengan lagak membela diri layaknya seorang saksi yang ketahuan berbohong, Jinwoo berhenti menempelkan ponsel ke telinganya dan menukas, "Itu buat kebaikan Asa. Keadaan mental Asa nggak ... stabil. Dia selalu nangis atau ngamuk atau histeris tiap aku ke sana."
"Jadi supaya keadaannya nggak makin parah, Shin nyuruh kamu nggak dateng lagi?" Merasa perlu meluruskan banyak hal, Irene turut berdiri. Di otaknya, fakta-fakta tersusun membentuk kesimpulan dan kebencian yang terarah pada satu orang yang nyaris menipunya.
Shin, yang suaranya terlampau lembut. Shin, yang sorot matanya memancarkan keramahan. Shin, yang bisa menipu orang lain semudah mata berkedip, rupanya juga menipu Jinwoo, demi alasan yang melibatkan Asa?
Namun sungguhkah demikian? Apa itu benar-benar niatnya ataukah Shin hanya melempar 2 burung dengan satu batu? Menyingkirkan Jinwoo, dan mencegah adanya kecurigaan? Apa kata Winwin waktu itu? Dia ketawa. Nggak jawab, cuma ketawa.
Bajingan sakit jiwa.
Kemarahan, lebih dari yang bisa Irene bendung, memenuhi seluruh tubuhnya saat ia merenggut tasnya yang terbaring di bangku seperti kucing yang bersantai. "Park Jinwoo, kamu nggak bisa diharepin sama sekali. Apa pernah kamu mikir kebaikan Jisung sedikitpun?"
Pengendalian diri saat ini tidaklah penting, Irene muak sekali dan tidak berminat berbaik hati pada Jinwoo. Irene kehilangan itu, juga stok kesabarannya yang biasanya selalu melimpah. Yena dan Jinwoo tidak ada bedanya; mereka adalah pasangan yang serasi dan tak ada yang lebih ia inginkan daripada menjauh dari keduanya.
Tapi Jinwoo mengikutinya saat ia berjalan pergi ke lift yang sejak tadi ia lirik. Dengan nada tersinggung, pria itu membantah, "Selama ini Jisung baik-baik aja, dia sama Ibunya一"
"Jisung nggak baik-baik aja!" Irene membentak, takut pada dirinya sendiri karena ia merasakan dorongan melempar apa saja一ponsel, tas一pada Jinwoo, tidak lagi sebatas kiasan. "Kamu nggak pantes dianggep Ayahnya kalau nggak tahu itu!"
Langkah panjang kaki Jinwoo berhasil menyusulnya meski harus bersusah payah. "Di mana Jisung sekarang? Apa dia masih di Ahyeon? Kamu bilang kamu pengacaranya, di mana dia?"
Sekali ini Irene berhenti, lebih untuk menunggu lift menghampirinya dari lantai manapun lift itu tengah tertahan. "Kamu mau apa? Jemput dia?"
"Bicara sama Asa, Shin." Jinwoo mengatakan itu dengan bangga seolah bicara adalah solusi brilian yang tak bisa ditemukan Irene. "Mungkin ini cuma kesalahpahaman."
"Salah paham." Irene memutar tumit dan masuk ke lift yang tepat pada waktunya, terbuka. "Apapun yang kamu lakuin, kamu udah terlambat."
Pintu lift yang tertutup menelan tubuhnya, memisahkan dia dari Jinwoo yang dari raut wajahnya, tidak paham mengapa Irene begitu marah. Orang berengsek sejati; dia tetap tidak mengerti letak kesalahannya walaupun itu sudah terpampang nyata.
Dia memang sukses dalam pekerjaan, tapi untuk ukuran seorang ayah, Jinwoo gagal total.
Memaki dan memaki, menghentakkan kaki, Irene bergegas ke tempat ia meninggalkan Jisung. Setengah jam yang ia janjikan tidak cukup, dia pergi lebih lama dari dugaannya.
"Mana anak cowok yang tadi di sini?" Irene bertanya pada laki-laki yang sebelumnya menyambutnya. "Tinggi, ganteng, matanya sipit一"
Belum lagi ia menyelesaikan deskripsi Jisung, pegawai itu menunjuk satu titik, tempat seseorang yang memakai pakaian Taeyong duduk sendirian, asyik mengutak-atik sebuah kamera hitam. "Dia nggak mau nunggu di toko."
Irene menghembuskan napas lega, berterima kasih pada laki-laki itu. Jisung kelihatannya tidak menyadari berapa lama ia pergi atau keadaan di sekitarnya. Mengepit 2 bungkusan berisi pakaian barunya di antara kaki, rambut hitamnya menutupi mata saat ia menunduk ke kameranya dengan keseriusan layaknya sedang mengerjakan tugas sekolah. "Jisung."
Jisung mengangkat kepala, terkejut, tapi cepat tersenyum一sangat lebar一ketika menyadari Irene-lah yang memanggilnya.
Irene duduk di sebelahnya, berusaha mengabaikan desakan ingin menangis yang ia rasakan melihat senyum Jisung. "Udah dapet? Bagus nggak?"
Sungkan, takut, bersatu dalam mata Jisung saat ia menyerahkan kartu kredit Irene dan bukti pembayaran kameranya. "Udah, tapi harganya agak mahal."
Kelihatannya dia mengira Irene akan memarahinya, dan itu membuat Irene tertawa. "Udah dibilang harganya nggak penting." Dia menyingkap poni Jisung sembari melanjutkan, "Kakak punya hutang banyak sama kamu." Suaranya bergetar. "Terlalu banyak..."
Mereka pulang membawa lebih banyak pakaian yang "keren" menurut standar Irene. Perjalanan yang awalnya hanya untuk mencari pakaian Jisung berkembang menjadi pencarian bagi dirinya sendiri, Taeyong, bahkan Joy一karena Irene enggan mengambil resiko Joy ngambek berat sebab tidak diajak jalan-jalan bersamanya.
Kedua tangan mungil Irene kesulitan membawa semua oleh-olehnya, sehingga saat dengan susah payah mengetikkan password pintu Taeyong, beberapa dari barangnya terjatuh layaknya butiran-butiran salju yang gugur ke pelukan tanah.
Tapi itu bukan salju, dan lantainya tidak sebersih yang ia inginkan dan Irene menghela napas melihatnya. "Kenapa diem aja sih? Kan bisa bukain pintunya tadi?"
Taeyong, begitu lugu dan tidak mengetahui masalah serius lain yang disebabkan ibu mereka, hanya bergeser sedikit dari posisinya terlentang sambil menonton TV. Dia libur hari ini sampai besok dan tak ada yang lebih Taeyong suka di hari libur kecuali bersantai dengan Ruby ditemani sebanyak dan selama mungkin ketenangan. "Males."
Namun tak urung, bagaimanapun, rasa penasaran membuat dia menjulurkan leher mengintip apa saja yang ia dan Jisung beli. "Kamera?"
Taeyong memberi isyarat pada benda yang tidak seperti barang lainnya, tidak Jisung masukkan ke kardus pembungkusnya lagi. Dia terus memeganginya seakan perlu memastikan bahwa kamera itu nyata dan benar-benar miliknya. Jisung mengangguk khidmat.
"Sini, lihat."
Seraya memilah-milah barangnya sendiri, Irene yang tahu adiknya tidak memiliki bakat fotografi mengamati dengan penuh ketertarikan ketika Taeyong memeriksa kamera Jisung seperti seorang ahli. Meski matanya sehat, seringkali Taeyong memilih filter yang jelek saat memotret, dan sekali, ia membuat Irene terlihat menyerupai hantu sebab mengatur kecerahan yang terlalu terang di fotonya.
Di hadapan Jisung, sebagai orang yang lebih tua, sikap sok tahu Taeyong muncul dan ia mendekatkan kamera itu ke wajahnya. Sedetik, dua detik, lalu mengernyit. "Kok gelap?! Rusak, ya?"
Jisung menatap Taeyong seperti guru yang menatap muridnya yang tidak terlalu pintar. "Penutup lensanya belum di buka."
Telinga Taeyong memerah. "Oh iya lupa." Tawa canggung mengalir keluar dari bibirnya. "Maksudnya, tadi itu cuma bercanda一"
"Bego banget punya adek." Irene bergabung dengan mereka di sofa dan merangkul keduanya dari belakang. Satu jeweran ia hadiahi bagi Taeyong. "Jisung, menurut kamu dia laku nggak kalau dijual di black market?"
Semua masalah terlepas dari benak Irene saat Taeyong memprotes dan Jisung tertawa一tawa sungguhan yang manis, ibarat sinar matahari tapi dalam bentuk alunan melodi yang lembut. Ia melupakan Park Jinwoo, ibunya, atau kapan ia harus bicara pada Winwin. Semua itu hanya terasa samar, hampir-hampir tidak penting.
Yang ada hanya moment itu, bersama anjing yang menyeret salah satu bungkus plastiknya dan 2 adik yang memberi kehangatan di hatinya.
Oh, apakah tadi ia bilang 2 adik?
Gua mau bikin Jisung ngenes lagi kok kagak tega abis liat ini :
Anak siapa sih ganteng bat pake kacamata 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top