28. Rahasia Terakhir

Kemarin, Irene sibuk sekali.

Pekerjaan sebagai pengacara mungkin bukan pekerjaan paling berat di dunia, bahkan bagi sebagian orang, dianggap mudah karena "hanya" mengandalkan perang kata-kata, tapi percayalah, pekerjaan itu membuatnya mengkhawatirkan tekanan darahnya. Kalau sudah begitu, Irene akan memberi jeda pada dirinya sendiri dan merenungkan apa yang membuatnya memilih cita-cita ini. Jika tidak berhasil juga, barulah kartu AS-nya dikeluarkan; Joy, si asisten!

Joy yang bermarga Park, pertama kali bertemu Irene di salon ibu gadis itu. Sifat cerewet Joy merebut perhatiannya. Entah bagaimana, sambil mengurus rambutnya, Joy bisa mengoceh tanpa henti seakan dia tidak butuh bernapas. Segala topik sanggup dia ikuti dengan mudah; gosip penduduk sekitar, artis, sampai politik pun ia tahu.

Dari situlah, Irene mulai tertarik padanya.

Hanya ada sedikit hal di dunia ini yang lebih mengesankan dibanding wanita yang berwawasan luas. Kepintaran itu senjata, dan kebetulan, kelincahan Joy menjadi bonus yang sayang dilewatkan.

Sebelumnya, Irene tak pernah berpikir tentang asisten. Dia adalah perfeksionis yang lebih suka mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Irene merasa, dia tidak akan sanggup mentolerir kesalahan orang lain bila menyangkut pekerjaannya. Namun setelah bertemu Joy yang menyebut dirinya "sexy dynamite", Irene berubah pikiran. Ketika akhirnya menawari Joy pekerjaan, gadis itu merespon dengan tawa. "Kok kayak lamaran, ya? Oke, aku mau."

Jadi di hari pertama, Irene sudah dibuat gemas oleh tingkahnya. Gemas ingin memecatnya.

Kemarin, Joy datang ke apartemen Taeyong.

Bukan masalah besar bagi gadis yang hobi jalan-jalan itu untuk menemukan alamat yang ia kirim, membawa tas kerja Irene yang ia minta ambil di rumahnya. Karena sudah tahu password kunci digitalnya, melakukan itu bukanlah perkara sulit untuk Joy.

Dia mengetuk pintu sekitar jam makan siang, yang dibuka oleh Jisung. Begitu pintu terbuka, Joy, secara harfiah, melemparkan dirinya pada Jisung yang tidak tahu apa-apa dan memekik, "TAEYONG!!"

Wajah kebingungan Jisung cukup untuk membuat Irene tertawa sampai tersedak.

"Siapa nih?" Terlambat menyadari bahwa Taeyong yang ia kira bukanlah Taeyong, Joy berkacak pinggang. "Mana oppa favoritku?"

"Kerja. Kemana lagi?" Irene menjawab, seraya mengambil barang-barang yang ia butuhkan. "Itu Jisung."

Hidung Joy berkerut. "Jisung?"

"Anggep aja adek."

"Berarti Taeyong balik jadi muda dong, ya?" Joy tersenyum jahil. "Tapi lebih tinggi."

Mereka, sebagai tim yang kompak, terbahak membayangkan Taeyong mendengus tiap diungkit tentang tinggi badannya.

Hanya saja, di kamar, Joy tidak tertawa lagi setelah Irene menjelaskan garis besar kasus yang rencananya, akan ia tangani.

Merendahkan suara tapi melebarkan mata, Joy berseru, "Kekerasan anak, serius? Ini bukan kasus yang biasa kamu pegang. Terus gimana soal bayarannya? Aku kira kamu mau nabung supaya jadi orang kaya?"

Itu memang benar, Irene menanggapinya dengan anggukan. Selama ini, dia memilih jalan aman dengan mengerjakan kasus yang bisa memberinya publisitas atau banyak uang, tak pernah kasus yang tak memenuhi kriteria itu. Mau dilihat dari sisi manapun, kasus kekerasan anak tidak memberikan banyak keuntungan. "Joy," dengan nada paling bijaknya, Irene menasehati. "Kadang-kadang hidup itu bukan cuma soal uang."

Joy membalas dengan memeriksa kepalanya sebab menduga dia gegar otak.

Bersama Joy, Irene bekerja menyusun fakta-fakta. Bibirnya bergerak seirama dengan tangannya, menceritakan lebih banyak kejadian dan kekhawatirannya mengenai Winwin dan Han. Membayangkan bertemu Han lagi di ruang sidang sudah membuat Irene kesal lebih dulu. Dia tahu, sidang apapun yang melibatkan Han, tidak akan pernah berjalan mudah.

"Mending gitu kan?" Joy menyahut saat Irene mengeluh. "Mending berhadapan sama musuh lama daripada harus nebak-nebak musuh baru."

Masuk akal.

Tapi, tanpa kepastian bahwa ini akan berlanjut ke persidangan, Irene berpikir dia harus berhenti sejenak, melakukan sesuatu yang akan menjernihkan pikirannya. Hari ini, Irene ingin beristirahat.

"Kamu yakin nggak mau ikut?"

Taeyong yang一dengan segala keajaiban一berhasil berjalan ke kamarnya dengan mata  terbuka seperempat, dan sedang berbaring layaknya korban kapal terdampar, menggeleng. Dia hanya mengangkat 1 jarinya sebagai perwakilan apa yang dia minta. "Mau makanan."

Irene memukulnya dengan bantal.

Langkah kakinya menuntunnya menemui Jisung di ruang duduk yang untuk kedua kalinya sejak Irene mengumumkan rencana yang ia rancang, berkata, "Aku nggak perlu dibeliin baju."

"Jelas perlu dong." Irene menekankan, sembari melilitkan syal yang dia ambil dari lemari Taeyong ke leher Jisung meski itu membuatnya merasa dia punya anak. "Jangan tersinggung ya, tapi baju kamu jelek dan baju Taeyong nggak cocok buat kamu."

Terutama karena adanya perbedaan tinggi badan dan postur, semua pakaian Taeyong yang Jisung pakai jadi terlihat terlalu besar sekaligus terlalu pendek. Irene tidak mengizinkan Jisung pulang, karena dia lebih suka mengeluarkan uang daripada mengantarnya ke sarang ular.

"Ayo." Mengikuti kebiasaan lama, tak lain adalah sesuatu yang selalu ia lakukan bila bersama Taeyong, Irene menggamit lengan Jisung. Mereka keluar, menunggu lift dengan tenang, sampai Irene melirik unit Winwin dan bertanya, "Dia jarang keluar rumah?"

Pertanyaan ini tampaknya lucu bagi Jisung karena dia tergelak. "Kak Winwin nggak terlalu suka ngomong sama orang-orang. Biasanya dia cuma keluar waktu ada urusan penting kayak bayar uang sewa."

Mata Irene membelalak. Dia tidak tahu harus lebih terkejut karena apa; panjangnya kalimat yang baru saja Jisung ucapkan, atau fakta unik tentang tetangga adiknya. "Gimana soal makanan? Atau keperluan lain misalnya perabotan yang rusak?"

"Online." Jisung tersenyum. "Dia bilang, aplikasi belanja online itu salah satu temuan paling keren yang pernah diciptain manusia."

"Dan kalau kamu ada urusan sama dia?"

Diiringi denting samar mirip suara lonceng, lift terbuka. Keduanya masuk, bergabung dengan sepasang wanita yang melontarkan pandangan bertanya-tanya pada Irene. "Ketuk. Atau telepon." Jisung membentuk gambaran ponsel dengan jari-jarinya. "Kadang Kak Winwin nggak mau buka, kalau menurutnya tamu itu nggak penting."

Irene kehilangan kata-kata.

Meski tidak akan menggolongkan dirinya sebagai ekstrovert dan tahu betul tentang introvert, dia tidak menyangka ada orang yang sebegitu tidak sukanya pada sesama manusia. Gaya hidup yang Winwin terapkan terdengar mirip buronan atau agen rahasia pemerintah dibanding ... apa? Mahasiswa? Tempat tinggal Winwin kelihatannya tersusun dari balok-balok misteri yang tak mudah dibongkar.

Tiba di tempat parkir, Irene celingukan mencari mobilnya yang diantar Joy. Warna ungunya yang mencolok membuat kendaraan itu tidak sulit ditemukan. Apalagi Joy memarkirknya di dekat pintu masuk, tepat di sebelah mobil merah menyala yang seperti ingin pamer kemewahannya.

Tunggu.

Mobil merah?

"Sebentar." Mencium bau sesuatu yang tidak beres yang ia harap tidak benar, tubuh Irene berputar. Pandangannya menelusuri bagian luar apartemen Ahyeon. Suasana yang sepi mendukungnya dan seumpama moncong pistol yang terbidik pada sasaran, Irene langsung melihatnya.

Dor, dor!

Han memiringkan kepalanya dari kursi taman. Dia duduk santai, bersama Dohyun, yang kemarin pagi menatapnya seperti anak kecil menatap mangkuk es krim porsi besar. Dohyun, yang canggung pada wanita tapi pandai bicara. Lebih dari itu, dari kacamata seorang pekerja hukum, Irene tahu Dohyun akan jadi saksi yang bagus bagi Shin, karena bisa memberikan kesaksian yang positif.

Han tidak berdiri atau mengubah posisinya. Dia hanya diam, mengamati Irene dan Jisung bolak-balik, dan melakukan kebiasaannya yang paling Irene benci; tersenyum.

Itu adalah senyum khas jaksanya. Senyum yang seakan berkata dia tahu rahasia tergelapmu dan dapat menjebloskanmu ke penjara kapanpun dia mau.

Irene menyunggingkan senyum balasan yang sama sekali tidak mencerminkan apa yang Han kira, mungkin dia rasakan; perasaan takut. Benar bahwa dia tidak tahu apa tepatnya yang akan Han lakukan, dan masih belum mendapat jawaban mengenai seberapa banyak informasi yang pria itu simpan, tapi keadaan yang sama berlaku baginya. Ini ibarat permainan catur dimana mereka baru saja mulai; tak ada yang tahu bagaimana akhirnya.

"Kamu suka nggak?"

Hari itu mall tidak ramai一belum. Karena Irene datang saat rata-rata para pekerja mall masih menguap, ia dan Jisung jadi tidak perlu berdesak-desakan dengan wanita pemburu diskon. Belanja kadang bisa jadi kegiatan yang meluruhkan stres, tapi Irene bukanlah penggemar keramaian, jadi dia sengaja memilih jam ini.

Begitu tiba, dia segera menuju lantai yang menjual pakaian laki-laki, yang biasanya ia kunjungi bersama Taeyong一yang untuk alasan yang mencurigakan, kerap melupakan dompetnya.

Kini, Irene mengaduk-aduk rak pakaian selama beberapa menit dan muncul di hadapan Jisung membawa jaket Adidas hitam yang bagian lengannya bergaris-garis putih dengan bangga. Jaket itu sederhana, tapi karena menurut Irene Jisung takkan suka sesuatu yang berlebihan, ia kira, itu pilihan yang tepat. "Bagus kan?"

Jisung tersenyum一Irene masih takjub karenanya. Dia jauh lebih menyukai senyum itu dibanding ekspresi murungnya. "Simpel, tapi emang bagus."

"Coba dulu!" Irene mendesak, membuka ritsleting jaket itu.

Maka dengan price tag dan label merk yang melambai-lambai di bagian belakang calon jaket barunya, Jisung memakainya dan mendapat anggukan puas dari Irene melihat jaket tersebut membalut tubuhnya dengan pas dan pantas.

"Kita udah dapet 1." Irene bertepuk tangan gembira, mengoper jaket itu pada pegawai toko yang memuji bahwa Jisung sangat cocok mengenakannya. "Sekarang kita ke sana."

Sepatu hak tinggi Irene melangkah dengan ketukan ringan di atas lantai ketika dia mengajak Jisung berpindah lokasi, menuju rak yang memajang deretan kemeja yang diminati Jisung meski tak diutarakan secara terang-terangan.

"Oh ya, Jisung..." Irene tidak menatap Jisung saat mengatakan ini, berpura-pura apa yang akan ia sampaikan tidaklah penting. "Wali kelas kamu ... namanya siapa?"

Kerutan muncul di dahi Jisung saat ia mengulang ucapan itu. "Wali kelas?"

Apakah tadi dia curiga? Apakah itu nada yang menjadi tanda pertanyaan Irene terlalu ke inti dan seharusnya menggunakan basa basi? Terlanjur dan pantang mundur, Irene tersenyum. Dia berusaha mengalihkan perhatian Jisung dengan mengangkat sebuah kemeja flanel berwarna merah. "Dulu ... Taeyong sekolah di SOPA juga. Dan ada temennya yang katanya jadi wali kelas di sana. Uhm, mungkin kamu kenal?"

"Namanya siapa?"

Aduh. Sial. "Namanya ... Qian Kun! Iya, Qian Kun, hehehe."

Itu bukanlah murni kebohongan. Taeyong memang alumni di SOPA dan dia benar-benar punya teman bernama Qian Kun. Irene masih mengingatnya karena Kun memiliki senyum yang sangat manis, dengan gaya malu-malunya dan dimple di kedua pipinya. Ia hanya tidak tahu apakah Kun menjadi guru sungguhan atau tidak...

Kelihatannya Irene harus berterimakasih pada si kemeja flanel sebab berkat dia, desain kerennya, Jisung jadi tidak begitu mempermasalahkan kalimat Irene yang tersendat-sendat. "Bukan. Wali kelasku namanya Jung Jaehyun."

Misi berjalan lancar.

"Oh, ternyata beda orang." Irene berpaling ke etalase toko dan diam-diam, sambil menghembuskan napas panjang, mengelus dadanya.

Lalu, saat itulah dia melihatnya; pemandangan yang seakan mewujud dari mimpi buruknya.

Seorang pria tinggi tegap yang amat mirip Jisung, melintasi toko dengan senyum lebar seolah dia baru saja memenangkan sebuah undian. Setelan biru gelapnya memberi kesan seorang direktur yang serius, seperti yang diceritakan Taeyong usai yakin Jisung sudah tertidur. Rambutnya yang di olesi gel tampak licin dan berkilau terkena cahaya lampu. Benak Irene seketika mencetuskan satu nama, JINWOO!!!, karena bahkan dengan bentuk matanya yang lebih lebar, status pria itu tidak mungkin disalahartikan.

Menempel di samping Jinwoo, seorang wanita paruh baya mengaitkan lengannya dengan mesra. Mereka bertatapan一khas orang yang di mabuk cinta一dan rambut panjang bergelombang wanita itu agak menutupi wajahnya, tapi Irene tahu dia. Orang yang ditatap Park Jinwoo dengan tatapan penuh pemujaan itu, Irene mengenalnya meski ia ingin menyangkal.

Tidak mungkin.

"Kak Irene," Jisung hendak berbalik. "Yang ini kemahalan."

"Jisung!" Sebelum niat itu benar-benar terlaksana, Irene mencegahnya dengan suara melengking yang mengejutkan dirinya sendiri. Dia merangkul Jisung, mencegah kepalanya menoleh. "Itu一itu一kita beli aja kalau kamu suka."

Kadar kepanikan dalam diri Irene meningkat drastis一hingga ke level yang melebihi saat dia bertemu Shin. Wajah Irene pucat pasi. Ujung-ujung jarinya berubah dingin kala mengawasi Jinwoo justru berhenti di tempatnya, menimbang-nimbang apakah dia akan masuk...

Pandangan Irene melompat-lompat mencari solusi dan dengan ngeri mendapati mereka terjebak. Tidak ada jalan keluar kecuali ruang ganti.

Dalam situasi terhimpit, Irene bertindak cepat mengambil kemeja penyelamatnya dan menarik pergelangan tangan Jisung ke ruang ganti itu. "Sana, kamu coba. Soal harga nggak masalah kok. K-kamu masuk aja, ya?"

Bukan Jisung namanya kalau tidak keras kepala. "Tapi ini terlalu mahal一"

Tak punya pilihan, Irene buru-buru menutup ruang ganti itu, membiarkan protes Jisung dihadang pintu. Setelahnya dia berlari. Dia tidak peduli walaupun beresiko jatuh dengan posisi memalukan. Yang Irene tahu, dia harus berlari, harus mengejar mereka sebelum terlambat.

Keringat menuruni punggungnya dan Irene berlari lebih cepat. Semakin cepat, sehingga ketika pasangan Jinwoo一yang mustahil sekedar teman dilihat dari cara mereka berdekatan一mengatakan sesuatu, dan mereka tiba-tiba ingin pergi, Irene mendapat gambaran lebih jelas, pula tidak terbantahkan mengenai identitas wanita itu.

"Jinu-ya, toko yang itu lebih bagus. Kita ke sana aja, ya?"

Jinwoo menyetujui saran wanita bersuara lembut itu seperti orang yang terhipnotis. Dia mengangguk. Mereka berbagi lelucon, tertawa, luar biasa santai dari yang seharusnya dia rasakan.

Keduanya pergi, meninggalkan Irene dengan 1 fakta yang menamparnya keras-keras dan membuat lututnya lemas; bahwa wanita yang menjadi selingkuhan Park Jinwoo, merusak rumah tangganya dan mengakibatkan Jisung harus hidup bersama Shin, ternyata adalah Lee Yena.

Itu ibunya sendiri.

Pasti udah ada yang nebak rahasia terakhir ini ya ehehehehehehe, sengaja bikin mereka semacem terhubung gitu 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top