27. Think Big

Ketika jarum pendek jam merayap ke angka 7, memberitahukan bahwa malam semakin larut, Lee Taeyong tiba di apartemen Ahyeon.

Angin bulan desember yang tidak ramah membelai kulitnya yang sudah kembali terbalut seragam hotel berlengan pendek. Wajahnya kusut. Hari ini banyak hal yang terjadi dan Taeyong tidak tahu harus menggolongkannya sebagai hari yang baik atau buruk. Dia turun dari motor, mencabut kunci. Wisata singkat ke tempat kerja Park Jinwoo telah membuat lengannya pegal berkat terlalu lama mengemudi.

Tiba-tiba Taeyong merindukan ayahnya一seseorang yang selama ini ia jadikan panutan.

Ayahnya adalah orang yang bekerja siang malam demi dirinya dan Irene di sebuah perusahaan listrik negara. Karena jarak usia yang cukup jauh, biasanya Taeyong hanya meringkuk di pangkuan ayahnya sambil mendengarkan pria itu berdiskusi dengan Irene mengenai persoalan-persoalan yang terlalu rumit untuk anak kecil. Irene akan menggelitik kakinya saat ia mulai tidur dan Taeyong akan berteriak kesal.

Bertahun-tahun kemudian, kakaknya masih menjadi sosok yang menyebalkan. Dalam otak Irene, ada semacam saraf abnormal yang mengakibatkan dia tidak bisa melihat orang lain bersantai tanpa berpikir cara menjahili mereka.

Beruntung bagi Jisung, Irene tampaknya tidak berencana melakukan keisengan apapun padanya.

Malah, ketika Taeyong membuka pintu, dia menemukan 2 gelas kotor di tempat cuci piring dan 1 gelas terisi penuh di lemari es yang disebut Irene di post it-nya sebagai "DALGONA SUSU PISANG" berpenampilan aneh. Jelas, tanpa dirinya, 2 orang itu asyik melakukan eksperimen menciptakan minuman yang akan membuat pencipta dalgona asli menepuk kepalanya dalam isyarat frustrasi.

Setelah mencoba minuman itu sedikit dan bersyukur karena 2 hal; rasanya tidak buruk-buruk amat dan ia tidak keracunan, Taeyong melangkah ke kamar, mengira baik Jisung maupun Irene mungkin sedang ngiler di sana.

"Noona?"

Taeyong sengaja mengucapkan panggilan itu karena dia lapar dan berharap Irene mau memasak untuknya. Dia mengetuk pintu, dengan irama staccato yang makin lama makin keras, tapi ketika tidak ada jawaban, dia membukanya perlahan-lahan.

Kamar itu kosong.

Jadi, mereka pergi jalan-jalan entah ke mana, Taeyong mengambil kesimpulan, pandangannya menjelajahi isi kamar一yang jadi lebih bersih usai ditempati Irene一dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Kangen juga pada rasa empuk kasur.

Sesuatu menusuk betis Taeyong dan ia menoleh. Dengan jari kaki diangkatnya benda apapun itu, mengopernya ke tangan. Rupanya, itu adalah tas kerja Irene yang mirip koper, atau tas yang dipakai pelajar Korea bertahun-tahun yang lalu sebelum digantikan ransel yang lebih trendy. Irene menyukainya karena menggunakan itu, kertas-kertas yang ia perlukan di ruang sidang jadi tidak kusut.

Apakah, Joy, asisten kakaknya, tadi datang mengantar ini?

Berbekal rasa penasaran, Taeyong merogoh tas itu. Di dalamnya, ada map ungu一tidak mengherankan, Irene suka semua hal yang berwarna ungu一yang mengurung beberapa lembar kertas dan jurnal yang Irene klaim adalah bagian dari otaknya. Dia bahkan membawa jurnal itu saat berkencan dengan si polisi (Taeyong lupa namanya) dan Taeyong tidak terkejut sama sekali.

Yang membuatnya terkejut, adalah tulisan meliuk-liuk khas Irene yang tertera di bagian kepala map, berupa, "KASUS PJS".

Apa ini?

Mencurigakan rasanya kalau Irene tiba-tiba punya teman yang inisialnya sama dengan Jisung. Rasa penasaran Taeyong meninggi, dia bangkit duduk dan membalik sampul map tersebut.

Bagian pertama rupanya adalah foto-foto luka Jisung, tapi yang ini sudah diperbesar dan diberi keterangan. Semuanya dijepit menggunakan jepitan kertas, totalnya 2 tumpukan. Taeyong telah beberapa kali melihat Irene beraksi sehingga dia tahu, bahwa beberapa bukti perlu dijadikan 2 untuk dibagi dengan jaksa.

Ada pula kertas yang terpisah, berisi tulisan yang lebih sedikit; nama seseorang bergelar dokter, alamat, nomor ponsel, dan jam praktiknya. Dan dibaliknya, catatan medis Jisung.

Di jurnal, tepatnya di halaman yang ditandai dengan pulpen, Taeyong menemukan catatan-catatan tentang apa yang terjadi pada Jisung yang Irene ketahui melalui cerita Taeyong sendiri dan Winwin.

KRONOLOGI :
Kejadian = Kurang lebih 1 tahun
Pelaku =
- Ibu (Asa)
- Pacar ibunya (Shin)
Lokasi = Apartemen Ahyeon no. 92
Sekolah = SOPA
Saksi yang mendukung :
- Dokter Mark
- Suho
- Taeyong
- Winwin (?)
Bukti =
- Foto luka
- Catatan medis

Di bawah semua itu, adalah fakta-fakta yang berhubungan yang di tulis Irene dengan rapi. Analisis karakter Jisung yang berkeras tidak mau melapor karena kasih sayang buta pada ibunya, tempat kerja Park Jinwoo dan kata-kata Winwin yang sudah dibuktikan Taeyong kebenarannya. Lalu, yang paling menarik, adalah imbuhan yang dibuat Irene untuk mendeskripsikan Shin.

Shin punya reputasi bagus. 3 orang (Dohyun; lantai 2, Joon Young; lantai 5, Lee Ahn; lantai 8) kompak bilang Shin itu baik. Citranya oke dan nggak satupun dari mereka curiga Shin bisa ngelakuin tindak kekerasan. Susah dapet saksi di sini. Nggak bagus.

Pada titik ini, pintu mendadak terbuka. Suara Irene dan Jisung melayang terbawa ke telinga Taeyong. Langkah kaki mereka mondar-mandir di luar kamar. Bam, bam, bam. Kemudian, pastilah Irene melihat ransel yang Taeyong letakkan di tempat tidur barunya dan berseru, "Taeyong? Udah pulang, ya?"

Taeyong menjawab dengan gumaman tidak jelas. Dia sibuk membaca lebih jauh.

- Cari tahu gimana Jisung di sekolahnya
- Cari tahu wali kelasnya (dokter di ruang kesehatan?)
- Kesaksian dari temen Jisung!
- Perilaku Shin di tempat kerja
- Apa ayah Jisung bisa jadi saksi?

Semakin banyak suara yang dihasilkan Irene di tempat yang Taeyong duga adalah dapur. Mereka bercakap-cakap, sesekali tertawa.

Sebagian dari diri Taeyong ingin bergabung dengan mereka, tapi ia terlalu takjub pada temuannya. Maksudnya, Taeyong tahu Irene pintar. Dulu, Irene kerap membantunya jika ia ditugaskan mengarang esai atau mengetik makalah dan Taeyong pasti akan dapat nilai bagus.

Ia hanya tidak menyangka Irene bisa memperoleh sebanyak ini dalam waktu singkat. Siapa pula Lee Ahn itu? Kenapa Irene mendahuluinya mengenal tetangga satu apartemennya? Kapan kakaknya melakukan wawancara dengan Dohyun? Dan tanda tanya di nama Winwin?

Apa itu berarti Winwin bersikap ragu-ragu lagi?

Membaca ini membuat kepala Taeyong nyeri, tapi toh, dia melanjutkan kegiatan itu.

Shin temenan sama Han. Sama-sama gila. Han mungkin tahu banyak hal. Seberapa banyak? Kenapa Han mau bantu Shin?

Taeyong bisa mengerti kebingungan ini. Ia pun tidak paham mengapa Shin mengirim seorang jaksa bukannya pengacara untuk mewakilinya.

Di mana ayah Jisung? Dia orang macam apa?

1 paragraf gendut berikutnya menguraikan informasi perusahaan Kyungyoon secara rinci.

Luar biasa.

Jadi inilah urusan yang Irene一

"Kak Taeyong?"

Jisung berdiri di ambang pintu, jarinya memberi ketukan pelan ke permukaannya.

"Hah? Oh. Apa?" Taeyong kelabakan. Dengan kertas-kertas di sekelilingnya yang dia tahu tak boleh dilihat Jisung, dia melakukan kombinasi gerakan ganjil berguling-guling di tempat tidur dan menutupi semua kertas dengan tubuhnya.

Jisung memandang Taeyong seakan Taeyong tidak baik-baik saja dan memang itulah yang seharusnya terjadi saat melihat orang yang bertingkah tidak normal sepertinya. "Kak Irene bilang harus keluar, disuruh makan."

"Nanti." Taeyong menjawab, bergegas mengumpulkan bukti yang dikumpulkan Irene sehati-hati mungkin.

Kemudian, dia sadar Jisung tidak beranjak dan malah menatap satu kertas yang tidak sengaja terjatuh. Itu adalah kertas fotonya, dipotret oleh orang yang ia percaya. Mata sipitnya jadi semakin sipit一

Taeyong menginjak kertas itu di titik yang tepat dan mengangkat 1 alisnya. "Apa?"

Jisung menggeleng. "Foto itu, kayaknya aku pernah一"

"Ini foto artis Jepang, ngapain lihat-lihat?" Taeyong membentak. Tangannya terangkat membentuk pose mengusir. "Minggat sana, anak kecil nggak boleh ngintip!"

Jisung mengeluarkan suara ringisan dan segera mundur ke dapur.

Tidak Taeyong sangka, menipu anak-anak ternyata semudah itu. Dia yang pintar atau Jisung yang terlalu polos?

Kelegaan Taeyong hanya bertahan sebentar.

Irene yang punya aturan ketat soal makan mencakup menu makanan bergizi, tak ayal tidak bisa menerima keputusan Taeyong menunda makan yang sudah ia persiapkan.

Selang beberapa detik, dia menggantikan Jisung dan bersedekap di posisi yang sama. "Apanya yang 'nanti'?"

Taeyong balas menatapnya dan melambai-lambai jurnal si gadis yang baru selesai ia baca. "Ini apa?"

Langkah-langkah Irene cepat dan cekatan saat ia melintasi ruangan dan merebut jurnal itu seakan Taeyong adalah penculik yang mengincar bayinya. "Kapan aku ngasih izin buka ini?"

Bahu Taeyong terangkat santai. Dia berdiri untuk menutup pintu dan menyandarkan punggungnya di sana. "Kapan Jisung ngasih izin? Bukannya waktu itu bilang nggak akan ngelakuin apa-apa?"

"Salah." Irene menukas, memeriksa ulang berkas-berkasnya dengan lebih teliti. "Aku bilang nggak akan lapor polisi, bukannya diem aja dan pura-pura semuanya normal."

Seringai Taeyong muncul di wajahnya. "Dia pasti ngira itu nggak ada bedanya."

"Aku nggak peduli." Dengan jujur, Irene mengakui. Napasnya terhembus dalam bentuk hembusan keras di bibir yang menyunggingkan senyum miring. "Antara perasaan dan keselamatan, aku tahu mana yang harus aku pilih."

Jisung yang malang. Jisung yang tidak berpengalaman berhadapan dengan seorang pengacara. Taeyong merasakan perasaan geli, tapi bukan kasihan. Dia tahu Irene benar dan tidak akan membantahnya.

Kecuali kau penganut konspirasi vaksin, kau perlu menyuntik anakmu sebagai tindakan pencegahan dari penyakit. Kadang-kadang, kau harus menghilangkan simpati demi hal-hal yang lebih baik. Untuk menyelamatkan seorang anak yang keras kepala ... kau harus melakukan apa yang baginya, mungkin agak kasar.

Ini logika berpikir yang sederhana.

"Jisung mungkin tahu Han," tambah Irene, menyelesaikan pekerjaannya dan menepuk-nepuk tasnya. "Tapi dia nggak kenal Han. Han itu tipe orang yang nggak ngelakuin sesuatu setengah-setengah. Sekali netapin target一" barang terakhir yang tidak Irene bereskan, pulpennya, diangkat kakaknya bagai anak panah dart. "一Han pasti ngejar target itu sampe dapet."

Pulpennya ia lempar ke dinding dan mendarat dengan suara bruk pelan.

Taeyong menyaksikan pulpen itu berguling-guling seperti dirinya sebelum diam, sebelum dia sendiri mendongak pada Irene. "Atau sampe dia kalah?"

Perkataannya kelihatannya membuat Irene gembira. "Ya, kamu bener." Lantas dia menghela napas yang sekali ini, tidak memancarkan kepercayaan diri. "Taeyong, kamu nggak tahu seberapa jelek kasus ini. Kalau nggak kenal Jisung, aku nggak akan mau ngurus ini."

Berharap Jisung tidak mulai bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan, Taeyong bertanya, "Kenapa?"

"Rumit. Kurang bukti." Jari tangan Irene terangkat membentuk pose "peace" dan ia menggerakkannya bergantian. "Tadi pagi, waktu kamu masih tidur, aku ngobrol sama cowok-cowok yang olahraga di taman, dan respon mereka soal Shin itu positif. Satu orang, namanya Dohyun, bahkan bilang Shin kayak "malaikat" karena minjemin dia uang dan nggak pernah nagih uang itu."

Dohyun. Si tukang gosip. Orang yang berkonfrontasi dengan Winwin. Taeyong bergidik mendengar pendapatnya. "Gila. Tapi siapa dokter Mark?"

"Dokter yang nanganin Jisung kemarin," jawab Irene. "Aku sempet nyeritain garis besar luka Jisung sebelum kita pulang."

"Dan dia mau jadi saksi?"

"Dia nggak keberatan. Malah." Bibir Irene mengerucut, petunjuk dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak terlalu menyukai pikiran itu. "Aku khawatir sama Winwin."

Tanda tanya di belakang namanya! "Kenapa?"

Berusaha mencari kalimat terbaik untuk dikatakan, Irene menggaruk tengkuknya. "Winwin nggak ... meyakinkan. Aku nggak tahu dia mau atau apa dia bisa jadi saksi yang kuat."

Istilah hukum itu, atau hanya istilah yang dipakai Irene, menimbulkan kerutan di dahi Taeyong. "Saksi yang kuat?"

"Gini." Irene meletakkan tasnya di dalam lemari tapi tidak duduk kembali. Sebaliknya, dia mulai berjalan bolak-balik di kamar itu. Gelisah. "Kamu mungkin ngira karena luka-luka Jisung jelas, kasus ini jadi gampang, tapi selama aku nggak bisa buktiin luka itu asalnya dari Shin atau Ibunya, itu percuma."

"Itu一"

Itu tolol, adalah apa yang hendak Taeyong katakan, namun dengan sekali kibasan tangan, Irene memotongnya. "Itu cara kerja hukum. Kalau ini dibawa ke pengadilan, seenggaknya, aku harus punya saksi yang nonton langsung proses itu. Tanpa itu," Irene mengangkat tangannya dengan sikap menyerah. "Susah. Aku nggak berani."

"Dan Winwin?"

"Aku nggak tahu!" Irene mengerang pada pulpen yang ia pungut lagi seakan pulpen itu adalah Winwin yang bersalah. "Winwin bisa aja jadi saksi kunci. Tapi kalau ternyata dia cuma tahu kejadian itu dari cerita Jisung, dia nggak ada banyak gunanya buat aku."

Penuturan realistis Irene mengakibatkan sudut atas dahi Taeyong berdenyut-denyut dilanda nyeri. Irene menyeimbangkan 2 hal dengan sempurna; Jisung dan reputasinya, dan Taeyong terkagum-kagum padanya karena itu. "Winwin pasti mau."

"Darimana kamu tahu?"

"Tebak-tebakan." Taeyong menyahut asal. Dia melangkah ke pintu dan membukanya. "Jangan khawatir soal dia. Makan dulu yang utama."

Dengan raut wajah penuh keraguan tapi harus mengakui Taeyong benar, Irene mengikuti adiknya ke meja makan.

Mereka menemukan Jisung sedang membagi daging di piringnya pada Ruby. Dia tampak tidak masalah menunggu lama, karena dia tidak bertanya apa-apa. Yang ditanyakan Jisung, justru adalah hal yang ingin Taeyong hindari. "Ayah ... gimana?"

Lirikan mata Irene memberi sinyal dia juga penasaran, tapi dua orang itu, Taeyong tidak bisa memuaskan keingintahuan mereka. "Ayah kamu nggak ada." Dia berbohong dengan lancar, yang telah ia putuskan dalam perjalanannya pulang. Sama seperti Irene, Taeyong memilih yang terbaik menurutnya. "Dia keluar negeri atau apalah. Kamu tinggal di sini aja sementara."

Kekecewaan Jisung terlihat dari bahunya yang merosot dan matanya yang meredup. Dia menggeleng. "Aku nggak mau bikin repot."

Kembali dihadapkan dengan sikap keras kepala yang membuatnya naik darah, Taeyong menggunakan taktik lembut mencontoh si polisi yang bersama kakaknya. "Kamu nggak ngerepotin, Jisung. Tapi一"

Irene menatap Taeyong curiga. "Tapi?"

Taeyong tersenyum bak malaikat. "Tapi kalau kamu mau bantu cuci baju buat bayaran, silahkan aja."

"TAEYONG!"

Baiklah, mungkin dia adalah malaikat yang kurang terpuji.

Huft, maapkan aku chings. Diriku siboek nonton wayv dream plan demi semakin mengenal Winwin yang kujadikan orang nyentrik di sini WKWKWKWKWK, tapi serius, winwin gemesiiin. Kalian harus nonton waktu dia natap langit pas lewat jembatan kaca, lucu banget tolong, masa iya sampe kagak berani nunduk sama sekali 😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top