26. J I N W O O

Park Jinwoo tidak pernah menginginkan sosok anak.

Bagi sebagian orang memang itulah yang menjadi tujuan sekaligus alasan terbesar mereka menikah. Lucunya, ada yang menganggap punya anak sebagai semacam pencapaian, seakan semakin sempurna anakmu, semakin meningkat pula taraf hidupmu dan punya jaminan, tabungan berjalan, mengenai masa tua.

Jinwoo tidak sepicik itu; dia tidak sama.

Jujur saja, saat Jinwoo menikah, dia tidak melakukan itu karena didesak orang tua, apalagi ingin bergaya.

Jinwoo menikah sekedar karena penasaran.

Dia ingin tahu bagaimana rasanya punya seseorang yang menyeduh kopi untuknya sepulang bekerja. Tidak perlu khawatir tentang pasangan saat ada acara yang tidak bisa didatangi sendiri, atau merawatnya ketika ia sakit.

Tapi yah, memang, harus ia akui bahwa dia menyukai Asa一setidaknya dulu.

Dulu, dia dan Asa bahagia. Asa tipe penurut, suka mengalah, menghindari konflik sebisa mungkin. Asa cantik. Dia mengerjakan tugas rumah dengan baik. Ada masa ketika Jinwoo merasa bahwa dia dan Asa adalah pasangan yang tepat dan mereka tidak memerlukan apa-apa lagi. Cukup begini saja, berdua. Buat apa punya anak? Semua orang tahu anak-anak itu merepotkan dan demi Tuhan, Jinwoo tidak akan tahan!

Tuhan berkata lain; Asa hamil.

Jinwoo rasa, dari situlah hubungan mereka mulai berantakan.

Jangan salahkan Jinwoo dalam hal ini! Dia sudah berkali-kali bilang, "Minum pilmu", "Cepet beli kalau habis" tapi Asa tidak mendengarkannya. Dia bersikeras menginginkan anak tanpa menggubris kata-kata Jinwoo yang berkata tak ada yang lebih dia benci dari suasana berisik一bahkan jika suasana itu berasal dari tangisan anaknya.

Tanggal 5 Februari tahun 2002, anak itu lahir.

Asa memberinya nama Jisung. Nama yang indah dan mirip dengannya. Dia sangat bahagia dan tak henti-hentinya memuji betapa tampannya anak itu.

Tapi Jinwoo hanya berdiri di pojok ruangan, bersedekap, dan berkata Jisung harus dibiarkan tidur tiap ada perawat yang bertanya apakah dia mau menggendongnya.

Menggendong bayi!

Yang benar saja! Jinwoo, sang anak tunggal tersayang, tidak pernah melakukan hal mengerikan itu. Dia selalu dimanja oleh ayah dan ibunya yang harmonis, tidak pernah melakukan tugas apapun, terlebih dipaksa mengasuh bayi. Bagaimana kalau dia buang air? Atau menangis?

Tuhan kiranya menolongnya, belakangan setelah mereka pulang dari rumah sakit, memang itulah yang sering dilakukan si bayi; menangis.

Jinwoo merasa dia butuh penyumbat telinga sejak itu. Bayi itu menangis saat popoknya penuh. Dia menangis saat lapar, haus, dan di tengah malam, membuat Jinwoo sulit tidur.

Jinwoo, yang tidak siap dengan kondisi itu, mulai tidak betah di rumah.

Lalu pertengkaran-pertengkaran itu hadir, tumbuh dan berkembang di keluarga mereka seperti sekuntum bunga beracun yang akarnya tidak bisa dicabut.

"Dari mana? Aku udah bilang hari ini ulang tahun Jisung. Kenapa sibuk sama kerjaan?"

"Karena kerjaan itu penting."

"Jadi Jisung dianggep nggak penting?"

Kalau sudah begitu, Asa akan marah. Menuduhnya lebih memprioritaskan pekerjaan daripada anaknya, menyebutnya selalu mementingkan diri sendiri.

Bisa gila rasanya!

Apa salahnya merayakan ulang tahun Jisung besok atau lusa atau kapanpun dia mau? Rapat itu tidak bisa seenaknya ditunda!

Pikiran Jinwoo kacau. Jinwoo rindu masa mudanya; ketika ia tidak punya banyak tanggung jawab, dan ingin kembali ke masa SMA-nya yang menyenangkan.

Lebih tepatnya kembali pada gadis itu...

Gadis bertubuh mungil yang punya pembawaan seperti angin tornado. Dia liar. Dia menyebabkan masalah kemanapun dia melangkah. Dia adalah kekacauan yang cantik yang pernah jadi milik Jinwoo, tinggal di pelukannya di bulan-bulan akhir sebelum lulus, sebelum takdir memisahkan meraka.

Kadang-kadang, Jinwoo masih merindukan dia, dan panggilan khasnya yang lucu. Tak seorang gadis pun bisa memanggilnya dengan nada mendayu-dayu yang sama, "Jinu-ya..."

Oh, betapa Jinwoo berharap bisa mendengarnya sekali lagi, bukannya panggilan "Ayah" dari seorang anak.

Tapi bukan berarti, Jinwoo membenci Jisung一orang-orang keliru bila berasumsi begitu. Bagaimanapun, terlepas dari dia diharapkan atau tidak, Jisung tetap anaknya dan Jinwoo berusaha menunaikan kewajibannya sebaik mungkin.

Untungnya, syukur kepada Tuhan, Jisung adalah anak yang baik. Tak ada yang bisa dikeluhkan darinya. Ketika Jinwoo memintanya diam, dia akan pergi bermain di luar. Ketika Jinwoo lupa membeli mainan yang ia pesan, dia tidak merengek. Ketika Jinwoo bilang tidak bisa lagi mengantarnya ke sekolah sebab jarak dari kantor dan tempat itu kini jadi terlalu jauh, dia memutuskan berjalan kaki.

Dalam beberapa tahun saja, Jisung tumbuh jadi seorang remaja tampan yang diharapkan semua orang tua; baik, manis, tersenyum pada siapa saja. Dia ramah, dan karena Jinwoo sering menekankan bahwa dia tidak boleh membuatnya repot, Jisung juga jadi pemuda yang sopan dan mandiri.

Anak itu, melalui pengalaman, telah memahami bahwa Jinwoo suka dibiarkan sendiri dan tidak diganggu saat sudah berhadapan dengan pekerjaannya.

Sebagai imbalan, Jinwoo akan memberi dia banyak uang一yang lebih sering Jisung tabung一dan memintanya membelanjakan uang itu untuk apapun yang dia suka.

Asa tidak pernah melepaskan kesempatan mengomelinya saat itu terjadi.

"Kamu kira anak cuma butuh uang?!"

Jinwoo menatapnya dengan bingung. "Uang itu bisa bikin dia seneng. Apalagi?"

Dia benar kan? Semua orang suka uang. Tak ada yang tidak menyukainya selain mereka yang tidak berani jujur pada diri sendiri.

Lagipula, orang tuanya juga seperti itu.

Ayah dan ibunya yang seorang dokter, giat sekali soal urusan kerja. Mereka kerap menginap di rumah sakit saat ada terlalu banyak pasien yang terus-menerus datang seperti hujan yang tidak kunjung reda. Tidak jarang, mereka berangkat sebelum Jinwoo bangun dan pulang seusai ia tidur dan mereka tidak bertemu seharian.

Jika hal itu terjadi terlalu sering, ibunya akan mendudukkan dia di pangkuannya, mengelus rambutnya, dan berkata betapa dia mencintai Jinwoo tapi tidak bisa mengenyampingkan pekerjaannya. Dia mencintai profesinya. Dia suka menolong orang-orang dan mengirim mereka keluar dari rumah sakit dalam keadaan sehat dan tersenyum. Kata ibunya, menyelamatkan nyawa adalah pekerjaan yang paling mulia.

"Nanti," ibunya berjanji, "Kalau kerjaan udah agak renggang, kita jalan-jalan dan Mama kasih uang buat beli apa aja, ya?"

Dan dia selalu menepati janji itu.

Tidak perlu menunggu ulang tahun, Jinwoo selalu bisa kapan saja membeli mainan-mainan yang keren dan canggih. Entah itu kereta mini lengkap dengan relnya yang besar, mainan mobil dengan remote control terbaru, skateboard yang rodanya bisa menyala dalam gelap.

Normalnya, dia pergi ke toko mainan di akhir minggu, berjalan seorang diri ke sana sebab orang tuanya terlalu lelah untuk mengantar dirinya. Aturannya begini : kalau ayah dan ibu pulang, artinya mereka perlu istirahat dan Jinwoo dilarang mengganggu.

Jadi sejak kecil, Park Jinwoo terbiasa sendiri.

Tapi tak apa, Jinwoo bahagia. Dia mengerti orang tuanya punya pekerjaan yang penting dan berhubungan dengan keadaan genting dan ia, sebagai anak yang baik, tidak boleh  mengeluh. Orang tua punya urusan sendiri dan anak-anak sebaiknya jangan ikut campur.

"Lagian Ayah kerja buat kamu." Begitu ucap ayahnya. "Yang penting kebutuhan kamu terpenuhi semua kan?"

Bagaimanapun, mereka benar.

Maka setelah dia punya anak, Jinwoo ingin menerapkan pola asuh yang sama pada Jisung.

Jisung itu kan laki-laki. Jinwoo memberinya  kebebasan agar dia tidak tercekik aturan. Jangan membatasi seorang anak, biarkan  mereka berbuat apa yang mereka suka. Longgarkan peraturan, jangan lupa beri uang, mereka pasti senang! Apa yang salah dari tindakannya?

Tapi Asa, dengan bodohnya, menganggap itu sebagai sikap tidak acuh yang dingin.

"Kamu nggak peduli sama Jisung kan? Kamu biarin dia main kemana aja, karena kamu nggak akan sedih kalau dia ketabrak mobil atau ilang. Mungkin itu malah bikin kamu lega."

Asa benar-benar menjengkelkan dan setiap harinya, hal itu bertambah parah. Dia menuntut banyak hal; pulang sebelum tengah malam, pulang cepat di hari-hari tertentu untuk Jisung, sarapan di rumah, menghadiri sebuah pertunjukan di sekolah Jisung.

Astaga dasar cerewet!

Jinwoo juga butuh kebebasan! Apa dia tidak menyadarinya?

Demi memotong tali perkara, biasanya Jinwoo diam saja, atau menyahut seadanya. Terlebih dia kasihan pada Jisung yang pasti mendengar pertengkaran mereka dari pintu kamarnya dan satu kali, bahkan pernah minta maaf karena mengira semua itu salahnya.

Mungkin dia benar.

Mungkin kalau mereka tidak punya anak...

Di suatu hari sore di musim semi, Jinwoo termenung memikirkan ini, tercengang membandingkan keadaan masa kini dan dulu, menemukan seberapa banyak mereka berubah. Tidak ada cinta lagi. Yang ada hanya rangkaian pertengkaran.

Jinwoo jenuh.

Dia memilih kabur ke reuni tolol yang diselenggarakan oleh mantan teman sebangkunya. Acara itu pasti payah, Jinwoo sudah menduganya. Ia hanya datang untuk mengusir kantuk dan mencari suasana yang berbeda. Bagian lain hatinya bertanya-tanya, apakah hanya dia yang menderita karena pernikahan?

Rupanya tidak.

Ada seorang wanita yang katanya baru ditinggal suaminya yang sudah miskin, dan membuatnya semakin miskin lagi. Dia mengadu, suaminya meninggal karena kecelakaan kerja, menyisakan dia dan anak-anaknya dalam keadaan sengsara.

Dengan wajah jengkel pada dunia, wanita itu, yang kecantikannya seolah tidak terkikis waktu dan masih menyimpan kilatan nakal di matanya一khas seorang gadis muda yang sering dihukum guru namun tak pernah jera一menggelengkan kepalanya. "Anak-anak bisa jadi beban, ya? Kamu setuju ... Jinu-ya?"

Api perselingkuhan menyala dimulai di acara reuni itu一dan Jinwoo tidak berniat memadamkannya.

Mereka bercerai.

Bila sudah tidak betah di 1 tempat, bukankah sewajarnya kita mencari tempat baru? Kita harus menyingkir, jangan diam, bergeraklah一dia kan bukan pohon! Hidup Park Jinwoo terlalu berharga untuk dihabiskan di tempat kumuh yang mereka sebut apartemen itu, bersama wanita yang membosankan.

Belum terlambat untuk memulai dari awal lagi dengan wanita yang lebih baru dan asyik. Membebaskan dirinya dari semua tetek bengek masalah keluarga yang rumit ini.

"Jisung."

Di hari dia pergi, Jinwoo tersenyum pada anaknya, menemui dia yang duduk diam di sofa sejak pagi一itulah satu-satunya saat Jisung membolos一dan tidak beranjak dari situ, sementara Asa memperhatikan mereka dari dapur dan untuk pertama kalinya, minum alkohol一sungguh menjijikkan.

"Ayah mau pergi. Kamu di sini aja. Nggak usah ikut. Percuma, nanti kalau Ayah kerja, kamu bakal kesepian, dan jarak rumah Ayah dari sekolahmu jauh. Nggak apa-apa kan?"

Padahal sebenarnya, Jinwoo memang tidak ingin membawa Jisung karena wanita itu, wanita pujaannya, dengan sangat jelas mengisyaratkan dia tidak suka anak-anak. Jinwoo bisa memakluminya, mereka punya pemikiran yang sama.

Kepala berambut hitam putranya mendongak. Dia tidak berkata apa-apa sesaat dan hanya menatap Jinwoo. Atau ingin berkata sesuatu, tapi diurungkan. "Apa aku boleh mampir nanti? Ke rumah Ayah?"

Jinwoo tertawa. "Jelas boleh, kamu boleh dateng kapan aja." Tapi dia hanya memberi uang, tanpa alamat baru rumahnya pada Jisung.

Selanjutnya Jisung diam. Sangat diam. Walaupun tak termasuk anak yang cerewet, Jisung juga bukan kategori pendiam, namun di hari itu, dia nyaris tidak bicara sama sekali kecuali diajak bicara lebih dulu.

Hal itu tidak menyurutkan niat Jinwoo; dia tetap pergi.

Ada insiden kecil di koridor, melibatkan bocah anti sosial bernama Winwin yang berteman dengan Asa itu, tapi Jinwoo membereskannya dengan cepat. Dasar pengganggu keparat. Penghuni di Ahyeon memang terlalu banyak bicara.

Dia dengan gembira melewati Winwin, turun melalui lift, dan membalas sapaan Hyuk si satpam yang memang terkenal ramah.

Ada seseorang di samping Hyuk yang menyapanya juga. Seseorang yang lebih tinggi darinya dan kerap terlihat di sana karena tempat kerjanya yang dekat dengan apartemen.

Itu Shin一Nam Shin. Pria yang dulunya pegawai biasa minimarket tapi kini sudah jadi manajernya. Jinwoo kenal dia. Bisa dibilang, Shin kenal banyak orang karena dia sangat baik dan menyenangkan.

Shin bertanya apakah dia takkan kembali lagi, yang Jinwoo jawab, sayangnya tidak. Dia berkewajiban mengantar tunjangan perceraian (Asa tidak punya rekening bank, semua uangnya selama ini berasal dari Jinwoo) setidaknya setiap akhir bulan sesuai ketentuan pengadilan.

Shin mengangguk paham.

Pria itu mengamatinya sampai ia berbelok dan akhirnya一AKHIRNYA一bebas dari Ahyeon. Sedangkan Shin masuk ke dalam, mungkin mengunjungi temannya di gedung jelek itu.

Jinwoo tidak peduli.

Tapi beberapa bulan kemudian, Jisung mulai menelponnya terus-terusan. Sepertinya ada masalah karena menurut resepsionis di kantornya, Winwin mencarinya di kantor serta bersikeras ingin bertemu dengannya. Dan ini aneh, karena seingatnya, Jinwoo sudah mengirim uang untuk anak itu dan Asa. Kurang apa mereka?

"Ayah di mana? Boleh aku mampir ke rumah Ayah sebentar?"

Jinwoo lupa membalas pesan itu. Dia terlalu sibuk bersenang-senang dan merayakan hidupnya yang seolah terlahir kembali. Yang penting, kewajibannya sudah terlaksana, jadi dia tidak bersalah.

Keadaannya setimpal; Asa memperoleh anak yang ia inginkan, dan Jinwoo memperoleh ketenangan yang ia dambakan. Biar saja Asa mengurus anaknya sendiri. Bukan dia kan yang minta punya anak?

Jujur gua sedih nulis ini karena realitanya, ada anak korban perceraian yang hilang kontak sama salah satu orang tuanya, atau  bingung mau ke rumah siapa tiap hari raya.

Terus omong2 gua kagak nemu idol/artis yang mirip Jisung, kadang gua malah bayangin Siwon dong, kagak jelas banget emang 🤧🤧 Jadi kalian bayangin Jinwoo sendiri sj ya manteman 😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top