25. Akhir Bahagia?

Selain Seulgi, dan hanya Tuhan yang tahu, tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa suasana hati Lee Taeyong sangat cerah hari itu.

Seolah ada yang sudah menyuntiknya dengan segalon endorfin, Taeyong terus tersenyum sepanjang waktu. Di pandangan teman-temannya, dia terlihat aneh sejak turun dari laundry dan mereka menduga dia sudah jatuh atau terbentur sesuatu. Ketika ditanya ada apa, Taeyong malah tertawa. Doyoung sampai mengaku merinding dan menganggap otaknya sedang tidak sehat karena Taeyong bahkan berjalan ke lift sambil bersenandung dan menari gaya moonwalk.

"Jangan deket-deket." Memerankan teman yang baik, Doyoung memperingatkan Taeil. "Stres dia, keseringan makan ramen kadaluarsa."

Menjelang sore, Taeyong menyelesaikan kamar-kamar tanggung jawabnya lebih cepat dari yang lain, dan izin pulang lebih dulu pada Kai si supervisor. Dia meraih ranselnya, pergi ke kamar mandi, dan keluar 5 menit kemudian mengenakan pakaian yang menurut Irene tidak terlalu terlihat seperti "gembel".

Kakinya terbalut sebuah celana hitam yang paling jarang ia pakai. Harganya luar biasa mahal, dan dulunya, ada hiasan rantai yang memanjang dari saku ke tempat masuknya sabuk yang (dengan tidak berperasaan, mengabaikan protes memelas Taeyong) telah dilepas Irene. Kemeja katun putih menjadi atasannya, dengan 7 kancing yang hanya ia lepas 1. Untuk sentuhan akhir, Irene menyarankan ia mengenakan mantel biru gelap nyaris hitam yang tidak berhasil melindunginya dari hawa dingin.

Tapi Irene bilang, tidak apa-apa kedinginan sebentar yang penting dia terlihat keren.

Logika wanita memang membingungkan.

Kata kakaknya, Jinwoo kelihatannya orang penting dan kalau mau menemui orang semacam itu, sebaiknya berpenampilan rapi alih-alih nekat memakai seragam hotel dan dikira sebagai pria yang hendak meminta sumbangan.

Tidak punya pilihan, pasrah seperti biasa, Taeyong menurut saja. Dia menyetir ke alamat yang sudah dia hafal. Motor kebanggaannya membelah jalanan kota dengan lampu yang menyala, karena musim dingin membuat siang jadi lebih singkat. Taeyong tidak mampir ke restoran manapun meski dia ingin, sebab, tekad menyelesaikan pertemuan dengan Jinwoo mengalahkan keinginannya untuk makan.

Dia mengemudi dalam kecepatan sedang, tapi karena jalanan lengang, ditambah sesekali mengambil jalan pintas di sana-sini, dia dapat tiba kurang dari 1 jam.

Tak lama, di depannya, bangunan Kyungyoon construction menjulang tinggi seakan menantang langit.

Jadi ini, ya?

Taeyong melepas helmnya, dia mendongak. Mulutnya sedikit terbuka manakala mengamati gedung tempat kerja ayah Jisung yang tidak disukai Winwin itu.

Ini adalah gedung yang dari bagian luarnya, sudah memancarkan kemewahan, kekayaan berkelas, dan status sosial yang tinggi. Setidaknya ada 10 tingkat, tiap lantainya ditutupi dengan kaca 1 arah, mencegah orang yang penasaran untuk mengintip. Dinding-dindingnya berlapis cat kualitas terbaik, putih bersih, tanpa noda, coretan, apalagi sudut yang terkelupas. Satu-satunya celah di tempat itu hanyalah pot berisi bunga layu yang tanahnya mengering一entah disebabkan pengaruh musim atau justru kurangnya perawatan.

Ada pos penjagaan di dekat pintu masuk, yang dikuasai oleh seorang pria bertampang garang yang menurut Taeyong lebih cocok jadi tukang pukul di bar. Tanpa senyum, pria itu meneliti Taeyong saat dia turun dari motornya. Dia memperhatikan, di tempat parkir saja, ada 4 CCTV sekaligus yang takkan memberi kesempatan pada pencuri yang ingin beraksi.

Dia mengangguk ramah, tapi pria penjaga itu tidak memperlakukannya dengan sikap serupa. Setelah memeriksa tubuhnya, si pria mengacak-acak ranselnya, seragam yang ia lipat rapi, dan tanpa kata maaf, mengembalikannya dalam keadaan berantakan.

Bagus. Baru datang dan ia sudah dibuat kesal?

Tempat kerja Park Jinwoo sungguh luar biasa.

Taeyong melangkah ke lobi, menginjak lantai marmer bak lapisan es dengan sepatu pantofel tuanya yang berlapis salju serta bercampur dengan garam agar tidak licin.

Resepsionisnya tampak tidak senang karena dia meninggalkan jejak kaki kotor di sepanjang lantai dan Taeyong, sebagai orang yang tahu betapa mengesalkannya hal itu, tersenyum meminta maaf.

"Ada urusan apa?" Kesan pertama Taeyong yang tidak baik membuat senyum si gadis di balik meja itu tidak terlalu lebar. Dia menepikan majalah yang ia baca, lalu menelisik Taeyong dari atas ke bawah.

Taeyong berdeham. "Saya mau ketemu hm, Park ... Jinwoo?"

"Pak direktur?"

Sungguh menggelikan.

"Sudah buat janji?"

Taeyong menggeleng. Dia tidak tahu Jinwoo itu direktur, apalagi harus membuat janji dulu untuk menemuinya. Yang lebih lucu, Taeyong merasa miris mengetahui ayah Jisung punya pekerjaan dengan jabatan bagus sementara anaknya sering kelaparan. "Belum, tapi ini penting."

Resepsionis itu mendengus. "Tanpa janji, maaf, tidak boleh masuk. Silahkan pergi dari sini."

"Apa?" Taeyong tercengang. Rasanya seperti masuk ke arena balap 1 menit, lalu menit berikutnya dia dipaksa bubar oleh polisi. Secepat ini? "Kamu nggak ngerti. Ini penting. Aku harus ketemu sama Park Jinwoo. Ini tentang一"

Penjaga yang mendengar adanya bisik-bisik yang mengarah pada keributan beranjak dari tempatnya duduk dan mendekat.

"Ini tentang anaknya!" Taeyong tidak lagi menggunakan bahasa formal sekarang, dia terlampau kesal untuk itu. "Coba telepon dia." Jari telunjuknya mengarah ke telepon yang berada di sebelah kiri si resepsionis. "Bilang ini tentang Jisung."

Bibir resepsionis tidak ramah yang pasti tidak akan punya karir panjang jika bekerja di hotel itu menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringai. "Saya sudah bekerja di sini selama 2 tahun, tapi saya tidak pernah dengar kalau Pak direktur punya anak. Ini penipuan jenis baru, ya?"

Tuduhan itu membuat amarah Taeyong tumpah ruah seperti laut dalam kondisi air pasang. "Jinwoo beneran punya anak dan anaknya butuh dia, oke? Jinwoo perlu tahu, karena ini nggak bisa dibiarin gitu aja. Telepon dia! Aku nggak akan kemana-mana sampe ketemu dia."

Resepsionis di hadapannya tidak berkata apa-apa kecuali mengedikkan dagu.

Lalu tahu-tahu, sebelum Taeyong sempat mengantisipasi, lengannya dipegang dari belakang dengan cengkeraman yang menyakitkan dan ia diseret mundur hingga nyaris jatuh.

"Apa-apaan ini?!" Taeyong memberontak. Kedua kakinya miring mengikuti arah yang ditentukan oleh pemilik tangan besar yang berusaha mengeluarkannya. "Dengerin dulu, hei一"

Bukan ini.

Yang benar saja, bukan ini yang Taeyong bayangkan saat dia bertamu ke Kyungyoon. Bicara sebentar, ditanggapi dengan dingin, kemudian diusir seolah dia pengemis.

Padahal beberapa jam yang lalu, sambil menyemprotkan pengharum ke seluruh penjuru kamar yang ia bersihkan, Taeyong telah merangkai kata-kata yang hendak ia sampaikan pada Jinwoo.

"Jisung ada masalah di rumahnya. Asa nggak bisa bantu apa-apa karena kecanduannya sama alkohol makin parah. Cek keadaan anakmu sana, lihat sendiri dia udah kayak bocah kurang gizi."

Tapi sebelum ia mengucapkan 1 kata, dia sudah ditendang pergi.

"Telepon dia!" Menolak menyerah, Taeyong berusaha mempertahankan posisinya dan melepaskan diri. "Bilang Jisung masuk rumah sakit! Sialan, kalau dia punya dikit aja kepedulian sebagai Ayah, dia pasti mau turun! Hei! Cepet telepon Jinwoo!"

Resepsionis itu tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar Taeyong dan tenggelam dalam majalah mode yang ia angkat menutupi wajah.

Tawa parau yang kasar menyeruak dari tenggorokan Taeyong, mewakili perasan geram yang tidak tertahankan. Dia berusaha lebih keras, tapi itu tidak berefek apapun. Semua tekad dan kengototannya kalah dari badan kekar si penjaga dan sebelum ia sempat bicara lagi, tubuhnya dihempaskan beberapa langkah dari pintu.

"Pergi sana. Nipu di tempat lain aja."

Taeyong bersumpah serapah selagi ia bangkit berdiri dan memeriksa lengannya yang nyeri. Respon buruk atas perlakuan terburuk yang pernah ia terima selama 24 tahun dia hidup. Harga diri Taeyong bagai diremas-remas, ditertawakan, lalu diinjak layaknya bola kertas yang tak berguna.

Dia memang pernah dikomplain tamu dengan berbagai keluhan absurd yang membuat Kai sendiri tidak habis pikir一towel yang katanya bekas tanpa dicuci, dituduh tidak mengganti duvet一namun ini? Ini keterlaluan. Tempat kerja Jinwoo telah merendahkannya dengan cara yang akan menumbuhkan dendam.

Kepala Taeyong rasanya mau meledak karena amarah. Dia mengumpat一umpatan langka yang bahkan tidak ia suarakan di depan Shin. Dia mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi Irene. Abai pada tatapan si penjaga yang masih waspada, dia berbalik dan menelpon sang kakak.

Lalu, dia mendengarnya.

Dia mendengar suara itu. Seperti kapas dan kayu manis yang bersatu, perpaduan yang menghasilkan suara tawa yang merdu.

Suara yang, jika ia tidak mendengarkan dengan seksama, akan keliru ia sangka berasal dari Jisung.

Taeyong menoleh. Sambungan pada Irene belum sempat terhubung sepenuhnya saat ia bertatapan dengan Park Jinwoo yang muncul dari lift.

Zimzalabim, kejutan!

Itu dia. Taeyong tidak mungkin salah, itu Park Jinwoo.

Kemiripan pria itu dan Jisung sejelas sifat alamiah api yang panas; tidak akan bisa ditentang. Rambut Jinwoo memang lebih pendek, matanya lebih lebar, tapi mereka punya hidung lancip yang sama, bentuk bibir yang identik, dan kesamaan-kesamaan kecil lain yang hanya bisa dijelaskan dengan ikatan gen daripada sekedar kebetulan.

Jinwoo sedang bersama 2 pria lain, yang sama-sama mengenakan setelan jas resmi tanpa kerutan sepertinya. Tubuhnya tegap; ini jenis pria yang terbiasa memerhatikan semua hal tentang dirinya sampai ke cara duduk yang bagi sebagian orang terkesan sepele.

Taeyong hampir mengharapkan melihat Jisung karena suara itulah, yang dia dengar dari Jisung saat menertawakan tingkah Irene di depan warung tenda.

"Jinwoo?"

Ketiga pria itu, yang mau tak mau melewati dirinya dalam perjalanan keluar, kontan memalingkan muka saat Taeyong maju dan menyapa. Tapi yang membuat amarah Taeyong kian membumbung tinggi, dia tidak berhenti.

"Park Jinwoo kan? Hei, Jinwoo, tunggu!"

Mata Jinwoo yang kali ini bebas dari kacamata menyusuri penampilan Taeyong dan mengernyit. Dia jelas tidak mengenal Taeyong apalagi berminat bicara padanya一yang di situasi lain, dalam beberapa hal bisa dimengerti. Kenapa pula Jinwoo harus mempedulikan orang aneh tapi tampan yang secara misterius tahu namanya?

Jinwoo malah langsung mematikan alarm sebuah mobil hitam mengkilap dan masuk ke sana bersama kawan-kawannya.

"Jinwoo!" Taeyong mengganti taktik; dia kini berteriak. "Ayo ngomong sebentar, ini tentang Jisung! Ada masalah sama Asa dan keadaan Jisung lagi nggak baik. Jinwoo!"

Volume suaranya yang sangat keras pasti menjangkau telinga Jinwoo一tidak salah lagi, dan sesaat, tangan Jinwoo yang hendak menekan persneling membeku di udara. Taeyong merasakan setitik harapan untuk Jisung di detik-detik menegangkan itu ketika Jinwoo akhirnya menatap matanya.

Dia yakin Jinwoo sudah akan turun, dilihat dari gerakan tangannya yang bergeser ke pegangan pintu, tapi sebelum resmi terlaksana, niat itu menguap habis. Temannya mengatakan sesuatu dan ibarat tulisan di pasir yang tersapu kejamnya ombak lautan, Jinwoo tersenyum pada orang itu, melupakan Taeyong begitu saja.

"Jinwoo!" Taeyong menggedor jendela mobil pria itu. "Jangan pura-pura tuli! Ini tentang anakmu sendiri, sialan!"

Terlambat. Fokus Jinwoo teralihkan. Dia tidak melirik Taeyong lagi. Dia mengibaskan tangan dan dengan suara merdu yang dalam, sambil mulai menjalankan mobil, berkata dalam bahasa Jepang, "Saya tahu bar yang punya sampanye enak di sekitar sini. Kita bisa bicara lebih nyaman di sana."

Jisung ditukar dengan transaksi bisnis dan segelas sampanye?

Ayah macam apa dia?

Ponsel Taeyong berdering.

Dia mengecek layarnya, tidak sadar telah menggenggam ponsel itu sangat erat, dan melihat deretan nomor yang tidak terdaftar di kontak. "Halo?"

Respon si penelpon diawali tarikan napas ragu. "Ini Winwin. Gimana? Soal Jinwoo?"

Semangat Taeyong menukik tajam ke bawah, merosot ke titik terendah, untuk selanjutnya dilahap oleh makhluk bernama keputusasaan. Ini kesalahan. Dia sudah salah menilai Jinwoo, dengan tololnya menyamakan ayah Jisung dengan ayahnya sendiri, melupakan 1 fakta bahwa jenis orang tua itu banyak dan tidak semuanya mencintai anak-anak mereka dengan kadar yang layak.

Sebagian orang tua menganggap anak tak lebih dari investasi. Yang lain menganggap anak mereka tak lebih penting dari bisnis.

"Ge?"

Taeyong mengutuk-ngutuk dalam hati. Dia telah jauh-jauh kemari, menunda istirahat dan makan demi menemui Jinwoo tapi malah dijegal oleh 1 kebenaran pahit; bahwa sejak awal seharusnya Taeyong mendengarkan Winwin.

"Kamu bener, Win." Dia menyatakannya dengan kecewa. "Jinwoo nggak bisa diharepin. Dia sama aja kayak Shin."

Namun Taeyong lalu berpikir, dia mungkin pantas disebut lebih buruk karena Jinwoo merupakan ayah kandungnya, bukan orang asing. Dia ayah Jisung, dan dia membiarkan semua ini terjadi selama berbulan-bulan, padahal Jinwoo bisa saja jadi orang yang membawa perubahan.

Banyak orang sakit mental di dunia ini.

Winwin menghiburnya dengan tidak tertawa atau berkata, "apa aku bilang", sebaliknya, dia hanya diam sampai Taeyong kira sudah memutuskan sambungan.

Taeyong berjalan lesu kembali ke motornya, di saat yang sama Winwin bertanya, "Kak Irene pengacara kan? Apa dia tahu gimana nasib anak yang nggak bisa tinggal sama orang tuanya tapi nggak punya tujuan lain?"

Taeyong, adik seorang pengacara, tidak bisa menjawabnya dan membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.

Tidak ada panti asuhan yang menawarkan kesempatan untuk mendapat keluarga dan hidup baru yang lebih ramah; umur Jisung sudah cukup tua.

Yang ada hanya tempat yang disediakan dinas sosial atau tempat penampungan一kalau dilihat dari sisi ini, tampaknya tidak ada akhir bahagia untuk Jisung.

Potret seorang awthor yang udah ngebayangin ending terus nyadar kalo dia baru nyampe pertengahan :

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top