24. Romansa Merah Muda

Mereka duduk satu meja.

Masih di pagi muram yang sama, ketika matahari kalah berperang dan harus berbagi tempatnya dengan awan-awan kelabu, Taeyong menjadi bagian dari sebuah kelompok aneh yang mengawali hari dengan masakan Irene.

Ada dirinya sendiri; seorang roomboy yang terancam terlambat, kakaknya; pengacara yang keras kepala, Jisung; remaja yang belum sepenuhnya dewasa, Winwin;  tetangga yang tidak jelas pekerjaannya apa, dan Ruby si anjing.

Kombinasinya benar-benar unik.

Selama beberapa detik, Taeyong tergelak di meja makan一bukan salahnya, itu memang lucu!一sebelum Irene memukulnya dan membentak supaya ia diam saja.

Butuh sedikit paksaan, ditambah segudang bujukan agar Winwin bersedia tinggal. Dia ngotot ingin pulang dengan melemparkan berbagai alasan; tidak mau merepotkan, dia tidak biasa sarapan, dia takut makanannya tidak cukup. Tapi Irene gigih memaksanya sehingga Winwin tidak bisa angkat kaki.

Belakangan, setelah sarapan yang diwarnai keributan akibat Ruby yang melompat ke pangkuan Jisung dan mengagetkan semua orang, Taeyong mendapati Winwin tersenyum dengan tampang berseri-seri, sebutir nasi yang menempel di pipi, dan berkata dia sudah lama tidak sarapan seperti ini.

Untungnya, berkat ngebut di sepanjang perjalanan yang tidak akan ia ceritakan pada Irene, Taeyong tiba tepat waktu di hotel一walaupun hampir tersandung kaki Doyoung yang terjulur sembarangan saat masuk terburu-buru.

Hari itu, lantai 2 dan 3 sepi.

Masing-masing terisi setengah dengan beberapa tamu yang sudah check out, Taeyong beristirahat lebih awal. Di ransel yang jarang ia pakai dan disimpannya di laci office, dia mengeluarkan dua roti dan membawanya ke lantai teratas; tempat linen yang kotor diurus bersama pakaian tamu yang rela merogoh kocek demi laundry yang harganya tidak masuk akal.

Bukan rahasia di kalangan teman-temannya; kalau sedang ingin sendiri, Taeyong akan pergi ke laundry.

Hal pertama yang dilihatnya adalah cloth yang tengah dijemur, yang ujungnya tertulis nama roomboy; TY, Tomato Taeil (karena rambutnya yang merah menyala), DY tampan, dan lainnya.

Di sisi yang lain, terdapat hand towel yang  dan siap didistribusikan ke setiap lantai dengan troli khusus, pakaian tamu yang sudah diberi label berupa nomor kamar mereka, serta pillow case yang melambai-lambai dihembus angin.

Tidak ada orang di puncak lantai 12 itu. Orang yang bertugas sudah turun untuk makan siang. Namun Taeyong menangkap bahwa mesin pengering tetap beroperasi, menebarkan hawa panas ke seluruh penjuru.

Menjauh dari mesin itu, yang membuat laundry kadang disebut sebagai neraka dengan panas gila-gilaan, Taeyong beringsut menghampiri benda besar berbentuk persegi yang dicat dengan warna biru, yang kata temannya dari departemen engineering adalah tangki fiber dan tidak boleh dinaiki karena letaknya terlalu dekat dengan tepi atap.

Tapi Taeyong, yang bukan anak rajin dan tidak pernah mengaku begitu, tetap naik mengabaikan peraturan tersebut.

Mumpung sedang sepi...

Ada tangga di sisi samping tangki itu dan Taeyong menggunakannya untuk naik. Dia duduk, menghirup napas panjang. Senyum terukir di wajahnya saat ia melihat pemandangan indah sekaligus mengerikan yang tersaji di bawahnya.

Lapar, Taeyong membuka bungkus rotinya dan mulai melahap makanan itu sembari mengingat kata-kata Irene sebelum ia berangkat.

"Aku udah tanya ke Winwin tadi, Ayahnya Jisung kerja di perusahaan yang namanya "Kyungyoon construction". Alamatnya di sini. Kamu bisa nemuin dia? Aku ada urusan."

Nama itu menimbulkan efek seperti gelitikan di benak Taeyong. "Kyungyoon? Kayaknya aku pernah denger."

Irene menoleh kaget. "Oh ya? Di mana?"

Namun itulah masalahnya.

Taeyong merutuki ingatannya yang jelek. Dia hanya sebatas ingat, tapi tidak ingat di mana tepatnya. Sering, permintaan tamu yang beragam menyita banyak tempat di otaknya dan ia melupakan beberapa hal yang penting.

Oleh sebab itu, dia menyendiri sekarang. Berharap salju yang turun dan angin sepoi-sepoi yang memanjakan kulitnya dapat membantu. Taeyong terus mengunyah, sementara tangan kirinya menghidupkan ponsel dan membaca ulang salinan alamat yang didapatkan kakaknya dari Winwin yang dengan enggan memberikannya.

Winwin tidak mengatakan apa-apa saat Taeyong bilang akan menemui ayah Jisung, tapi dia tampak kesal.

Apa sebenarnya yang dia tahu tapi belum dia ungkap?

Taeyong penasaran.

Ataukah sudah?

Apakah penolakan Winwin di rumah sakit sesungguhnya adalah petunjuk bahwa ayah Jisung tidak layak ditemui? Tapi jika tidak, Taeyong akan dibebani dengan perasaan ingin mencoba.

Lebih baik dicoba dulu kan?

Sebuah ketukan di pintu memotong rantai pemikiran Taeyong yang sudah memanjang kemana-mana.

"Halo?"

Taeyong bisa dikatakan terlompat kaget. Secara instingtif bergegas ke tangga, sebab mengira yang datang adalah executive assistant manager yang biasanya melewati laundry ke ruang merokok di dekat situ, atau sekedar nongkrong di sana.

"Eh, Pak, Saya nyasar ke tangki一"

Seseorang tertawa. Tawa yang renyah, dan merdu yang bisa ditebak bukan milik laki-laki agak botak yang sering menyapa Taeyong bila berjumpa di lift.

"Kaget, ya?" Seulgi kesulitan menghentikan tawanya, harus menutup mulut untuk meredakannya. "Boleh aku masuk?"

Helaan napas lega terhembus keluar dari mulut Taeyong. Dia berniat marah, pura-pura menegur Seulgi, namun tidak bisa mempertahankan ekspresi itu lebih lama setelah melihat senyum si gadis. "Silahkan, Kak resepsionis."

Bibir Seulgi mengerucut. Dia berjalan hati-hati, menyentuh barisan pakaian tamu dalam perjalanannya mendekati Taeyong. "Ada yang motifnya hati." Dia tertawa.

Taeyong mencoba bercanda. "Mau bawa pulang 1?"

"Ih, nggak! Makasih." Dasi Seulgi tampak bergeser miring, dan ia membetulkannya selagi menatap Taeyong dari bawah. "Kamu ngapain?"

Senyuman kembali menghinggapi wajah Taeyong saat ia menunduk dan membentuk gestur mengajak. "Ayo naik."

"Boleh?"

Taeyong sudah menduga bahwa Seulgi tidak akan merespon ajakannya dengan rasa takut, jadi dia nyengir. "Boleh kalau nggak ketahuan."

Seulgi membalas cengirannya dengan kilatan iseng dan jahil yang terlihat di matanya. Tanpa bantuan Taeyong, dia menapaki satu persatu anak tangga meski agak kesulitan karena roknya. Nyaris terpeleset sekali, dia berhasil tiba dengan tawa gugup yang disambung seruan takjub. "Wah, wah, wah..."

Kepala Taeyong sulit sekali berpaling darinya. "Bagus kan?"

Anggukan penuh semangat Seulgi menyatakan dia setuju. Dia memanjangkan leher, coba-coba mengintip ke bawah tapi akhirnya tidak berani dan mencengkeram lengan Taeyong sambil bergidik. "Serem, tapi keren."

Di hadapan mereka, terbentang atap-atap cokelat rumah penduduk sekitar, dengan ketinggian yang bervariasi. Ada yang halamannya dihiasi pohon, atau ayunan yang nyaris berupa titik kecil warnanya samar-samar. Mobil-mobil melintas dalam batas kecepatan yang ditentukan di jalanan; cari aman sekaligus selamat karena salju bisa menyebabkan ban mereka selip. Warna kendaraan itu yang lebih variatif menjadi hiburan yang bergerak seperti ombak; dari satu arah ke arah lainnya.

Taeyong ingat sewaktu ia mendapat shift sore atau malam, ia tidak bosan-bosannya kemari, karena pemandangannya lebih indah saat lampu mobil atau motor menyala.

Atap sebuah gedung pemerintahan terletak tidak jauh di sebelah kiri, dengan warna putih gading, berhias tiang yang menyangga bendera Korea. Beberapa orang, yang mirip semut, berjalan tergesa-gesa entah membawa apa.

Sedangkan di atas, langit tanpa henti menurunkan salju seputih kristal. Awan-awan tersebar tidak teratur, dengan bentuk bermacam-macam一tergantung siapa yang menebaknya. Sinar pucat matahari jatuh mengenai rambut Seulgi dan dalam hati, Taeyong tahu pemandangan yang satu itu juga pasti membuatnya betah.

Cantik.

"Aku nggak pernah ke laundry." Seulgi mengakui, merentangkan lengannya seakan mereka berada di atas kapal yang melaju di lautan. "Cuma sebatas ke ruang meeting aja. Makanya tadi waktu Doyoung bilang kamu ke sini, aku langsung nyusul. Kenapa kamu nggak makan?"

Roti yang tersisa setengah Taeyong angkat, dan lanjut memakannya. "Sejak kerja di hotel ayam jadi nggak enak."

Seulgi terkekeh. "Bener. Padahal dulu aku suka ayam."

"Mau?" Taeyong mengeluarkan roti lain dari sakunya, menyodorkan makanan rasa strawberry itu pada Seulgi.

Tanpa ragu, Seulgi menerimanya. "Makasih."

Mereka tertawa tanpa sebab yang jelas, yang jika ada Doyoung, akan mengejek keduanya dengan kalimat "Kayak anak SMA yang nggak pernah kenal cinta". Kalau sudah begitu, Taeyong akan mencari barang untuk dilempar atau mengancam enggan bertukar shift kecuali dia tutup mulut.

Berdua bersama Seulgi sekarang, ingatan Taeyong terbang ke masa lalu.

Saat itu, dari Doyoung, Taeyong mengetahui ada resepsionis baru. Di hari pertama Seulgi muncul, dia telah menciptakan semacam sensasi berkat kecantikannya yang menarik hati. Cowok-cowok bilang, senyumnya bisa bersaing dengan gula. Bahwa pipi chubby-nya imut dan mata monolidnya punya sorot yang memikat saat tertuju padamu.

Belum cukup, pembawaan supel Seulgi yang mudah berteman dengan siapa saja semakin membuat reputasinya melejit. Apa yang lebih menawan dari seorang gadis cantik? Tentu saja gadis yang sikapnya baik.

Seulgi tersenyum pada siapa saja一entah itu tamu atau orang dari departemen restoran yang berkeringat setelah setengah hari berkutat dengan kompor. Seulgi tidak bicara kotor atau mengumpat. Seulgi bisa dengan mudah bergabung ke percakapan orang lain dan tidak akan ada yang curiga bahwa dia sebenarnya pegawai baru.

Seulgi adalah apa yang diimpikan oleh kebanyakan pria一cantik dalam berbagai hal.

Pertama kali Taeyong bertamu dia, terjadi di lift secara kebetulan, kurang lebih seminggu usai Seulgi resmi bergabung dengan hotel.  Kelihatannya saat itu, hanya dialah yang belum bertatap muka dengan Seulgi, karena  malu mengintipnya di front office, tidak seperti teman-temannya yang terlalu penasaran.

Seulgi masuk menggandeng resepsionis lain bernama Yeri, si maknae yang nakal itu, sedangkan Taeyong hendak pulang. Dia capek sekali. Tidak ingat berapa kamar yang dia kerjakan, yang pasti amat banyak sampai dia menguap saat pintu lift terbuka.

Yeri, yang memang terkenal usil, menganga dan terbahak memergoki Taeyong waktu itu. "Woah? HAHAHAHA lebar banget nguapnya, aku bisa kesedot nih."

Taeyong berlagak marah dan menyentil kepala gadis yang oleh banyak orang, dianggap sebagai adik itu. "Diem, rambut jerami."

Di sebelahnya, Seulgi ikut tertawa tapi tidak berkomentar apa-apa.

Mereka berbincang sebentar. Dia dan Yeri, membicarakan seputar keadaan hotel serta beberapa gosip, sebelum Yeri sadar Seulgi berdiri diam dan Taeyong menyikutnya memberi kode.

Yeri menepuk dahinya sendiri. "Oh iya! Kak Yongie, kenalin, ini Kak Seul, resepsionis baru. Cantik, ya? Cantik dong. Cocok dijadiin pacar."

Wajah Seulgi merona ketika ia mengulurkan tangan menerima ajakan perkenalan Taeyong. "Seulgi."

"Tae一"

"Atau panggil aja Kak vakum, soalnya tadi nguapnya udah mirip vakum." Yeri menyela sembari tersenyum-senyum tanpa rasa bersalah.

Mata Taeyong mendelik dan ia balas dendam dengan menginjak sepatu Yeri yang selalu dirawat layaknya anak sendiri. "Jangan dengerin. Aku Taeyong."

Itulah permulaan kisah mereka.

Di awali dengan perkenalan di depan lift, diperkuat rangkaian makan bersama dan obrolan sederhana di tempat parkir, keduanya menjalin pertemanan yang seiring berlalunya hari, tidak bisa disebut pertemanan biasa lagi.

Taeyong menoleh padanya setelah habis melahap rotinya dan meremas kemasannya dengan bunyi gemerisik.

Berinisiatif mengangkat topik lain, Taeyong mengulurkan tangan. "Bayaran rotinya mana?"

Seulgi menampilkan wajah terkejut. "Aku kira itu gratis?! Kok Kak vakum perhitungan sih?"

Satu dari sekian julukannya yang paling kocak itu membuat Taeyong terkekeh saat disebut. "Jelas nggak, Kak resepsionis. Ada bayarannya."

Mata Seulgi menyipit. "Apaan ya, kira-kira?"

"Ini," jawab Taeyong pelan, lalu meraih dagu Seulgi dan mengecupnya di bibir.

Bibir dan bibir bersentuhan, rasanya ada percikan api di sekeliling keduanya. Karena memulai lebih dulu, Taeyong memimpin dengan memberi kecupan-kecupan kecil, menanti reaksi Seulgi. Apa dia akan menolak? Mundur? Ternyata tidak.

Taeyong bisa merasakan senyum Seulgi, yang malu-malu, membalas ciumannya. Salju seolah terbakar, waktu bagai berhenti di moment yang luar biasa itu. Kecupan berganti menjadi pagutan. Suara mengecup terdengar di antara deru mesin pengering yang masih bekerja, teredam, dan disimpan rahasianya oleh kain-kain yang bergerak perlahan.

Mengikuti kemauan tubuhnya, Taeyong menangkup wajah Seulgi dan memperdalam ciuman mereka. Dia tidak bisa berhenti一oh, tidak. Seulgi terasa manis; perpaduan strawberry yang ia makan dan lip cream/lip tint/lipstick atau apapun yang ia pakai, Taeyong tidak tahu bedanya. Dia hanya tahu bahwa dia menyukai Seulgi dan tidak ingin ciuman ini berakhir.

Ciuman itu adalah candu. Saat Taeyong menutup matanya, dia melihat macam-macam hal indah; cahaya kunang-kunang di malam yang gelap, gerakan sayap anggun kupu-kupu yang terbang, kuncup bunga yang mekar. Berciuman dengan Seulgi terasa sangat ... pas, berbeda dengan gadis lain.

"Kamu..."

Seulgi mengakhiri ciuman lebih dulu. Dia tersipu dan memukul pundak Taeyong. Mereka terengah kehabisan napas, tapi senyum mereka saling bersahutan.

Taeyong merapikan rambut Seulgi yang merayap menghalangi pandangannya, mengulang apa yang ia lakukan di taman di apartemen Ahyeon. "Sekarang lunas."

Dia turun setelahnya, menyadari waktu istirahat sudah menjelang akhir dan ia bahkan belum minum. Refleks mengecek saku demi memastikan kunci master ada di sana, Taeyong lantas membantu Seulgi. Dia membuka tangannya lalu Seulgi melompat.

"Aduh."

Taeyong sekali lagi tertawa saat mereka berakhir dalam posisi separuh berpelukan, dan perlahan-lahan, memisahkan diri.

Keduanya berjalan dengan kepala menunduk ke lift, sedikit menjaga jarak. Malu dominan mengisi udara yang mereka hirup, bercampur dengan perasaan kikuk.

Namun Taeyong menyingkirkan semua itu dengan bertanya, "Mau nonton minggu depan?"

Melalui kaca lift, Seulgi meliriknya dan mengerutkan kening. "Siapa yang bayar?"

Tawa Taeyong menyebar di ruangan sempit itu. "Aku. Gimana?"

Mata Seulgi mengedip. Rasanya dia tidak pernah menatap Taeyong dengan cara seperti itu. Intens, dalam. Bibir yang ia kecup itu melengkung ke atas. "Oke. Aku mau."

Status jomblo Taeyong tampaknya resmi terlepas hari itu.

Woi :vv maapkeun ak buat reader yang masih piyik 😭 ceritanya kita nyantai dulu sebelum ketemu Jinwoo 😳😳
Ya maap kalo alay, soalnya ini ada selipan kisah nyata dikit doang HAHAHAHA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top