23. Sesuatu Dari Winwin

Benda mirip buku tebal berwarna hitam itu terbuka di hadapan mereka.

Di sampulnya, terdapat 2 kata berbahasa Inggris yang ditulis dalam font yang mirip goresan pisau; Death Note. Adalah sesuatu yang tidak dilihat Irene, luput dari perhatiannya saat ia mendekapnya kemarin dan tidak ingat mengembalikannya pada Jisung.

Hari berganti.

Di luar, matahari terbit dan memberi sedikit keceriaan di pagi yang muram bulan desember. Ini musim dingin yang buruk. Tidak hanya mematikan napas bunga-bunga, menutup jalan di beberapa daerah hingga pemerintah terpaksa mengerahkan mesin pengeruk, salju yang turun tanpa henti juga membuat Taeyong tidur dalam balutan selimut tebal di sofa rumahnya setelah ia terpaksa menyingkir berkat keberadaan Jisung.

Masalahnya dengan Irene adalah, dia tidak mau dibantah.

Taeyong ingat saat dia kecil, dia dilarang bermain sebelum melahap habis sayuran di piringnya. Kalau ia menyelinap pergi, Irene akan menjemputnya dengan cara yang menyebabkan teman-temannya ngeri dan tidak mau ke rumahnya lagi.

Mau bermain? Habiskan sayuranmu.

Mau memelihara anjing? Tabung dulu uang untuk makanan dan perawatannya.

Mau tidur? Sana ke sofa saja, "kamarmu buat Jisung!!"

Taeyong terusir dari kamarnya sendiri一bayangkan.

Dasar Jisung Park si tikus cungkring itu! Dia belum lama mengenal Irene, tapi terbukti sudah merebut simpatinya sampai ke tingkat Irene sanggup melakukan gerakan shoo shoo pada adik kandungnya sendiri.

Jadi sementara Jisung tidur di kamar yang hangat, nyaman, serta empuk, dan Irene meringkuk di kamar sebelah yang memang selalu jadi tempatnya, Taeyong mengoceh tentang ketidakadilan dunia di ruang duduk, sembari mencari tempat ternyaman di sofa.

Dia tidak paham lagi siapa yang adik siapa.

Pagi buta, Taeyong terbangun. Kakinya yang panjang, yang menjulur keluar dari batas sofa terasa agak pegal. Dan perutnya minta makan lagi karena semalam hanya melahap sereal ditambah susu yang mendekati tanggal kadaluarsa.

Sambil mengalungkan selimut di seluruh tubuh seperti jubah Dr. Strange, Taeyong berjalan ke dapur. Ujung selimut itu menyapu lantai tapi dia tidak peduli. Dia tahu Irene akan mencucinya nanti, meski tak urung, selalu diawali dengan omelan.

"Taeyong!"

Ini adalah tradisi di rumah masa kecil mereka. Suatu rutinitas yang bahkan, hampir Taeyong hafal kata-katanya. Demi menghindari ceramah panjang lebar yang beresiko menyiksa telinganya, Taeyong melirik kesana-kemari dan faktor asal-asalan, meraih sebuah buku, atau apa yang menyerupai seperti buku, di meja makan untuk tujuan pengalih perhatian. "Apaan nih? Bukunya Jisung?"

Berhasil dengan mulus, Irene mengelap tangan di celemek yang ia pakai一dan Taeyong tidak tahu masih ia miliki一lalu bergeser menghampirinya. "Iya, aku lupa balikin ke dia. Mungkin diary?"

"Cowok jarang nulis diary." Taeyong berasumsi, berbekal pengetahuan dari dirinya sendiri dan teman-temannya yang jarang membuka buku kecuali buku itu punya gambar yang "menarik", apalagi melakukan kegiatan sentimental semacam menulis diary.

Irene tidak kontan percaya. "Masa sih?" Jari-jari lentiknya mengelus tulisan timbul di sampul buku itu, menyusurinya satu persatu. "Bisa aja ini Death Note beneran dan dia nulis nama Shin."

Tawanya disambut tawa pula oleh sang adik. "Kenapa dia nggak mati kalau gitu?"

"Nereka nggak mau nerima." Irene berkata dengan riang, membalik halaman pertama. "Hmm..."

Halaman pertama itu rupanya dimaksudkan untuk identitas. Ada beberapa baris yang berisi pertanyaan umum dan baris yang tersedia untuk jawaban. Irene dan Taeyong menunduk, rambut mereka bersentuhan saat membaca satu-satunya baris yang diisi Jisung, dan itu pun hanya dalam bentuk singkatan.

Nama : PJS.

Lalu di sebelahnya, terdapat tulisan tambahan yang Taeyong duga berasal dari teman Jisung sebab tulisannya berbeda; (Yang bukan pemain sepak bola).

Irene mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan baris lain yang kosong. Keduanya menyadari bahwa selain baris pertama, Jisung tidak menjawab pertanyaan lain termasuk alamat rumahnya.

Kali ini Taeyong berkesempatan membuka halaman kedua. Ujung jarinya menyentuh permukaan sebuah plastik yang halus dan bergemerisik dan, agak terlambat, dia menyadari bahwa benda di tangannya merupakan album foto.

"Wow." Irene memuji takjub.

Taeyong bersiul. "Ada yang bakat fotografi."

Pasalnya, halaman kedua album itu berisi 4 foto berbeda dari taman di mana Taeyong pernah memergoki Jisung duduk sendirian seperti gelandangan.

Masing-masing menggambarkan musim yang berbeda, semua foto itu diambil dengan sudut yang sesuai hingga salju yang turun di foto musim dingin terlihat bagai kristal putih berkilauan. Di sebelahnya, foto musim panas memancarkan kegembiraan yang tercermin di wajah anak-anak yang pernah ditemui Taeyong sepulang kerja.

Foto musim gugur sebaliknya, menebarkan daun-daun cokelat kering dan perasaan kesepian. Itu adalah foto yang dapat membuat orang membayangkan hal-hal yang menyedihkan. Berbanding terbalik dengan foto musim semi yang meriah, segar, dan kaya warna.

Taeyong membalik halaman selanjutnya.

Halaman ketiga berisi 3 foto; yakni foto seekor kucing di pagar batu rumah entah siapa yang sedang tidur. Bulu-bulu oranye kucing itu bersinar tertimpa cahaya matahari. Si kucing menguap di foto kedua, lantas melompat turun dengan anggun di foto ketiga yang diambil dari bawah sehingga seolah, kucing itu melompat melewati matahari.

"Saingan Superman." Taeyong berkomentar, tak dapat menahan gelak tawa.

"Bayangin dia nunggu kucing ini bangun." Irene terkikik geli. "Muter-muter bawa kamera. Pasti lucu."

Dia kembali mengambil alih album itu dan mengulurkan tangan untuk menengok halaman berikutnya.

Namun bukannya foto hewan, mereka justru mendapati sebuah foto keluarga yang ujung-ujungnya terlipat dan kotor. Sebuah foto yang menyimpan kenangan masa lalu Jisung di usia yang mungkin tidak lebih dari 11 tahun.

Irene menarik napas terkejut. "Orang tuanya! Jadi ini mereka." Dia mengangkat foto itu lebih dekat ke wajah dan matanya menyipit. "Aku nggak ketemu Ibunya kemarin. Dan Ayahnya一Taeyong, lihat!"

Taeyong mengerti apa yang mengakibatkan Irene begitu heboh; sosok Park Jinwoo, yang keberadaannya jadi misteri belakangan ini. Si ayah yang mengabaikan anaknya dan membuat Shin menyunggingkan senyum saat Irene bilang akan mencarinya.

Jadi ini dia; Winwin benar.

Park Jinwoo adalah seorang pria dewasa yang merupakan jiplakan persis Jisung. Gen dari Jinwoo dominan pada diri Jisung dibanding Asa, yang sekedar menyumbang bentuk mata. Jisung mirip segalanya dengan Jinwoo; mulai dari perawakan jangkung mereka, dan ciri-ciri wajah yang hanya bisa dideskripsikan dengan 1 kata : tampan.

Persamaan mereka bahkan lebih jelas lagi menjelang kedewasaan Jisung, walaupun otot-otot yang ada pada Jinwoo belum sepenuhnya tampak pada anak itu. Tapi pada satu titik yang kabur, mereka juga terlihat berbeda.

"Mirip, tapi nggak terlalu mirip." Irene menyimpulkan dengan bingung, menatap adiknya meminta persetujuan.

Mengetahui hal yang sama, Taeyong mengangguk.

Yang dibicarakan Irene adalah, bagaimana saat berdiri bersebelahan seperti itu, Jisung dan Jinwoo menampilkan kesan yang sangat berlainan.

Jisung di usia kurang lebih 11 tahun, terlihat luar biasa manis dan menggemaskan. Matanya lebih sipit, giginya nyengir ke arah kamera. Ini adalah anak yang jika dititipkan pada orang yang tidak suka anak-anak, bisa mempengaruhi mereka untuk berubah pikiran. Pikir Taeyong, mustahil tidak menyukai dia, atau punya keinginan mencubit pipinya yang saat itu, masih gendut.

Tapi Jinwoo...

Dia tersenyum terpaksa. Dia berdiri terpisah dari keluarganya, menciptakan jarak. Kacamata hitam membingkai mata miliknya yang menyorotkan keseriusan kaku dan sikap bosan yang kentara.

Inikah pria yang mereka cari?

Keraguan berputar-putar di benak Taeyong seperti sekumpulan nyamuk pengganggu. Dia mendadak tidak yakin melihat Jinwoo tidak menunjukkan kepedulian pada Jisung.

Tapi itu kan sekedar foto...

Tapi...

Irene menyela lamunannya dengan ringisan. "Dia gampang dikenali saking miripnya sama Jisung. Kalau ketemu di jalan, ajak ngomong aja."

"Kalau dia nggak mau?"

Bahu Irene terangkat santai. "Kamu panggil dia maling terus gebukin rame-rame."

Taeyong tahu betul kakaknya akan berbuat begitu bila ada kesempatan. Dia mendengus. Setengah isi otak Irene, yang tidak dipenuhi informasi pekerjaannya, adalah ide-ide gila dan liar dan konyol yang tidak patut dipraktekkan. Hal itu sudah sering muncul jauh sebelum ia menyarankan pembunuhan terselubung di ulang tahun Taeyong yang ke-14, ditemani semangkuk kalguksu.

"Dasar pengacara nggak bener." Rutuknya, namun Irene, persis 10 tahun yang lalu, malah terkekeh santai.

Mereka membuka beberapa halaman lagi setelah itu, mengintip hasil jepretan Jisung yang tertata rapi dalam lindungan plastik bening. Tidak seseram judul buku, isi di situ banyak yang lucu. Tangan yang memotretnya tergolong amatir, di saat yang sama, mampu mengundang kekaguman. Jisung adalah barang setengah jadi; dia hanya perlu dipoles agar kemampuannya kian terasah. Dia berbakat一itu pasti.

Sayangnya, foto yang memuat bakat itu sedikit sekali. Petualangan mereka terhenti di halaman 8 dan sudah, tidak ada apa-apa. Sisanya, yang cukup tebal, kosong tanpa foto pemandangan atau foto keluarga lain. Karyanya tamat di sana.

"Kenapa cuma segini?" Irene mengajukan pertanyaan retoris dengan kecewa. Dia amat menikmati berwisata di album itu dan mengharapkan lebih banyak, tapi harapannya pupus.

Mulut Taeyong terbuka. Dia baru akan memberitahu Irene perihal kamera rusak menjurus hancur yang dia temukan di kamar Jisung saat ketukan di pintu menyela.

"Shin?"

Tubuh Irene menegang. Sendok sayur yang ia pegang ia acungkan tinggi-tinggi, seakan menunggu waktu untuk menghajar Shin menggunakan benda itu.

Taeyong tidak sependapat. "Mungkin bukan."

"Shin nggak kelihatan kayak orang yang gampang mundur." Irene menebak sinis, mengikuti Taeyong ke pintu dan melongok dari balik bahu lebar adiknya ketika Taeyong berkutat dengan kunci.

Kunci ganda yang dipasang Irene agak merepotkan. Butuh beberapa detik lebih lama dari biasanya untuk menguak misteri si tamu. Dan saat akhirnya terbuka, orang itu bukanlah seseorang yang disangka-sangka.

"Winwin?"

Winwin menggaruk tengkuknya dengan lagak canggung. Pakaiannya belum diganti; semakin kusut dan berkerut. Tubuhnya bau asap rokok dan sebuah pemantik perak menyembul dari saku kemejanya. Dia berdeham membersihkan tenggorokannya. "Maaf kemarin aku ngilang."

Taeyong mempersilahkan dia masuk, mundur memberinya ruang. Dia hendak bertanya kemana saja pria yang lebih muda itu, namun urung mengingat watak Winwin yang pendiam. Taeyong mendapat perasaan si tetangga dari unit 97 tidak suka ditanya macam-macam, jadi memilih tidak mengusik ranah yang bukan haknya.

Tapi Irene tidak bisa menahan diri. Dia berulang kali mengibaskan tangan di depan hidungnya. "Kamu ngerokok, ya?"

Senyum Winwin diwarnai secercah rasa malu. "Maaf. Permennya cowok."

"Permennya cowok." Irene cemberut. Dia sungguh alergi pada rokok dan perokok, dan tidak sungkan mengungkapkan hal itu terang-terangan.

Lidah tajam adalah satu dari sekian kesamaan mereka yang sudah mendarah daging yang sejujurnya, membingungkan Taeyong, mengingat ayah mereka sangat sopan dan sepengetahuannya, tidak pernah bicara sarkastik. Dan soal ibu, baik Irene dan dirinya kompak tidak mau disamakan dengan wanita itu. Gampangnya, mereka menganggap kemampuan bicara "luwes" itu sebagai pengaruh lingkungan sekitar saja.

Merasa tidak enak, Winwin dengan sia-sia berusaha menghapus bau memuakkan rokoknya dengan menepuk-nepuk kemeja yang ia pakai. "Nanti pasti ilang." Dia berkata, memandang berkeliling ke ruang duduk yang tempo hari ia datangi. "Aku ke sini mau nanya tentang Jisung." Dia mengaku, lesu. "Aku tahu kalian nggak ada hubungannya sama dia, tapi aku pengen tahu apa ada sesuatu yang bisa bantu dia ... misalnya ..."

Di tengah percakapan, Winwin tiba-tiba berhenti. Dia bingung. Dia terlihat seperti orang yang tidak tidur semalaman dan butuh tidur secepatnya. Tanda kehitaman di bawah matanya yang sebelumnya tidak ada, menampakkan diri dengan jelas.

Irene menyilangkan tangan, memandang Winwin yang tergolek di salah satu kursi, dan mengeluarkan pemantik di sakunya hanya untuk memainkan benda persegi mungil tersebut. "Kenapa? Kamu ngerasa bersalah?"

Bibir Winwin terlipat jadi garis tipis. "Soal itu..."

Dia kesulitan melanjutkan sisa kalimatnya. Gengsi dan malu yang bertambah besar bergabung jadi satu dan menciptakan rangkaian kata yang tersangkut, tidak bisa diucapkan.

"Bilang aja langsung ke dia." Saran Taeyong, lebih lembut, bukan bentakan yang menghakimi. "Jisung ada di kamar. Sekalian bangunin, bilang jangan ngiler terus."

Winwin melebarkan matanya. "Jisung tidur di sini?"

"Ceritanya panjang." Irene menjelaskan tanpa penjelasan yang memadai apalagi menghapus kebingungan Winwin. "Kamu ketinggalan berita."

Tanpa bertanya lagi, Winwin beranjak. Langkah kakinya terdengar berat di sepanjang lantai, dirantai rasa bersalah yang tak kasat mata. Dia berjalan ke kamar Taeyong layaknya tahanan yang digiring ke penjara. Kepala tertunduk, tangan lemas yang mengetuk pintu, suara yang tak kalah pelan dari ketukannya.

Sewaktu Jisung membuka pintu, Winwin bertanya, "Kamu tinggal di sini sekarang?"

Suara Jisung yang mengantuk, suara yang kebanyakan dikeluarkan orang pada pukul setengah enam, menyahut sambil menguap, "Cuma sementara."

Mereka terus bercakap-cakap. Garis besar apa yang terjadi kemarin dibeberkan secara singkat dari seorang remaja pada pria lebih tua yang merupakan tetangganya. Teman, kalau bisa disebut begitu. Suatu ikatan yang tercipta dan kini seperti pita yang renggang. Tampaknya banyak hal yang terjadi di antara mereka dalam setahun; perubahan besar yang melibatkan sebuah keluarga dan berimbas pada kehidupan beberapa orang.

Taeyong mencoba menerka, selagi mereka mengobrol, apakah gelar "teman" yang ia tambatkan kepada mereka adalah sebutan yang pas alih-alih berlebihan, saat Winwin berhenti bicara lama sekali dan menarik napas panjang.

"Jisung."

Taeyong dan Irene berdiri dalam keadaan sangat hening, fokus menguping.

"Maaf karena selama ini diem aja. Maaf karena jadi pengecut yang egois. Maaf..."

Jangan benci karakter winwin ya gaes, dia baik kok, cuma semacem tokoh anti-hero aja/?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top