21. Petugas Dinas Sosial?!

Jisung suka ini; berada dalam mobil, saat mobil itu melaju membelah jalanan kota.

Selain karena angin yang berhembus tergantung kecepatan mobil dan keadaan alaminya, dia senang memperhatikan pemandangan. Sebab, jalanan yang sama tidak pernah menghadirkan pemandangan yang sama pula.

Selalu ada yang berbeda.

Entah itu dari jenis mobil yang melintas, atau pejalan kaki yang mengarungi trotoar. Di toko roti di dekat apartemen misalnya, Jisung bisa melihat pegawainya yang kadang istirahat dengan bermain game di bangku yang ada di bagian samping toko. Tapi ada kalanya, wanita yang jarang tersenyum pada pelanggan itu hanya terduduk dengan ekspresi murung yang membuat Jisung khawatir meski ia tidak dalam keadaan untuk mengkhawatirkan orang lain.

Favorit Jisung adalah orang-orang. Mereka yang berjalan santai menuju minimarket tempat Shin bekerja. Sepasang kekasih yang saling berpegangan tangan; cara mereka mendekatkan mulut dan telinga, berbisik demi mengatasi kebisingan. Atau, 1 keluarga kecil yang gantian melemparkan candaan sembari menunggu lampu lalu lintas berubah warna.

Dia pernah seperti mereka dulu, di hari yang lebih baik dari ini.

Ibunya menyebut jalan-jalan sebagai "hari berkendara" karena saat itulah mereka bisa naik mobil Ayah yang biasanya dipakai bekerja saja. Tidak seperti mobil Han, milik Ayahnya punya warna hitam mengilap, sesuatu yang memancarkan aura laki-laki, bukan merah mencolok yang terlalu terang mirip lipstick wanita tua.

Jisung ingat joknya terasa halus. Sabuk pengamannya longgar karena sebelum situasi di rumahnya jungkir balik pun, postur tubuhnya sudah kurus dan tinggi. Mungkin kamu punya bakat jadi pemain basket, begitu kadang Ayahnya memuji, tapi Jisung bilang dia lebih suka sepak bola dan kedua orang tuanya tergelak.

Saat Jisung berusia 8 tahun, taman hiburan menjadi tujuan hari berkendara mereka. Hanya ia, ibu, dan ayahnya yang kadang bisa sangat pendiam. Jisung sering bingung; punya wajah yang mirip tidak membuat dia memahami Jinwoo. Di satu waktu, Jinwoo marah pada segalanya一mainan yang berserakan, makanan yang menurutnya tidak enak一kemudian di jam berikutnya, dia akan melamun dan seakan terbang menjauh.

Namun, Jisung sudah sangat bahagia diajak jalan-jalan sehingga tidak mengatakan hal-hal yang beresiko merusak suasana hati ayahnya. Dia pikir, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, dia akan mengerti mengapa kebanyakan orang dewasa terlihat stres.

Dia sempat bertanya-tanya, apa tumbuh dewasa tidak enak, ya?

Hari itu berjalan menyenangkan. Ibunya menemaninya menaiki macam-macam wahana一dari yang seru sampai yang membuat kepalanya pening. Mereka membeli permen kapas yang BESAR sekali. Warnanya pink seperti gaun bunga-bunga ibunya. Dan rasanya sangat manis!

Dia makan semuanya, walaupun ibunya memperingatkan tentang sakit perut yang baru dia alami di perjalanan pulang. Dia menyesal makan banyak gula, tapi di hatinya, dia gembira.

Jisung membandingkan keadaan bertahun-tahun lalu dengan sekarang dan tertawa. Saat ini dia juga sakit perut, tapi karena lapar.

Mengabaikan Han yang sama-sama mengabaikannya di kursi pengemudi yang asyik bernyanyi dengan suara sumbang, Jisung menyandarkan dahinya di jendela yang memisahkannya dari hujan salju di luar sana.

Dengan menggenggam kenangan-kenangan rapuh inilah, Jisung sanggup bertahan. Dia percaya, layaknya melodi sebuah lagu yang terus didengarkan, mengenang sebuah moment adalah cara terbaik menjadikannya abadi di luar fakta bahwa itu takkan pernah terulang lagi.

Di dunia ini yang indah ini, kenapa harus ada perceraian sih?

Mobil berhenti. Han menepikan kendaraan, lantas mematikan mesin. "Ayo, jangan bikin masalah."

Tanpa meresponnya, Jisung keluar. Dia berjalan agak jauh dari Han. Satu-persatu, lantai demi lantai mereka tapaki dengan bantuan lift. Dia melewati unit Winwin yang tertutup rapat; bukan kejadian yang aneh. Dulu, saat masih kecil, sepulang sekolah, ibunya kerap kali memintanya mengatar makanan pada Winwin, sebab khawatir pada pria itu. Kemudian, unit 95, yang ditempati Taeyong.

Dia berhenti. Dia terbayang kata-kata Taeyong ... beberapa jam lalu?

Waktu berlalu dengan cara yang membingungkan.

Taeyong bilang, "Kalo ada yang mukul kamu, lawan! Tanganmu nggak ada gunanya?"

Jisung menunduk menatap tangannya sendiri; putih, sedikit kemerahan. Pembuluh darah berwarna hijau pucat tersebar seperti akar pohon, menyokong kerja tubuhnya.

Tanganmu nggak ada gunanya?

Dia masih memikirkan itu saat Han mengetuk pintu dan wajah Shin muncul, membentuk senyum miring. "Masih hidup? Kirain mau nginep di kamar mayat."

Tapi Jisung hanya mendengar 3 kata yang diucapkan Taeyong dengan marah dan terselip nada mengejek, nggak ada gunanya? berulang-ulang bergema telinganya.

Masih dalam selubung kegelapan, Shin duduk di atas permukaan sofa yang keras.

Sebatang rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya; bara apinya menyala merah dan oranye, menjadi setitik cahaya yang menemaninya. Shin menunggu一kegiatan yang paling ia benci di samping kehilangan kendali pada sesuatu atau seseorang. Tadi, hal itu hampir lepas darinya, tapi sekarang tidak lagi.

Lihatlah apa hasilnya kalau tidak membiarkan kepanikan mengambil alih.

Hidup itu harusnya santai saja. Seperti air, biarkan semua mengalir. Kecuali dalam situasi di mana airnya meluber kemana-mana, mengancam menenggelamkanmu, barulah tindakan pencegahan diperlukan.

Dalam kasus Shin, tindakan pencegahan itu bernama Han Sung.

Bertahun-tahun lalu, Han tidak lebih dari seorang mahasiswa miskin yang harus bekerja untuk menyambung kuliahnya. Tidak punya orang tua, sedikit teman, dan lebih sedikit lagi uang. Mereka bertemu di minimarket dan menjalin pertemanan yang diperkuat banyaknya persamaan.

Ketika Shin menghubunginya usai mengecek kamar Jisung, dia menjelaskan kronologisnya secara singkat. Ke mana dia dan Asa pergi, siapa yang ia duga membawa Jisung pergi (siapa lagi kalau bukan Taeyong yang hobi ikut campur urusan orang dan sekedar menebak-nebak, dia menambahkan Winwin) juga kapan kira-kira itu terjadi.

Han, yang pernah berkata bahwa batasan antara kebenaran sungguhan dan kebenaran khayalan hanya setipis kertas, berjanji akan menyelesaikan masalah ini.

Dan Shin percaya, sebab lebih dari orang lain, dia tahu Han tidak terkenal karena kemenangan-kemenangan yang dia raih semata, tapi juga keahliannya memelintir fakta-fakta.

Dunia hukum adalah dunia yang diatur oleh mereka yang pandai bicara.

Kalau nggak ada yang laporan, polisi mau ngusut apa? Shin mendengarnya berkata begitu di ponsel. Ini gampang.

Kurang dari 1 jam kemudian, dia kembali, membawa bukti dari kata-katanya di belakangnya; Jisung. Tanpa Taeyong, Winwin, terlebih polisi.

"Masih hidup? Kirain mau nginep di kamar mayat."

Han tertawa mendengar leluconnya, mengayunkan kaki masuk ke dalam. Dia melepas jaket sedangkan Jisung melepas masker. Memar di pipinya terlihat jelas, tapi dalam beberapa hari, memar itu pasti akan memudar dan bukti perbuatannya pasti akan hilang. Tidak ada luka, tidak ada kekerasan.

Sulap otomatis一mudah sekali!

"Kamu kira pegawai hotel biasa sama si anti sosial itu bisa nolong kamu? Jangan ngarep ketinggian."

Tidak ada yang berubah, Jisung tidak menyahut. Shin menganggap dia mainan yang rusak sejak perceraian orang tuanya. Dia robot yang bernapas, namun tinggal menanti waktu sebelum dia rusak sepenuhnya.

Tapi kali ini, ada yang berbeda; anak sialan itu balas menatapnya.

Itu perbedaan kecil tentu saja, tapi tetap saja sebuah perbedaan. Normalnya, Jisung akan menunduk, bukan malah menatapnya dengan tatapan kurang ajar seperti itu. Mana sikap patuhnya? Mana rasa takutnya?

"Apa lihat-lihat, hah?" Shin membentak, mengira kerusakan Jisung sudah semakin bertambah hingga dia menunjukkan sikap berani yang sembrono. "Mau masuk kamar mayat beneran kamu?"

Semakin mirip si bangsat Park Jinwoo, dia tidak berkedip.

Shin mengangkat tangannya一

"Shin." Suara Han membuatnya berputar menengok pria itu yang sedang menyulut rokok dengan pemantiknya. "Bukannya aku ngelarang, tapi sementara, jangan apa-apain dia dulu. Biarin luka-lukanya sembuh."

Tangan Shin turun lagi. "Selain Taeyong, kayaknya nggak ada yang mau ngecek keadaannya."

Saat Han mengernyit, Shin menyadari mungkin dia salah. "Nggak ... juga. Orang yang namanya Taeyong itu punya Kakak, dan Kakaknya pengacara."

"Kakak?" Shin menggali ingatannya, mencari-cari gambaran seorang wanita yang menyerupai sosok pengacara. Rasanya ia pernah mendapati Taeyong duduk di taman dengan seorang gadis, tapi kelihatannya, gadis itu terlalu muda untuk jadi kakaknya.

Han menghempaskan tubuh di bekas tempat duduknya. Lebih banyak asap memenuhi ruangan saat ia menghembuskan napas. "Namanya Irene. Dia bisa ngerepotin banget kalau ikut campur. Hati-hati."

Hati-hati, dia menasehati Shin, tapi kata itu lebih cocok tertuju pada Jisung karena selanjutnya, Asa merengsek masuk ke ruang duduk, sama sekali tidak menyadari adanya Han karena dia langsung mendekati Jisung tanpa menoleh.

Asa berdiri geram, dikuasai kemarahan yang bila diibaratkan hujan, turun membasahi segalanya. Ini adalah jenis air yang tidak bisa dibendung; terlalu banyak, terlalu deras.

"Kamu,"

Tangan Asa melakukan apa yang Han cegah, dan apa yang sudah Shin duga, dan Jisung akhirnya terpaksa menunduk juga.

"Berani macem-macem sekarang?" Sang Ibu mengamuk, di depan anak yang selalu tidak berdaya di hadapannya. Selalu, karena satu hal bernama cinta. "Kalau bukan Shin, kamu kira Ayah kamu rela ke sini buat ngasih makanan? Kamu kira Jinwoo mau bayarin biaya sekolah kamu? Jangan aneh-aneh, jangan manja pake ke rumah sakit, ngerti?"

Shin tersenyum. Benar-benar pertunjukan yang menghibur.

Saat Jisung meliriknya, Shin memastikan lewat tatapan bahwa Jisung mengerti 1 hal lagi; dia bisa saja memperoleh kepedulian dari orang lain, tapi tidak dengan kepedulian dari orang yang paling ia inginkan; ibunya.

Seharusnya Jisung paham; cinta yang salah hanya akan membuat seseorang menderita, membuat kita jadi lemah.

Seharusnya kita tidak mencintai orang lain lebih dari cinta kita pada diri sendiri.

Lantai 9 di apartemen Ahyeon cenderung tenang.

Mestinya ini bisa jadi lingkungan tempat tinggal yang ideal bagi Irene, sang pecinta ketenangan, tapi dia mendapati dirinya merinding saat melintasi deretan pintu yang memberi kesan berbeda di malam hari. Sebut dia paranoid, tapi bahkan dengan penerangan yang cukup, dia merasa seperti tengah berjalan di terowongan yang gelap atau berada jauh di laut dan tidak bisa melihat daratan.

Lantai 9 terlihat seperti bagian yang paling tidak terawat. Dinding-dindingnya kusam, karpetnya kotor oleh debu, seekor laba-laba sedang memintal jaring di pojok atas kiri langit-langit. Irene, yang tidak pernah tergoda alkohol, jadi heran, apa yang merasuki otaknya atau dia mabuk apa hingga menyodorkan tempat ini ke adiknya? Mabuk polusi? Mabuk bubble tea?

Dia menyenggol lengan Taeyong pelan. "Rumah Jisung yang mana?"

Jawaban Taeyong terdengar tidak jelas karena dia mengucapkannya sambil menguap. "92."

Jadi itu dia. Itu nerakanya.

Sekilas sama saja dengan pintu lain; dari warna cat, hingga bahan yang digunakan untuk mengukir nomornya. Tidak ada tanda-tanda khusus yang akan membuat dia berpikir, hm, di unit itu ada anak yang butuh bantuan. Sama sekali tidak ada. Itu pintu biasa; yang tidak akan Irene perhatikan 2 kali seandainya dia tidak tahu apa-apa.

Ponsel Taeyong berbunyi.

Begitu pun kaki Irene saat ia berjalan ke pintu yang dimaksud, mengetuk, lalu memasang senyum terbaiknya.

Taeyong terjebak dalam dilema antara menerima panggilan di ponselnya dan mengikuti Irene. "Mau ngapain?"

Mempertimbangkan orang di dalam bisa mendengar, Irene tidak menanggapi. Dia teringat kata-kata Han, Gimana rasanya kalah, Irene?

Dan dia berpikir, Belum. Ini permulaan

Irene bukan jenis orang yang akan jatuh sekali lalu menangis.

Ini belum berakhir.

Dia menarik napas panjang, bersiap menghadapi orang bernama Shin yang oleh Winwin dideskripsikan sebagai bajingan kejam. Shin mungkin seseorang yang sama bengisnya dengan kapten Hook. Mata melotot tajam pada semua yang berani mengganggunya. Seringai menakutkan. Suara kasar khas perokok/peminum.

Tapi oh oh, rupanya takdir berkata lain.

Pria yang membuka pintu ternyata adalah seorang pria tinggi tampan dengan garis-garis halus di sekitar matanya; kenang-kenangan yang ditinggalkan sang waktu. Rambut ikal tebal yang tertata rapi, tidak melampaui garis leher. Hidung seperti perosotan. Senyumnya menawan.

Irene merasakan dorongan untuk berbalik dan meminta maaf karena dia salah tempat. Tapi dia memilih bertahan di posisinya, menanyakan pertanyaan yang mengganjal. "Shin?"

Terduga tersangka itu mengangguk. "Ada yang bisa dibantu?"

"Jisung ada di dalem?"

"Ya, kamu siapa?"

Irene menoleh sekilas pada adiknya yang tidak beranjak, menatap dengan rasa penasaran dan antisipasi yang meningkat, kemudian nyengir. "Aku petugas dari dinas sosial."

Kantuk menghilang dari diri Taeyong dan dia tertawa sampai membungkuk.

Berkebalikan dengannya, Shin berteriak saking terkejutnya. "Apa?!"

Drama Irene hanya bertahan beberapa detik, karena dipengaruhi Taeyong, dia tertawa juga. Dia mendorong Shin ke samping. "Bercanda. Aku pengacaranya Jisung. Permisi ya..."

Tidak jauh berbeda dari saudaranya, Irene menerobos masuk tanpa izin. Hukum dilanggar. Norma diabaikan. Matanya butuh waktu menyesuaikan dengan pencahayaan yang remang-remang. Dia menatap nyalang ke sekelilingnya, mencari-cari apapun yang bisa menjadi petunjuk di mana Jisung.

Sepatunya menabrak sebotol minuman keras yang telah kosong dan dia mundur seolah hampir menginjak granat. "Ow."

Tak bisa berpura-pura tidak jijik, Irene menendangnya dan botol itu menggelinding seperti bola ke bawah meja. Dia meneruskan langkah setelah halangan tidak lagi ada dan memanggil, "Jisung?"

Cepat, cepat.

Irene bergegas mencari anak itu, melongok ke dapur yang kosong. Dia tidak berhenti hanya karena Shin tidak berhenti juga meneriakinya. "Hei, hei, ada apa ini? Siapa kamu sembarangan masuk rumah orang?!"

Sudut mata Irene menangkap adanya pintu di dekat apa yang ia tebak adalah ruang cuci一tempat yang sama Taeyong meletakkan mesin cuci dan mesin pengeringnya. Tidak akan sulit menggambar peta apartemen ini seandainya Irene memutuskan begitu; semua unit punya desain yang sama.

Mengandalkan insting, digabung dengan secercah doa, Irene mengulurkan tangan menekan kenop pintu ke bawah. Kalau beruntung, dia akan berjumpa Jisung. Kalau tidak, paling-paling itu ibunya一yang tidak terlihat di manapun.

Dia berharap一

Dia tidak perlu khawatir; itu Jisung.

"Hei!" Namun pada saat yang sama, Shin mensejajarkan langkah dan mencekal erat tangannya. "Keluar dari sini!"

Menggunakan salah satu tips pertahanan diri yang pernah ia baca di internet, Irene memutar pergelangan tangan itu dan meloloskan diri. Tapi di tempat dia biasa memakai gelang atau jam tangan, kini ada tanda kemerahan melingkar. "Kamu berisik banget ya, mirip anjing rabies."

Dia tidak takut.

Tidak takut.

Namun tubuhnya enggan bekerja sama dan Irene merasakan kakinya gemetar. Dia biasanya tidak melakukan tugas lapangan yang penuh konflik seperti ini. Dia punya asisten yang cekatan. Dia selalu mengajak si asisten bila terpaksa mememui saksi yang ia anggap tidak stabil.

Pria ini, yang senyum ramahnya sudah lenyap, tanpa keraguan bisa dianggap tidak stabil tingkat tinggi.

Irene mendahuluinya menghampiri Jisung yang berbaring di tempat tidur, meringkuk seperti bayi tanpa selimut. Kedua bahunya Irene pegang dan ia guncang pelan. "Jisung?"

Dia tidak bereaksi.

Kepanikan menemukan jalannya ke jantung Irene, membuatnya berdetak lebih cepat. Irene kira, seseorang melakukan sesuatu pada Jisung atau keadaannya semakin parah sehingga dia pingsan. Irene mengguncang bahu kurusnya lebih keras. "Jisung!"

Mata Jisung mengerjap-ngerjap terbuka, kebingungan. Dia berjuang terlepas dari jeratan alam mimpi dan bangun, tapi kehadiran Irene mengagetkannya dan dia tanpa sengaja menjatuhkan sebuah benda di bawah bantalnya.

Gerakan refleks, tindakan yang selalu ia lakukan saat ada seseorang yang tidak sadar barang mereka jatuh, Irene mengambilnya dan mendekap benda seukuran buku tulis itu ke dadanya一tapi lebih tebal. "Ayo pergi."

Dia menarik lengan Jisung yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi.

Shin mencegatnya, menjadi penghalang yang tak bisa disingkirkan semudah botol di ruang duduk. "Kamu Kakaknya Taeyong? Irene?" Kepalan tangan pria itu meninju permukaan polos pintu keras-keras. "Mau sok jadi pahlawan juga?"

Sebenernya kagak mau pake pov Jisung karena gua bingung pemikiran remaja cowo tuh gimana/? takut malah kagak nyambung (ಥ_ಥ) tapi yaudahlah, lagi-lagi buat kebutuhan cerita (● ̄(工) ̄●)

Ini masih dalam fase rajin karena gua seneng dapet cover baru wkwkwkw, dan lagi, NASI dulu gua target kelar Februari, tapi kenyataannya.... ╥╯﹏╰╥ *meratapi kemalasanQ*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top