20. SHIN
Namanya Nam Shin.
39 tahun lalu, dia lahir di sebuah pulau yang dulunya bernama "Tamra".
Di antara debur ombak, karang-karang tajam yang bisa membuat seseorang terluka, dan deru angin kencang yang sering mengancam para nelayan, dia tumbuh dewasa.
Shin tidak punya ibu. Ibunya meninggal usai melahirkannya. Ketika bermain di taman bermain, dia merupakan satu-satunya anak yang sendirian. Tidak ada wanita yang berkata dia tidak boleh naik monkey bars karena terlalu berbahaya atau membalut lututnya yang terluka setelah jatuh.
Sejak kecil, Shin terbiasa mandiri. Awalnya sih kesal juga, karena dia tidak mengerti mengapa anak lain punya ibu sedangkan dia tidak, tapi lama-lama, ini menyenangkan! Dia bebas melakukan apa saja di rumah. Bermain seharian tanpa tidur siang, atau tidur siang tanpa membereskan mainan.
Ayah Shin peduli padanya, bahkan menyayanginya. Tidak seperti drama murahan dimana seorang anak disalahkan atas meninggalnya sang ibu, ayahnya sama sekali tidak begitu. Sering, dia membelikan Shin mainan robot canggih yang membuat teman-temannya iri, uang saku yang amat banyak, dan sesekali, mengajak dia ke tempat kerjanya.
Kali pertama itu terjadi, Shin berusia 5 tahun. Lokasinya cukup jauh dari rumah, dari pemukiman warga, karena ayahnya bekerja di rumah jagal一tempat bangunan berusia lebih dari seabad berdiri, begitu tua hingga lantai dan dindingnya dihiasi noda kecokelatan yang gagal dibersihkan dengan pembersih merk apapun. Darah-darah hewan yang terbunuh tercetak abadi di sana.
Shin, sebagai anak-anak, mengagumi mesin-mesin raksasa yang lebih tinggi dari ayahnya. Ia bertanya bagaimana cara mengoperasikan mereka dan apakah kait-kait yang menjulur dari langit-langit sungguh bisa menggantung seekor sapi.
Ayahnya yang baik tak sekedar menjelaskan, dia melakukan lebih dari itu; membiarkan Shin menonton prosesnya. Dari awal sejak hewan-hewan di tarik dari kandang sampai digiring ke mesin yang akan membuat mereka meregang nyawa. Mereka bersuara "Mooo" panjang atau mengembik mirip bayi yang menangis.
Shin mendongak, bertanya, "Ayah, apa Ayah nggak kasihan sama mereka?"
Pria Nam yang lebih tua tertawa. "Shin, itu cuma hewan. Ada banyak jumlahnya. Lagian udah takdir mereka buat mati jadi makanan manusia."
Shin tidak bicara apa-apa lagi. Dia mengerti.
Maka di kemudian hari, ketika ia bersepeda dan tidak sengaja menabrak seekor kucing sampai perut kucing itu terlindas ban, dia tidak berhenti. Dia meninggalkan si kucing yang mengeong kesakitan. Buat apa? Toh, itu hanya 1 dari sekian banyak kucing di dunia. Biarkan saja.
Di sekolah, Shin jadi murid yang disayang guru-guru. Mereka memberinya perlakuan khusus karena dia tidak punya ibu dan karena dia tampan. Kelakuannya sempurna. Dia tidak pernah menyebabkan masalah. Saat dia merobek sayap kupu-kupu yang mengganggunya atau menendang hewan-hewan yang tidak sengaja masuk ke area sekolah, tidak ada yang melihatnya.
Masa remaja Shin terbilang indah.
Kotoran yang menodainya hanyalah saat ada teman sekelas yang mengadu pada guru Shin memuntir lengannya di ruang ganti sehabis pelajaran olahraga, tapi tidak ada yang percaya padanya. Semua orang, meski tidak terang-terangan, menganggap dia pembohong sebab Shin tidak terlambat ke pelajaran selanjutnya dan penjaga sekolah yang sudah tua melihatnya berganti seragam di toilet yang letaknya lebih dekat dengan kelas.
Tidak seorang pun ingat bahwa penjaga sekolah itu matanya rabun atau mendengar pertengkaran mereka dan teriakan kemarahan Shin atas tuduhan mencontek temannya.
Lihat siapa yang tidak bisa ikut ujian karena tangannya diperban sekarang.
Saat itu, Shin sudah tahu bahwa ada 2 jenis murid yang akan dikenang para guru; mereka yang hobi berbuat onar, atau mereka yang sikapnya dapat diteladani.
Shin memilih jadi yang kedua, agar dengan begitu, orang jadi tidak tega menjatuhkan hukuman padanya.
Menjelang dewasa, Shin pergi mencari tantangan baru di ibu kota yang gemerlap. Kampung halamannya tidak asyik lagi sekarang. Dia ingin bertemu orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru, dan menemukan hiburan-hiburan yang baru.
Shin menjalani banyak pekerjaan di Seoul. Dia pintar, tak sulit baginya untuk diterima saat melamar suatu posisi. Orang-orang selalu takjub pada keramahannya, atau senyumnya yang bisa membuat bengkel berbondong-bondong didatangi pelanggan wanita.
Seumur hidup, Shin dikelilingi kemudahan berkat wajahnya.
Lalu, sekedar tindakan acak bercampur sentuhan takdir, Shin pindah ke Seodaemun-gu dan di sanalah semuanya bermula.
Ketika Shin bertemu Asa, dia masih pegawai biasa waktu itu dan Jisung masih bocah kecil yang berlari-lari di sekitar rak barang dan memotret apa saja dengan ponsel berstiker anak ayam.
Pemberitahuan bahwa tidak boleh memotret sudah terpampang dengan tulisan besar-besar di pintu kaca, tapi tetap saja anak nakal itu tidak mengindahkan.
Karena tingkahnya, sang ibu berdecak tapi tak bisa menyembunyikan tawanya. "Jisung! Jisung!" Dia harus memanggil anaknya 2 kali supaya anak itu berhenti. "Udahan, ayo pulang."
Lantas pada Shin, dia tersenyum. "Maaf. Dia lagi suka sama kamera. Semuanya dia foto, katanya mau jadi fotografer."
Shin tahu dia harusnya tertawa, mengepak barang belanjaan wanita itu dengan cepat, tapi sungguh, dia tidak bisa.
Melihat si pelanggan tersenyum, Shin terpesona. Meski matanya sangat sipit seperti kebanyakan penduduk Korea sebelum dipermak dokter kecantikan, ada sesuatu yang unik pada dirinya. Yang ini berbeda.
Wanita itu bertubuh kecil. Rambutnya panjang melewati punggung. Bulu matanya yang juga panjang membingkai mata indah yang seakan bercahaya. Hidungnya lancip. Bibirnya terlalu tipis, tapi lewat bibir itu, keluar suara merdu nan lembut yang memanjakan telinga. Wanita itu berjalan anggun ke kasir, menggandeng seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun yang cemberut tidak diizinkan memotret lagi.
"Ayo," katanya. "Minta maaf sama Paman yang itu."
Anaknya rupanya tidak mirip dengannya. Selain di bagian mata, mereka tidak punya kesamaan lain. Dia jangkung untuk anak seumurannya, dan seperti anak-anak lain, berisik sekali saat meminta permen dan cokelat.
Oh, Shin tidak suka anak-anak.
Alasan Shin tidak menikah walaupun sudah mencapai usia matang, adalah karena dia berpikir dia tidak akan tahan mendengar rengekan bayi. Menurut Shin, bila ada 1 kata yang bisa mendefinisikan anak-anak, tidak lain adalah; masalah.
Wanita itu menuruti sebagian keinginan anaknya, tapi menolak keinginan lain dengan alasan sakit gigi. Dia sabar. Berbeda dibanding Shin yang mendengar suara anak-anak saja jengah. Kalau Shin jadi dia, Shin akan memikirkan cara yang lebih efektif untuk membuatnya diam.
Duh, menyebalkan.
Di luar, sebuah mobil sedan hitam terparkir miring dekat pintu. Shin bisa melihatnya berkat kaca minimarket yang tembus pandang. Melihat lebih dulu seorang pria tinggi tegap membuka pintu dan berjalan dengan ekspresi suntuk menghampiri si wanita.
"Asa!"
Suaranya yang berat mengagetkan si anak. Kemiripan keduanya benar-benar luar biasa; jenis kemiripan yang akan membuat orang bercanda apakah si pria merancang anaknya sendirian. Mereka seperti cetakan yang sama persis. Wajah anaknya pasti tidak ada bedanya dengan wajahnya semasa muda, dengan pengecualian anak laki-laki itu punya beberapa fitur lembut yang tidak terdapat pada ayahnya.
Tanpa basa-basi, si ayah yang posturnya hampir menyamai Shin itu membentak, "Kenapa lama? Belanja ginian aja lama! Bisa nggak lebih cepet? Udah sore, kamu belum masak, belum beres-beres rumah. Mau makan apa ntar?"
Senyum si wanita memudar. "Iya sebentar. Tadi Jisung minta一"
Tidak sabar, pria itu menarik lengan anaknya hingga hampir menjatuhkan ponsel. "Jisung nunggu sama Ayah aja di mobil. Di lingkungan kumuh kayak gini, nggak ada yang bagus buat kamu lihat. Ayo."
Sepeninggalnya, wanita itu kembali mengukir senyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Maaf. Berapa total semuanya?"
Dia mengambil lagi permen warna-warni yang diminta anaknya tapi sebelumnya tidak ia perbolehkan.
Dari Park Jinwoo, Shin tahu bahwa ia tidak butuh mengenal seseorang lebih dulu untuk membencinya.
Tak lama setelah mereka pergi, seorang pria muda tergopoh-gopoh masuk menyandang ransel hitam lusuh. Dahinya berkeringat, napasnya terengah-engah. Karena kebiasaan, Shin tahu pria itu berlari dari stasiun kemari, langsung dari tempat ia kuliah.
"Shin." Mata pria melebar khawatir. "Maaf aku telat. Aku minta maaf. Tapi tolong jangan kasih tahu manajer, ya? Aku perlu uang buat kuliah. Kalau bukan dari sini一"
Shin mengangguk paham memotong cerita pria itu. Dia mengarahkan jarinya ke pintu khusus pegawai. "Masuk sana, dasar berandal. Ada makanan, kamu makan dulu."
Pria itu menelan ludahnya gugup. "Makanan?"
Bermaksud bercanda, Shin melempar plastik cacat yang tidak bisa dipakai ke dada pria yang lebih muda. "Iya, tapi kalau nggak mau ya nggak usah di makan."
"Aku mau." Korbannya pelemparan itu mengiyakan antusias. "Aku belum makan dari siang." Lalu dia membungkuk mengambil plastik yang jatuh dan meremasnya. "Shin, makasih."
"Hm?"
"Buat semuanya. Kamu selalu baik sama aku walaupun aku sering ngerepotin. Padahal nggak ada yang gitu ke aku."
"Hei." Shin tergelak. "Jangan nangis."
Pria berkacamata itu mengikuti jejaknya, tapi diam-diam mengusap mata. "Nanti pas aku jadi jaksa, aku janji bakal bantuin kamu kalau ada masalah, sebagai balas budi. Aku janji, Shin."
Ketika dia bergegas menemui makanannya, dia tidak sadar ranselnya terbuka sehingga saat ia meletakkannya di lantai, isi benda itu berserakan.
Dia mengabaikannya, fokus mencari makanan yang Shin letakkan di lokernya.
Salah satu bukunya terbuka dan di buku itu, tertulis dalam huruf sambung indah, 2 nama sederhana, "HAN SUNG."
Semakin malam, rumah sakit semakin sepi.
Selain dokter dan perawat karena tuntutan pekerjaan, Irene ragu ada yang senang hati berada di sini. Rumah sakit seperti dunia yang berbeda; tempat Irene membayangkan anak-anak menangis, orang lanjut usia yang sekarat, dan mayat yang di malam hari bisa bangun seperti dalam film zombie.
Oh, khayalannya berlebihan.
Irene menyandarkan kepalanya di bahu Taeyong, menikmati rasa empuk dan hangat di pipinya yang jauh lebih baik daripada dinding keras rumah sakit. Kertas tagihan biaya perawatan Jisung ada di tangannya sejak 20 menit yang lalu. Selama itu pula, Jisung telah pulang ke rumahnya dan Irene tidak berani menebak-nebak apa yang ia alami. Ia hanya berdoa semoga dugaan terburuknya tidak terjadi.
"Kita harus apa, Taeyong?"
Taeyong di sebelahnya diam lama sekali, justru sibuk menyelamatkan seorang penyintas di ponselnya. "Pulang. Apalagi?"
Dari sudut mata, Irene mengintip pistol jenis apa yang dipakai Taeyong dan memutar bola mata. Punya adik laki-laki membuat dia tahu hal-hal semacam itu dan mengerti offside tanpa perlu bertanya berkali-kali. "Bener. Kita harus nyamperin Jisung! Ide bagus!"
"Bukan, maksudku kita pulang biar aku bisa tidur. Aku ngantuk soalnya."
Irene menutupi layar ponsel dengan telapak tangannya sampai Taeyong protes. "Aku serius." Dia merebutnya dengan sekali tarikan, meletakkan benda itu bersama pulpen dan jurnal di tasnya. "Taeyong, aku kasihan ke dia. Aku bakal ngerasa bersalah kalau cuma diem."
"Dia nggak mau ditolong." Taeyong menyisir rambutnya dengan jari, tapi malah membuat rambut itu lebih berantakan. "Kepala batu dia. Percuma dinasehatin."
"Iya sih..." Terpaksa, Irene mengakui. Dalam hati, sebenarnya kekesalannya belum hilang, tapi ia terlampau khawatir untuk mempedulikan rasa kesal itu. "Tetep aja kasihan. Dia mirip anak cowok yang aku suruh jangan kerja tapi ngotot kerja, soalnya dia mau kakaknya fokus kuliah. Cocok kan? Sama-sama kepala batu."
Merasa tersindir, Taeyong berupaya menginjak sepatu merah Irene yang fantastis. Berusaha mengubah topik, dia menoleh ke kanan, lokasi toilet berada. "Si polisi ke mana?"
Usahanya gagal. Irene tidak terpengaruh, tidak pula membiarkan Taeyong memberi tanda jelek di sepatu yang merupakan saksi kencannya. Dia membalas dengan memukul lengan saudaranya. "Mana yang lebih baik; tinggal sama Ibu kayak Ibunya Jisung atau Ayah kayak Ayahnya Jisung?"
"Mending nyebur ke segitiga Bermuda." Jawab Taeyong asal, menyentuh perutnya dan mengerutkan hidung. "Aku laper."
Mereka terdiam, menanyakan pertanyaan yang sama dalam pikiran; apa Jisung sudah makan?
Irene merasa otaknya bertransformasi jadi balon yang kehabisan udara; tidak berguna. Dia benci ketika tak tahu apa-apa, tapi lebih benci lagi ketika tidak bisa berbuat sesuatu. Setiap kali dia mencoba memikirkan solusi, bagai ada tembok yang menghalangi. Keengganan Jisung menjadi kendala terbesar, menjadi tali yang mengikat pergerakannya.
"Tapi aku kira..." Taeyong berkata tiba-tiba, pandangannya menerawang. Tertuju sekaligus melewati deretan kursi lain yang tak berpenghuni disepanjang koridor. "Mungkin masih ada kesempatan buat Jinwoo. Mungkin dia nggak seburuk yang Winwin bilang?"
"Kamu keinget Ayah, ya?"
Tak menyangkalnya, Taeyong mengangguk.
Di kejauhan, sosok tegap Suho terlihat melepas gulungan lengan kemejanya. Tanpa seragam atau tidak, dia mempertahankan perilaku polisinya yang menjunjung kerapihan. Saat dia bertatapan dengan Irene, dia tersenyum. Ada bulan sabit kedua di bumi yang tidak kalah indah dibanding yang di langit.
"Oke." Irene meregangkan jari-jarinya mirip pegulat yang akan bertarung. "Oke. Kita coba jinwoo dulu. Tapi buat hari ini, aku ikut kamu ke Ahyeon. Aku harus ketemu orang yang namanya Shin."
"Hah?"
Sewaktu Suho tiba, Irene menyambut senyumnya dan berdiri. Suho menunjuk ke belakang, lalu meringis. "Taeyong, kayaknya temen kamu ilang. Tadi dia pamit ke toilet juga kan? Tapi dia nggak ada di sana."
Ekspresi heran Taeyong dengan cepat berubah jadi tawa terbahak-bahak. "Winwin一emang nggak bisa ditebak."
Irene tersenyum menanggapi keduanya, 2 pria favoritnya. Namun setelah melihat raut wajah Winwin yang terpukul mendengar ucapan Han一yang identitasnya sudah ia jelaskan一saat menyebutnya "egois", kekhawatiran Irene terpecah untuk pemuda yang baru ia kenal itu.
Banyak orang yang sedang tidak baik-baik saja saat ini.
Jujur ya manteman ... GUA JUGA KAGET BISA UPDATE 3 HARI BERTURUT2??? Ini beneran rekor buat gua lhoh. Ternyata cuma perlu cemilan doang biar gua anteng ngetiknya 😐
Shin ini salah satu tokoh ter-kampred yang pernah gua bikin. Gua bayangin dia jadi cowok tinggi ganteng yang suaranya lembut buat perlengkapan nipunya. Paling mendekati kayaknya Nam Goong Min? Dia di drama Sensory couple sama Remember kampred banget soalnya 😭
Tapi namanya gua ambil dari drama Are You Human Too karena simpel wkwkwkwk, gua emang suka nonton drama 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top