19. Perseteruan Lama

Sepanjang karirnya sebagai pengacara, Irene tidak pernah menangani kasus kekerasan terhadap anak.

Bukan karena Irene menganggapnya tidak penting, tapi di awal karir, ia tahu lebih baik memilih kasus yang sedang hits agar reputasinya melejit. Bayangkan bila ada berita perceraian artis dan berita anak yang meninggal di tangan ayahnya, tidak perlu analisis tingkat tinggi untuk tahu yang mana yang akan mendapat perhatian lebih dari para reporter dan diliput berhari-hari.

Kasus kekerasan terhadap anak adalah fenomena yang lama-kelamaan dianggap biasa. Orang yang menonton beritanya akan berkata, "Oh, kasihan." lalu melupakannya karena si anak tidak ia kenal atau menilai peristiwa itu mustahil terjadi di lingkungannya.

Di bawah ketidakpedulian masyarakat yang enggan repot dan justru berpura-pura tidak tahu, banyak anak-anak yang menderita dan terlupakan.

Irene tahu apa yang harus ia lakukan dalam situasi ini. Pertama melapor pada polisi. Biarkan mereka bekerja, mengajukan permohonan visum terhadap korban (atau otopsi jika korban sudah meninggal dan keluarganya mengizinkan) sementara ia mengumpulkan bukti. Lebih bagus lagi jika ada saksi. Seorang hakim akan ditunjuk. Bukti yang ia temukan akan dipresentasikan di ruang sidang. Debat antara pembela dan penuntut. Barulah setelah itu keputusan menyangkut hidup korban sekaligus pelaku ditentukan.

Dalam otaknya, Irene sudah membayangkan dia mengerjakan semua itu, mendapat kemenangan semanis permen dan akhir bahagia untuk Jisung.

Tapi saat Jisung berkata, "Aku nggak mau nuntut siapa-siapa." rencana Irene seketika buyar dan ia tertegun.

1 kata darinya keluar mewakili seluruh perasaan tak-habis-pikirnya. "Kenapa?"

Ini bukanlah jenis pertanyaan yang bisa dijawab dengan senyuman, tapi Jisung, herannya, berusaha tersenyum meski gagal. "Nggak ada yang namanya mantan orang tua kan?"

Itu dia. Caranya mengatakan "orang tua" memperlihatkan kasih sayang pada ibu yang tidak lagi peduli padanya. Itu kasih sayang yang sama yang Irene lihat dalam foto di ponsel Winwin; kuat, murni, terbentuk dari ikatan yang telah mengakar kuat hingga angin kencang perubahan sikap drastis ibunya pun tak bisa merusaknya.

Seperti bernapas yang tak perlu diajarkan oleh siapapun; perasaan cinta anak pada salah 1 tangan pertama yang merawatnya.

Bahkan mesti tangan itu kini lebih sering memukulnya.

Irene meledak dalam kemarahan. Tak ada kata lain yang bisa menggambarkannya. "Kamu kok bego banget sih? Mama kamu udah nggak pantes dianggep orang tua, Jisung! Coba lihat, mana dia sekarang? Kamu udah ilang beberapa jam tapi dia nggak ke sini buat tahu keadaan kamu? Mana rasa sayangnya? Nggak ada! Jadi nggak ada gunanya juga kamu mikirin dia! Biar一"

"Irene," suara Suho menginterupsi, disusul tepukan pelan di bahunya.

Namun baik sentuhan itu atau kata-katanya, luput masuk dalam perhatian Irene dan ia mengabaikannya. "Biar dia masuk penjara, itu tempat yang cocok buat orang tua kayak dia!"

"Stop, Irene."

Suara Suho menguat ketegasannya, seumpama gunting yang merobek kain. Sebelah tangannya seolah menciptakan penghalang, memblokir kalimat lanjutan apapun yang berada di bibir Irene saat ia duduk di samping Jisung dan memberinya segelas air. "Minum."

Tidak seperti citra sangar menjurus ala koboi yang dibentuk oleh film-film produksi Amerika, Suho tampil sebagai polisi yang lembut, tidak menghadapi batu dengan batu. Sebaliknya, ia menjadi air yang berusaha mengikis kerasnya batu itu perlahan-lahan. "Jisung, bener? Panggil aja Kak Suho. Jadi kamu nggak mau ngelaporin ini?"

Jisung mengambil jeda dengan minum lebih dulu, membasahi bibirnya yang pucat, baru kemudian mengangguk.

Irene lagi-lagi mendengus keras, menunduk memungut pulpennya dan melihat Taeyong  meluruskan kaki, lalu memejamkan mata.

Pemuda bernama Winwin yang menjadi salah 1 kayu yang mengobarkan api amarahnya dengan tingkahnya yang ikut melindungi ibu Jisung, bertukar pandang dengan anak itu dan membuang muka.

"Oke," bersamaan dengan Suho yang mengatakan itu, dalam jurnalnya Irene menulis, "Ayah? Hilang beberapa bulan. Keluarga lain?" Ia memperhitungkan semuanya. "Bisa dimengerti walaupun ini bukan hal yang bener. Jadi apa solusimu, Jisung? Kamu mau apa setelah ini?"

"Solusi?" Sahutan Jisung yang bingung terdengar di belakang punggung Irene.

"Solusi." Suho mengangguk. "Kamu nggak bisa pulang ke rumahmu. Mereka udah keterlaluan. Kecuali ada sulap yang bikin mereka tiba-tiba baik, kamu nggak bisa balik ke sana. Jadi kalau bukan masukin ke penjara, apa solusi kamu?"

Mau tak mau, Irene mengakui kemampuan negosiasi Suho. Tepat sasaran, dia mengarahkan Jisung ke titik yang pas, agar Jisung sadar bahwa sikap ngototnya takkan menuntunnya kemana-mana selain jalan buntu. Kenyataan bahwa seseorang tidak mungkin berubah secara kilat, terlihat jelas di mata semua orang seperti noda yang tak kunjung hilang.

Jisung tidak menjawab.

Irene menggunakan jeda itu untuk bertanya, "Kamu punya keluarga lain? Keluarga yang waras, maksudnya."

"Nggak ada."

"Nggak ada?"

"Semua Kakek-neneknya udah meninggal, setahuku," tutur Winwin pelan, tampaknya tidak yakin dia boleh menyela Irene. "Dia cuma punya Asa dan Jinwoo."

Seseorang di ruangan itu, yang masih mengenakan pakaian kerjanya dan terlihat lelah serta bisa disangka sudah tertidur, menyuarakan apa yang terlintas di pikiran Irene. "Berarti pilihan satu-satunya Jisung tinggal sama Ayahnya."

Dalam kurun waktu sejak ia mulai bercerita, atau menurut Taeyong, berdongeng, Winwin menaikkan nada bicaranya dan matanya membelalak mendengar usul itu. "Aku nggak setuju. Itu sama aja pindah dari sarang ular buat nyebur ke aquarium hiu. Nggak ada bedanya."

Irene mendukung si tetangga dengan anggukan. "Aku juga. Apa-apaan sih, Taeyong? Jinwoo itu tukang selingkuh; dari situ aja udah ketebak dia orang macam apa. Dan kalau dia peduli ke Jisung, dia nggak akan ngilang berbulan-bulan!"

Ketika Taeyong tertawa, Irene menduga adiknya telah terlalu lama kelaparan dan teramat kelelahan sehingga bagian otaknya yang mengatur kemampuan berpikir rasional mulai error. "Itu sekedar saran. Dari apa yang aku tangkep lewat cerita Winwin, Jinwoo mungkin nggak terlalu peduli sama dia, tapi Ayah mana yang tega ngelihat anaknya kayak gini? Kalau nggak mau, ya udah adopsi aja si Jisung."

Bagian pengacara dalam diri Irene berkata, masuk akal. Karena menurut hukum, saat orang tua gagal melaksanakan tugasnya, hak asuh mereka bisa dicabut dan diberikan pada orang tua yang lain. Atau anggota keluarga yang lebih kompeten.

Namun mengingat ucapan Winwin,

Jinwoo itu, dia nggak peduli sama Jisung.

Daridulu dia bukan tipe Ayah yang bisa dibanggain.

Aku ngancem mau laporin Jinwoo sekalian karena lalai.

Lalai一itulah kesalahan Jinwoo. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, mengganti nomor tanpa memberitahu Jisung, tidak datang lagi mengecek keadaannya, mengira tanggung jawabnya selesai, tamat, hanya karena ia bercerai dengan ibu Jisung. Dia tipe pria berpemikiran dangkal yang membuat Irene ingin membedah kepalanya untuk memastikan apakah dia masih punya otak.

Sisi lain Irene, yang menyukai anak-anak dan tak ingin ada anak yang terabaikan seperti dirinya, diganjal keraguan dan menentang ide Taeyong.

Lagipula...

"Gimana kalau Ayahnya tinggal sama selingkuhannya? Siapa yang bisa jamin dia beda dari Shin? Bisa aja dia pura-pura baik di depan Jinwoo atau siapalah namanya itu tapi diem-diem jahat ke Jisung?"

Serta-merta, mata Taeyong terbuka. Ia tahu Irene membicarakan apa; pria-pria bodoh yang dibawa ibunya dan menggoda, kadang berusaha menyentuhnya, saat ibu mereka tidak melihat.

Perlakuan yang membuat Taeyong sangat marah. Mengajarkan dia pada pemikiran yang kusut dan hitam; keinginan menghajar seseorang untuk pertama kalinya. Perlakuan yang saat dia tahu, memberinya tenaga yang cukup untuk memukul pria dewasa yang lebih tua dan tinggi darinya.

Kakaknya yang berharga, disentuh tangan-tangan kotor menjijikkan yang pemiliknya lebih rendah dari sampah?

Taeyong tidak terima.

Bayangan tentang Jisung yang mendapat perlakuan sama seperti saat ini, tapi dari tangan yang berbeda, akhirnya membuat Taeyong diam.

"Menurut kamu gimana?" Suho kembali menyerahkan keputusan finalnya pada Jisung, tahu bahwa bagaimanapun, Jisung berhak menentukan hidupnya. "Kira-kira Ayah kamu lebih baik nggak dari Ibu kamu? Dia pernah mukul?"

Kekesalan Winwin tercermin di wajahnya. Sesuatu, mungkin apa yang terjadi di masa lalu yang tidak dia beberkan, membuatnya bersikeras menolak gagasan Jisung tinggal bersama ayahnya. "Nggak mukul, tapi sering keluyuran. Dia nganggep Jisung nggak lebih penting dari kerjaannya. Kalau Jisung sama Jinwoo, bisa-bisa dia mati kelaperan karena Jinwoo lupa pulang atau keasyikan liburan bareng selingkuhannya."

Jisung menyangkalnya dengan upaya yang  lemah. "Ayah nggak gitu."

Winwin menggenggam ponselnya begitu erat sampai Irene kira layar ponsel itu akan retak. "Jangan belain dia karena dia inget ulang tahunmu sekali. Asal kamu tahu aja, waktu itu Kakak yang nyaranin dia beliin kamu kamera. Itu bukan inisiatifnya sendiri."

Layaknya menekan luka seseorang untuk menghentikan pendarahan. Menyebabkan rasa sakit demi mencegah kerusakan yang lebih besar. Winwin, pemuda berwajah polos yang cenderung pasif, rupanya memilih pendekatan yang berbeda dari Suho.

Irene bersedekap. "Jadi gimana, Jisung?"

Di luar dugaan bahwa Jisung tidak akan menjawab, dia memang tidak punya kesempatan untuk itu. Langkah-langkah kaki ringan, siulan santai, hadir mengusik perdebatan mereka.

Mula-mula, Irene mengira itu dokter. Atau perawat yang ingin memastikan Jisung baik-baik saja. Tapi siulan itu mengganggunya. Dia merasa pernah mendengarnya dan tidak menyukainya.

Siulan itu mirip...

Pintu terbuka tanpa ketukan sopan yang umumnya dilakukan para dokter.

Yang muncul memang perawat, tapi dia muncul dengan seorang pria beralis tipis yang seringainya pernah dihapus Irene setelah hakim menyodorkan kemenangan padanya.

Han Sung tersenyum, anehnya, menatap Jisung lalu menyapa dia lebih dulu. "Halo, Jisung. Oh, ada Irene juga, ya? Apa kabar? Boleh aku gabung?"

Irene mengerjap.

Dia tidak percaya ini. Ya Tuhan, dia tidak mempercayai penglihatannya. Han ada di sini. Di sini. Tanpa seragam khas jaksa, dia berdiri di ambang pintu, dengan sebuah jaket yang tersampir di tangannya.

Melihatnya di luar ruang sidang dengan pakaian biasa seperti yang normalnya dipakai orang-orang untuk menghalau dinginnya musim dingin, seperti melihat hyena di tengah kota. Walaupun tentu, Irene sadar Han punya kehidupan lain di samping profesinya, dan bisa saja mereka tanpa sengaja berpapasan, tapi bertemu Han adalah hal terakhir yang dia harapkan.

"Wah..." Han mendekat, di tengah jalan dia mengenali Suho dan tertawa. "Ada apa ini rame-rame? Kenapa sampe ngundang polisi? Jisung ulang tahun?"

Irene menggigit bibir bawahnya, hampir memanggil Han "jaksa penuntut" alih-alih namanya. "Han, ngapain kamu di sini?"

Sementara perawat yang datang bersamanya berdiri canggung karena perubahan suasana yang mendadak, Han tidak terpengaruh sedikitpun dan kukuh menghampiri Jisung. "Irene, aku nggak inget aku harus minta izinmu buat jalan-jalan. Tapi karena aku lagi baik, aku bakal jawab; aku mau jemput dia." Jari telunjuk Han terarah pada Jisung. "Ayo, Jisung. Bangun."

Tangan Suho bergerak ke saku celananya, mencari-cari sesuatu di sana. "Han, aku nggak tahu kamu ada urusan apa, tapi kamu mending pergi. Tinggalin anak itu. Banyak yang harus dia bicarain."

"Tinggalin?" Tidak hanya dengan senyumnya, Han mengejek dengan intonasi suaranya pula. Dia mengangguk pada perawat, memberi kode. Dan perawat itu melangkah, hendak melepas slang infus Jisung.

Tindakan Suho, dan benda kecil yang ia tunjukkan pada perawat itu menghentikan niatnya seketika. Di tangan Suho, terdapat sebuah dompet kulit hitam dan lencana dengan lambang kepolisian Korea bernomor 5591 yang mengkilap. "Polisi. Berhenti."

Han menyingkirkan tangannya seolah lencana itu tak lebih dari nyamuk yang berdenging di sekitar telinganya. "Jadi itu ya, lencana detektif pangkat rendahan? Jujur aja Suho, lencanamu jelek. Nggak usah pamer. Kamu nggak punya hak ngehalangin. Minggir."

Tidak tahu siapa dia tapi ikut terpancing emosinya berkat bakat Han membuat orang naik darah, Taeyong berdiri, meninggalkan dekapan kenyamanan kursi. "Kamu nggak ada bedanya."

4 kata sederhananya berhasil merebut atensi Han dan dia berbalik. "Kamu yakin soal itu? Asa, Ibunya Jisung, minta aku  jemput anaknya yang diculik sama..." Dia terpaksa mengecek ponselnya. "Winwin dan Lee Taeyong."

Rahang Winwin bagai terjatuh ke tanah saat ia ternganga. "Sebentar, apa?! D-diculik?"

Han mengulur-ulur waktu menjawabnya. "Aku dapet informasi kalau tadi ada yang masuk ke rumah Shin dan Asa, bawa Jisung ke suatu tempat, bikin kehebohan di Ahyeon lagi. Kayaknya ada yang mau sok jadi pahlawan."

"Sok pahlawan." Winwin tertawa dengan wajah datar. "Aku sama Taeyong-ge cuma bawa dia ke rumah sakit, dan itu karena一"

"Jisung masih di bawah umur. Apa kamu minta izin ke orang tuanya?"

"Denger, keadaannya rumit. Asa itu一"

"Jadi kamu nggak minta izin?"

Bahu Winwin terkulai lesu, semangatnya yang menggebu-gebu luntur, dan lidahnya mendadak kelu.

Irene mencoba menetralkan percakapan, selagi masih berpikir cara membalikkan situasi yang, aduh, memang lebih berpihak pada Han. "Kenapa kamu jemput dia? Apa sekarang kamu alih profesi jadi kacung karena frustrasi abis kalah?"

Tawa Han yang di indra pendengaran Irene terdengar seperti terompet tahun baru yang tidak layak pakai, melengking memenuhi ruangan saat dia terbungkuk-bungkuk menahan geli.

Tapi Jisung-lah yang menjawab pertanyaannya. "Dia temennya Shin. Dia pernah ke rumah beberapa kali."

Dengan ceria, Han menepukkan tangannya sekali. "Bener. Kamu sendiri ngapain, Irene? Kencan sama Suho di rumah sakit? Romantisnya. Apa ini kebetulan abis kalian kerjasama di pengadilan?"

Tuduhan tidak langsung itu membuat wajah Irene memerah. "Jangan sembarangan ngomong! Aku ke sini karena Taeyong. Aku Kakaknya!"

Ekspresi Han sudah mirip orang yang baru saja mendapat lotere saking lebarnya dia tersenyum. Dia melirik kanan-kiri, meneliti bolak-balik Taeyong yang menatapnya dingin dan Winwin, yang fitur wajahnya lebih lembut, lalu mengambil kesimpulan; "Kakak adik, eh? Pasti kamu orangnya. Tampang kalian sama-sama sombong. Ya ampun." Dia berdecak. "Gimana bisa adik pengacara malah nggak tahu apa-apa soal hukum? Irene, kamu harus ngejarin dia hukuman buat orang yang suka nerobos rumah orang lain."

Bila beberapa menit yang lalu Irene mengira dirinya sudah marah, ternyata Han bisa memprovokasinya agar lebih marah lagi, hingga ke titik ia ingin melempar gelas air Jisung ke kepalanya. "Taeyong ngelakuin itu buat nolong Jisung. Dia dipukulin sama Shin dan dia jelas butuh bantuan!"

1 kalimat yang sering terucap di ruang sidang meluncur dari mulut Han dengan lancar. "Mana buktinya, Irene? Mana?"

Padahal, bukti yang ia minta terpampang di pipi Jisung yang kemudian jadi sasaran telunjuk Irene. "Itu." Dia berpaling ke Winwin. "Aku juga punya saksi. Ini kasus yang nggak terbantahkan, Han. Aku bisa bikin temenmu masuk penjara atas dasar kekerasan terhadap anak."

"Oh ya?" Han mencibir. "Luka kecil itu? Yang bisa aja hasil dia berantem sama temen? Dan Winwin." Setelah Suho, tatapan meremehkannya berpindah ke Winwin. "Shin bilang kamu cuma bocah aneh yang jarang keluar rumah. Kamu egois, nggak peduli sama siapapun kecuali diri kamu sendiri. Kenapa mendadak perhatian sama Jisung?"

Winwin terlihat seakan habis ditampar.

"Pake itu. Ada masker di kantongnya, pake juga." Han melemparkan jaketnya pada Jisung, memanfaatkan momentum ketika semua orang, terutama Winwin, tercengang meresapi kata-katanya. "Ngapain kamu ngumpul sama orang-orang idiot ini? Ayo pulang. Ibu kamu nungguin."

Perawat yang diajak Han melaksanakan tugasnya dengan cekatan. Dalam hitungan detik, tangan Jisung terbebas dari belitan slang, dan bekas peninggalan jarum di tutup dengan kapas berbentuk bulat.

Ibu, ibu. Kata itu berpengaruh besar bagi Jisung. Dia menurunkan kakinya yang kini tak terhalang seragam sekolah, menampakkan bekas luka sepanjang pulpen yang sudah Irene masukkan ke tasnya. Dia memakai jaket dari Han dengan hati-hati, menyembunyikan memar di pipinya dengan masker. Langkah pertamanya goyah dan sejenak, dia memejamkan mata.

Anak bodoh ini...

Apa yang akan terjadi jika dia pulang?

Irene mencengkeram sebelah lengannya sebelum ia menyusul Han. "Nggak boleh."

Han berhenti berjalan. "Kamu emang suka debat, ya?"

Hasrat Irene untuk memecahkan kepala Han tiba-tiba hilang, dan hasrat lain bangkit menggantikannya; hasrat untuk menghabisi pria itu di ruang sidang, seperti yang pernah ia lakukan 2 kali. Bertarung tanpa senjata tapi dengan cara yang elegan. "Ya. Bakal seru kan kalau kita debat di pengadilan?"

Tantangan tersebut disambut Han dengan kibasan tangan. "Aku nggak minat, dan aku yakin Jisung pun nggak mau."

Entah dari Shin atau Asa atau dari pengamatannya, Han ternyata selangkah lebih maju dibanding Irene; dia tahu.

Menegaskan ucapanya, Jisung menggeleng pelan. Dia benar-benar tidak mau.

"Ayo." Han memegang lengan Jisung yang bebas lebih kuat dari yang diperlukan, menariknya dengan kasar, dan otomatis, membuat pegangan Irene padanya terlepas. Bibirnya tak henti merangkai seringai. "Gimana rasanya kalah, Irene?"

Lantas, dia menyeret Jisung menjauh.

Kekosongan dan kehampaan merekah di hati Irene. Perasaan marah, khawatir, menyatu membentuk bunga yang menguarkan aroma ketidakberdayaan.

Aku kalah, ya?

Percaya kagak kalo gua dapet inspirasi part ini abis makan kentang (͡° ͜ʖ ͡°) kemaren kentang ternyata membuat pikiranku lancar jaya yeorobun, tapi masa iya gua kudu makan kentang tiap hari woi (๑•́ ₃ •̀๑)

Tapi tenang sj chingu sekalian, kagak ada yang sadis2 lagi kok besok (。’▽’。) Eh ada sih, dikit doang tapi, jadi bingung deh (●˙—˙●)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top