18. Asa

Winwin tidak suka keluar rumah一itu rahasia umum yang entah masih pantas disebut rahasia atau bukan.

Seringnya, ia menghabiskan waktu dengan menulis, menenggelamkan diri ke jalinan kata, merangkainya, hingga ia yakin kata-katanya membentuk suatu kalimat yang memiliki makna. Winwin ingin apa yang ia tulis (atau ketik) berarti sesuatu yang meski sedikit, membuat orang yang membacanya memperoleh 1 atau banyak pelajaran yang dapat mereka petik.

Barangkali karena inilah, selain faktor ketidaksukaannya bersosialisasi, otaknya jadi lebih mengingat paragraf keren di sebuah halaman buku daripada nama tetangganya.

Tapi di luar kepala, tanpa perlu bersusah payah, Winwin ingat hari itu一hari ketika  melihat Park Jinwoo pergi dari lingkungan yang selalu ia sebut "kumuh".

Kebetulan yang tidak disengaja, mirip saat ada yang hendak mengambil lembaran uang namun justru menjatuhkan recehan di kantongnya, Winwin dan menu makan malamnya ada di sana, melihat Jinwoo  menyeret kopernya dengan ekspresi santai, tanpa setitik kesedihan khas orang yang baru bercerai.

Tidak, sejujurnya, jauh dari itu, Jinwoo  terlihat lega, seakan dia narapidana yang terbebas dari penjara. Bagaimanapun, ekspresi itu dengan cepat menghilang ketika Winwin menyapanya.

"Jinwoo."

Pria itu, duplikat persis yang mewariskan banyak hal pada Jisung kecuali matanya, menoleh tapi menghentikan langkah hanya untuk menunggu lift.

Sosoknya yang tinggi dan kurus lebih menyerupai tiang lampu taman daripada manusia. Mengenakan setelan mahal yang bagian bawah celananya selalu bersih, adalah tanda ia lebih sering bermain dengan kertas-kertas pekerjaan dibanding anaknya一bahkan sejak Jisung masih kecil. 4 tahun jadi tetangga, Winwin takjub pada fakta ia tak pernah melihat Jinwoo dan Jisung melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan pasangan ayah dan anak; jogging, mengajari cara bersepeda, atau duduk berdua di taman.

"Jangan ngurusin selingkuhan aja," Winwin menunjuk pintu unit 92 dengan dagunya. "Urus juga anak. Walaupun udah cerai, kamu punya tanggungan ke Jisung."

Senyum tipis terulas di wajah Jinwoo. Sebagai seseorang yang jarang mendengar suara Winwin terlebih diajak bicara lebih dulu, tak ayal, dia terkejut. "Tanggungan?"

Winwin bersandar di pintu yang belum ia buka. "Denger-denger, ayah harus ngasih tunjangan perceraian kan, seenggaknya sampe anak nyampe usia legal."

Belum mau menoleh, menganggap Winwin tidak cukup penting untuk dibalas tatapan matanya, Jinwoo tertawa hambar. "Kamu belajar ngomong dari siapa? Bukannya biasanya ngelirik orang aja males?"

Darah Winwin mendidih dan meletup-letup seperti petasan yang terbakar. "Hei, Jinwoo一"

Dentingan lift, disusul kedua pintunya yang bergeser dengan bunyi yang menegaskan dia butuh perawatan, menyela konversasi mereka yang di hari-hari normal, selalu berujung kecanggungan.

"Winwin," Jinwoo menyelipkan tubuhnya masuk sambil mempertahankan senyum. "Buat ukuran bocah pengangguran, kamu banyak omong ya. Kenapa nggak cari kerja daripada sibuk ikut campur urusan orang?"

Roda-roda kopernya menggilas jalur besi lift saat pemiliknya menyeretnya melewati Yoon Juyeon yang tidak berubah, selalu berjalan sempoyongan karena entah zat apa一hanya Tuhan yang tahu一yang ia masukkan ke tubuhnya.

Park Jinwoo pergi, mengejar cinta baru yang membuatnya melupakan cinta lamanya. Larut dalam pusaran perselingkuhan yang tanpa ia sadari, menyeret dan merusak anaknya yang ia tinggalkan. Juga Winwin, yang belum melupakan peristiwa itu hingga kini.

Menerima pujian tanpa melambung terlalu tinggi memang sulit, tapi memaafkan hinaan yang tidak benar puluhan kali lebih sukar. Efeknya semakin buruk, sebab ucapan itu membawa Winwin mundur ke masa lalu, saat ia masih remaja yang oleh ayahnya disebut memiliki hobi tidak berguna.

Marah setengah mati, Winwin masuk dan bersembunyi di balik pintu unitnya yang aman dan damai. Ia mengurung diri di sana, perlu meredakan emosi tanpa menduga, apalagi tahu, bahwa saat ia mengetik gila-gilaan dan bersumpah mengarang sesuatu yang sangat BAGUS, hidup seseorang sedang perlahan-lahan runtuh.

Butuh waktu bagi Winwin untuk menyadari apa yang terjadi pada Jisung, terlebih mengakui 1 hal yang dalam hati sudah ia mengerti; bahwa ia ikut bersalah karena sebatas menjadi penonton. Dengan naif mengulang-ulang tiap kali khawatir, berkata bahwa keadaan Jisung tidak seburuk itu dan lambat laun, pasti akan membaik.

Rupanya tidak.

Dihadapan Taeyong, kakaknya, Irene, dan seorang polisi yang asing, Winwin membuka diri dan segala rahasianya. "Jinwoo itu, dia nggak peduli sama Jisung. Daridulu dia bukan tipe ayah yang bisa dibanggain. Sekedar ngirim uang buat makan Jisung aja jarang. Udah berbulan-bulan aku nggak lihat dia, tapi itu ada hubungannya sama Shin dikit."

Perhatian Irene tertuju sepenuhnya pada Winwin saat lagi, nama Shin meluncur dari bibirnya. "Dia ngapain?"

Sebaliknya, Winwin memandang Jisung, mengibaratkan dia seperti pohon kelapa di pantai yang pernah ia kunjungi atas paksaan Danbi; miring, terlihat akan tumbang, namun kata orang punya akar yang kuat. Winwin tidak yakin mana yang memang kuat atau hanya berpura-pura. "Persis yang aku bilang tadi, aku nggak tahu pasti. Tapi Jisung cerita kalo Asa pernah marah-marah karena ngira dia yang bikin Jinwoo nggak dateng lagi. Padahal, itu nggak mungkin. Jisung sendiri nungguin Ayahnya. Jadi aku tanya ke Shin. Apa dia ketemu Jinwoo dan ngomong sesuatu."

"Responnya?" Taeyong bertanya, melakukan apa yang sering dilakukan orang-orang bila gelisah; mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai.

Winwin menggeleng, mendongak menatap cairan infus yang menetes melalui slang ke tubuh Jisung. "Dia ketawa. Nggak jawab, cuma ketawa."

Seberkas ingatan menyambar benaknya一

Jisung duduk di kursi meja makannya yang hanya 1, sehingga Winwin harus mengambil kursi komputer sebab dia jarang kedatangan tamu. Jisung tampak lain, tak seperti dirinya yang biasa, dan Winwin bodohnya baru menyadari usai ia pulang, bahwa tubuh kurus Jisung-lah yang membuatnya berbeda. Tulang selangkanya terlihat jelas padahal dulu tidak begitu. "Shin pas di rumah sama di depan tetangga beda. Dia sering marah. Bilang aku mending ikut Ayah daripada ngerepotin." Anak itu, pada saat itu, masih bisa tertawa sungguhan一jenis tawa yang terlihat di matanya. "Dia jadi keluar uang banyak soalnya sekolah di SOPA kemahalan."

Ingatan lain muncul minta diperhatikan一

"Ayah nggak bisa dihubungin," Jisung mengakui di kursi yang sama, kini tanpa  senyum, setelah Winwin menawarinya mampir dan makan untuk kedok bertanya  keadaan rumah sekaligus penghuninya. "Nggak ada kabar sama sekali. Uang yang dia kirimin hampir habis. Kayaknya dia sibuk banget. Tapi Shin bilang Ayah nggak bakal dateng lagi. Shin makin sering marah karena  tanggungannya numpuk. Katanya, kalo mau makan, aku harus nurut sama dia."

Menurut Winwin, itu sudah berlebihan.

Tak seorang anakpun layak disalahkan perihal kesalahan orang tuanya. Anak merupakan individu yang istimewa, membawa cinta dari Tuhan, gen dari ayah dan ibu, tapi belum tentu dengan sifatnya. Katakan persetan pada peribahasa "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Karakter seseorang ditentukan banyak faktor; orang tua memang pondasi awal, tapi lingkungan turut berperan besar. Atau yang paling sederhana, yaitu hati.

Maka berbekal kemampuan bicara pas-pasan dan kepala yang dipusingkan sifat Shin yang tidak konsisten, Winwin menemui pria itu. Ini tidak baik. Winwin berkata bukan kemauan Jisung sampai Jinwoo enggan mengirim uang. Jinwoo itu iblis yang keluar dari celah neraka; suka membuat anak, tapi tak sudi mengurusnya. Kenapa Shin malah memojokkan Jisung? Itu konyol.

"Nanti aku bantu cari dia," Winwin berjanji. "Aku tahu tempat Jinwoo kerja. Sementara, pake uang aku buat bayar sewa. Aku nggak apa-apa, nggak ada masalah."

Shin menolaknya.

Shin meyakinkan Winwin ini hanya salah paham; masalah di tempat kerja berimbas dan terbawa pulang ke rumah. Sekedar nada tinggi yang salah diasumsikan, Shin berucap dia tidak bermaksud membentak Jisung. Mana mungkin? Dia tertawa. Dia sudah menganggap Jisung seperti anak yang tidak pernah ia miliki. Winwin tidak perlu khawatir.

Atas dasar prasangka baik dan senyum simpul penuh keramahan yang Shin yang lemparkan, Winwin percaya.

Namun beberapa hari kemudian, Jisung tidak mau bercerita padanya, dan berbagai upaya mulai dari bertanya baik-baik hingga berteriak, gagal membuatnya mengungkap kejadian yang sebenarnya. Jisung menyembunyikan semua itu dalam benak dan saku jaket yang kemudian sering ia pakai, bersama luka-lukanya.

Winwin telah salah mengira dirinya pahlawan tanpa kostum.

Nyatanya, dia tidak berhasil membuahkan perubahan apapun.

"Aku udah coba nyari Jinwoo." Satu helaan napas lelah keluar dari mulut Winwin, teringat usaha sia-sianya yang tidak menghasilkan apa-apa. "Tapi sekretarisnya selalu bilang dia keluar kota atau sibuk atau mungkin lagi renang di selokan. Nomornya nggak aktif. Alamat rumahnya yang baru aku nggak tahu."

Satu-satunya orang di sana yang Winwin bayangkan sering berurusan dengan kasus semacam ini dan menginterogasi orang tua tidak becus dalam sebuah ruangan sempit berpenerangan redup, memindahkan tumpuan kakinya. "Berarti bukan 1 orang yang bermasalah, tapi 3 orang sekaligus? Wah ... kenapa kamu nggak bantu ngelapor?"

"Suho bener." Irene menimpali, sembari membetulkan letak jepit rambutnya. "Di deket apartemen Ahyeon ada polsek kan? Suho nugas di sana. Kenapa harus nunggu setahun dulu buat nyeritain ini?"

"Karena..."

Ketika akhirnya pertanyaan itu diajukan juga oleh seseorang, lengkap dengan tatapan menuduhnya, Winwin memejamkan mata sejenak.

"Jisung nggak mau."

Fakta itu jatuh layaknya sebuah gelas kaca yang rapuh, yang lalu pecah berhamburan dengan suara yang akan membuat orang menutup telinga.

"Jisung nggak mau," ulang Winwin, menunduk menatap tangannya yang menggenggam ponsel yang masih hangat. "Waktu aku pertama kali tahu Shin nipu aku habis-habisan, aku maksa Jisung ke kantor polisi. Aku marahin dia. Aku ngancem mau laporin Jinwoo sekalian karena lalai. Tapi tetep aja dia nggak mau. Jisung malah minta tolong supaya aku diem aja."

"Pura-pura nggak tahu." Seperti mengoper bola, Taeyong membalikkan kata-kata yang pernah ia ucapkan.

Winwin yang tak punya pembelaan mengangguk muram. "Bener. Terlepas dari gimana sikap Asa sekarang, Jisung sayang sama Ibunya. Dia kira, depresi Asa itu sementara. Di sisi lain, aku nggak yakin selama masih ada Shin.

"Nggak sekedar sok jadi bos, Shin ngebiarin Asa ketergantungan sama alkohol. Dia mukulin Jisung. Tapi nggak ada yang curiga karena di luar pintu, kelakuan Shin nggak tercela. Dia baik ke semua orang."

"Semua orang kecuali Jisung." Irene mendengus, meraih tas tangannya dan mengeluarkan jurnal kecil ungu. Pulpennya berwarna serupa, terselip di kawat spiral buku itu. Irene perlahan menulis. "Ayah Jisung harusnya sering nengok anaknya. Apa dia baru mau dateng pas Jisung meninggal?"

"Nyaris," sahut Suho samar.

Gesekan antara pulpen dan halaman buku Irene terdengar keras dan kasar mengiringi  kalimatnya. "Ini keterlaluan. Orang tua atau bukan, Asa sama Shin cocok dijeblosin ke penjara. Winwin, kamu pernah lihat langsung mereka mukul Jisung?"

Keraguan Winwin tertuang dalam detik-detik keheningan saat ia menutup mulutnya dengan kepalan tangan dan mendongak ke atas. "Gimana nasib Asa kalau dia dilaporin?"

"Apa pentingnya itu?"

"Aku mesti tahu."

Asap seolah membumbung dari kepala Irene yang menghentikan kegiatan menulisnya dan melotot geram pada Winwin. "Karena ini luka berat, dia kena ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda yang bisa bikin dia dateng ke toko gadai. Jelas?"

Bibir Winwin terkatup rapat. "Apa nggak bisa cuma ngelaporin Shin? Aku yakin Jisung pasti nolak kalau dia tahu soal ini."

"Ini bukan pilihan." Suho menengahi, setegas polisi yang ngotot menilang pengendara keras kepala. "Kasus dimana korban nggak mau lapor karena pelakunya orang terdekat emang udah umum, tapi tradisi ini harus kita hapus. Anak ini nggak bisa tinggal sama orang tua yang abusive."

Taeyong diam saja selagi mereka mendesak Winwin. Duduk tenang tanpa kata, dia asyik memijat dahi dan menguap kedua kalinya. Kakinya masih berbenturan dengan lantai, dadanya masih bernapas, tapi secara keseluruhan tubuhnya begitu diam selain matanya yang berkedip teratur, tertuju ke titik di depannya. "Kenapa nggak tanya Jisung aja? Dia berhak ngasih pendapat."

Irene memutar badan menghadap saudaranya "Apa?"

"Tuh." Jari telunjuk dan jempol Taeyong terulur membentuk pistol sederhana. "Dia udah bangun."

Taeyong benar.

Saat 3 kepala itu berpaling bersamaan ke arah Jisung yang mereka sangka sedang tidur, Jisung balas menatap mereka dan menyadari dia ketahuan, dia memutuskan bangun pelan-pelan.

Dengan sigap Irene membantunya, menawarkan tangan lembut yang menata bantal di belakang punggungnya. "Jisung, ada yang sakit? Perlu dipanggilin dokter? Masih inget Kak Irene kan?"

Anggukan, lebih pelan lagi. Jisung tidak mengangkat kepala memandangnya. "Kak Irene..."

"Iya?"

Suaranya yang serak menyuarakan apa yang tidak ingin Irene dengar tapi telah ditebak Winwin. "Aku nggak mau ngelaporin siapa-siapa."

Pulpen Irene terjatuh.

Itulah suara tunggal yang mengisi ruangan saat semua orang mendadak terdiam.

Di tempat lain, Shin berjalan dalam kegelapan menuju sebuah ruangan. Dia tidak terburu-buru, langkahnya tenang. Mirip pasukan awan-awan gelap yang hadir menandai munculnya raja hujan, kekacauan di ruang tamu yang sudah kacau, memberi Shin petunjuk apa yang terjadi.

Dia sudah melihatnya tadi, tatapan para tetangga yang mengikutinya ketika ia dan Asa lewat. Untuk pertama kalinya tidak ada yang tersenyum padanya. Mata mereka justru menyorot curiga.

Tapi Shin tidak panik一oh, Shin tidak pernah panik.

Dia bahkan sempat menyeduh kopi tadi, minum seteguk demi seteguk. Shin percaya masalah ada untuk dipecahkan, bukan mengendalikan dan membuat kita gila. Saat ada batu yang menghalangi jalan, tendang batu itu. Saat ada kucing yang mengambil laukmu, singkirkan kucing itu. Atau ini, saat ada anak sialan yang membuatmu kesal, lenyapkan saja.

Jisung si tukang cari masalah berbuat ulah lagi rupanya.

Shin tersenyum mendapati pintu kamar Jisung terbuka lebar, kunci tergantung di lubangnya. Kamar itu kosong, namun bukan hal yang mengejutkan.

Raut wajah seorang pemuda terbayang di benaknya saat dia menyalakan rokok. Asap mengepul memenuhi kamar, menyentuh seprai, laci, kamera, dan sebuah bingkai foto menarik yang tak pernah Shin lihat.

Foto keluarga. Dengan lengan Jinwoo yang membelit pinggang Asa. Asa-nya.

Shin merenggut foto itu dari paku yang menahannya di dinding, membolak-balik benda itu.

Dia masih melakukannya sementara tangan yang lain mengambil ponsel dan menelpon seseorang yang 9 tahun lebih muda darinya.

Dia menunggu.

Tak lebih dari 7 detik yang Shin hitung, sambungan itu diterima. Seseorang berkata, "Halo?" di saat yang sama dia melempar bingkai foto ke sudut dinding.

Shin berbalik dan mematikan rokoknya. "Han? Aku butuh bantuan."

Whooops, I'm sorry for keeping you guys waiting for so long. I have no motivation to do anything except rebahan and menanti suara bedug. But I'll try to be more productive!

+ Mau ngasih tau aja, di awal2 gua nulis kalau TY kerja di hotel tapi punya tindik sama tato. Sebenernya itu bukan buat keren2an lho manteman. Itu gua tulis berdasarkan pengalaman magang gua di hotel di Surabaya. Di sana anak magang malah di suruh nyemir rambut biar lebih berwarna, seperti hatiQ tiap bertemu mas doi.g 🤧🤧

Nyampe sini dah jelas tapi ya, walopun sebenernya ada 1 rahasia lagi (⁎ ⚈᷀᷁ ᴗ ⚈᷀᷁ ⁎)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top