17. Arti Anak Itu Apa?

Jisung terlihat payah.

Sementara Taeyong menjelaskan kenapa Jisung berakhir begini ke dokter yang terus-menerus menatap mereka curiga, Winwin memandang orang yang jadi topik bahasan  dari samping tempat tidur. Dia berdiri kaku diiringi perasaan tak menentu, memandang tubuh yang ia yakini, belum pernah sekurus ini.

Berat badannya telah menyusut, pipinya tidak lagi gendut. Jisung nyaris tak ada bedanya dengan ranting pohon di musim dingin yang bisa patah hanya dengan sedikit tekanan. Melihatnya, Winwin jadi teringat 2 wajah sekaligus; Jinwoo yang memang mirip  Jisung, dan Asa, yang tak ia sangka akan membiarkan hal ini terjadi pada anaknya.

Mereka berdua, sebenarnya menganggap Jisung apa?

Sebenarnya arti anak di mata orang tua itu apa?

Sepercik inspirasi mengetuk benak Winwin, pelan dan halus, menggoda dan memikat. Ia selalu membayangkan inspirasi itu ibarat kupu-kupu; nakal dan cantik, akan terbang menjauh bila kau tidak gesit menangkapnya. Maka, Winwin mengambil 1 dari 2 kursi yang ada, tidak mengacuhkan Taeyong dan si dokter yang heran mengapa ia memilih duduk sampai ke pojok.

Mereka tidak akan paham. Tidak mengerti kebutuhannya menyendiri ketika inspirasi datang menghampiri. Antara dia, musik, dan media untuk menumpahkan isi pikiran, tak boleh ada yang lain. Situasinya tidak setenang yang ia harapkan, tapi Winwin harus berkompromi.

Ia menyumpal telinganya menggunakan earphone, menutup akses dunia, mengganti semua suara dengan lagu-lagu merdu yang menenangkan. Mengikuti kebiasaan, ia mengangkat 1 kakinya ke kursi dan mulai mengetik. Apa yang muncul sekarang harus ditulis sekarang. Kalau tidak, rasanya takkan sama lagi. Berbeda, seakan esensi terpenting berhasil menemukan cara untuk menguap dan lenyap.

Satu-persatu, kata-kata mengalir keluar di bawah kendali jari-jarinya yang lembut.

Winwin bertanya-tanya,

Apa menurut orang tua, anak-anak hanya beban yang tak bisa mereka gugurkan karena takut mencicipi lantai penjara? Ataukah anak dianggap tak lebih dari boneka perpanjangan cita-cita, yang tidak boleh gagal sebagaimana mereka terdahulu? Atau, yang paling sepele, benarkah anak dibuat untuk meneruskan garis keturunan saja?

Musik menggiring Winwin mengetik kian cepat. Penghitung kata dilayar semakin banyak. Winwin memikirkan Jisung, anak  yang juga tidak beruntung, dan anak lain yang merupakan dirinya.

Mereka, yang di usai labil justru merasakan kejamnya takdir. Tidak betah di rumah, tidak menemukan lagi kehangatan di sana. Tamparan kencang menggantikan belaian kasih sayang. Anak-anak yang terbuang, yang terpaksa bernapas hanya karena matipun bukan pilihan yang tepat.

Apa salah mereka?

Winwin terdiam. Ia tidak tahu jawabannya.

Tapi bumi tetap berotasi, dunia tetap berputar, tidak berhenti sebab ia kesulitan mendapat jawaban. Saat itu, pintu terbuka, seorang gadis melangkah masuk bersama pria tegap di belakangnya.

Wajahnya tidak asing, tapi Winwin tidak bisa langsung mengenalinya. Barulah ketika gadis itu dan Taeyong bicara, dengan keakraban yang teramat erat, Winwin teringat; Irene, kakak perempuan Taeyong!

Tentu saja. Taeyong sudah bilang akan menelponnya, mengundang ia kemari demi membicarakan masalah Jisung. Winwin sempat bertanya main-main apakah Irene polisi yang akan menembak Shin tanpa ampun, dan Taeyong menjawab sambil tersenyum, Nggak, dia pengacara. Tahu kasus Baek Seung Hwan? Dia yang ngurus itu.

Mampuslah kamu, Shin.

Diam-diam, Winwin melepas earphone, mengamati mereka dan si polisi dengan sikap diam yang terlatih. Kakinya pegal, namun ia terlalu fokus memperhatikan Irene untuk mempedulikannya.

Ketiganya lanjut bicara, berkenalan. Tak ubahnya para aktris di atas panggung sedangkan Winwin penontonnya. Sampai tiba-tiba, topik berubah lebih serius lalu semua orang menoleh padanya.

"Ayo, Win. Waktunya kamu ngedongeng sekarang."

Oh, Winwin tidak suka ini.

Irene, gadis secantik lukisan yang bisa dengan mudah membuat Monalisa jadi tidak percaya diri, menatapnya seolah ia berjalan turun dari sebuah UFO. "Dia siapa?"

Adiknya membeberkan informasi tentangnya seraya mendongak memandang langit-langit rendah rumah sakit yang berwarna putih kusam. "Dia tetangga, katanya yang paling tahu soal keluarganya Jisung."

Winwin tidak ingin berpikir negatif, tapi sepertinya, ia tak butuh peramal untuk menebak dari siapa Taeyong menyimpulkan hal itu.

Dia menggeleng. "Bukan berarti aku tahu pasti, tapi一"

"Tapi kamu tahu kenapa Jisung kayak gini kan?"

Mata Taeyong sebenarnya biasa saja; tidak terlalu lebar atau sipit. Warnanya normal, dengan bentuk yang tergolong tidak istimewa, namun entah mengapa, mata itu  bisa sangat mengintimidasi. "Ya..."

"Kalo gitu ceritain." Irene mendorongnya, lebih ramah, bahkan tersenyum. Dia duduk di tempat kosong di samping Jisung, hati-hati memastikan tidak menyenggol tangannya. "Pelakunya siapa? Ayah atau ibu?"

"Tempat sama waktu kejadiannya juga." Polisi bernama Suho itu mengimbuhkan. "Apa ini yang pertama kalinya?"

Untuk ukuran seseorang yang pendiam, Winwin merasa tertekan karena interogasi mendadak ini.

Insting pertamanya adalah beranjak pergi, melambaikan tangan dan berkata dia ada urusan penting dengan kucingnya yang akan melahirkan, atau beralasan Danbi kecelakaan saat naik sepatu roda dan membutuhkan bantuannya.

Winwin bagai menyusut, kembali berusia 9 tahun dan diminta gurunya menceritakan pengalaman liburan semesternya yang mencapai 2 halaman一lebih banyak daripada murid-murid lain. Laporan itu bagus, tapi caranya membaca laporanlah yang tidak bagus. Sejak dulu, bicara bukan keahliannya.

Lagipula, ia harus mengawali darimana?

"Setahuku..." Perlahan-lahan, Winwin memutuskan mengungkap apa saja yang terlintas di pikirannya. "Jisung sering ngalamin ini setahun belakangan, entah itu dari Asa atau Shin."

Ketika Irene mengerutkan kening kebingungan, Taeyong memberitahunya siapa mereka berdua, tapi kerutan itu tidak  hilang darinya. "Kenapa? Apa masalahnya? Aku pernah makan sama Jisung sekali, dia baik kok. Anaknya sopan. Kenapa mereka ngelakuin itu?"

Senyum yang mengembang di wajah Suho terkesan suram, senyum orang yang telah melihat banyak hal buruk di pekerjaannya. "Irene, kadang itu nggak butuh alasan. Faktanya, banyak orang yang nggak layak jadi orang tua. Kamu bakal kaget kalau tahu seberapa banyak kasus kekerasan anak yang masuk tiap tahunnya."

Bibir Irene terkatup rapat. Ia berpaling ke Taeyong, berkomunikasi tanpa suara yang hanya bisa dilakukan saudara yang sangat dekat, dan menghela napas. "Aku tahu itu. Tapi apa bener nggak ada pemicunya?"

"Karena..." Winwin bergerak tidak nyaman di kursinya, canggung menggosipkan orang yang berada di ruangan yang sama walau orang itu tidak bisa mendengarnya. "Ini tahun ayah sama ibunya cerai. Jinwoo, ayah kandungnya Jisung, selingkuh dan bikin Asa depresi."

Berharap Jisung masih lama sadar, nyaman di tempat di mana tak ada rasa sakit, ibu pemabuk, atau ayah yang tidak bertanggung jawab, Winwin melanjutkan, "Dulu, hidupnya biasa aja. Ayahnya emang nggak ... terlalu peduli sama dia, tapi seenggaknya Jisung punya Asa. Sampek tahun lalu, Asa ibu yang baik buat dia."

Taeyong nyaris tertawa terbahak-bahak seandainya ia tidak ingat berada di tempat yang mengutamakan ketenangan.

Tahu harus membuktikan pernyataannya, Winwin menyeret kursinya mendekat. Ia berhenti di sebelah kaki Jisung yang tertutup selimut biru polos, dan mengamati wajahnya selama beberapa detik. Rasanya ia tadi melihat kelopak matanya bergerak, tapi ia tidak yakin.

Tak jarang, Winwin terkagum-kagum pada pertumbuhan Jisung, menyaksikan dia dari seorang bocah 13 tahun yang terjatuh sewaktu berusaha mengendarai hoverboard, hingga menjadi murid SMA yang malu-malu memakai seragam sekolahnya.

Menurut Winwin, tidak sekedar sakit, Jisung lebih terlihat lelah, pada kehidupan yang banyak orang sebut tidak adil, sebelum ia mengoper ponselnya pada Taeyong. "Itu bener. Liat ini."

Ini, yang dimaksud Winwin adalah sebuah foto yang sejujurnya agak buram. Winwin tidak pandai memotret seperti Jisung. Tangannya selalu gemetar atau bergerak di saat yang tidak tepat dan Jisung akan tersenyum geli menengok hasilnya.

Namun di foto itu, Winwin telah menangkap sebuah moment sakral, sesuatu yang tak bisa digantikan siapapun, ketika seorang ibu bersandar di bahu anak laki-lakinya yang  lebih tinggi darinya, sadar bayi kecilnya sedikit demi sedikit sedang menapaki tangga kedewasaan. Asa mencubit pipi Jisung, sementara Jisung memprotes dan gagal menghindar atau menyembunyikan gelak tawa. Mata mereka kompak jadi segaris. Rambut Asa yang masih panjang berkibar  tertiup angin. Dia tampak asing; Asa terlihat lebih cantik dengan rambut yang tidak di potong asal-asalan. Tawanya tulus dan tidak ada bayangan hitam di bawah matanya yang cemerlang.

"Ini..." Taeyong memiringkan kepala, mengamati foto itu layaknya polisi meneliti  bukti yang sudah dimanipulasi. "Beneran Asa?"

Polisi sungguhan di ruangan itu ganti memeriksa layar ponselnya bersama Irene selagi Winwin mengangguk. "Itu tradisi di Ahyeon. Di tahun baru, orang yang nggak punya keluarga atau rencana ngumpul di taman, main kembang api atau masak apa yang ada bareng-bareng. Aku sebenernya nggak suka, tapi Asa maksa aku turun."

Irene menyerahkan ponselnya tanpa menggeser ke foto lain, memperoleh kekaguman tersendiri dari pemiliknya. "Kamu deket sama ibunya Jisung?"

Tanpa ragu, Winwin mengiyakan dengan anggukan singkat. "Asa sering bawain aku makanan. Dia kasian karena aku sendirian di negeri orang. Kalo aku lama nggak keluar, dia pasti ngetuk unitku, ngecek aku masih hidup apa nggak, beda sama tetangga lain."

Tetangga lain terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tidak menghiraukan pemuda dari China yang namanya aneh dan bahasa Koreanya tidak lancar. Mereka menilai beramah tamah tidak ada gunanya, buang-buang waktu dan tenaga yang berharga

Hanya Hyuk dan Asa, yang mau mencoba berteman dengannya, menginformasikan di mana ia bisa membeli makanan, atau toko perabotan mana yang kualitasnya bagus dan tidak keberatan memberi bonus.

Hampir semua penghuni apartemen Ahyeon ia kenal lewat mereka berdua dibanding proses perkenalan yang sesungguhnya. Di rak piring yang ada di dapur Winwin, beberapa peralatan makan Asa tertumpuk rapi seperti koleksi, belum ia kembalikan.

"Asa baik," Winwin mengulang, hanya saja, dengan suara yang mengecil dan lirih. "Dia nggak akan berubah seandainya Jinwoo nggak selingkuh dan dia nggak ketemu Shin."

"Shin, ya?" Irene mengecap nama itu di lidahnya, mirip orang yang menjajal makanan baru, tidak menyukainya, dan ingin segera meludahkannya. Penjahat memang satu hal, tapi penjahat yang melakukan penganiayaan pada anak-anak adalah yang terburuk dari semuanya. "Jadi dia penyebab depresi Ibunya Jisung makin parah?"

Winwin menyapukan tangannya ke leher, mengelusnya pelan. Ia merasa kedinginan meski suhunya hangat. Matanya berpaling ke Irene一kecil, cantik dan anggun一dan sesaat, Winwin penasaran bagaimana Irene bertahan di ruang sidang yang mengerikan mengingat ia saja gugup dipandangi 3 orang. "Nggak juga. Sebelumnya, Asa muk一ngelampiasin amarahnya ke Jisung. Tapi pas mabuk aja, di hari biasa nggak. Aku udah ngajak dia ke psikiater, tapi dia bilang nggak butuh. Atau psikolog, ya?"

Winwin jadi bingung sendiri.

"Rumah sakit jiwa," sahut Taeyong santai, yang oleh kakaknya disetujui dengan kata-kata yang sama sadisnya.

Irene berdecak, menaikkan 1 kakinya ke atas kaki yang lain. "Mukul anak karena kesel sama mantan suami. Dasar rendahan."

Dia hanya meringis. Winwin ingin membantah, berkata bahwa mereka tidak mengenal Asa untuk mengatainya seburuk itu, tapi ia sadar bahwa tindakan ini, apapun alasannya, tak bisa dibenarkan. Sekali kejahatan ya kejahatan, harus dijatuhi hukuman. "Jisung mirip sama Ayahnya. Mungkin tiap mabuk, Asa ngeliat dan ngebayangin Jinwoo? Itu cuma dugaan aku."

Suho yang tidak mendapat kursi namun tidak terganggu bersandar di laci yang menyediakan air untuk si pasien. "Ayahnya di mana? Dia tahu nggak keadaan anaknya sekarang?"

Tiba-tiba, Winwin merasakan dorongan untuk meludah juga meski ia tidak makan atau minum apa-apa. Nama adalah nama, tapi baginya, nama Jinwoo tak ubahnya sampah, jijik ia ucapkan, tidak jauh berbeda dengan Shin; bajingan. "Dia..."

Sebentarrr~~

Jadi kemaren2 tuh gua dapet komen yang bilang kalo karakter Taeyong itu "rude" tapi di sisi lain ada yang bilang suka Taeyong ngegas, nah bingung pan.

Pertama, gua mau ngucapin makasih buat komen2 itu, karena kalian mau jujur. Dan buat yang ngerasa kagak enak, mon maap, gua kagak ada maksud bikin Taeyong terkesan kasar. Ini murni buat kebutuhan cerita aja.

Soalnya, Jisung udah kalem, jadi Taeyong harus dijadiin tokoh penyeimbang. Kalo kagak, gua susah ngarahinnya nanti, gak ada yang gerak/? bingung yak (͡° ͜ʖ ͡°) Jadi sorry not sorry, gua kagak bakal ngubah Taeyong di sini. Cerita gua, aturan gua. Kalian punya 2 pilihan soal Taeyong versi gua : accept it or leave it.

Dan selalu, gua berterimakasih buat yang udah mampir sejauh ini, ay laf yu 😳💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top