16. Matikan Ponsel Saat Kencan!
1 JAM SEBELUMNYA
Lee Irene sedang kebingungan saat ini.
Cap cip cup!
Dia menggerakkan jarinya bolak-balik di antara jepitan rambut berbentuk buah cherry dan ikat rambut berwarna hitam elegan. Yang satu akan memberinya kesan dewasa, yang lain akan membuatnya terlihat lebih muda.
Hmm ... pilih mana, ya?
Dengan riang, ia berputar, menghadap cermin seluruh tubuh di dekat lemarinya. Lewat cermin itu, ia melihat sosok pengacara, kakak, dan anak perempuan berbadan mungil tapi cantik yang tahu kemana arah hidupnya serta menyukai hidup itu.
Jejak-jejak remaja kurus yang sering kelaparan telah menghilang sepenuhnya, terkubur di rumah lama bersama kenangan masa lalunya. Orang miskin tidak harus selamanya miskin. Menjadi kaya tidak harus terlahir kaya.
Dan untuk menarik perhatian seorang pria, tidak perlu mengumbar tubuh.
"It looks like a lion, I'm a Queen like a lion..."
Irene berdendang, mengeluarkan sebuah sweater turtleneck ungu dari lemari, dan celana jins yang akan jadi penyiasat yang bagus; membuat kakinya tampak jenjang. Tinggal dipadukan dengan jam dan kalung sederhana, pasti sempurna.
Ia tersenyum, dengan teliti memoles eyeshadow, dilanjutkan eyeliner di matanya. Hari ini, segalanya harus sempurna, karena orang yang mengajaknya kencan sangat istimewa. Tidak setiap hari ia berkencan, apalagi dengan seorang polisi yang dari suaranya saja terdengar seksi.
Kim Suho itu snack yang tidak boleh dilewatkan.
Saat si polisi mengajak Irene berkencan kemarin, ia tidak butuh waktu lama menyetujuinya. Semua hal dalam diri Suho terlampau menarik. Kalau kencan ini berhasil, hubungan mereka akan jadi semacam gosip panas. Polisi dan pengacara. Apa jadinya?
Irene tertawa. Ia suka kontroversi.
Pada akhirnya, ia memilih ikat rambut hitam dan membiarkan poninya tergerai karena ingin tampil imut. Suho sudah pernah melihatnya sebagai pengacara serius di ruang sidang. Saatnya menunjukkan sisi lain dan memberi pria itu kejutan!
Tapi manakala Irene keluar dari rumahnya, justru dialah yang terkejut.
"Halo, Irene." Suho menyapa, dengan senyum manis yang memberi efek aneh ke jantungnya. "Siap jalan-jalan?"
Kemunculan pria itu bukan kejutan; Irene telah menduga bahwa Suho bukan jenis orang yang mengetik "aku udah di jalan" padahal masih berbaring di kasurnya. Bukan, yang mengejutkan adalah penampilan Suho yang hampir membuat rahangnya ternganga tidak anggun, ditambah mobil merah keren yang ia gunakan sebagai sandaran.
Sebelah alis Irene terangkat. "Bagus."
Suho meniru tingkahnya. "Aku atau mobilku?"
"Dua-duanya," dengan jujur Irene mengakui. "Mobil sitaan pejabat, ya?"
Ketika Suho terbahak, jantung Irene entah kenapa berdetak lebih cepat, menggila aneh dalam rongga dadanya. Ini tidak biasa. Organ perasa itu aneh hari ini, mungkin berhubungan dengan maskulinitas yang memancar dari Suho layaknya cahaya dari mercusuar. "Sembarangan. Ini mobilku sendiri, tapi emang cicilannya belum lunas sih. Lumayan kan daripada kita kencan pake mobil patroli?"
Tanpa sadar Irene malah membayangkan itu dan berakhir tertawa saat menyelipkan tubuhnya masuk ke kursi penumpang yang pintunya dibukakan oleh Suho. "Seru kali ya kalo pake sirene biar nggak kejebak macet?"
"Kita lakuin kapan-kapan," Suho menyarankan, berjalan memutari mobil dan mengerling ke Irene. "Sekalian nangkep penjahat bareng."
Mereka tergelak.
Mobil mulai berjalan. Ban hitam mengkilapnya melaju dalam kecepatan sedang di jalan raya, menggilas aspal hitam bersama mobil-mobil lain. Langit menjadi atap yang luar biasa malam ini; biru fantastis yang menjanjikan malam yang romantis. Bintang-bintang tertutup lampu jalan Seoul, tapi bulan yang mengintip malu-malu dari balik awan nampak tersenyum.
Sempurna, sempurna.
Irene tahu ini akan jadi malam hebat. Dia bertanya, "Kita mau ke mana?"
Dan Suho, yang fokus mengemudi menoleh sekilas, tak pernah lupa tersenyum seolah tahu senyum itu bisa menjadi candu. "Coba tebak."
"Namsan Tower?"
"Bukan, takut kita nyungsep terus jatuh dari sana."
"Taman hiburan?"
"Terlalu rame. Takut kamu ilang."
"Terus apa dong?'
Jawabannya ternyata adalah restoran candle light dinner! Kali ini Irene tak bisa mencegah mulutnya terbuka, mengagumi tempat yang dipilih Suho. Lokasi restoran itu berada di sebuah lingkungan yang tenang, hanya terdengar suara musik yang menyambut mereka ketika datang.
Tiap meja ditata agak berjauhan, sehingga kerahasiaan percakapan pengunjung terjaga dengan baik. Sebagai hiasan, pihak restoran memasang lampu-lampu mungil seukuran kukunya yang membentang di atas kepala pengunjung dan berguna pula sebagai penerangan bagi pelayan agar tak tersandung.
Sebuah lilin, lilin aromaterapi cantik yang menguarkan aroma lavender menyala di meja yang dipesan Suho, memancarkan cahaya kekuningan yang membuat mata Suho 100 kali lebih indah.
Irene berkedip. Ciptaan Tuhan yang satu ini sangat menarik. "Pinter ya milih tempat."
"Kamu suka?" Bisik Suho pelan, karena sama seperti Irene, rasanya salah bicara keras-keras di sini, seakan ada mantra yang membuat mereka lebih suka mengobrol sambil mendekatkan wajah saja.
Seorang pelayan menghampiri, membawa buku menu. Dia menanyakan pesanan mereka dan Irene memilih menu yang termurah.
Suho sempat heran. "Kenapa? Jangan sungkan, gaji polisi lumayan kok. Kalo kurang nanti aku bisa ngutang."
Tapi Irene menolaknya一sambil memukul lengan Suho一dan berkata ia memang menginginkan menu itu.
Pelayan pun pergi diiringi tawa tertahannya.
"Jadi?" Suho belum menyerah, sekarang menyangga dagunya dan memperhatikan Irene seksama.
Untuk pertama kali dalam sejarah kencannya, Irene setengah mati berharap make up-nya rapi dan tidak ada lip cream yang tercoreng. "Suka. Suka banget. Ini sederhana tapi oke. Suasananya bagus."
"Syukur deh. Tadinya aku mau pesen meja di cafe yang ada deket hotel tempat kerja adek kamu itu. Taeyeon, ya?"
"Taeyong," ralat Irene sembari cemberut.
"Iya, itu maksudnya." Suho melanjutkan dengan tampang teramat polos yang membuat Irene gemas memukulnya lagi. "Tapi meja di sana udah full booked."
Cahaya lilin yang berada di tengah-tengah mereka berkedip-kedip tertiup angin. Dia bergerak lincah, tak ubahnya seorang penari bergaun oranye. Pantulannya terlihat di mata Irene, saat ia iseng menggerak-gerakkan jarinya bolak-balik di api itu.
Irene ingat sewaktu kecil, ia menganggap hal itu keren, seperti pesulap! Ia juga ingat dirinya mengejek Taeyong yang tak berani melakukan hal serupa. "Kenapa? Kamu penasaran sama Taeyong?"
"Nggak ada salahnya ketemu adek ipar kan?"
Irene tertawa, membuat tidak hanya pria, bahkan wanita di meja lain berpaling padanya, dengan tatapan seolah mereka baru saja melihat seorang dewi alih-alih memprotes tawanya yang terlalu keras.
Lucunya, Irene tidak menyadari itu, bagai ada dinding yang mengurung ia dan Suho, menjaga mereka dan lilin mereka dari berbagai gangguan. "Nggak, tapi siap-siap aja di interogasi Taeyong. Aku nggak pernah ngenalin cowok ke dia soalnya."
Sepasang mata Suho yang ibarat lelehan cokelat itu membelalak lebar. Manis dan sopan, Suho membantu pelayan menata makanan di meja, tepat saat Irene berpikir dia tak bisa lebih mengagumkan lagi. "Sekalipun nggak pernah?"
"Buat apa? Kebanyakan一"
Kebanyakan pria yang berkencan dengannya tidak memuaskan, itulah yang Irene pikirkan, atau mereka tiba-tiba jadi membosankan dan mulai bersikap menyebalkan.
Irene baru akan bercerita tentang pria-pria yang merasa diri mereka dominan, kolot, dan tidak bisa menerima wanita yang lebih cerdas dari mereka, manakala ponselnya yang tidak ia setel dalam mode silent一berjaga-jaga ada hal penting一berbunyi.
ID caller "T-Yong" dengan banyak emoji hati di belakangnya merusak dinding yang dibangun Irene dari dalam, mengagetkan Suho yang hendak makan.
Bingung harus mematikan ponsel atau menerima panggilan itu dan mengancam akan membunuh Taeyong, Irene mengerucutkan bibir.
Awas saja kalau ini bukan hal penting!
"Taeyong, ada apaan? Aku lagi nggak bisa ngobrol sekarang. Sibuk, brother!"
Suho di seberangnya memperhatikan ia sambil senyam-senyum. Pink bukan warna yang bagus untuk pria, tapi mungkin Suho akan tetap terlihat tampan walaupun memakai pakaian dari kain perca. Dia tak kalah lezat dari makanan mereka, sampai-sampai Irene kesulitan menyimak kata-kata Taeyong.
"Sebentar aja. Aku cuma mau tanya apa hukuman buat orang yang nyiksa anak di bawah umur."
Bila tadi dindingnya retak, dinding itu kini runtuh sepenuhnya, tergelitik kata "hukum" dan "anak". Sisi pengacara Irene rasanya langsung bangun, berbunyi nyaring layaknya sirene seorang polisi.
Di susul tubuhnya yang juga bangun, segala hal tiba-tiba terasa tidak penting. Irene berdiri, melupakan tasnya dan Suho, dan bertanya, "Kenapa? Ada yang butuh pengacara?"
Seseorang yang bersama Taeyong di manapun ia berada, mengatakan sesuatu, sejenak merebut atensi adiknya. Selembut salju pertama yang turun, suara itu menyebut ambulans, dan bertanya apakah "dia" perlu dipindahkan, tapi Taeyong menolaknya. Tunggu dokter saja ia bilang, sebelum fokus lagi pada Irene. "Inget anak yang pernah makan bareng kita? Dia ada masalah sama keluarganya. Kasian. Dia nggak baek keadaannya sekarang."
Ambulans? Dipindahkan? Anak yang waktu itu berjalan terpincang-pincang?
Alis Irene hampir menyatu menebak-nebak hubungan 3 hal itu.
Ehem, bukan pertanda bagus. "Inget lah. Namanya..." Mata Irene terpejam mencoba mengingat-ingat. Ia yakin namanya termasuk cukup umum di Korea, mirip ... Ah! Pemain bola! "Park Jisung, bener?"
Irene merasa hampir bisa mendengar anggukan Taeyong, meski secara teknis itu tidak mungkin. "Ke rumah sakit bisa? Kita omongin di sana," lantas sebagai efek tambahan, dia, adiknya yang tidak pandai mengarang kata romantis atau membujuk itu mengimbuhkan, "Noona...?"
Itu cara Taeyong memohon, tanda dia benar-benar membutuhkan Irene.
Uh, dasar cowok!
Selalu tidak kuasa menolak jika sudah begini, Irene menganggap kata "Noona" dari Taeyong adalah kelemahannya. Tiap kali Taeyong mengucapkan itu, Irene selalu terbayang wajah manis seorang bocah laki-laki yang mengekorinya kemana-mana, minta diajari ini dan itu, atau bertanya mengapa langit warnanya biru, bukannya kuning seperti kuah kalguksu favoritnya.
Kadang-kadang, Irene berpikir bahwa Taeyong di usia 5 dan 24 tahun tidak ada bedanya. Dia tidak banyak berubah...
Irene menghembuskan napas panjang. "Kirim alamatnya, kamu ini ganggu aja!"
Mereka mengakhiri panggilan dengan Taeyong yang tertawa penuh kemenangan.
Malam yang Irene kita akan berjalan lancar rupanya jadi berantakan.
Lain kali, Irene menulis catatan di otaknya, ia akan mematikan ponsel saat berkencan!
"Suho?" Irene kembali, tidak sulit memasang ekspresi kecewa karena memang itulah yang ia rasakan. Ini kencan yang ia suka, berbeda dengan kencan bersama pria lain yang membuatnya ingin cepat pulang dan bahkan terpaksa mengarang alasan untuk itu. "Aku ada urusan sama Taeyong. Maaf, ya? Kita lanjutin ini lain kali."
Tidak hanya Suho, makanan yang belum tersentuh di meja rasanya ikut merengut. "Oke deh. Namanya juga urusan mendadak kan?" Suho tertawa mencoba menutupi kekecewaannya. Dia memanggil pelayan, seraya mengeluarkan dompetnya yang samar-samar terisi sebuah black card. "Tapi biar aku anter kamu. Jangan naik taksi malem-malem."
BLACK CARD???
"Nggak usah," Irene yang kebingungan menyahut, mengira dirinya salah lihat. "Aku bisa sendiri, bukan masalah kok一"
"Irene," Suho menyela, melotot galak. "Jangan ngebantah polisi atau kamu aku tahan."
Yang disebut namanya mengangkat kedua tangannya membentuk gestur hormat. "Yes, sir!"
Bila ada 1 tempat yang paling Irene tidak sukai dan hindari, tempat itu adalah rumah sakit.
Sedikit malu mengakuinya, Irene tidak setangguh tampilan luarnya. Ia ngeri melihat drama medis yang menampilkan adegan operasi atau kecelakaan yang berdarah-darah. Tidak sanggup menonton itu tanpa menutup mata, Irene memilih cari aman dengan tetap berada di koridor drama romance, dan ogah datang ke rumah sakit kecuali terpaksa.
Detik ini, di moment langka ini, ia malah melakukannya, demi seorang anak yang tidak ia kenal一tidak terlalu.
Uh, Irene merasa ia layak mendapatkan penghargaan Kakak Terbaik Di Dunia.
Bawa kemari pialanya!
Bersama Suho, Irene berjalan menuju lift, memencet angka 4 yang menurut sebagian orang merupakan angka sial.
Dalam hitungan menit, mereka sampai di kamar yang diberitahukan Taeyong di pesan.
Irene mengetuk 2 kali, lalu membukanya.
Anggaplah semacam ikatan, hal pertama yang Irene lihat adalah Taeyong, menguap lebar-lebar tanpa merasa perlu menutup mulutnya. Dia menggeliat meregangkan tubuh, nyengir lebar saat melihat Irene.
Hal kedua adalah seseorang yang terbaring di ranjang rumah sakit. Tidak bergerak sama sekali.
Mata Irene menyipit. "Taeyong?"
Taeyong mengedikkan dagunya. "Itu si tikus."
"Tikus?'
"Jisung."
Telah biasa dengan kebiasaan Taeyong memberikan julukan unik pada orang-orang, Irene melangkah mendekat. "Dia sakit apa?"
"Hmm..."
Tidak mendapat jawaban yang spesifik, Irene memutuskan memeriksa sendiri. Baru melihat wajah Jisung, ia seketika tahu bahwa Jisung tidak di sini karena sakit, melainkan luka. Wajah yang pernah ia lihat itu terluka, cukup parah, sampai Irene menarik napas terkejut karenanya. "Ya ampun, si adek! Dia kenapa?"
Hati-hati, ia menyusurkan jarinya di sepanjang pipi Jisung dengan lembut. "Ini..."
"Penganiayaan." Suho menyuarakan apa yang ada di pikiran Irene, sedikit menunduk untuk memperhatikan luka itu. "Lihat, luka karena tonjok-tonjokan sama temen nggak akan kayak gini. Ciri-ciri luka ini konsisten sama luka karena tamparan. Diperkuat ini," dia menunjuk sudut bibirnya. "Pasti bukan berantem antar temen."
Analisisnya yang cepat diberi anggukan setuju dari Taeyong. "Dia ada masalah sama keluarganya."
Kemudian, mereka bertatapan.
Mengerti mereka minta diperkenalkan, Irene menunjuk satu persatu dari mereka sambil menyebutkan nama. "Suho, ini Taeyong. Taeyong, ini Suho, dia polisi yang pernah bantuin aku di persidangan."
Tapi Suho rupanya punya caranya sendiri dalam mendeskripsikan diri. "Hei, Taeyong, anggep aja calon kakak ipar ya!"
Taeyong menatapnya seolah ia baru saja berubah hijau seperti Shrek.
"Oke, oke," Irene merentangkan tangannya sebelum Taeyong bertanya macam-macam一 namun pasti akan ia lakukan nanti一dan meletakkan tasnya. "Jangan dengerin dia. Aku mau tahu kenapa dan siapa yang ngelakuin ini ke Jisung. Aku mau tahu sampai ke detail-detailnya, jangan ada yang kelewat."
Memaksa matanya berpindah dari pengamatannya pada Suho, Taeyong duduk lagi di kursinya. "Bukan aku yang harusnya cerita. Tapi dia."
Irene menoleh mengikuti pandangan Taeyong, terkejut mendapati orang kelima di ruangan itu, yang berdiam diri di pojok.
Berbalut pakaian sewarna papan catur, dia bersandar di kursi. Atasan putihnya hampir menyatu dengan warna cat dinding, seakan dia akan melebur ke dalamnya dan menjadi tidak terlihat.
Orang itu一pria itu, tampaknya berusaha untuk tidak menarik perhatian dengan tidak membuka mulutnya sama sekali dan dia berhasil! Kalau bukan karena Taeyong, Irene pasti butuh waktu lebih lama menyadari keberadaannya.
"Dia...?"
Pria itu tersenyum gugup. "Winwin. Panggil aja Winwin."
Taeyong mengetuk-ngetuk lengan kursi hingga menimbulkan bunyi ketukan pelan, menyerupai suara detikan jam. "Ayo, Win. Waktunya kamu ngedongeng sekarang."
Hai gaes, akhirnya gua nemu juga aktris yang meranin Asa di trailer kkkk~
Sebenernya waktu req tuh gua cuma minta Irene, ty, sama Jisung karena maksimal 3 orang, tapi tau2 sama artworker-nya ditambahin dong!
Namanya "Kim Seo Hyung", cocok dijadiin cast emak2 jahat atau mertua yang kejam ke menantunya *EH, maapkan ak ahjumma 😥😥😥 gpp muke judes, yang penting masih syantik, padahal umurnya udah .... google coba 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top