14. Bidak Baru I : Knight

Unit apartemen itu dipenuhi buku.

Buku memenuhi setiap sudut ruangan. Buku bertengger di semua perabotan. Kebanyakan tertata rapi dalam rak kaca yang secara teratur dibersihkan. Yang lain tersebar di banyak tempat; permukaan sofa, tempat tidur, laci, mesin cuci, bahkan meja makan.

Rumah itu adalah surga bagi para pecinta buku dan pembaca sejati, yang akan memuaskan hasrat mereka pada pengetahuan. Terdiri dari berbagai genre; dari yang bisa membuat tertawa sampai sakit kepala, jumlahnya mencapai puluhan. Tidak, mungkin ratusan.

Pemilik sekaligus pembelinya, Winwin, tidak tahu pasti. Ia hanya asal membeli saat menemukan buku yang menarik. Rata-rata, setiap buku yang ada sudah di baca 2 kali, sehingga ia tahu buku apa ada di mana. Orang lain akan menilai rumahnya kacau, namun ia menganggapnya hunian yang sempurna.

Home sweet home.

Winwin mencintai semua ketidakteraturan ini!

Bila sedang bosan, biasanya ia membentuk menara buku, menantang diri sendiri, sampai setinggi apa ia bisa menumpuknya. Atau belanja buku baru secara online, mengasah otaknya dengan berbagai informasi. Kehidupan Winwin berputar seputar itu; tidur, buku, dan bekerja, tapi toh, ia menikmatinya dan tidak akan mengeluh.

Untuk apa keluar?

Ia mendengus seraya melempar sebutir kacang ke udara dan menangkapnya dengan mulut. Dunia luar itu kejam. Dunia luar itu tidak asyik. Winwin punya segalanya di rumah, dan一untuk saat ini一seorang gadis cantik yang mencebik ke arahnya. Sebuah buku bersampul biru tergenggam di tangan si gadis, siap ia lemparkan kapan saja. "Jangan terlalu santai, kerjaanmu berantakan, Win!"

Sebagai efek tambahan, buku itu sungguh di lempar, hampir mengenai perut Winwin jika ia tak sigap menangkapnya. "Dan-ie," Winwin berlagak marah, meluruskan halaman buku Sherlock Holmes yang terlipat dengan gerakan selembut seorang ibu yang membelai bayinya. "Ini buku bagus. Mana, mana? Apa yang salah?"

"Semua." Gadis yang dipanggil Danbi itu menjawab sadis, berbalik lagi menghadap komputer yang sengaja Winwin letakkan tidak jauh dari tempat tidur, agar ketika memerlukannya, ia tidak harus bergerak terlalu jauh. "Kamu mikirin apa sih? Kok tumben jelek semua? Nggak rapi. Banyak bagian yang perlu di revisi."

"Masa?" Winwin bertanya acuh tak acuh, senyum-senyum menatap Danbi, si gadis sadis yang rambutnya sepanjang pinggang. "Tulis aja, nanti aku benerin."

Merasakan tatapan Winwin, Danbi kembali berbalik, siap mengomel untuk kedua kali. Tapi cara Winwin tersenyum, pipinya yang membulat saat mengunyah, dan ekspresi lucu khas anak ayamnya, membatalkan rencana tersebut.

Batal marah, wajah ketus Danbi perlahan luntur, terganti senyum yang terpengaruh oleh Winwin. "Jangan sok imut ya! Aku masih kesel ih!"

Keduanya berakhir tertawa.

Danbi, yang kebetulan juga mengenakan baju hitam putih, memutar kursinya dengan suara berdecit. Satu pulpen terselip di antara jari jempol dan jari telunjuknya, sibuk mencoret-coret sehelai kertas; tanda Winwin akan begadang malam ini. "Kamu kenapa, Win? Lagi laper? Apa kamu butuh liburan? Jangan dikerjain kalo nggak ada inspirasi."

"Kalo nggak selesai sesuai deadline?"

"Aku jual ginjalmu di black market," Danbi menyahut riang, tertawa jahat yang sekilas terdengar seperti bunyi bebek. Tapi Winwin tidak mengatakan itu, karena di dekat Danbi ada buku The Child Thief karya Brom, yang ketebalannya mengerikan. "Serius, kamu kenapa sih?"

Winwin berguling, membolak-balik buku yang dengan "baik hati" Danbi serahkan. Kualitas sampulnya yang bagus seakan bisa digunakan bercermin; tebal dan mengkilap. "Dan-ie." Ia ragu-ragu, tidak tahu harus memulai dari mana atau kata apa yang harus ia pakai. "Kalau ... kalau ada orang yang tenggelam. Kamu milih nyelametin dia nggak?"

Karena berbaring, Winwin tidak melihat Danbi mengerutkan kening. Tidak melihat, kawannya yang mengerucutkan bibir selagi ia berpikir. "Tenggelam? Kamu lihat berita tentang itu?"

"Semacamnya." Winwin memberi jawaban yang abu-abu; tidak iya, tidak pula tidak. "Jadi? Kamu selametin atau kabur?"

Kata terakhir Winwin membuat Danbi terperanjat, melebarkan mata berhias eyeliner-nya. "Kabur? Yang bener aja! Apa aku keliatan kayak orang yang bakal kabur pas ada masalah?"

Winwin meringis. Pantulan buramnya di sampul buku bagai melotot dan menuduh. "Bukan kamu, tapi temen aku. Dia nggak nolongin karena dia ... hm, nggak bisa renang. Pokoknya nggak bisalah."

"Aku nggak tahu kamu punya temen yang pengecut, Win."

Pluk.

Buku berisi kisah petualangan Sherlock Holmes dan kakaknya Mycroft itu terjatuh menimpa wajah Winwin, yang terkejut bukan main mendengar 1 kata sebelum namanya. Kata itu, pengecut, tak pernah ia temui kecuali dalam halaman buku, apalagi ditudingkan kepadanya一meski tak langsung. Tanpa sadar, suaranya meninggi, "PENGECUT?"

Kebalikan darinya, Danbi mengangguk tenang dan menyilangkan kakinya dengan anggun. "Bisa atau nggak, seharusnya dia tetep nolong dong! Ini masalah nyawa. Dia tinggal minta bantuan orang atau lempar tali ke korban. Jangan ngarang alasan nggak bisa renang, ketahuan banget egoisnya. Nggak peduli sama orang lain."

1 titik yang sensitif telah di tekan, menusuk-nusuk sesuatu bernama harga diri dan ego, mengingatkan Winwin pada sesuatu yang belum lama berlalu.

Sesuatu berwujud pria yang lebih pendek darinya, tapi memiliki nyali yang lebih besar. Kata-katanya tajam, dibarengi dengan tekad dan keberanian.

Sesuatu itu一seseorang一bernama Lee Taeyong, yang mungkin sudah ... Winwin mengecek smartwatch-nya, dan ternyata benar, ini sudah jamnya para pekerja shift pagi pulang.

Dia berpaling ke Danbi, memutuskan bangkit duduk. "Dia bukan pengecut, dia beneran punya alasan, Dan-ie."

"Terserah." Dari rautnya, Danbi jelas tidak menerima pembenaran itu. Danbi berdiri, menempelkan sehelai kertas berisi tulisan tangan meliuk-liuknya ke dahi Winwin seolah dia vampir, sementara bibirnya mendarat sekilas di sisi samping wajah pria itu. "Aku tetep nganggep temenmu pengecut, kamu jangan niru dia, ngerti?" Gadis itu bergidik. Jejak lip cream-nya tertinggal di pipi Winwin, pink seperti buah peach warnanya. "Bayangin. Kamu abai sama orang yang butuh bantuan. Kalo korban itu kenapa-kenapa, apa temenmu bisa tidur nyenyak?"

Kabut kemarahan menyelimuti wajah elok Danbi, yang baru dapat Winwin pandang usai menyingkirkan kertas dari dahinya.

Danbi menambahkan, "Tapi aku tahu kamu nggak gitu. Aku tahu kamu orang baik."

Sayang, pendapat Danbi tidak seluruhnya benar.

Winwin kadang merasa ia tidak mengenal dirinya sendiri, merasa ia bisa tersesat di benaknya yang ibarat semak berduri. Ia bingung apakah ia termasuk orang baik atau bukan, atau apakah ada orang yang sepenuhnya baik.

Ada alasan mengapa ia menyukai warna hitam putih, yaitu karena putih sering dikategorikan "baik" sedangkan hitam sebaliknya. Dan, menurut Winwin, ia adalah tipe orang yang berada di tengah-tengah. Fleksibel, tidak berpihak, tidak suka ikut campur.

Namun, apa menjadi penonton atas dasar 3 alasan itu dapat dibenarkan?

Jauh dalam hatinya, Winwin tahu jawaban pertanyaan itu.

Ia bimbang.

Di depannya ada papan catur yang terbentang, terdiri dari kerumitan dan keributan. Winwin bisa saja masuk, dengan resiko tidak bisa keluar lagi. Atau ia bisa terus di tempatnya, menyaksikan dalam diam.

1 langkah saja, dan permainan di papan itu seketika akan berubah.

Winwin tahu ia punya kekuatan untuk merubahnya. Ia bisa. Ini hanya tentang ia mau atau tidak. Dan apakah ia berani.

Itu dia pertanyaannya, beranikah dia menjadi bidak baru, tak peduli apa perannya nanti? Entah itu Knight; yang punya cara "jalan" unik tapi bisa melewati bidak lain, Bishop; yang mampu bergerak ke segala arah asal tak ada yang menghalangi, Rook; yang dapat berfungsi sebagai tameng, atau sekedar Pawn; yang kecil tapi pantang mundur.

Dia memikirkannya matang-matang. Sebuah keputusan tengah di buat.

Namun, suara-suara yang menyusup ke unitnya menginterupsi proses itu.

Di suatu tempat di luar, ada yang bertengkar. Seharusnya itu sanggup ditutupi pintu dengan baik. Tapi kali ini tidak dan itu aneh.

Melangkah malas-malasan ke sumber suara, Winwin menemukan penyebabnya : Danbi si tengil nan jahil itu tidak menutup pintu, membiarkannya terbuka seakan sengaja mengundang tamu.

Gadis itu, awas saja!

Winwin menendang ujung pintu, hendak sekalian menguncinya kalau saja ia tidak mendengar 2 suara yang familiar, tengah beradu mulut dengan salah satu yang emosinya telah tersulut.

Tertarik bercampur penasaran, kaki telanjang Winwin menginjak karpet koridor, bergabung bersama satpam dan penghuni unit 95 yang saling berhadapan. Langkahnya nyaris tidak menimbulkan suara, sehingga ia mengejutkan mereka berdua.

Hyuk adalah orang pertama yang menyadari kehadirannya, dan tersenyum untuk menyapa, lega menemukan pengalih perhatian. "Tumben udah bangun?"

Winwin yang sebenarnya mengantuk nyengir, lebih fokus pada Taeyong yang masih mengenakan seragamnya. Tetangganya itu terlihat lelah. Jaketnya belum di lepas dan ia kesal luar biasa. Urat-urat lehernya menonjol. Saking marahnya, Winwin tidak akan kaget jika dia mengeluarkan asap dari telinganya. "Kenapa? Aku ketinggalan apa?"

Lewat Hyuk, Winwin mendapat penjelasan, "Itu, Juyeon, dia ngeluh Taeyong sama Shin berantem pagi-pagi, ganggu penghuni lain katanya, jadi..." Hyuk berdeham. "Harus di tegur."

Tatapan bingung Winwin berpindah ke unit 99, yang merupakan tempat tinggal Yoon Juyeon; penghuni kontroversial yang tidak terlalu ia kenal. 2 fakta mengejutkan jatuh bersamaan; bahwa Juyeon cari perkara dengan Taeyong, dan Taeyong yang bertengkar dengan Shin ... pagi ini? Kenapa banyak hal yang terjadi?

Tapi kalau dipikir-pikir, selalu ada kejadian unik di lantai 9.

Sebutan lainnya : masalah.

Taeyong yang enggan menjelaskan lebih jauh membuka pintu. Jarinya yang menghujam keras saat mengetik password menegaskan betapa ingin ia menghajar Juyeon. Lantas dia masuk.

"Bentar, bentar," Di detik terakhir, Winwin berhasil menyelipkan tubuhnya, masuk tanpa izin ke tempat ia pernah meminta air panas. Anjing berbulu cokelat Taeyong menyambut mereka, dengan kibasan ekor dan gonggongan.

Tiap langkah, ia mengikuti Taeyong, yang menuju dapur kemudian memberinya makan di mangkuk lucu bertuliskan "Happy birthday, Ruby 💚" berwarna mirip kue red velvet.

Sementara Taeyong sendiri melepas jaket dan duduk di kursi. Rambutnya acak-acakan. Cincin mungil di telinganya ia putar-putar kala bertanya, "Apa?"

Pertama-tama Winwin duduk di seberangnya, tidak yakin harus bicara apa. Suasana hati Taeyong sedang buruk, ia ragu. Winwin ingin menunda, tapi kata-kata Danbi menghentikannya.

Jangan ngarang alasan nggak bisa renang, ketahuan banget egoisnya

Kalau ia menunda ini lebih lama, itu akan seperti mengarang alasan lain dan lagi. Jadi Winwin memulai, "Berantem kenapa sama Shin?"

Taeyong yang marah sejujurnya sangat menyeramkan. Tiada sorot ramah di matanya. Kerutan di dahinya tidak hilang. Ia hanya terus memainkan tindikan di telinga kirinya dan memiringkan kepala. "Kemaren di tanya nggak mau jawab sekarang malah tanya-tanya urusan orang?"

Kedua tangan Winwin terangkat membentuk isyarat menyerah. "Oke, oke, aku pantes dimarahin. Tapi tunda dulu, aku mau ngomongin Jisung."

Anehnya, Taeyong tidak tampak antusias dengan ide itu. Dia tak segera menyambar umpan Winwin dan bertanya macam-macam. Dia justru melengos, mengambil air dari lemari es dan meneguknya sampai tandas. "Kapan-kapan aja Win. Tadi hotel rame, capek."

"Masalahnya, ge一"

"Aku. bukan. keluarganya. Jisung." Taeyong berkeras, menekankan tiap kata yang ia ucapkan. Tak cukup di situ, ia membanting botol airnya, menutup lemari es layaknya meninju seseorang. "Pergi sana, aku mau tidur."

Senyum yang susah payah Winwin pertahankan lenyap.

Amarah dalam dirinya yang tidak pernah一sekalipun tidak pernah一di usir siapapun menggelegak. Keinginan Winwin terbagi 2 : antara pergi karena tak dihargai dan niat untuk tidak menjadi bajingan lagi.

Mungkin ia ditakdirkan jadi orang jahat, yang selamanya akan pura-pura tidak tahu.

Tapi...

Kalo korban itu kenapa-kenapa, apa temenmu bisa tidur nyenyak?

Jawabannya tidak.

Segenap usaha Winwin dikerahkan. Kesabaran ia kumpulkan perlahan-lahan. Berpikir sekarang atau tidak sama sekali, Winwin meneruskan seolah tak mendengar kalimat Taeyong yang sejujurnya turut membuatnya emosi.

Pada saat itu, ia tahu kakinya sudah masuk ke papan permainan.

Yah, persetan. Sejak awal ia terlanjur terlibat.

Hadapi saja.

"Gara-gara Shin kan? Bukan kerjaan. Dia ngancem atau gimana?"

Sesaat, Taeyong tampak hendak membantah dan melanjutkan aksi marah-marahnya, tapi lalu mengurungkan itu dan menghela napas. Tidak bohong, ia pasti lelah. Mungkin pekerjaannya memang padat dan ia benar-benar mengantuk.

Ia kembali duduk. Lebih tenang dan dingin seolah air yang ia minum mempengaruhi kemarahannya. "Si goblok Jisung itu nggak mau ditolong. Udah di ajak ke kantor polisi tapi nolak. Ngomong nggak apa-apa, padahal di punggungnya banyak luka. Gila dia."

Winwin nyaris tersenyum berkat pemilihan kata Taeyong, namun dicegah oleh seriusnya situasi ini. "Shin tahu...? Soal rencana ke kantor polisi itu?"

Ketika Taeyong mengangguk, kepanikan menghujani Winwin bertubi-tubi, menggerus habis ketenangan yang ia miliki. "Wah, ge ... mestinya jangan ngebahas itu depan dia..."

Gantian Taeyong yang bertanya, "Kenapa? Bukannya yang mukulin Jisung itu Asa? Shin nggak kayak Asa kan?"

"Nggak," Winwin merapatkan jari-jemarinya di atas meja, membasahi bibirnya yang terasa kering. "Dia lebih parah. Shin bukan penonton, tapi pelaku. Jisung nggak akan ngelawan dia karena Shin yang bayarin semua kebutuhannya sama Asa." Winwin mendongak, memandang Taeyong tepat di matanya. "Makanya dia ngira bebas ngelakuin apa aja."

Serta-merta, Taeyong berdiri.

Dia meraih jaketnya dan mengeluarkan ponsel. Benda persegi itu dikantongi dan ia berjalan cepat dengan 1 umpatan yang tertuang dari bibirnya, "Sialan!"

Winwin mengikuti. Ia tahu tujuan Taeyong dan tidak mencegahnya.

Pintu unit 92 di ketuk kasar, Taeyong berseru, "Shin, keluar, bangsat!"

Winwin itu cocoknya dipasangin sama siapa sih gaes, kok gua bingung. Semua cewek seumuran dia perasaan jadi keliatan tua karena dia terlalu imut 😭 Yodah gua pake oc deh, pusying 🤧

Anw, dah ada sop iler ya di sini, coba tebak Winwin kerja apa h3h3 😳

+ yang lupa, Danbi itu cewe yang ditelpon winwin pas pertama kali ketemu ty+irene

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top