13. Dingin
Warning : Ada adegan kekerasan yang lebih parah dari kemaren, frontal. Buat bunda onlinenya Jisung harap tahan emosi, ntar kalo udah lempar aja gua pake oreo.gg
Tapi serius gua lhoh (๑ơ ₃ ơ)
"Bangun!"
Awalnya, Jisung tidak mendengarnya. Satu kata itu hanya berupa bisikan samar di telinganya yang sempat berbenturan dengan lantai. Telinga itu berdenging, tidak berhasil memproses informasi ke otaknya. Dia belum siap membuka mata apalagi mematuhi si pemberi perintah.
Disitulah letak kesalahannya.
Shin menganggap dirinya adalah bos di manapun. Apa yang ia perintahkan harus dijalankan. Kalau dia memanggil, Jisung harus menuruti. Tidak boleh menyanggah, tidak boleh membantah. Shin tidak peduli apakah ia sedang tidur atau terpuruk di lantai karena tamparannya. Dia tidak mau tahu hal-hal tidak penting semacam itu.
"Bangun, tolol!"
Sekali lagi, dia membentak. Namun diiringi tendangan yang menyasar perut Jisung dengan telak. Bibir mungil itu mengerang, lantas digigit untuk menahan lebih banyak erangan. Shin tidak suka. Nanti malah pukulannya bertambah. Katanya, Jisung berisik. Katanya, Jisung mending diam saja一itu jauh lebih baik.
Di tempat yang ia sebut rumah ini, bicara saja ia butuh izin.
"Denger nggak, sialan?!"
Pelan, Jisung mengangguk. Berusaha bangun dengan bertumpu pada lutut. Setiap gerakan memperparah rasa sakit. Di kepala, punggung, pipi, kini juga perut. Kadang, Jisung berpikir ini hanya masalah waktu, sebelum tubuhnya menyerah sepenuhnya.
Tapi ia tidak ingin itu disebabkan Shin一pria yang bahkan bukan ayahnya.
Ada banyak cara untuk mati. Racun, terjatuh dari ketinggian, tertabrak kereta, overdosis, gantung diri. Semuanya buruk, tapi apapun pasti takkan seburuk siksaan tanpa akhir ini.
Ini lingkaran setan. Apakah itu salahnya atau bukan, tidak penting. Menurut Shin, dia sama saja dengan samsak tinju, yang digunakan kapanpun ia butuh.
"Berdiri aja lama banget!" Pria kekar itu berdecak, tidak punya cukup kesabaran untuk menunggu. Dalam kamusnya, membantu adalah menjambak rambut Jisung, mengirimkan sengatan nyeri yang teramat sangat.
"Ini nih si tukang ngadu." Shin tertawa tanpa humor, menepuk-nepuk pipinya namun lebih menyerupai tamparan lain. Terlalu keras. Sengaja mengenai sudut pipinya yang luka. "Mentang-mentang ada tetangga baru jadi ngadu ke dia. Bilang apa kamu ke Taeyong?"
Dia tidak bilang apa-apa, namun ia tahu Shin tidak akan percaya.
Barangkali, Shin tengah mencari alasan memukulnya. Meski pada kenyataannya tindakan itu tidak diperlukan.
Lihat.
Lihat ibunya. Jangankan peduli, menoleh saja tidak sudi. Dia terlalu sibuk dengan alkohol tersayangnya. Selama ada mereka, tak ada yang bisa mengusiknya. Shin bebas memukulnya berulang kali di sini, sampai ia mati, tapi Jisung bertaruh dia tidak akan bergerak walaupun hanya 1 inci. Alkohol itu penting. Jisung dianggap bagai parasit.
Ibunya ... jauh.
"Ngapain ngadu-ngadu, hah?" Shin berteriak di depan wajah Jisung, sejenak lupa bahwa unit mereka tidak kedap suara. Lupa, bahwa tangan besarnya sangat menyakitkan saat menampar pipi kiri anak sekurus dia. "Udah nggak betah tinggal di sini, Jisung? Mau ikut Jinwoo, ya?"
Yang dipanggil namanya berdiri untuk kedua kali. Tidak mau di jambak lagi. Berpegangan ke meja, ia bersusah payah. Punggungnya menjerit. Tulang-tulangnya memprotes sakit. Tapi ia memaksa mereka untuk tegak kembali, tak lain agar semua ini segera berakhir.
Tanpa sengaja, Jisung bertatapan dengan Asa. Ibu yang dulu teramat dekat, namun kini tidak lagi akrab. Tidak ada kasih sayang. Tidak ada cinta. Reaksi yang Jisung terima justru senyum lebar, yang dengan cepat berubah jadi tawa. "Kamu ini ... bener-bener anak yang nggak guna. Jangan ngarep Jinwoo mau ngurus kamu."
Lantas, gelas seukuran kepalan tangan bayi di genggamannya melayang, tatkala Asa mencengkeram dan melempar benda itu dengan geram, tepat ke kepala Jisung.
Benda yang terbuat dari kaca tersebut kontan pecah, berhamburan di permukaan lantai. Sebagian menggores si pemilik kulit pucat itu, mengirimkan getaran yang lebih banyak disebabkan keterkejutan.
Jisung menyentuh dahinya, merasakan hangat darah yang mengalir dari sana, menodai telapak tangannya. Sesuatu di dadanya berdenyut nyeri; marah, kecewa, dan yang mendominasi, frustrasi.
Tapi tak apa.
Untuk yang satu ini, Jisung telah terbiasa.
Asa memerintah, "Bawa jauh-jauh sana. Kasih pelajaran biar nggak berani ngelawan lagi. Biar nyadar, kalo dia diizinin tinggal aja harusnya udah bersyukur. Dasar anak nggak tahu diri. Mending sekalian dia mati."
Dan Shin menurut.
Bila ada 1 hal yang Jisung yakini tentang dia, hal itu adalah perasaannya pada ibunya. Shin mencintai Asa一itu fakta. Dia akan melakukan apapun yang Asa suka, terlebih jika itu juga membuatnya gembira.
Berani sumpah, Jisung memergokinya sekilas menyeringai, ketika ia menyeret bagian belakang pakaiannya menuju ke kamar mandi. Jari-jari Shin tidak pernah menunjukkan kelembutan. Tidak, tanpa ada tamu atau tetangga yang melihat.
Jisung meronta, berkelit dan balas memukul Shin. Ia menyikut pria itu, namun tak berfek apapun selain dengusan meremehkan. Shin yang kuat, Shin yang jauh lebih tinggi darinya, seperti pohon yang berdahan tebal. Dia kuat, dan Jisung sudah berkali-kali merasakan kekuatan itu.
Tiba di kamar mandi, keran yang ada di bathtub di nyalakan. Air mengucur deras, Jisung dihempaskan. Shin mengeluarkan sesuatu dari balik pintu, yang sejak dulu, selalu, menjadi saksi bisu.
Terbuat dari besi, benda itu berkilau memantulkan cahaya lampu. Satu ujungnya melengkung berwarna lebih gelap, dibentuk supaya bisa menjadi pendorong sebuah bola. Ukuran rampingnya pas di telapak tangan Shin, yang langsung mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jisungie..."
Dengan satu gerakan mulus, tongkat golf itu dihantamkan ke punggung Jisung.
Satu.
"Mau ngadu lagi nggak kamu?"
Suaranya bergema, namun ditenggelamkan bunyi pancuran air. Begitupun suara Jisung yang merintih menahan perih.
"Kamu kira biaya sekolahmu murah? Kamu kira makanan di meja gratis? Turun dari langit? Ya nggaklah, bangsat! Makanya nurut diem aja!"
Tongkat kembali di angkat, pukulan kedua mendarat.
"Diem itu susah emang? Pagi-pagi malah cari masalah! Kamu ini bisanya apa sih, Jisung? Dari dulu bikin repot. Dasar sampah!"
Lalu tiga.
Luka di punggung Jisung hasil dari malam sebelumnya terbuka lebih lebar dan mengeluarkan darah, merembes hingga ke bajunya yang berwarna kuning cerah. Rasa sakitnya tak tertahankan. Rasa sakitnya terlampau hebat.
Jisung merasakan pandangannya kabur. Tetes keringat jatuh dari dagunya dan bergabung dengan air dalam bathtub. Napasnya terengah. Tapi tak ada rintihan lagi yang keluar dari bibir tipisnya. Ia takut pada akibatnya kalau melakukan itu. Juga tidak sanggup.
Dia hanya terduduk, berpegangan pada pinggiran bathtub. Sisa-sisa harga dirinya menolak ia bersimpuh di lantai, seperti sampah yang sering Shin tekankan. Ia bukan sampah. Bukan.
Seiring waktu, air di bak mandi perlahan-lahan penuh, meluber dan membasahi celana jisung. Dinginnya bukan main. Gemetar Jisung kian parah. Ia mundur ke tempat yang kering, menjauhi air yang tidak ramah bagi kulitnya yang penuh luka.
Ia berusaha一
Shin mencegahnya.
Shin justru menghidupkan shower, menjambak rambutnya lagi, dan mendorong kepalanya ke bathtub.
Air menyengat mata Jisung, menyusup ke hidung dan mulutnya. Ia berteriak, memohon agar Shin berhenti, tapi kalimatnya muncul dalam bentuk gelembung yang tak merangkai kata apapun.
Shin menyingkirkan tongkat golfnya dan semakin membenamkan kepala Jisung, seluruhnya.
"Gimana? Udah kapok, Nak?"
Kata terakhir yang ia gunakan membuatnya tergelak, sebelum akhirnya memberi Jisung kesempatan bernapas.
"Mau ngadu lagi nggak?"
Jisung tidak menjawab. Tidak bisa. Ia tersedak. Batuk menyakitkan keluar dari tenggorokannya, bersama air yang tertelan. Paru-parunya terasa terbakar, seakan ada jarum yang menusuknya. Jarum lain berasal dari atas, jatuh mengguyur tubuhnya hingga ia basah kuyup. Sulit bernapas. Kali ini ia sungguh terkapar di lantai.
"Kok diem? Jawab, goblok!"
Belum puas, Shin menumpukan kakinya di punggung Jisung, siap menginjaknya.
"Nggak mau jawab?"
Jisung menggigit bibir, menggeleng berulang-ulang. Sedikit tenaga yang ia miliki ia gunakan untuk mengangkat kepala, menatap Shin. "Nggak..."
"Pinter." Senyum Shin terukir, riang dan geli. Merasa berkuasa adalah satu hal yang paling ia senangi. "Siapa yang salah, Jisung?"
Di luar kendalinya, Jisung menggigil. Ujung jarinya memutih dan berkerut. Kukunya membiru. Pada saat itu, ia tak tahu mana yang lebih dingin; air, lantai, atau jangan-jangan tubuhnya sendiri. Jisung hanya tahu ia harus menjawab, tidak peduli dia benar atau salah. "Aku..."
"Apa?" Shin meletakkan tangannya di dekat telinga, membungkuk lebih dekat ke arah Jisung. "Ngomong apa? Nggak denger."
Gigi Jisung saling bergemeletuk. Air yang meresap ke pakaiannya sama sekali tidak membantu. "Aku..." Suaranya serak dan ia batuk lagi. "Aku yang salah. Aku..."
Semudah itu.
Shin mendapat apa yang ia mau; pengakuan, sikap patuh. Shin memaksanya berdiri, menamparnya supaya ia tetap sadar. Kepala Jisung tersentak ke samping, ia merosot. Tungkai-tungkainya yang lemas nyaris tak bisa menyangga berat badannya.
Bisa dibilang, ia bersandar pada Shin ketika pria itu menariknya ke pintu terdekat dari kamar mandi, kemudian membukanya.
Di atas petak-petak ubin berwarna putih itu, Jisung dilemparkan, menabrak kaki tempat tidurnya yang berbahan dasar kayu tebal. Rasa nyeri menjalar di lengannya, merambat ke seluruh tubuh. Semuanya sakit.
Shin ikut masuk, memperhatikan keseluruhan kamar sederhana itu. Terdiri dari lemari, beberapa buku sekolah, tempat tidur, bantal, selimut, dan一
Selimut?
Shin tertawa. Ia punya ide.
Diambilnya selimut itu, lalu meraih remote AC dan menyetelnya ke suhu terendah.
Udara dingin berhembus kencang, menggempur Jisung yang seketika bergelung berusaha menciptakan kehangatan.
"Ini di sita dulu, ya?" Shin melambai-lambaikan remote AC itu dengan ceria, tahu walaupun tidak mendongak, Jisung bisa mendengarnya. "Tidur sana, diem pokoknya. Sampek ngeluarin 1 kata, abis kamu."
Bam!
Pintu tertutup. Selanjutnya di kunci.
Langkah-langkah Shin terdengar menjauh, meninggalkan Jisung di ruangan yang telah ia jadikan seperti lemari es raksasa itu.
Dingin. Sangat dingin.
Jisung memeluk dirinya sendiri, sambil melirik lemari. Ia sadar harus berganti baju.
Tapi...
Jaraknya.
Terlalu jauh. Jisung tidak bisa. Untuk pertama kalinya ia menyesal punya kamar yang luas. Ironi itu membuatnya tersenyum kecil.
Seharusnya tidak. Kamar ini adalah peninggalan dari kehidupannya yang lalu, yang terasa jauh. Kehidupan saat ia bukan anak yang di sebut tolol, bangsat, apalagi sampah. Kehidupannya yang "cukup" bahagia.
Perhatikan,
Ada foto keluarganya tergantung di dinding. Hanya dirinya, Asa, dan Jinwoo. Ayah dan ibu. Orang tua. Asa tanpa ragu akan membuangnya jika tahu, tapi sudah lama wanita itu tidak ke kamarnya, jadi Jisung tidak menyembunyikannya di bawah tumpukan buku.
Itu hartanya. Tidak boleh berakhir di tempat sampah.
Perhatikan lagi,
Ada kamera di atas laci. Kamera yang teramat sangat bagus. Hadiah ulang tahunnya yang ke-14. Dari ayah. Demi mendukung salah satu hobinya.
Jisung terkejut sekali waktu itu. Tidak hanya karena hadiah mahal tersebut, tapi juga karena Jinwoo ingat tanggal dia lahir.
5 Februari. Tahun 2002.
Tapi sekarang kamera itu rusak.
Lensanya pecah. Talinya putus. Bagian sampingnya remuk. Semua foto, kenangan-kenangan yang ia abadikan, turut hilang.
Jisung memikirkan ini saat menatap kamera itu, keadaan ... ternyata cepat sekali berubah. Dengan drastis pula.
Tak ada yang abadi.
Layaknya keadaan, senyumnya berubah miris. Jisung meniup tangannya. Kelopak matanya terasa berat.
Tunggu.
Apa ini?
Kenapa ia tiba-tiba teringat Taeyong dan Irene? Memutar ulang gambaran saat ia bersama 2 bersaudara itu di warung tenda, makan makanan enak dan banyak?
Kenapa?
Ah, itu pasti karena ia lapar. Belum makan sejak kemarin. Ia jadi merasa bersalah pada Taeyong. Ia akan minta maaf nanti. Janji.
Nanti itu ... entah kapan. Menunggu ia diizinkan keluar oleh Shin.
Entah...
Kapan.
Perlahan, Jisung menutup matanya. Capek, lapar, dan kedinginan, bersatu menariknya dari kenyataan yang kejam.
Objek terakhir yang tertangkap penglihatannya adalah kamera. Kameranya. Oh, betapa Jisung berharap ia mendapatkan gantinya...
HOI NGETIK APA INI ╥╯﹏╰╥
Kok sadis banget apa karena gua sering dengerin lagu Psycho *disleding Irene*
Buat kebutuhan cerita ya manteman, besok kita gantian ketemu Winwin kok (͡° ͜ʖ ͡°)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top