12. A Place Called Home
Pola luka itu mengerikan.
Berupa goresan merah di sepanjang tulang belakang Jisung, lalu sekitar 5 senti dari puncak bahu kanannya. Satu lagi agak ke bawah, tapi memanjang hingga ke perut; masih terbuka, belum kering. Pasti terasa perih di tubuh yang begitu rapuh.
Memar berwarna kebiruan tersebar seperti bulan-bulan purnama mini yang menodai kulit putihnya. Tapi itu bukan noda biasa atau tato, itu memar一tanda ada pembuluh darah yang pecah, menutupi hampir seluruh punggung Jisung, dengan tingkat keparahan yang tidak mungkin disebabkan trauma kecelakaan.
Tidak. Tidak mungkin.
Jumlahnya terlalu banyak. Membentur sudut meja hanya akan menyebabkan 1 memar. Seceroboh apapun, pisau tidak akan menggores punggung. Ini lain, berbeda. Bahkan retak pada kaki yang Taeyong dapat usai bermain sepak bola tidak separah itu.
Ini terlihat seolah ... ada yang memukuli Jisung berkali-kali. Menggunakan sesuatu yang keras dan tajam. Memakai tangan yang tidak kenal belas kasihan.
Suara Taeyong tercekat. Ludah mengganjal tenggorokannya, mempersulit tiap kata yang hendak keluar. "Jisung ... itu kenapa?"
Jisung bergerak mundur, menutupi punggungnya lagi. Tapi karena panik dan terburu-buru, ia tersandung menabrak kursi. Rasa sakit membuat bibirnya membentuk 1 garis lurus. Tapi bahkan dalam keadaan itu, dia masih berusaha berbohong. "Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Ini cuma一"
"Jisung." Taeyong memotong omong kosongnya, mencengkeram pundak kurus itu一yang tidak lebih dari tulang berbalut kulit一memaksa Jisung menatapnya. "Itu kenapa? Jawab, sialan! Jadi itu alasan kamu selalu pakek baju lengan panjang? Buat nutupin luka, iya?"
Di mata Jisung, ada ketakutan. Pupilnya melebar menggambarkan kecemasan. Bagai burung kecil di bawah bidikan senjata api, dia menciut, ingin menghilang一apapun asal tak lagi menghadapi ini. "Itu ... aku..." Jisung tersenyum, namun senyum itu tidak akan bisa menipu siapapun. Tiap katanya adalah kebohongan, dan Taeyong bertanya-tanya apakah hidupnya juga tersusun dari material yang sama. "Aku ... jatuh. Di lapangan sepak bola yang banyak batunya, jadi ... luka."
Suaranya memudar, begitu pula tenaganya. Dia berpegangan pada ujung meja, sebelum akhirnya menyerah dan kembali duduk di kursi. Tenaga apapun yang dipinjamkan oleh adrenalin, surut secepat kedatangannya.
Tapi Taeyong tak berhenti menginterogasi.
Jatuh? Di lapangan berbatu? Memangnya dia pikir Taeyong orang tolol macam apa? Yang tak bisa melihat dusta, yang berada tepat di depan hidungnya? "Jawab yang bener! Siapa yang mukul kamu, Jisung?"
Suaranya naik beberapa oktaf, meninggi tanpa kendali. Tak ada penangguhan lagi. Taeyong tak ingin terus-menerus berkubang dalam misteri.
"Shin atau Asa?" Taeyong mendesak. Memikirkan 2 orang yang ia sebut namanya. Ibu yang abusif dan pria yang selalu bersembunyi di balik senyuman, kecuali sekali ketika Taeyong memergokinya marah di hadapan Hyuk. "Luka apa yang kayak gitu? Kamu ini harus belajar bohong, Jisung. Kamu jatuh sambil guling-guling 10 kali? Batunya tajem mirip pisau? Jisung, rumah kamu kenapa?"
Dia berseru marah. Jisung bungkam.
Rumah yang seharusnya adalah tempat ternyaman, sekaligus tempat untuk pulang, rupanya jadi neraka baginya. Karena, apalagi sebutannya untuk hunian berisi iblis kejam yang membuatnya terluka separah itu? Butuh hati busuk selagi melakukannya, atau justru tidak butuh hati sama sekali. Kau hanya perlu sikap jahat yang telah mengakar begitu kuat.
Namun entah demi alasan bodoh apa, Jisung berkeras membela. Dia menggeleng dan menggeleng berulang-ulang, seakan hendak meyakinkan dirinya sendiri. "Bukan mereka, nggak ada hubungannya sama Shin atau Mama. Lagian, lama-lama pasti sembuh. Nggak apa-apa."
Taeyong tidak menanggapinya. Sejujurnya, ia sudah kehabisan kata. Tidak punya adik membuat ini semakin sulit. Dalam satu dua hal, Jisung mengingatkan dia pada dirinya semasa muda, yang menolak ajakan Irene ke rumah sakit karena biayanya mahal.
Kemudian ia sadar, bukan rumah sakit, ada tempat lain yang harus dikunjungi Jisung.
"Bangun." Dengan kunci motor di tangan kanan, Taeyong menarik Jisung lagi, melanjutkan niatnya yang tertunda. Suaranya yang berat mengumumkan sebuah keputusan final, "Kita ke kantor polisi sekarang."
Wajah Jisung yang sudah pucat semakin memucat. Rona merah meninggalkan wajah itu, digantikan garis-garis kepanikan. "Kak, nggak usah! Aku yang salah karena nggak hati-hati. Lukanya nggak parah, nanti juga sembuh!"
Ya ya ya, berbohong saja terus.
Taeyong tidak peduli. Silahkan saja Jisung menjelaskan perihal jatuh uniknya dan para polisi akan menilai apakah cerita itu masuk akal. Taeyong tak percaya ia tidak pernah memikirkan ini. Kantor polisi : jalan pintas yang harusnya ia pikirkan sejak lama! Kasus penyiksaan anak akan jadi topik hangat di televisi.
Ia membuka pintu, membiarkannya sistemnya mengunci otomatis.
Koridor yang lengang menyambut mereka. Lampu yang sudah dimatikan menggantung tak berguna, memberi kesempatan pada kegelapan yang belum puas berkeliaran. Bayang-bayang kenop pintu tercetak di karpet usang lantai 9. Samar, suara dengung lift yang mulai beroperasi menyapa telinga Taeyong dan ia bergegas ke sana.
"Kak一" Lengan Jisung berputar di cengkeraman Taeyong, mencoba melepaskan diri. Tapi melawan seseorang dalam keadaan sehat saja tidak bisa, ia benar-benar tidak berdaya. Usahanya sia-sia. "Jangan ke kantor polisi. Mau ngelaporin siapa?"
"Mama kamu yang sinting itu," tukas Taeyong lantang, menyuarakan dugaan yang ada dipikiran. "Kalo ada yang mukul kamu, lawan! Tanganmu nggak ada gunanya? Apa karena orang tua jadi kamu diem aja?" Pemuda Lee itu berdecak. "Jangan goblok, Jisung."
"Bukan Mama." Suara Jisung terdengar putus asa, lemah dan parau. "Aku yang salah. Udah dibilang aku yang salah!"
Kedua kali, Taeyong membisu lagi. Kakinya yang gelisah mengetuk-ngetuk lantai. Matanya mengawasi angka yang tercantum di panel samping lift.
Ayo, ayo, ayo!
Kepalanya penuh dengan berbagai kata. Ia melatih percakapan yang akan ia sampaikan di depan polisi. Merangkainya dari awal ia bertemu Jisung di koridor, juga penjelasan bahwa Asa depresi dan butuh di rehab karena kecanduannya terhadap alkohol. Dia kacau, wanita berambut pendek itu. Dia harus di obati sebelum menularkan kekacauannya pada Jisung.
Lalu ia akan menelpon Irene, meski ini bukan jenis kasus yang biasa pengacara itu tangani. Kakaknya pasti setuju kalau tahu. Ia kenal Jisung, dan Irene paling tidak tahan melihat anak-anak menderita.
Kemudian...
Lamunan Taeyong terputus.
Lift berhenti satu lantai di bawahnya, tertahan lama di sana. Jalan keluar yang Taeyong tunggu itu tersendat, tidak memahami betapa mendesaknya moment ini.
Mereka terlambat.
Sebuah suara lembut, bagai belaian sayap-sayap burung, lebih dulu hadir mendahului lift dan memanggil, "Jisung?"
Shin yang sampai kini tidak Taeyong ketahui marganya, berjalan menyusuri karpet. Sangat kalem dari nada suaranya. Mendengarnya, akan membuat orang berpikir bahwa pemiliknya merupakan orang yang baik dan lembut juga.
Tapi benarkah demikian?
"Jisung?" Pintu di ketuk. Satu, tiga, dan lima. Tidak keras, santai. "Taeyong, ada Jisung nggak? Taeyong?"
Yang dipanggil namanya menekan tombol lift berkali-kali, sepelan mungkin. Taeyong mengira dia akan meledak karena kemarahan. Yang benar saja. Apa yang dilakukan orang lantai 8? Kenapa apartemen sebesar ini hanya punya satu lift?
Keparat.
Tidak memperoleh jawaban, Taeyong harap Shin akan berputar balik ke unitnya, menyingkir ke tempat suram gelap itu. Tapi Shin rupanya keras kepala. Dia berjalan lebih jauh, mencari, dan一sudah tentu一memergoki Taeyong yang melayangkan pukulan terakhir dan yang paling keras ke tombol lift.
Nyala oranye tombol itu seakan menertawakannya.
Sudut bibir Shin tertarik ke atas, melengkung membentuk senyum. Ini seperti pengulangan masa lalu, tapi dengan posisi yang berbeda. "Kalian mau ke mana? Jisung daritadi dicariin. Ayo, masuk. Mamamu mau dibeliin sesuatu."
Dan sama seperti tempo hari, Jisung mengangguk tanpa ragu. Berniat langsung menghampiri Shin kalau saja Taeyong melepas bahunya.
Mau tidak mau, Taeyong menoleh juga ke pria rumput liar tersebut. "Enak banget ya jadi Asa. Butuh pembantu tinggal nyuruh anak. Kalo udah kelar ditinggal di koridor tengah malem. Nggak boleh masuk kecuali butuh jasa pembantu lagi. Pinter, suruh aja bikin anak yang banyak."
Jisung berpaling dengan mata membelalak.
Reaksi Shin lebih terkontrol, senyumnya tidak luntur. "Kamu ngomong apa? Wajar orang tua minta tolong ke anaknya. Bukan berarti itu jadiin mereka pembantu."
Taeyong mendengus, sengaja tertawa mengejek. Melepaskan bahu Jisung sejenak, dia berpindah memutar tubuh anak itu, menyingkap pakaian di punggungnya. "Kalo kayak gini masih dibilang wajar?"
Ekspresi terperangah Shin terlihat tulus. Dia kelihatan sungguh-sungguh terkejut ditunjukkan deretan luka itu, yang di bawah cahaya remang-remang tampak semakin mengerikan. Rasa tidak percaya melintas di sepasang matanya, di susul mulut yang terbuka akibat terpana.
Shin menarik Jisung mendekat, memeriksa lebih teliti. Kening berkerut dalam, bibir meringis. Dia berkedip beberapa kali, perlu menyentuh salah satu luka untuk memastikan mereka nyata. "Jisung, ini kok bisa luka semua? Hei, kenapa ini? Taeyong, dia ngomong apa sama kamu?"
Seandainya saja.
Taeyong menggeleng muram, berharap Jisung benar-benar bicara padanya一selain pidato konyol bahwa dialah yang salah, seolah dia mengira layak diperlakukan begitu. Tapi Jisung diam. Tak ada yang berhasil di korek darinya, barang sekecil apapun. "Kamu pura-pura nggak tahu apa emang nggak tahu?" Tanpa bisa dicegah Taeyong teringat Winwin dan sekilas menoleh ke tempat tinggal laki-laki itu yang tertutup. Cahaya menyusup dari celah pintunya, tapi tidak ada pergerakan maupun suara. "Siapa lagi kalau bukan Asa? Udahlah Shin, nggak usah ngelindungin orang gila. Dia pantes dilaporin ke polisi."
"Polisi?" Shin mengulang bagai tidak pernah mendengar kata itu. Lengan Jisung ia remas erat, membuatnya tidak berkutik. "Kenapa harus sejauh itu? Apa ada bukti Asa yang ngelakuin ini?"
Jari telunjuk Taeyong teracung, menuding Jisung di wajahnya. "Tanya aja. Atau mikir dikit, mana mungkin luka itu karena jatuh?"
Sesaat, Shin hanya memandangnya tanpa bicara. Matanya hitam pekat. Bukan kecokelatan, tapi gelap seperti aspal atau langit dikala badai. Ungkapan bahwa mata merupakan cerminan jiwa tidak berlaku padanya. Milik Shin tidak mengungkap apa-apa kecuali kegelapan. Rahasianya terkunci aman di sana, tersembunyi.
Shin ini siapa? Dia pelaku atau pelindung? Dia baik atau tidak? Apa perannya di sini?
Taeyong mendapati dirinya keheranan, tapi jawabannya sulit ia dapatkan. Lift terbuka dan tertutup lagi di belakangnya, tak satupun dari mereka bergerak.
Alih-alih, Shin menoleh pada bocah tinggi yang jadi terkesan mungil di sebelahnya. "Bener itu? Asa yang mukul kamu?"
Tidak tahu karena Shin dekat dengannya atau faktor ketegasan, Jisung mendongak tanpa perlu ditanya 2 kali, dan...
... berkata 'tidak' lewat gestur kepalanya. "Bukan. Bukan dia."
"Terus siapa?"
Poni Jisung yang dibasahi keringat meluncur jatuh menutupi matanya, menyembunyikan sorotnya dari Taeyong. "Temen aku yang iseng. Bukan Mama."
Taeyong tercengang, merasa baru saja di tonjok. Merasa dipermainkan oleh seorang anak yang ingin ia tolong, mengorbankan resiko teguran dari supervisor-nya. "Jisung, tapi tadi kamu bilang一"
Namun apapun yang hendak ia suarakan, harus ia telan kembali, karena Shin menyela, menepis kata-katanya tak ubahnya mengusir seekor lalat. "Kamu denger sendiri. Dia punya masalah sama temennya, bukan ibunya. Jangan sembarangan nuduh Asa. Lee Taeyong, kamu tahu hukuman buat orang yang asal tuduh tanpa bukti?"
Kasus pencemaran nama baik. Kurungan minimal 3 bulan jika terdakwa tidak bisa membuktikan tuduhannya. Dapat meningkat jadi 9 bulan, tergantung hakim. Dan denda. Taeyong lupa berapa persisnya, atau pasal berapa yang mengatur ketentuan itu, tapi ia paham. Tumbuh besar bersama seseorang yang terobsesi jadi pengacara membuatnya sering menonton berita dan acara hukum.
Ia mengerti, tapi saking marahnya tidak bisa membalas ucapan Shin. Amarah bangkit dalam dirinya, berubah liar dan panas, membakar semua kepedulian yang ia rasakan pada Jisung.
Anak itu...
Beraninya.
Tapi percuma. Tatapan tajam Taeyong bak menabrak dinding. Jisung masih menunduk, terlepas apakah dia merasakan tatapan Taeyong atau tidak.
Atau perasaan bersalah.
"Lain kali," Shin menasehati, dengan lembut, tanpa meninggikan intonasi. Tapi celaan dalam suaranya amat kental, sejelas benak Taeyong yang berbisik ia akan terlambat bila tidak segera berangkat. "Jangan sok tahu. Mungkin pegawai hotel cuma bisa jadi pegawai hotel. Jangan mimpi buat jadi pahlawan. Jisung juga nggak butuh bantuanmu. Iya kan, Jisung?"
Hanya ragu-ragu sekian detik, Jisung mengangguk.
Shin menepuk kepalanya seakan ia hewan peliharaan yang pintar, yang mematuhi perintahnya dan menariknya pergi. 2 kalimat terakhir darinya menjadi sebuah tangan raksasa yang merenggut harga diri Taeyong, merobeknya habis-habisan. "Semoga kamu nggak dapet surat peringatan karena alasan konyol ikut campur urusan orang. Pagi, Lee Taeyong."
Setelah itu bersama Jisung, dia berbalik dan lenyap, meninggalkan Taeyong yang dibekap senyap.
Ruangan itu gelap.
Kegelapan merentangkan tangannya kemana-mana; dinding, langit-langit, dan seluruh benda yang ada di sana. Di sini, kegelapan berkuasa. Ibunya memberi akses pada mereka sebab ia tak suka cahaya. Katanya, cahaya menggangu. Katanya, cahaya itu menyilaukan dan menyakiti matanya.
Mata Jisung sendiri butuh waktu untuk menyesuaikan dengan penurunan intensitas cahaya itu. Berapa kali, atau berapa lama pun, ia belum terbiasa. Ia tidak suka gelap dan ia rasa takkan pernah.
Sebaliknya, Shin tidak keberatan. Dia sudah lama menetap sehingga bisa mencari jalan tanpa kesulitan. Menggantikan tempat ayah, dia tidak banyak melakukan perubahan, kecuali untuk beberapa hal yang sebenarnya patut diperhatikan.
Ibu ternyata ada di dapur一yang untungnya cukup terang一sedang minum melalui gelas bening berukuran kecil. Bentuk gelas, aroma menyengat memuakkan, ditambah faktor kebiasaan, memberitahu Jisung bahwa itu alkohol. Belakangan ini, ibunya sering mabuk, seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Sudah berbulan-bulan. Alkohol itu ibarat penyakit yang enggan pergi. Kadang, justru dialah yang membawa ibunya pergi, menuju dunia dimana ibu tidak mengenali siapa-siapa.
Mata tidak fokus wanita itu menatap Jisung saat ia masuk bersama Shin, tanda awal dia mulai terseret menjauh seumpama sehelai daun di tengah gempuran angin kencang. Tapi setidaknya, dia sadar. Cukup sadar untuk mengajukan pertanyaan bernada menuduh, yang ia simpulkan dari raut wajah Shin yang kesal. "Kamu bikin masalah lagi?"
Mula-mula, Shin tidak menjawab. Dia meraih gelas lain dan minum alkohol dari sana. Tak ada perintah duduk, jadi Jisung tetap berdiri di dekatnya. "Dia ngadu, bilang aneh-aneh ke Taeyong一yang tinggal di 95."
Jisung serta-merta menyanggah, merasa perlu membetulkan anggapannya salah. "Aku nggak ngadu! Aku nggak cerita apa-apa!"
Namun detik berikutnya, dia dipaksa diam.
Telapak tangan Shin terangkat dan bergerak cepat, menampar pipi kanannya tanpa ampun. Tidak bisa menghindar, Jisung merasakan tubuhnya terhuyung dan oleng ke samping. Hilang keseimbangan berpadu dengan gravitasi, menariknya ke lantai yang dingin. Kepalanya terbentur, keras. Ada rasa pahit yang terkecap, berasal dari bagian dalam pipinya.
Rasa pusing menguasai. Nyeri hebat memperparah situasi.
Belum selesai.
Tidak sempat sekedar mengerang, sebuah tendangan mendarat di dadanya. Terasa hingga ke tulang. Dada itu di injak begitu kuat. Napasnya di curi, keluar dengan lenguhan menyakitkan.
Shin mendesis, "Siapa yang nyuruh kamu ngomong?"
Kok gua ngerasa ini alay 😭 Gua bikinnya bukan bayangin alur malah mikirin serial Kingdom, jadi agak ngawur *halah* tapi karena drama adalah jalan ninjaku maklumi sj ya kawan2 ¯\_(ツ)_/¯
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top