11. Luka
Bulan itu datang dengan sendirinya, tidak terburu-buru, tidak memaksa. Ia tahu apapun yang dilakukan sang mentari, tidak akan bisa mencegahnya merebut takhtanya, dan memberi perbedaan pada dunia.
Hasrat dan gairah tersembunyi para penghuni bumi bangkit bersamanya, memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang biasanya mereka sembunyikan, bahkan pada diri sendiri. Sinar keperakannya mengubah tempat yang di siang hari terlihat menyenangkan menjadi tempat yang akan membuatmu waspada, mengingatkan manusia mengapa sejak dulu, mereka takut pada kegelapan
Untungnya, jalan yang dilewati Taeyong cukup terang berkat bantuan lampu-lampu yang terpasang. Menyerupai pantat kunang-kunang raksasa, mereka memperjelas toko dan beberapa rumah penduduk yang berbaris di sepanjang rute yang ia tuju.
Terima kasih, pemerintah Seoul.
Taeyong tidak sendiri; ia jelas bukan satu-satunya orang yang kelaparan setelah bekerja dan terlalu malas memasak. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda seperti dirinya, yang sudah mandiri tapi masih tidak punya pendamping.
Dengan wajah lelah, mereka memenuhi cafe dan warung tenda, hingga penuh sesak, tidak menyisakan ruang. Terpaksa dan karena tidak mau berdesak-desakan, Taeyong memutar arah ke minimarket, berniat mengganjal perutnya menggunakan makanan instan.
Pegawai laki-laki yang tempo hari menyaksikan insiden kecilnya dengan si pemabuk sinting, berdiri di balik meja kasir. Taeyong belum lupa, dan dari tatapannya, laki-laki itu juga masih mengingatnya.
Kebal terhadap tatapan semacam itu, Taeyong melangkah santai ke rak bagian ramen, memilih 1 di antara banyak varian. Matanya menelusuri tiap merk, mencari favoritnya.
Tahu-tahu, seseorang muncul, berdiri di sebelahnya, menimbulkan bayangan yang menutupi kemasan-kemasan ramen. Sebuah tangan panjang terjulur, meraih sebungkus bubur instan, di susul 1 suara yang menyapa, "Taeyong?"
Taeyong berkedip. Ekspresi kagetnya sudah terpasang sebelum ia menoleh. Ia mengenali pemilik suara itu, yang terlampau lembut untuk ukuran tubuhnya yang mirip Titan. Rasanya tidak berlebihan di sebut harimau yang mengeong, Shin tersenyum lebar dan familiar seakan mereka teman akrab. Sampai saat ini, kelembutan suaranya masih mengejutkan.
Tapi Taeyong membalasnya sopan. "Shin? Ngapain di sini?"
"Kerja," jawab pria yang membuat Taeyong merasa seperti kurcaci itu, tapi dengan tambahan, "Aku manajernya. Sekalian," dia mengguncang buburnya pelan, dan mengambil 2 lagi. "Beli ini buat Jisung. Dia sakit, makanya nggak keluar belakangan ini."
"Gitu ya?" Hanya itu respon Taeyong, memproses 3 informasi sekaligus; pekerjaan Shin, kepeduliannya pada Jisung, dan fakta bahwa anak itu sakit yang menjawab pertanyaannya. Ingatan Taeyong mundur ke 3 hari yang lalu, ketika melihat Jisung menerobos hujan. Mungkin, itulah penyebabnya.
Akhirnya menemukan apa yang ia cari, Taeyong melangkah ke kasir sebelum tergoda membeli snack yang tidak ia butuhkan. Shin mengikuti, belanjanya di hitung lebih dulu. Si kasir membungkus bubur-bubur itu dengan cekatan, mereka bicara sejenak. Tentang pulang tidak terlalu malam dan nasehat untuk berhati-hati. Basa-basi. Tapi Taeyong perhatikan, pegawai itu tampak rileks, yang membuat ia menduga mereka sudah sering bercakap-cakap begitu.
Bos yang baik rupanya.
Langkah kaki Shin berjalan sejajar di samping Taeyong. Plastiknya bergemerisik pelan, tumpang tindih dengan bunyi kendaraan, sehingga saat ia kembali membuka percakapan, Taeyong hampir tidak mendengarnya. "Kata cowok tadi kamu pernah nolongin Jisung waktu dia diganggu orang? Bener?"
Sebuah mobil sedan putih melintas. Ban mobilnya menggilas jalan, memercikkan genangan air yang tidak berhasil mengenai Taeyong, ketika ia menoleh pada Shin, dengan mata yang dipicingkan. "Kejadiannya udah lama."
Tiap kata ia ucapkan hati-hati. Sepasang indra penglihatannya setia mengamati. Semua kalimat yang keluar dari Shin ia resapi, mencari sesuatu yang ia sendiri tidak begitu yakini.
Apa? Tanda bahwa ia jahat? Moment ia marah-marah dan mengekspos dirinya yang asli? Taeyong tidak tahu. Untuk itulah dia terus mengawasi.
"Makasih, ya." Sepasang mata Shin menyipit manakala ia tersenyum lagi. Namun tidak seperti Jisung, rambutnya lebih rapi dan tidak melewati batas leher. "Jisung cerita kalo kamu baik banget ke dia. Dia seneng. Daridulu penasaran gimana rasanya punya saudara, tapi dia anak tunggal sih."
Shin tertawa, Taeyong mengikutinya dengan canggung. Mereka terus berjalan melewati pos Hyuk, memencet tombol lift. Tapi karena benda itu masih berada di atas, mereka jadi harus menunggu. "Yang nggak baik malah ibunya kan? Si Asa itu."
"Asa?" Bingung menggolongkan ucapan Taeyong sebagai candaan atau bukan, Shin mengerutkan kening. Sinar lampu di atasnya memberi efek bagus di tulang pipinya yang tinggi, membuat Taeyong heran pada dirinya sendiri; bagaimana bisa ia tak menyadari kalau Shin dan Jisung tidak memiliki hubungan darah? Perbedaan mereka amat mencolok. "Kamu udah ketemu dia? Kapan? Kok bisa?"
Lagi, Taeyong bersandar di titik yang sama saat ia bicara dengan Winwin, menyimpan kekesalannya karena Shin menggunakan nada suara yang sama seperti yang ia pakai pada Jisung. Bos tetaplah bos, di beberapa kesempatan, perangai itu tidak hilang dari Shin. Menambahkan catatan kecil tentang pria itu di hatinya, Taeyong menulis, nggak sabaran, suka ngedesek orang. "Waktu dia ngelempar Jisung pake botol soju. Tanya aja kapan tepatnya一itu pun kalo dia inget kelakuannya pas dia mabuk."
Tidak ada balasan dari Shin.
Mendadak ada sesuatu yang menarik di sepatunya, dia menunduk, bahkan saat memasuki lift yang mengurung mereka layaknya ring tinju. Otak bekerja, alasan di pilah. Taeyong hampir bisa mendengar syaraf-syaraf Shin yang saling bereaksi.
Semakin tinggi mereka naik, Taeyong merasakan dorongan frustrasi. Satu dua misteri memang asyik, tapi terlalu banyak justru menjadi pengusik.
Kalau Winwin tidak bisa dijadikan narasumber, Shin juga, lantas pada siapa lagi ia bertanya?
Karpet koridor? Bohlam lampu redup di lantai 9? Tetangga lain yang tidak kalah aneh?
Ini menyusahkan saja.
Taeyong memutar-mutar plastik berisi ramen di tangannya, menyadari ia tidak punya banyak pilihan. 2 nama sudah di coret, tinggal 1 yang tersisa; Jisung sendiri. "Shin, nanti suruh Jisung ke rumah, ya? Bilang aku perlu bajuku yang dia pinjem. Mau di pake ke rumah temen."
Alasan yang payah, itu jelas. Tapi karena tidak punya nomor ponsel Jisung, hanya itu yang terpikirkan.
Lift kembali terbuka, Taeyong berjalan keluar tanpa mengharapkan apa-apa lagi. Pasrah, istilahnya.
Tapi saat itulah, takdir berbaik hati memberinya petunjuk, yang menambah seru drama keluarga ini. "Taeyong, bentar. Kayaknya ada salah paham antara kamu sama Asa. Sebentar."
Shin menyusul, menghentikan tangan Taeyong yang hendak mengetik password barunya, berupa tanggal ia resmi jadi staf di hotel. "Salah paham?"
Shin mengangguk. Sejenak menatap ke arah kanan dan kiri, yang masih saja sepi. "Aku biasanya nggak ngomongin ini sama orang-orang, tapi Asa itu, dia agak depresi setelah cerai sama Ayahnya Jisung."
Bibir Taeyong terkatup, menahan nama Jinwoo yang hampir ia keluarkan. Nanti saja, ia ingin Shin menebak-nebak seberapa banyak yang ia tahu. Menjaga kedudukan mereka tetap seimbang.
"Dia lari ke alkohol," Shin meneruskan. "Minum terus. Kamu tahu gimana orang yang mabuk. Mereka jadi..."
"Ngawur? Goblok? Tolol?" Taeyong membantu, sedikit bercanda. Padahal kata yang sebenarnya ingin ia ucapkan adalah, gila, mengingat tindakan Asa terbilang berbahaya.
Wajah Shin tidak berubah; masih datar, tidak tergoyahkan candaan itu. Otot di lengannya bertonjolan saat ia melipat tangan di depan dada. "Terserah kamu nyebutnya apa, tapi ya, semacam itu. Asa pasti lagi sedih pas kalian ketemu. Tolong jangan mikir macem-macem soal dia. Orang depresi butuh dukungan, bukan gunjingan. Bisa kita jadiin ini rahasia?"
Dia tidak mengancam, tidak pula menatap tajam. Sebaliknya, Shin berkata halus, menyerupai permohonan. Ada cinta di sana, dalam caranya menyebut Asa, yang tanpa banyak usaha sudah terlihat.
Wajah serius Shin menegaskan dia tidak khawatir pada dirinya, tapi pada Asa. Rumor itu kejam. Gosip itu sulit dikendalikan. Dengan 1 kartu di tangannya, Taeyong tahu bahwa sesungguhnya ia memiliki sesuatu yang berguna; rahasia Asa, yang dapat ia gunakan kapan saja.
Kalau penyewa lain sampai mendengar permasalahan ini, kira-kira apa yang akan terjadi?
Taeyong tersenyum, senang rasanya memiliki kendali meski sedikit. "Suruh Jisung balikin bajuku besok."
Lantas ia mengetik password secara kilat dan masuk tanpa menjawab pertanyaan Shin. Di situasi lain, ia bisa saja tersentuh. Cinta adalah cinta一tapi tak semuanya membuat ia terharu. Cinta antara ibu dan anak jauh lebih penting, tapi Asa tidak menunjukkannya.
Nah, itu baru lucu.
Kamis pagi di hari yang mendung, Taeyong tidak bisa tidur.
Ia bangun sebelum alarm ponselnya menjerit, saat-saat langka ketika ia bisa mematikan benda itu tanpa mengumpat lebih dulu. Barisan jam yang normalnya ia setel 5 kali dengan jeda 10 menit, kini mati, sementara TV di ruang duduk hidup untuk menemaninya.
Mata tidak berkompromi, kantuk enggan menghampiri. Menyaingi ayam, Taeyong menduga ia akan menyesali ini nanti. Tapi tidur sore setelah menyantap ramen telah mengusir habis keinginannya menyelam ke alam mimpi.
1 kakinya di angkat ke atas lutut, tangannya ia pakai jadi penyangga dagu. Dengan pose itu benaknya mengembara; membuat kepalanya ibarat gelas yang di isi terlalu penuh. Kekhawatiran memenuhi setiap selnya layaknya racun.
Apa gunanya? Ia terheran-heran, masih tersangkut di pertanyaan yang sama namun jawabannya belum ia dapat. Saat diajak Irene melihat Ahyeon pertama kali, tak pernah terlintas sama sekali bahwa apartemen ini seperti labirin yang membingungkan. Dia terjebak, tak ubahnya lalat di sarang laba-laba. Semakin bergerak semakin tok tok一
Tok tok?
He? Apanya? Si pemuda Lee yang wajahnya di sinari cahaya dari tayangan TV yang tidak ia tonton itu mengernyit. Sejenak mengira dirinya berkhayal. Tapi kali kedua terdengar lagi, ia sadar ada yang mengetuk pintu.
Tamu pada pukul 05.18?
Kaki malas Taeyong berdiri. Mata suntuk dan bibir memberengutnya kompak menyajikan ekspresi perpaduan antara kesal, heran, dan benci.
Mana yang lebih mendominasi, Taeyong tidak tahu. Ia juga tidak tahu harus bereaksi apa saat mendapati Jisung-lah yang berdiri di depan pintunya, membawa sepasang baju yang ia pinjamkan, beraroma khas pelembut pakaian.
Mari beri Shin nilai 100 karena menyampaikan pesannya.
Taeyong membuka pintu lebih lebar, mengedikkan dagunya ke dalam. "Masuk. Ngapain bangun pagi-pagi? Begadang?"
Anak yang lagi-lagi memakai kaus lengan panjang itu melangkah goyah. Wajahnya sepucat kertas buku yang baru keluar dari pabrik. Jarinya menyusuri dinding, untuk tujuan yang Taeyong dapat pastikan bukan memeriksa catnya.
Dia sakit. Kemarin, Taeyong tidak ambil pusing saat Shin melaporkan itu, tapi setelah melihatnya langsung, daftar hal yang ia khawatirkan bertambah. Kian bertumpuk malah.
"Takut Kak Taeyong berangkat kerja," ujar Jisung akhirnya, mendaratkan diri di kursi meja makan. Setetes keringat seakan jarak pintu dan dapur adalah 10 mil meluncur di kening, turun ke pipi dan dagu.
Hal itu tidak lolos dari pengamatan Taeyong, meski ia sudah dalam perjalanan ke kamar guna meletakkan pakaiannya di lemari. "Kemaren di kasih bubur sama Shin?"
Dari kamar, suara Jisung yang pelan nyaris tidak kedengaran, tapi keragu-raguannya mampu menembus dinding dan mengirimkan sinyal ke telinga Taeyong. "Bubur?" Hening sejenak, kemudian, "Iya..."
Kepalang tanggung, Taeyong pikir, sekalian saja ia berganti pakaian kerja, karena sebentar lagi sudah saatnya berangkat. Tiba-tiba ia merindukan hotel, dimana masalah terbesar di sana hanya kamar yang terlalu banyak, bukan anak-anak yang berkonflik dengan keluarganya. Setidaknya, itu jauh lebih sederhana dan ia tahu cara menanganinya.
Bekerja, akan membuat Taeyong sibuk, lupa sementara semua beban pikirannya. Tidak cuma tubuh, otaknya juga butuh istirahat. Ia memasang kancing kemejanya semakin cepat.
"Udah ke dokter nggak?"
Jisung tidak menjawab. Keheningan menyelubungi rumah seakan ia sendirian.
Keluar lagi dengan rambut rapi dan parfum yang melekat di tubuh, Taeyong mendapati anak itu menyandarkan kepalanya di atas meja. Poninya yang butuh secepatnya di potong menutupi mata terpejamnya seperti tirai.
Lengan Taeyong bersedekap. Lidahnya mengeluarkan suara decakan. "Hei, hei." Diguncangnya bahu Jisung keras, membangunkannya paksa. "Jangan meninggal di sini. Udah ke dokter belom?"
Bukan berarti, Taeyong punya waktu untuk mengantarnya. Dia harus berada di hotel sebelum pukul 7, dan dia tidak tahu di mana letak rumah sakit terdekat. Tercipta dengan sistem imun yang kuat, ia biasanya cukup menelan obat murah di apotek kalau sakit.
Perlahan, Jisung membuka matanya. Dia terlihat semakin mengenaskan. Sudah kurus, sekedar mengangkat kepala saja kesulitan. Tulang di pergelangan tangannya menonjol dengan cara yang tidak sehat. Dia menggeleng. "Nggak apa-apa."
Taeyong mengabaikan kebohongan itu. Dia sibuk memilah-milah kenalan di Ahyeon yang bisa ia mintai tolong. Sejauh ini, tidak banyak yang ia kenal. Proses adaptasinya berjalan lancar tapi temannnya masih bisa dihitung jari.
Dohyun si tukang gosip, Hyuk yang ramah, atau ... Winwin yang mengaku dirinya pengangguran一entah itu benar atau tidak?
Mungkin, dia mau mengantar Jisung ke rumah sakit. Membantu tetangga yang membutuhkan. Itu pasti tidak akan lama. Lagipula, terlepas dari sikap misteriusnya, Winwin terlihat baik.
Layak di coba.
Taeyong menunduk, meraba dahi Jisung. Tangannya yang tidak berpengalaman merawat orang sakit memeriksa suhunya. Panas. Tak ada bedanya dengan menyentuh oven yang menyala. Dia butuh dokter.
Berjaga-jaga Winwin tidak memiliki kendaraan, Taeyong mengambil kunci motornya, lalu berusaha menarik Jisung berdiri. "Bangun, ke dokter dulu. Ngerepotin terus kamu kerjaannya."
"Kak一" Tidak sanggup berdiri, Jisung hampir jatuh karena tarikan mendadak itu. Dia menolak, mencoba melepaskan diri menggunakan sisa-sisa tenaganya. "Nggak usah."
Jam terus berdetik. Kesabaran si pemilik rumah terus berkurang. Capek dan kesal, Taeyong beralih mencengkeram kerah leher kaus Jisung, tidak peduli apakah itu menyakitinya.
"Ayo, Jisung! Nurut sekali aja bisa nggak, bego?!"
Otomatis, bagian bawah kaus itu pun tersingkap, menampakkan kulit di punggung Jisung.
Dan sesuatu yang lain...
... sederet luka mengerikan tertoreh di sana, seperti karya seni terburuk orang gila.
Suara Taeyong tercekat. "Jisung, itu kenapa?"
SILAHKAN CEK TRAILERNYA DI PROLOG YA KAWAND2
Itu abis dibikin orang dan menurut gua cantik banget, potret Asa itu passss 😭😭 Dan kek biasanya, ada spoiler di sana 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top