10. 2 Jenis Ibu

Lee Yena一itu namanya. Nama wanita itu. Nama ibunya.

Orang bilang, anak harus menghormati orang tua, sebab sampai kapanpun, kita takkan bisa membalas jasa mereka. Tanpa mereka, kita tidak ada. Berkat mereka, kita hidup.

Tapi karena Taeyong tidak ingat apakah ia pernah minta dilahirkan, sulit rasanya mensyukuri itu. Dibawa ke dunia ini, menjalani hari demi hari, berada di luar kendalinya. Seandainya punya kuasa atas semua hal yang terjadi, dapat mendesain ulang takdirnya, Taeyong pasti meminta diberikan ke keluarga lain.

Ia tidak punya masalah dengan Irene. Kakaknya menyebalkan tapi Taeyong tetap menyayanginya. Lain halnya dengan sang ibu; alasan rasa sayang itu sudah lama tidak ada.

Menghela napas berat, Taeyong melepas jaket. Benaknya ingin menyangkal kenyataan bahwa mereka punya hubungan darah, tapi gen yang mengikat keduanya tidak bisa berbohong; ketika tersenyum, garis rahang dan bentuk bibir ibunya sangat mirip dengannya, yang semakin membuat Taeyong enggan membalas senyumnya.

"Tahu dari mana aku pindah ke sini?"

Bahkan di telinganya sendiri, dia terdengar ketus dan menyebalkan, tapi ia tidak berniat meralatnya.

Yena, sama mungilnya dengan Irene一yang memberi mereka gen pendek一berbalik sejenak untuk mematikan kompor. Beberapa peralatan masak berceceran di wastafel dan sekitarnya, tapi ia tidak peduli. Taeyong sudah terbiasa; ibunya tak pernah membereskan kekacauan yang ia buat. "Kenapa sih tanya gitu, Nak? Kan wajar ada ibu yang ngunjungin anaknya."

"Nak", dia bilang? Menggunakan nada penuh sayang? Taeyong tidak dapat menyembunyikan wajah muak. Ibunya terlambat 10 tahun untuk menunjukkan itu. "Siapa yang ngasih tahu? Terus gimana caranya bisa masuk?"

Yena tertawa. Bila tujuannya adalah memancing amarah putranya, dia jelas sudah berhasil. Orang paling tidak peka pun pasti menyadari betapa Taeyong malas bicara, tapi Yena berpura-pura atau sudah terlalu sinting dan tidak mengerti. "Tetangga lama kamu. Ada untungnya punya muka mirip anak kan? Mereka percaya aja pas Mama ngaku orang tua kalian. Dan soal password, gampang." Dia menjentikkan jari. "Mama nggak lupa tanggal lahir kamu kok, Taeyongie."

Ya Tuhan, lempar saja Taeyong ke area 51 dan biarkan ia di makan para alien.

Menghadapi ibunya yang otaknya tersisa separuh benar-benar butuh tenaga ekstra, dan sialnya, Taeyong tidak memilikinya. Bekerja, berurusan dengan Winwin dan Jisung, sudah menguras habis hal itu. Dia capek. "Keluar. Jangan sembarangan masuk properti orang. Dendanya banyak."

"Kata siapa? Irene?" Ekspresi Yena berubah merengut, menyebut anak tertua sekaligus yang paling mirip dengannya. "Apa kabar dia sekarang? Mama udah ke kantornya tapi dia sok sibuk!"

Taeyong diam saja, tidak mau membuang-buang napasnya yang berharga. Hidup ini singkat, tapi ibunya malah membuat detik-detik hidupnya terbuang percuma. Kalau punya smartwatch seperti Winwin, Taeyong berani taruhan denyut nadinya sudah tidak karuan, persis seperti masa remajanya.

"Keluar." Ia mengulang, berkata melalui sela gigi yang terkatup geram. "Tahu arah pintunya kan?"

Pusing, Taeyong menyeret kakinya duduk di kursi, menyangga kepala dan memijatnya. Bagian tubuh yang satu itu berdenyut nyeri, berhadapan dengan orang yang ia benci.

Tapi Yena malah duduk di seberangnya, menyodorkan semangkuk kalguksu yang tidak lagi membuat perut Taeyong bergemuruh一setelah tahu siapa yang meraciknya. "Makan. Kamu pasti laper. Kenapa kamu masih kerja di hotel? Apa yang bikin kamu betah?"

Tatapan jijik ibunya bergerak menyusuri tubuhnya, berhenti lama di logo hotel yang terpampang di saku, dan mengernyit terang-terangan. "Hotel itu gajinya dikit. Mending kamu ikut Mama, kerja di tempat temen. Terus-terusan jadi room boy ntar kamu miskin kayak Ayah kamu. Emang ada cewek yang mau?"

Ada, Taeyong meyakini, sekuat keyakinannya bahwa siapapun yang berkata orang tua harus di hormati, pasti berubah pikiran kalau tahu sikap ibunya. Pernyataan itu hanya berlaku bagi orang yang mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dengan baik, Yena tidak termasuk.

Harus ia akui, gajinya memang kalah dibanding pria yang berangkat kerja memakai dasi, tapi gaji itu membuatnya mampu berdiri di atas kakinya, tinggal di rumah yang nyaman, dan mencegahnya kelaparan. Tak kalah penting, Taeyong bahagia. Ia kenal setiap sudut hotel. Orang-orang dari departemen lain menyapanya kalau mereka bertemu. Ada Doyoung yang tengil, Taeil yang suka 'membagikan' makanan, Wendy yang manis, dan supervisor yang baik. Taeyong merasa lengkap.

Tujuan hidup ini, jika bukan bahagia, lantas apalagi?

Tidak terima profesi dan ayahnya一ayahnya yang baik dan jauh lebih efisien mengemban tugas sebagai orang tua daripada sang ibu一Taeyong menatapnya tajam, berharap kebenciannya memiliki semacam kekuatan magis yang bisa mentransfer wanita itu menjauh, kemana saja asal tidak berada di rumahnya. "Butuh uang berapa? Nanti aku kirim."

Ia kelewatan, ia tahu itu.

Hanya setengah terkejut, Taeyong memejamkan mata saat bentakan ibunya mengisi ruangan, mendengar tanpa melihat Yena menggebrak meja keras-keras. "Nggak sopan! Kamu kira Mama dateng cuma mau minta uang? Kamu kira Mama serendah itu? Jaga omongan kamu, Lee Taeyong!"

Tertawa. Taeyong tidak kapok, justru menuang bensin ke api, memberi lebih banyak bahan bakar yang mengobarkan kemarahan ibunya dengan tawa.

Matanya terbuka lagi. Dia memandang ke samping, ke salah satu rak yang terbuka, memperlihatkan bungkus makanan Ruby. "Dulu ... ada anak cowok sama cewek yang ditinggal Ayahnya waktu masih kecil. Umurnya 13 sama 17. Sehari-harinya mereka biasa aja, nggak kaya, rumahnya sederhana, tapi abis si Ayah meninggal," Taeyong mengepalkan tangan. "Hidup mereka jadi berantakan."

Bagai terhipnotis, Yena duduk tenang menyimak rangkaian kata dari Taeyong. Mempersembahkan moment langka ketika ia bersedia bungkam dan berhenti berceloteh.

Maka Taeyong melanjutkan, "Ibu mereka ogah kerja, jadi dia cari cowok-cowok yang mau biayain dia. Bosen hidup miskin katanya." Lagi, tawa tanpa rasa humor keluar dari sepasang bibir Taeyong. Punggungnya membungkuk menahan geli. "Dia sering pergi. Kadang berhari-hari, seminggu, dan pernah 2 minggu. Nggak mikir anak-anaknya makan apa, sekolah gimana, atau listrik udah di bayar apa belum."

Yena langsung membantah, rupanya tidak sanggup diam terlalu lama, "Waktu itu kalian bisa cari uang sendiri! Kalian udah mandiri, itu bagus kan?"

"Dikira kerja sambil sekolah enak?" Taeyong mengetuk-ngetuk dahinya dengan jari telunjuk, merasakan darahnya seakan mendidih, tidak habis pikir dengan tingkah wanita yang melahirkannya itu. "Tulang rasanya mau lepas semua. Rasanya mau mampus. Tapi kalo nggak kerja, ya nggak makan. Ibu yang ngebiarin anaknya kayak gitu apa masih pantes dianggep orang tua?"

Untuk pertama kalinya, Taeyong bersyukur ia memilih unit yang kedap suara. Rupanya selain berfungsi meredam gonggongan Ruby, fasilitas itu juga bisa digunakan untuk menjaga perdebatan dengan ibunya agar tak sampai terdengar tetangga. Siapa yang mengira?

Jangankan berhadapan, berjumpa dengan Yena saja ia tidak mau. Bagi Taeyong, satu-satunya keluarganya yang tersisa adalah Irene. Yena tidak ada. Yena sudah meninggal.

Itulah alasan ia bekerja saat seharusnya sibuk bermain. Alasan ia dan Irene merayakan tahun baru dalam kondisi lapar di rumah yang gelap karena tidak punya uang membeli makanan atau membayar listrik. Mereka hanya mengandalkan satu sama lain. Tanpa dukungan orang tua, menghadapi dunia dan segala rintangannya berdua.

Masih segar di ingatan Taeyong saat ia melihat Irene diam-diam menangis, memeluk foto ayah mereka yang pergi terlalu cepat karena kecelakaan kerja. Ia ingat dirinya yang dimarahi guru sebab tertidur di kelas. Teman-temannya berhenti mengajaknya bermain, karena mereka tahu ia akan merespon dengan penolakan dan bergegas ke tempat kerja. Kala itu, ia merasa dunia tidak adil. Ia marah. Mengutuk takdir dan protes pada sang pembuatnya.

Tapi akhirnya, ia hanya bisa menerima.

Semakin lama, Taeyong berhenti mengharapkan ibunya, atau orang lain yang secara ajaib mau menolongnya. Ia belajar dewasa, menerima fakta bahwa ia di abaikan.

Sama seperti ... Jisung.

Semua rasa sakit dan kesepiannya, tidak bisa di hapus dengan sepatah kata maaf. Itu ibarat menempelkan plester di kaca yang sudah hancur lebur; motifnya mungkin bagus, tapi tidak berarti banyak apalagi berguna. Kemudian, Taeyong sadar; ibunya belum minta maaf setelah membuang ia dan Irene, baru muncul saat kakaknya terkenal dan ia punya pekerjaan yang pantas.

Betapa lucunya.

Tidak tahu harus tertawa atau berteriak atau justru melakukan keduanya, Taeyong berdiri, memungut sendok kotor yang tergeletak di lantai dan meletakkannya di tempat cuci piring agar tidak perlu menatap ibunya. "Pergi sana, aku nggak butuh apa-apa dari Mama."

"Tapi, Taeyong一"

"Pergi." Taeyong menekankan kata itu dengan begitu kuat hingga seakan orang yang telinganya bermasalah pun dapat mendengarnya. Biasanya, ia tidak kasar terhadap wanita, apalagi membentak mereka一bahkan pada tamu-tamu yang paling menjengkelkan一tapi ibunya, dia layak dijadikan pengecualian. "Aku bisa nelepon polisi kalo aku mau."

Demi semakin meyakinkan, Taeyong benar-benar mengeluarkan ponselnya dari saku, menekan bagian samping ponsel itu. Layar menyala. Nomor polisi siap di ketik.

"Ngelaporin ibu sendiri?" Intonasi suara Yena meninggi, tanda ia hendak mengeluarkan bakatnya yang terhebat; marah-marah. "Kamu ini anak macam apa? Mama jauh-jauh ke sini dan kamu malah ngusir? Kamu lupa dulu Mama sempet mau ngasih uang buat kuliah Irene? Mama peduli sama kalian, Taeyong!"

Balasan Taeyong muncul dalam bentuk kekehan, yang sebagian di sebabkan oleh gagasan gila menyatukan ibunya dan Asa一mereka akan sangat cocok, meski menurut Taeyong, Asa lebih gila. Tapi soal mengomel, mereka jelas tiada duanya. Sangat terampil dan mahir. "Jangan bercanda. Dikira aku nggak tahu kalo Mama mau jadiin Irene semacem investasi? Mama udah ngira dia bakalan sukses, jadi nanti bisa di mintain uang pas kehabisan. Iya kan?"

Pipi Yena merona merah terang. Kata-kata sahutannya tersendat-sendat. "Y-ya nggaklah! Kamu kenapa mikir negatif terus sih?"

Berniat menjawab bahwa itu adalah warisan darinya, Taeyong mengurungkan, karena itu pasti akan memperpanjang percakapan ini. Ia memilih mengibaskan tangan, menyalakan keran dan meminggirkan ponselnya. "Jangan dateng lagi."

Sedikitpun, Taeyong tidak merasa bersalah saat Yena menghentakkan kaki melampiaskan kekesalannya. Menoleh saja tidak, ia membiarkan Yena pergi, diiringi kibasan mantel mahalnya yang entah pemberian pria tolol mana. Bunyi bantingan pintu menjadi kenang-kenangan terakhir darinya一Taeyong harap, untuk selamanya, bukan cuma hari ini.

Ia mengusap keringat di alis, terus mencuci piring. Sesekali melirik kuah kalguksu di kompor yang rencananya akan ia beri ke Ruby dan beberapa tetangga.

Yena itu mata duitan. Tidak pantas jadi ibu. Tidak bertanggung jawab. Egois. Kalau diminta menulis daftar sikap buruknya, Taeyong bisa membuat buku yang lebih tebal dari seluruh artikel Wikipedia yang disatukan. Tapi manusia itu seimbang; Yena juga punya kebaikan dan sisi positif. Selain cantik, dia pandai memasak, dan...

Gerakan tangan Taeyong terhenti. Ia tertegun, baru sadar bahwa selama ini, Yena tidak pernah memukulnya atau Irene. Ia adalah tipe yang lebih suka mengoceh panjang lebar daripada sekedar menjewer anaknya.

Berbeda dengan Asa yang walaupun tidak melakukannya langsung, tapi pernah terpergok melempari Jisung dengan botol.

Menjeda kegiatannya, Taeyong melangkah ke mesin pengering. Di sana, di antara pakaiannya, terdapat celana biru gelap dan jaket abu-abu milik Jisung. Ia penasaran apakah bocah itu sudah pulang. Haruskan ia mengecek keadaannya memakai alasan pakaian itu?

Tidak. Ini sudah malam. Besok saja. Lagipula tadi Jisung terlihat baik dan sehat.

Sayang, keesokan harinya, Taeyong tidak melihat Jisung di koridor, lift, atau di taman. Pintu rumahnya dan rumah Winwin kompak tertutup rapat, tanpa suara. Shin juga tidak ada.

Taeyong mencoba tidak khawatir, santai, tapi ketika Jisung tetap tidak menampakkan batang hidungnya di hari kedua, ia mau tidak mau berpikir ada yang tidak beres.

Sesuatu sedang terjadi.

Akhirnya setelah sekian lama

Perut kiyowo ty keliatan juga di mv bruce lee

Gua mau tumpengan dulu ya, dadah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top