09. Markas Orang Aneh
Winwin.
Apa yang Taeyong ketahui tentang dia? Winwin misterius, penuh rahasia. Dari luar dia terlihat polos, tapi para pelaku kejahatan tidak harus berwajah sangar. Ada banyak bunga cantik yang beracun. Ada hewan-hewan menggemaskan yang ternyata berbahaya.
Tidak usah jauh-jauh, lihat saja rusa besar.
Sang herbivora soliter yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 2,1 m. Dengan tanduk fantastis yang terentang lebar layaknya mahkota, orang-orang pasti setuju mereka hewan yang luar biasa. Lihat bulu-bulu kecokelatannya yang sewarna daun musim gugur, kau akan terpesona! Perhatikan hidungnya yang lucu, mata kecilnya, dan kaki-kakinya yang lincah. Dia manis!
Namun, tampilan luar itu sering kali membuat orang lupa bahwa rusa bisa jadi sangat agresif bila merasa terancam. Tanduk indah yang kau puji sanggup menusuk perutmu sampai organ-organmu terburai. Ketajamannya seumpama pisau, dapat membunuh. Sebuah situs yang Taeyong baca bahkan mengatakan jika kematian manusia akibat rusa jauh lebih banyak dibanding beruang, menunjukkan betapa berbahayanya mereka.
Jangan mudah percaya pada siapapun, tidak pula pada orang yang tampak sangat polos.
Lidah tidak bertulang. Penampilan bisa menipu. Tapi, layakkah Winwin menerima kecurigaan ini? Kalau di rinci, sebenarnya Taeyong tidak punya cukup alasan mencurigainya. Ya, dia misterius. Muncul pagi-pagi meminta air panas, tidak banyak memberi informasi, lalu kenapa? Tidak semua orang bersikap terbuka一itu normal.
Meski begitu, kengototannya untuk tidak bicara mengenai Asa patut dipertanyakan.
Taeyong melirik Dohyun, orang yang juga baru ia kenal, yang merupakan kebalikan dari Winwin. Dia banyak bicara, dia suka menjadi sorotan. Perhatian penuh Taeyong membuatnya tersenyum lebar.
"Nggak tahu kebetulan atau bukan nih, lantai 9 itu cocok disebut markasnya orang-orang aneh. Kayaknya Bu Ahyeon sengaja ngumpulin penyewa yang kelihatannya bermasalah di sana. Tahu nggak kalo orang di 94 itu mantan narapidana?" Dohyun menyeringai, menikmati keterkejutan Taeyong. "Kasus copet. 99 malah lebih parah, katanya dia pemake narkoba. Ada juga si Asa, pecandu alkohol. Terus Winwin, yang asal-usul sama kerjanya nggak jelas. Rumornya dia anak orang kaya manja yang tiap bulan dapet kiriman, atau pengangguran yang terlibat bisnis gelap gitu. Macem-macem pokoknya!"
Dohyun tertawa, mengibaskan tangan, tetap bicara dengan intonasi normal, tidak peduli curah hujan sudah menipis dan orang lain bisa mendengarnya.
Baginya, ini pasti hal biasa; membicarakan orang lain saat orang itu tidak ada. Taeyong tentu akan menganggapnya menyebalkan jika saja dia bukan informan yang memberinya titik terang.
Namun, dongeng singkat Dohyun disela oleh Hyuk, si satpam yang menyikutnya keras-keras dan membentuk gestur agar ia diam. "Hey, udah, udah! Winwin itu anak baik, dia mana mungkin ngelakuin hal-hal aneh. Itu cuma gosip. Wajar kan orang punya rahasia?"
Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya lewat mulut, Taeyong mengangguk. Sebagai orang yang juga memiliki rahasia tentang keluarganya, ia setuju. Apa yang terjadi di rumah, di masa lalu, selalu berusaha ia jaga agar tidak ada orang yang tahu. Sedikit banyak, itu bisa menjelaskan sikap Winwin, meski konteks mereka berbeda.
"Wajar sih. Aku udah kenalan sama Winwin," Dohyun membelalakkan mata mendengarnya, seakan fakta Winwin punya teman baru setara dengan skandal presiden. "Dia ngaku kenal Jisung, tapi nggak mau ngomongin Asa."
Lagi-lagi, Hyuk membela Winwin, dengan cara dan sikap yang mengingatkan Taeyong pada Irene ketika semasa kecil, ia mengadu ada anak nakal yang mengerjainya. "Winwin nggak suka ngegosip kayak dia, maklum aja, Taeyong."
Tidak mau kalah sekaligus pantang mundur, Dohyun melepaskan lengan Hyuk yang mencekiknya main-main, lantas menegakkan tubuh. "Mau nggak suka ngegosip, mau dia anak baik, tetep aja nggak ngehapus fakta kalo Winwin itu aneh. Nama aslinya aja nggak ada yang tahu!"
"Nama asli...?" Taeyong menatap Dohyun dengan mulut setengah ternganga, bingung harus lebih terperangah karena apa; ucapan pria itu, atau sesosok tubuh yang keluar dari apartemen dan menghampiri mereka.
Langkah sosok itu semakin cepat saat menerobos hujan yang tersisa rintik-rintik. Tangannya membentuk payung seadanya di atas kepala, yang tidak efektif melindungi kemeja putih dan celana hitam yang ia pakai.
Hitam dan putih, ia mendekat membawa aroma hujan dan wajah khas orang bangun tidur. Rambutnya rebah ke 1 sisi yang Taeyong kira ia jadikan tumpuan ketika terlelap.
"Hyuk." Dengan alis mengernyit, air yang menetes di dahinya, dia menyapa. "Shower rusak. Nggak bisa mandi."
Winwin.
Laki-laki itu tersenyum. Hati-hati, mengibaskan rambut agar air yang ada di sana jatuh. "Baru pulang, ge?" Matanya menyipit, membaca logo di bagian saku seragam si tetangga. "Kerja di NEO, ya? Lumayan deket."
Tapi sebelum Taeyong menyahut, Dohyun bersedekap, dan mendahului, "Ganggu aja, Win. Hyuk lagi nonton bola, nggak bisa nunggu? Lagian shower-mu rusak terus nggak masalah. Kan," dia terkekeh, "Kamu keluarnya sebulan sekali."
"Dohyun." Hyuk mendesis memperingatkan, tidak cukup keras untuk bisa disebut kasar, namun cukup tegas untuk menunjukkan dia serius. "Diem."
Di saat yang bersamaan, Winwin keburu membalas, "Mending tutup itu mulut, suaramu nggak enak di denger."
Perubahan ekspresinya mengejutkan Taeyong. Sejak awal pertemuan mereka, ia menilai Winwin tipe laki-laki manis yang pasti jadi murid teladan dan kesayangan guru-guru di sekolah. Tampang pembuat masalah, pencari keributan, sama sekali tak ada dalam dirinya. Winwin lebih terlihat seperti orang yang akan membantu lansia menyebrang tanpa di minta.
Tapi kini; dia berdiri mengintimidasi, memanfaatkan tinggi badannya. Mencela lewat tatapan. Menantang. Kemarahannya yang meletup-letup membuktikan bahwa laki-laki tetaplah laki-laki, yang tak mesti menjadikan kelembutan sebagai solusi.
Melihat kemungkinan situasi memburuk, Taeyong bangkit memposisikan dirinya jadi penengah. Postur yang lebih pendek tidak menghalanginya mendorong Winwin, kembali ke arah ia datang. "Jangan diterusin, ayo balik."
Dohyun si pemantik konflik tertawa一pelan, tapi sarat ejekan. Suara komentator terdengar lagi kala ia menyalakan ponsel, berlagak serius menatap benda pipih itu. Jam tangannya memantulkan cahaya lampu. "Hadeh, ada-ada aja orang lantai 9."
Menyusul Taeyong dan Winwin, Hyuk memukul kepala Dohyun menggunakan kotak berukuran sedang yang ia cari-cari. "Berantem mulu, kapan akurnya kalian?"
Jawaban pertanyaan itu sepertinya tidak mungkin, diwakilkan oleh ucapan singkat Winwin yang begitu menusuk. "Ngapain akur sama orang sok jagoan yang makek jam tangan mati kayak dia?" Pemuda di samping Taeyong gantian terkekeh. "Kalah sama pengangguran?"
Sengaja menggaruk hidung, Winwin dengan mulus memamerkan sebuah smartwatch berlogo Apple yang warnanya merupakan perpaduan antara hitam dominan dan emas; dengan kilau yang mustahil dihasilkan emas palsu. Layarnya menyala, namun hujan tidak mengusiknya. Selain tampilan standar jam, alat itu juga menampilkan pemantau denyut nadi dan kompas, lengkap beserta ikon telepon. Maskulin dan mewah. Modernitas berdenyut keras dalam setiap gerakan jarumnya yang berbentuk mirip anak panah.
Semudah itu, Winwin membalikkan keadaan, melenyapkan ocehan Dohyun. Menanggung malu dan amarah, wajahnya memerah. Mulutnya terkunci.
Dia membisu saat Winwin berbalik, dibarengi Taeyong yang susah payah menahan tawa dan Hyuk yang mendadak terserang batuk-batuk hebat.
"Jangan dengerin." Winwin mendengus, menggunakan nada mencela seolah mereka tengah membahas barang tidak penting yang namanya saja, enggan ia sebut. "Bacot doang dia bisanya. Ngomong apa aja dia tadi?"
Pria yang paling tua, Hyuk, memencet tombol lift, bersandar di dinding sembari menunggu dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Taeyong ikut bersandar, tapi di bagian dinding yang berbeda. Mengambil kesempatan untuk balas membuat Winwin penasaran, ia mengangkat bahu. "Kamu sama keluarganya Jisung. Cuma itu."
Nyaris seketika, Winwin menoleh, tak ubahnya rusa yang mendengar gemerisik kehadiran predator. 9, 8, 7, lift turun dengan lancar dan cepat, di detik-detik saat ia berusaha mencerna ucapan Taeyong. "Jisung? Ngapain kalian gosipin dia?"
"Taeyong nanya tentang Jinwoo." Hyuk menyambar. Karpet meredam suara kakinya yang mengetuk-ngetuk lantai, hingga hanya hujan yang menyusup di tengah-tengah mereka. "Kamu punya fotonya kan, Win? Pas perayaan tahun baru kemaren."
Tidak mengangguk tidak pula menggeleng, Winwin terdiam. Bukan rusa, rupanya ia lebih cocok disebut kura-kura, yang akan bersembunyi ke rumahnya, membawa rahasia apapun yang tak ingin ia umbar.
Ting!
Lift akhirnya sampai, memuntahkan sepasang muda-mudi yang saling menempel bagai sudah di lem permanen. Keduanya melewati Taeyong dan Winwin, memberi Hyuk tempat untuk masuk.
"Hey, jangan bengong. Mau naik tangga darurat, ha?"
Namun baik Taeyong atau Winwin tidak bereaksi. Seinci pun, mereka tak bergerak. Si pemilik smartwatch justru mengusir Hyuk tanpa memandangnya, karena ia fokus ke Taeyong. "Duluan, nanti aku nyusul."
Atmosfer yang sempat mencair tiba-tiba memburuk lagi. Kecanggungan mengisi udara di sekitar mereka, menyatu dengan oksigen yang terhirup. Mata saling menatap, menyorotkan rasa tidak mengerti di satu pihak, dan desakan di pihak lain.
Sadar tidak dapat melakukan apapun, Hyuk memilih patuh. Dan menggerutu, tepatnya. "Dasar anak muda."
Mereka ditinggalkan; 2 laki-laki yang tinggal di lantai yang sama tapi perbedaannya sejelas warna hitam dan putih pakaian Winwin.
Dia mengawasi sekitar, memastikan tidak ada yang menguping, dan bertanya, "Kenapa penasaran sama mereka, ge? Jisung bilang sesuatu?"
Memaksakan diri tersenyum, Taeyong memasukkan tangannya ke saku jaket, menahan dingin. "Emang dia harus bilang sesuatu?"
Mata Winwin terpejam sebentar. Menggigit bibir pasti salah satu kebiasaannya bila dilanda gugup. "Jisung ... Jisung kadang punya masalah, tapi lebih baik nggak usah ikut-ikutan. Pura-pura aja nggak tahu."
"Pura-pura?!" Taeyong mengulang tidak mengerti, merasa marah tanpa sebab yang pasti. Amarah itu ibarat air yang volumenya meninggi, dipicu tiap kata yang Winwin jalin. Terus menggelegak, bertambah, mengendalikan lidahnya untuk membentak Winwin sebelum ia bisa mencegahnya. "Jadi kalo ada anak-anak yang dipukulin orang tuanya kita harus pura-pura nggak lihat? Dengan alasan nggak mau ikut campur urusan rumah tangga orang, gitu?"
"Wah..." Taeyong berdecak, heran dan ngeri. "Kalo semua orang kayak kamu Win, UNICEF nggak bakalan ada."
Yang disebut namanya berkedip一amat lambat. Tampak seolah habis di tampar. Itu, baik secara nyata atau sekedar melalui kata, rupanya berefek sama. Merenggut kemampuannya bicara, mengikis keangkuhannya.
Tanpa sikap garang ditambah ekspresi tercengang, Winwin tampak seperti laki-laki ramah yang Taeyong temui di hari ke-4 dia pindah. Namun saat itu, mana Winwin yang asli, mana Winwin yang memakai topeng一ia tidak punya gagasan apalagi bisa membedakan.
Bahkan kata-katanya yang menyangkal, tidak jelas apakah sungguh-sungguh atau refleks membela diri. "Bentar, bentar, jangan salah paham dulu. Aku bukan orang jahatnya di sini, masalah keluarganya dia ribet. Jisung itu一"
Untuk kedua kali, lift terbuka, menyela dan memotong.
Apapun yang sedikit lagi hendak Winwin ungkap terpaksa di tunda, ditenggelamkan bunyi denting lift yang rasanya terlampau nyaring. Sepasang pintu bajanya bergeser, di depan Taeyong yang kehabisan kesabaran dan Winwin yang entah menyesal atau lega.
Mereka kompak menoleh.
Nyatanya, pelaku yang menginterupsi mereka tak lain dan tak bukan adalah orang yang tengah mereka bicarakan. Berdiri sendirian di bagian tengah lift, Jisung menatap keduanya bolak-balik, membuat penghuni unit 95 dan 97 itu gelagapan.
Winwin seketika bungkam.
Taeyong mengacak-acak rambutnya.
Tapi usai puas menatap, Jisung malah langsung keluar, mendongak ke langit yang masih menyisakan hujan walaupun tidak sederas tadi.
Sebelum terlambat, Taeyong bertanya, "Mau kemana?"
Dan jawaban Jisung di dahului senyum. Tangannya mengangkat sebuah map tebal yang telah dilapisi plastik. "Disuruh nganter barangnya Shin."
"Hujan-hujan gini?" Winwin mengerutkan kening tidak setuju.
Jisung mengangguk. Tidak menunggu komentar mereka selanjutnya dan cepat-cepat menerobos hujan sambil menarik tudung jaketnya menutupi kepala.
Dia pergi, lebih mementingkan map daripada tubuhnya. Langkah-langkah panjangnya membawa dia menjauh dan semakin jauh. Genangan air di lubang tempat parkir Ahyeon terciprat ke segala arah akibat kakinya yang ceroboh.
Sesaat, Taeyong dan Winwin mengawasi kepergiannya. Dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, yang tidak mereka suarakan keras-keras.
Taeyong menjadi orang pertama yang pulih. Dia memutar badan, masuk ke lift tanpa repot-repot mengajak Winwin.
"Kamu,"
Dia meninju tombol yang perlahan-lahan menutup pintu.
"Pasti cuma diem aja ya, kalo ada temenmu yang di bully?"
Winwin tidak menjawab一dia tidak punya kesempatan. Taeyong yang tidak mau mendengarnya menghilang menuju lantai yang katanya menjadi markas orang-orang aneh.
Berengsek.
Taeyong menggumamkan kata itu berulang-ulang dalam hati, marah pada Winwin, Jisung dan一terutama一dirinya sendiri yang terlalu peduli.
Barangkali, sikap baik tidak selamanya menguntungkan. Tengok saja dia sekarang; memusingkan masalah orang lain, bertengkar dengan tetangganya. Akan lebih mudah, kalau ia menuruti saran Winwin. Lebih ekstrim lagi, pindah apartemen dan melupakan semuanya.
Pertanyaannya, bisakah ia?
Belum dicoba, tapi Taeyong merasa ia sudah tahu jawabannya dan tidak menyukainya. Selain itu, sayang uangnya yang terlanjur membayar sewa 3 bulan ke depan!
Taeyong menggeleng, membuka pintu unitnya. Alih-alih Ruby, ia justru disambut oleh aroma masakan yang menggugah perutnya. Ada yang berbau harum. Ada suara berisik yang berasal dari dapur.
Irene?
Mencari tahu penyebab suara itu, Taeyong melangkah ke sumbernya, hanya untuk mengetahui dugaannya salah一salah besar.
Seorang wanita paruh baya yang bisa dengan mudah disangka kakaknya Irene berbalik, tersenyum secemerlang model iklan pasta gigi. "Halo, Taeyongie!" Dia menyapa; ringan dan ceria. "Kangen sama Mama nggak?"
Gua bingung sebenernya ini cerita tentang Jisung apa Taeyong 😂 Tapi biar adil besok bahas Taeyong dulu. Winwin belakangan, makanya di prolog nama dia dikasih tanda tanya, karena itu salah satu misterinya *hilih apaansi*
Winwin be like :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top