07. Sosok Ayah
Kalau mau mencari gadis cantik, Taeyong pasti akan mendekati Ha Na, si primadona dari accounting yang selalu memakai lipstick merah darah. Kalau mau mencari gadis populer, Hyo Jung si asisten manajer adalah solusinya. Kalau mau mencari gadis dengan perawakan bak model, maka dia tinggal meminta nomor Yoo Hyeon, sang kepala departemen spa.
Kang Seulgi bukanlah perpaduan sempurna dari mereka, tapi dia berbeda.
Seulgi yang bangga pada mata monolidnya, yang sering duduk dengan gaya laki-laki dan tidak malu makan banyak di sampingnya saat istirahat makan siang, berhasil menarik Taeyong dengan keunikannya.
Dia ibarat crayon oranye di antara kumpulan crayon pink; mencolok, punya ciri khas, indah dengan caranya sendiri. Tambahan lagi, dia punya selera humor yang bagus.
Setelah menertawakan Taeyong yang tercengang mendengar pertanyaannya, Seulgi bergabung bersama Jisung, mendengarkan penjelasan si pemilik rumah bahwa Jisung bukan anaknya. Dan ya, orang di foto yang ada di bawah jam juga bukan istrinya. Taeyong itu single! Atau menurut kakaknya tercinta, jomblo karatan.
"Jadi dia tetangga kamu?" Begitu Seulgi memastikan, melirik Jisung. "Kirain beneran anak, udah cocok di panggil ayah soalnya."
Taeyong memberengut. Salah paham di bagian ini dapat berakibat buruk. Bisa-bisa nilai pasarnya turun nanti. "Nggak mirip kok. Ini bawa apa?"
Pengalihan topik berhasil. Seulgi membuka kotak yang ia bawa, seperti seseorang yang perlahan-lahan membongkar peti harta karun. Bau sesuatu yang familiar menguar dari sana, menggugah perut Taeyong yang belum sepenuhnya kenyang. Ketika terbuka, kimbap menyambut mereka bertiga, tersusun rapi dan cantik, berbentuk bulat yang Seulgi angkat dan meletakkannya di depan mata, menjadi kacamata.
"Tara! Kimbap buatan chef Seulgi nih, sekali-kali makan makanan yang sehat, jangan ayam terus!"
Sindiran itu membuat Taeyong tertawa. Ia tahu kemana arah pembicaraan tersebut, menyinggung penyedia makanan hotel yang kelewat sering menyajikan ayam. Sampai bosan rasanya. Tapi saat di singgung, para chef di sana malah hanya mengganti cara memasaknya, bukan menunya. Tak heran, para pegawai kadang memilih makan di luar demi merasakan sedikit variasi.
"Mau nggak?" Seulgi menawarkan, mencondongkan kotaknya pada Jisung. "Ambil aja, makan."
Tak perlu di minta 2 kali, Jisung menjepit 1 kimbap dengan chopstick, lantas memasukkannya ke mulut. Beberapa detik mengunyah dan menelan, dia tersenyum, mengapresiasi dengan kata pujian yang singkat. "Enak."
Wajah Seulgi berseri-seri. Dia berpaling ke arah Taeyong, mempersilahkan dia mencoba juga. Tawaran itu tidak mungkin di tolak. Rasanya Seulgi bisa meminta bulan dan Taeyong takkan sanggup berkata tidak. Ekspresi yang lucu, suaranya yang merdu, merupakan perpaduan yang melemahkan dan imut.
Dia mengambil alih chopstick, sengaja berlama-lama menelan agar Seulgi penasaran. Matanya yang berbinar-binar seakan memiliki ribuan bintang manakala ia menatap Taeyong menanti pujian. "Gimana, gimana? Enak kan?"
"Hmm..." Berlagak bagai juri di sebuah kontes memasak, Taeyong mencoba 1 lagi, mengecap makanan itu dengan seksama. "Lumayanlah."
Senyuman Seulgi kontan saja menghilang, ditelan kekecewaan yang gagal ia sembunyikan. "Cuma lumayan?"
Taeyong meneruskan, "Lumayan bikin mau pingsan."
Titik-titik merah terang merambati pipi Seulgi, menjalar ke cuping telinga, menghadirkan senyum lebar yang seolah takkan pudar. Si gadis ayu memukul pundak Taeyong untuk menutupi gengsi, tak ingin itu di ketahui. "Idih, apasih lebay!"
Jisung yang setia berperan sebagai penonton tertawa一akhirnya tampak ceria juga. Menyaksikan 2 orang dewasa di depannya bertingkah konyol telah mengusir wajah murungnya, menjadikan ia remaja normal yang menonton kakaknya melakukan pendekatan.
Taeyong si jomblo, ditertawakan remaja 17 tahun di rumahnya.
Dari bawah meja, ia menendang kaki Jisung, melotot samar pada bocah itu. Tapi tak serta-merta langsung menghilangkan tawanya. Dasar anak nakal!
Dia berdiri, memberi tanda supaya Seulgi mengikuti. Berpikir tetap di tempatnya akan membuat ia sungkan, Taeyong menunjuk pintu dengan jari telunjuknya yang gugup dan suara yang ia harap tidak memperlihatkan kegugupan tersebut. "Mau jalan-jalan ke taman? Di sini ada anak kecil nggak enak."
Refleks, Seulgi melirik Jisung, terkekeh geli mendapatinya pura-pura tidak mengerti. Ia tak dapat menahan gemas. Sebelum bangkit, ia mengelus kepala Jisung, lantas meraih tasnya yang tergeletak di kursi samping. "Nggak apa-apa kan ditinggal?"
Pertanyaan ramahnya adalah kebalikan dari peringatan Taeyong yang mengarahkan 2 jari ke matanya dan ke mata Jisung, membentuk gestur yang berkata, 'aku mengawasimu'. "Awas, jangan dihabisin kimbap-nya. Jangan berantem sama Ruby, jangan bikin rumah berantakan, jangan mecahin barang, jangan一"
"Berisik, TY!" Seulgi melotot, sengaja menyikut Taeyong keras-keras. Keduanya pergi, menutup pintu meninggalkan Jisung sendiri.
Taeyong dan Seulgi melangkah menuju lift, saling tersenyum salah tingkah. Semesta sedang berkomplot sekarang; menyediakan ruang bagi mereka untuk saling mengenal lebih dalam. Tak ada yang mengganggu atau tetangga yang menggoda membuat malu.
Taman juga sepi. Sepasang pria dan wanita yang tidak tahu harus bicara apa tapi cukup senang dengan kehadiran satu sama lain itu duduk di ayunan, menyaksikan salju menghujani Seoul dengan warna putih. Tempat duduk mereka berderit pelan, angin yang berhembus mengacak-acak rambut mereka hingga berantakan.
Memberanikan diri, Taeyong menyelipkan rambut Seulgi ke belakang telinganya. Kakinya menjejak tanah, ingin menghentikan laju ayunan sekaligus waktu, agar moment ini tak pernah berlalu.
Seulgi membuka percakapan, "Kakak kamu kerja apa?"
Dan bahu Taeyong yang terangkat mengawali jawabannya. "Pengacara, tapi kerjaan sampingannya bikin aku naik darah. Ngeselin dia."
Saat Seulgi tertawa, pemandangan indah pun tersaji. Menggetarkan hati Taeyong, membungkusnya dengan kehangatan yang menyaingi hawa dingin di sekeliling mereka. "Kakak itu emang nyebelin banget. Aku juga punya kakak cowok, masa pas aku tidur di lempar kaos kaki olahraga. Sesek napas jadinya."
"Gas beracun, ya?"
"Lebih bahaya dari metana!"
Mereka tergelak. Rupanya hanya butuh satu topik ringan untuk mengikis kecanggungan. Pembicaraan mengalir selancar air yang turun dari tempat yang tinggi, berpindah dari satu topik ke topik lain.
Taeyong jadi tahu bahwa Seulgi menyukai Pringles, punya 2 kucing bernama Lulu dan Lala, serta bisa bermain gitar (gadis itu mengakuinya dengan wajah malu-malu yang menggemaskan). Dia dibuat tertawa saat Seulgi menirukan suara Pikachu, karena sangat mirip. Seulgi menyebutnya, bakat terpendam.
Detik demi detik berlalu, berubah jadi menit, dan一tanpa terasa一beralih ke kata jam. Menakjubkan bagaimana waktu cepat sekali berlalu ketika kau bersama orang yang kau suka. Dunia seakan tak berarti. Kantuk dan kebosanan tak bisa mengusik.
Tapi mau tak mau, Seulgi harus pulang.
Joongyi-dong jauh dari sini, dan Taeyong tidak mau Seulgi mengemudi malam-malam. Dia mengantarnya sampai ke tempat parkir, berjanji akan menemuinya besok. Dengan janji tambahan makan siang bersama pukul 12.30, mereka berpisah.
Semua masalah terbuang, Taeyong kembali ke unitnya dengan hati tenang dan diiringi senyum mengembang. Dia sangat sangat senang!
Kesenangan itu, pasti berlanjut, pasti berlangsung lama seandainya ia tidak melihat Shin yang tengah berbicara dengan Hyuk. Kepala mereka berdekatan.
Shin, alisnya berkerut dan bibirnya mengerucut kesal, bertanya pada sang satpam, "Ngelihat Jisung? Tuh anak keluyuran terus, bikin repot aja!"
Nada yang ia gunakan saat berbicara dengan Taeyong berbeda; lebih kasar, tegas, tanpa setetes pun keramahan.
Shin yang ini, terkesan lain.
Hyuk menggaruk kepalanya, menoleh kesana-kemari mencari keberadaan orang yang mereka maksud. Tatapannya bertubrukan dengan Taeyong dan ia tersenyum. "Coba tanya Taeyong. Mungkin dia tahu? Hei, Taeyong!"
Tapi Taeyong tidak menggubris. Jarak mereka memberinya alasan untuk tidak berhenti. Ia tidak mendengarnya一itu wajar. Ia tak punya kewajiban menjawab pertanyaan siapapun.
Tetap saja, Shin membuntutinya menggunakan mata, membuatnya tidak nyaman.
Ia jadi berpikir, terlalu banyak orang aneh dalam 1 apartemen. Taeyong takut lama-lama ia akan jadi salah satunya.
Taeyong bergidik, lekas masuk ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Jisung rupanya sedang duduk bersila di kursinya, bermain lempar daging kimbap dengan Ruby. Anjing itu jelas gembira memperoleh teman baru, dilihat dari ekornya yang mengibas-ngibas.
Tidak ingin tapi harus, Taeyong terpaksa merusak acara main-main mereka, "Tadi dicariin Shin."
Punggung Jisung seketika menegang. Tangannya menggantung kaku di udara. Nyaris menjungkirbalikkan kursi, dia berdiri, hendak melesat ke pintu bagai pegawai yang terancam di pecat jika tidak segera menghadap bos.
Namun, Taeyong menghalangi dengan mencengkeram kerah kemejanya dari belakang. "Duduk. Kenapa takut? Kalo nggak nurut sama Shin dimarahin? Atau..." Sengaja, Taeyong melirik kaki kiri Jisung yang sudah bisa berjalan normal. "Kram"nya pasti mulai sembuh. "Di pukul?"
Rasanya malas sekali bertanya macam-macam seperti ini. Taeyong tidak suka banyak bicara一kecuali di sekitar orang yang akrab dengannya. Tapi ia sangat penasaran dan capek menebak-nebak. Taeyong harap, bertanya secara frontal akan melahirkan sebuah jawaban, dan menariknya dari kebingungan.
Apapun asal ia tidak lagi menjadi orang yang tidak tahu apa-apa. Semua orang termasuk Winwin, tampaknya punya rahasia dan ia tidak suka itu.
Jisung menggeleng. "Shin baik. Dia yang bayarin apartemen sama sekolah. Makan juga dari uangnya dia, soalnya Mama nggak kerja."
Sebelah alis Taeyong terangkat, bertanya-tanya apakah Jisung sadar bahwa ia tidak benar-benar menjawab pertanyaannya. Jawaban itu melenceng, tidak fokus. Masih tidak memecahkan teka-teki tentang sosok Shin yang asli. "Gitu? Jadi dia ayah tiri yang baik banget, ya? Pantes kalian deket."
Kalimat sarkastik tersebut membungkam Jisung. Bayangan saat anak itu bersembunyi dari Shin masih melekat di otak Taeyong, menjadi pemicu awal kecurigaannya. Bagi Taeyong, hubungan mereka ganjil. Tidak ada tanda-tanda kasih sayang. Indikasi "baik" yang dimaksud Jisung pun tidak terlihat, apalagi mengingat ia sering kelaparan.
Taeyong mengubah topik. "Ayah kandung kamu di mana?"
Termangu memandangi deretan kimbap yang tersisa banyak, sorot mata Jisung meredup. Sikap diamnya kembali menguji kesabaran Taeyong. Namun tepat saat Taeyong akan mendesak lebih jauh, dia mendongak. Satu kata sederhana meluncur keluar dari bibirnya. "Jauh."
Jelas saja, Taeyong tidak mengerti. Kebiasaan Jisung yang sering menjawab berbelit-belit tidak akan bisa ia terima. "Jauh gimana? Dia nggak mau ngurus kamu?"
"Bukan, bukan." Jisung cepat-cepat meralat, khawatir Taeyong salah paham. "Ayah sibuk. Kerjanya di bidang konstruksi, sering lembur. Jadi dia bilang aku di sini aja, karena percuma ikut dia. Bakal sepi."
Ah, perceraian.
Itu bukanlah sesuatu yang pernah dikecap Taeyong dan semoga takkan pernah. Dalam kasusnya, ayahnya meninggal, dan ibunya yang tidak bertanggung jawab bertingkah seenaknya. Tapi一sedihnya一karena perceraian adalah sesuatu yang cukup umum, dia tahu apa saja dampaknya.
Taeyong sudah menyaksikan temannya yang berubah murung setelah orang tuanya resmi berpisah. Nilai mereka turun. Kehidupan mereka kacau. Di akhir pekan, mereka harus memilih mendatangi ayah atau ibu, tidak bisa dua-duanya.
Ada pula yang tetap tersenyum, bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa dan mereka baik-baik saja. Mulut mereka berkata, nggak masalah kok. Tapi mata mereka mengungkap hal sebaliknya.
Perceraian adalah cara terburuk untuk merusak anak, merobek mereka, menorehkankan luka.
Korban paling tersakiti dari perceraian tak lain adalah anak. Bukan pihak istri atau suami.
Taeyong menghembuskan napas panjang. "Nggak ada bedanya, Jisung. Kerjaan itu cuma alasan. Dia nggak ada tanggung jawabnya. Dengan kata lain : bangsat."
Orang lain pasti akan marah bila orang tua mereka di hina, membalas dengan hinaan pula atau bahkan pukulan, tapi Jisung tidak bisa membantah Taeyong. Begitu saja. Tidak ada argumen. Sebab, Taeyong sepenuhnya benar. Mutlak, telak. Dia menyuarakan apa yang tidak berani Jisung akui; bahwa ayahnya tidak peduli padanya.
Pria yang lebih tua mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi notes. Jari-jarinya siap mengetik. "Jadi di mana? Kayaknya ayah kamu butuh sumbangan otak. Biar Kakak yang ngasih. Gratis, tanpa di pungut biaya."
Jisung tidak tertawa. Sekeras apapun Taeyong berusaha, tertawa di situasi ini tidaklah mudah. Menghadapi kenyataan dia di sisihkan, Jisung hanya bisa menunduk, tertimpa beban kejamnya dunia. "Aku nggak tahu..."
Karena dari awal ini genrenya family, jadi susah bikin moment manis seulyong 😭 Tapi ntar bagian surene di usahain lebih romantis kok, kalo otakku nyambung 😳👌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top