05. Cara Berkenalan Yang Benar
"Dari mana kamu?"
Asa kali ini tidak membentak Jisung, namun nada suara dingin yang ia pakai terasa lebih buruk. Dalam 2 kata itu, terselip kemarahan besar yang begitu kuat, banyak, mencekam. Ini jenis kemarahan yang biasanya menuntun seseorang melakukan hal-hal buruk dan mereka sesali, jenis kemarahan yang muncul kala ada yang melakukan kesalahan serius, fatal.
Tapi Jisung hanya menghilang selama setengah jam一tidak mungkin lebih一dan itu pun disebabkan oleh sebuah insiden yang tidak disengaja.
Sungguh, apa-apaan ini?
"Jisung." Suara Asa terdengar semakin jelas ketika Taeyong melangkah cepat ke unit 92, memutuskan ia tidak akan sekedar menguping seperti kemarin. "Kenapa baru pulang?"
Seiring keluarnya pertanyaan-pertanyaan itu, Asa berdiri, menyibakkan rambutnya ke belakang. "Jawab, jangan diem aja!"
Namun yang menjawabnya malah seorang pria muda berpakaian terlalu pendek untuk ukuran temperatur udara sekarang, yang menahan pintu dengan sebelah kakinya. Mencegah benda itu menutup sempurna dan membatasi mereka. "Tadi dia aku ajak makan," katanya santai. "Udah kayak bocah nggak makan 2 hari soalnya."
Kepala Asa menoleh, akhirnya menunjukkan wajahnya pada Taeyong. Asa ternyata adalah seorang wanita paruh baya berperawakan mungil一sangat berbeda dibanding anaknya一tapi sama-sama memiliki mata sipit yang membuktikan mereka berbagi gen.
Tubuhnya kurus, dengan rambut pendek dan pakaian yang melekat berantakan, tidak rapi. Matanya, yang bagai sepasang kolam hitam pekat menyorot tajam ke arah Taeyong. Tatapannya menggelisahkan. Ada sesuatu di mata itu yang mengingatkannya pada pemabuk di minimarket, walaupun itu tidak terlalu tepat.
Asa tidak mabuk一belum, tapi ia pasti berniat melakukannya dilihat dari soju yang Jisung beli, juga botol-botol lain yang berserakan di sekitar meja.
1 tampak pecah, menebarkan potongan-potongan kaca berbahaya di dekat一terlalu dekat一Jisung yang terdiam. Tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirnya, tapi Taeyong bisa merasakan kecemasannya一entah untuk dirinya sendiri atau untuk Taeyong. Mungkin keduanya.
Asa mendekat, jelas-jelas terganggu dengan interupsi Taeyong. Kedua alisnya berkerut menandakan itu. Dia menggeser Jisung, mengedikkan dagu ke bagian dalam apartemen. "Masuk." Kemudian pada Taeyong, dia berkata, "Maaf ya, tapi kamu siapa?"
Ini seperti berdiri di air laut dalam keadaan separuh terendam, pikir Taeyong.
Ada ombak tinggi di depan sana, hendak menerjangnya一akibat mencampuri urusan orang lain. Taeyong bisa mundur, tapi ia sadar bahwa ia sudah terlanjur terlibat, sejak ia mengajak Jisung makan. Rasanya sia-sia menyelamatkan Jisung dari pemabuk sinting, tapi tidak bisa menyelamatkan dia dari ibunya.
Taeyong tak bisa menganggap ini bukan masalah lagi.
"Lee Taeyong, unit 95. Jisung." Taeyong menunjuk Jisung yang tidak mematuhi perintah Asa. "Dia nggak salah. Sebelum marah-marah, kenapa nggak tanya baik-baik dulu alasan dia telat?"
"Bukan itu." Asa menggeleng, melirik kaki Taeyong yang masih berada di celah pintu, berdecak kesal. 1 perbedaan lain antara ia dan Jisung; Asa tidak sungkan mengekspresikan ketidaksukaannya. Ia ekspresif dengan cara yang negatif. "Tapi kamu siapa ngekritik cara ngedidik anak orang lain? Kamu udah jadi orang tua?"
"Sejak kapan marah-marah sama ngelempar botol itu masuk kategori 'ngedidik anak'?" Tuding Taeyong tajam, mulai terpancing emosi. Padahal sejatinya, dia bukan orang yang gampang marah sampai ke tahap serius seperti ini. "Kalau dia luka, itu namanya penganiayaan!"
"Gitu, ya?" Tak terpengaruh ancaman Taeyong, Asa tertawa. Tidak takut atau terlalu bodoh untuk takut. Menggunakan jari telunjuknya, dia menusuk dada Taeyong, mendorongnya mundur dari area rumahnya. "Silahkan lapor polisi, jangan sekedar ngomong di sini. Kalau perlu urus aja si Jisung, sekalian sama biaya sekolahnya. Dia itu ngerepotin, ayah kandungnya aja nggak mau ngurus dia!"
Taeyong tertegun, langsung terbayang Shin, yang tidak mirip Jisung sedikitpun, dan dugaan sekilas yang ia singkirkan karena ingin berpikir positif. Belum lagi perilaku aneh Jisung yang bersembunyi ketika melihatnya. Gabungan semua itu menimbulkan tanda tanya besar di benak Taeyong, apakah ia telah melewatkan sesuatu karena tak terlalu memperhatikan? "Ayah kandung? Terus Shin?"
Tapi jawaban Asa sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita yang menguarkan bau alkohol pekat itu meraih gagang pintu, menutupnya tepat di depan wajah Taeyong. Tak peduli ia hampir menjepit tangan pria itu.
Taeyong mendengarnya memerintahkan Jisung membersihkan pecahan botol, kemudian menyeret kakinya pergi sambil mengomel. "Dia kira gampang jadi orang tua? Sialan."
Lucunya, kata terakhir mewakili isi hati Taeyong yang lalu menendang dinding melampiaskan kekesalannya. Belum pernah ia di usir secara kasar seperti ini. Asa wanita kedua一selain ibunya一yang mampu membuat darahnya mendidih dalam waktu singkat. 5 menit adu mulut dengannya, Taeyong yakin ia takkan membutuhkan obat anemia selama 5 bulan ke depan.
Sialan juga kamu, Asa!
Bingung harus melakukan apa lagi, Taeyong berbalik sebelum ia tergoda mengambil kapak dan membelah pintu bernomor 92 itu. Hatinya dongkol. Ia benci keadaan ini; saat ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semuanya membingungkan. Apartemen Ahyeon membingungkan!
Taeyong merindukan tempat tinggal lamanya yang sepi, damai dan tenang一walaupun sangat mahal.
Ia membuka pintu, baru hendak masuk saat menyadari 1 hal; pintu unit 97 juga terbuka, dan ada sebelah mata yang mengintip dari sana.
Siapa?
Taeyong mengurungkan niat, menahan tangannya di pintu. Keadaan yang gelap dan jarak 2 unit tidak membantunya, tapi ia yakin tidak salah lihat. Memang ada yang mengintip. Sepertinya menganggap pertengkarannya dengan Asa adalah hiburan gratis.
"Woi!" Taeyong tak repot-repot mengecilkan suara, dia sengaja berteriak agar orang itu terkejut. "Ngapain lihat-lihat?!"
Seketika, pintu 97 tertutup, menyembunyikan misteri identitas orang yang tinggal di baliknya.
Mereka bilang dia introvert.
Tapi Winwin tidak menganggap dirinya demikian. Dia biasa saja, normal. Dia hanya malas berbaur dengan orang-orang yang tidak ia suka. Mereka yang berwawasan sempit, berisik, dan senang bergosip.
Ia tidak masalah tinggal di unitnya, karena dunia luar tidak menarik dan kejam. Di rumahnya, Winwin merasa aman. Tidak diganggu oleh mereka yang penasaran akan masa lalu atau identitasnya yang asli.
Ssstt, itu rahasia.
Soal rumor bahwa ia adalah pengangguran yang di usir keluarganya sampai psikopat yang mengoleksi mayat, itu terserah mereka. Winwin punya prinsip; asal tidak mengganggu hidupnya, biarkan saja. Walaupun tentu, ia sadar pemilik Ahyeon一dan hampir semua orang一menaruh curiga padanya.
Mereka yang tidak termasuk hanya segelintir saja. Satpam apartemen, Joo Hyuk, merupakan salah satunya.
Hyuk sudah lama sekali bekerja di sini, ia mengenal seluruh penghuni一baik yang baru maupun yang lama. Dari dialah, Winwin tahu mengenai Lee Taeyong, si penyewa unit 95.
"Anaknya baik, Win." Begitu kata Hyuk, suatu sore, setelah Winwin terpaksa keluar akibat urusan mendadak. "Lebih tua dikit dari kamu. Kerja di hotel."
"Hotel?" Ulang Winwin, mengeluarkan sebatang rokok dan memainkannya di ruas jari, memutar-mutarnya sejenak baru kemudian menyalakannya. "Bagian apa?"
Hyuk mengedikkan bahu, mengetukkan kakinya membentuk irama acak. Pandangannya terarah lurus pada apa yang penghuni apartemen ini sebut sebagai "taman", padahal cuma area kecil beralaskan rumput dan dihias sebatang pohon. Tidak luas, tapi cukup untuk tempat bermain anak-anak. "Nggak tahu. Namanya Lee Taeyong. Tiap lewat selalu nyapa, sopan. Nggak kayak kamu harus disapa duluan."
Asap tipis membumbung ke udara saat Winwin mengisap rokok, nyaris tersedak karena tertawa di saat bersamaan. "Belum pernah ketemu. Udah berapa hari di sini?"
"3," jawab Hyuk singkat, sembari menepuk-nepuk punggung Winwin, tapi lebih menyerupai pukulan saking kerasnya. "Makanya keluar, kenalan sama tetangga baru! Jangan ngurung diri ntar lama-lama dikira meninggal."
Sindiran itu membuat Winwin tersenyum, teringat seseorang yang pernah mengatakan hal serupa. Dulu, yang tidak terlalu jauh, masih terhitung bulanan, tapi rasanya sudah lama sekali. Waktu berlalu cepat dengan cara yang misterius. "Lee Taeyong itu, orangnya kayak gimana?"
Hyuk memikirkan pertanyaan itu sejenak, mengelus dagunya. Hari ini dingin, jadi dia mengenakan jaket tebal yang memberi efek seolah lengannya menggembung. Di baliknya, tersembunyi otot-otot seorang pria yang dapat mengerjakan banyak hal, tidak sekedar menjaga keamanan. "Agak pendek sih, tindikan, punya tato di atas sikunya, tapi ganteng. Pokoknya kalau ada cowok yang kelihatannya cocok jadi model, ya dia itu. Ajak kenalan sana, biar temenmu nambah."
Winwin mengernyit, tidak menyukai ide tersebut. Bila disuruh memilih antara berkenalan dengan manusia atau hewan, ia pasti memilih yang kedua sebab itu lebih mudah. Hubungan antar manusia sangat rumit, ia tidak benar-benar mengerti. "Caranya?"
Hyuk menoleh, menggeleng-geleng. Mungkin bersyukur ia tidak punya anak seperti Winwin yang cara berkenalan saja tidak tahu. Tatapan heran itu tidak asing, sering Winwin dapat terutama setelah berhari-hari ia tidak keluar rumah. Ia tidak paham kenapa, padahal kan haknya mau mendekam di rumah atau tidak. "Nyapa di lift atau pura-pura minta air panas atau apa gitu. Buka google juga boleh kalau masih bingung."
Winwin terbahak, sebenarnya memang berencana melakukan itu. Di zaman sekarang, kita bisa menemukan banyak tips di internet. Tak ada salahnya memanfaatkan teknologi. "Oke deh, nanti aja. Sekarang mau balik tidur."
"Terus keluar minggu depan?" Tebak Hyuk, menyikut tas Winwin yang berisi laptop dan buku catatannya. "Dasar anti sosial!"
"Sebulan," jawab Winwin asal, mengisap rokoknya untuk terakhir kali dan mematikannya. Ada larangan merokok di Ahyeon, kecuali di unit sendiri, dengan catatan detektor asap di matikan. "Nunggu tahun baru keluar lagi."
Hyuk memutar bola matanya, kehabisan kata-kata, sebab nasehat-nasehat yang ia keluarkan hingga mulutnya berbusa, tak satupun didengarkan Winwin. Ia menyerah. Namun sebelum Winwin melangkah keluar dari pos satpam, ia bertanya, "Asa apa kabar, Win? Dia juga jarang kelihatan, ya?"
Pertanyaan yang di suarakan dengan nada ringan bahkan terkesan main-main itu berhasil menghentikan Winwin. Ia membasahi bibir. Menolak berbalik dan memperlihatkan sorot matanya yang berubah murung. "Baik kok. Nggak ada masalah."
"Masa?" Balas Hyuk, penuh keraguan. Dia tidak percaya sedikitpun. "Tapi kemarin Shin bawa soju. Berarti masalah alkoholnya Asa belum sembuh dong."
Giliran Winwin yang mengangkat bahu, memilih berlalu tanpa menjawab. Langkahnya cepat, takut Hyuk bertanya lebih jauh. Ia meninggalkan pria paruh baya itu menggerutu di tempatnya, tentang betapa anehnya penghuni lantai 9.
Dia benar, Winwin tidak bisa protes.
Kemudian ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Kabar buruk, menjengkelkan, tentang Danbi yang akan di ganti, membuat Winwin naik pitam. Hal lain yang ia benci selain orang yang hobi bergosip adalah perubahan, apalagi jika itu menyangkut sedikit teman yang ia miliki.
Winwin marah, dan ia tak segan-segan mengungkapnya dengan mengomel di ponsel. "Halo? Ini Winwin, mana Danbi? Aku nggak mau ngomongin buku ini kecuali sama Danbi, panggil dia sekarang!"
Detik berikutnya, pintu lift terbuka.
Seorang pria yang sedikit lebih pendek dari Winwin masuk bersama wanita yang kecantikannya bagai Dewi. Winwin ternganga menatapnya, hingga ia tidak sengaja menyenggol si pria dengan tasnya.
Refleks, Winwin menggumam, "Maaf" dan mengangguk singkat pada pria yang baru kali ini ia lihat. Tapi lagi-lagi Winwin terkejut karena tampang pria itu tidak tergolong biasa pula. Dewa Dewi visual ini, siapa mereka? Malaikat yang tersesat? Keturunan kerajaan?
Atau mungkin Lee Taeyong?
Winwin mencoba mengingat-ingat perkataan Hyuk menyangkut ciri-ciri Taeyong.
Pendek? Benar.
Bertindik? Benar.
Tato? Tertutupi pakaiannya.
Ganteng? Benar lagi.
Jadi dia rupanya Lee Taeyong yang menyebabkan kehebohan di Ahyeon. Pantas saja banyak orang yang membicarakannya. Dia bahkan lebih tampan dari beberapa pemeran drama yang Winwin tonton demi melatih bahasa Koreanya. Luar biasa. Wanita di sampingnya juga. Astaga. Pasangan yang sempurna, sangat sepadan.
Winwin bersiul kagum, bergegas masuk ke rumahnya; unit 97
Besok saja dia ajak Lee Taeyong berkenalan.
Keesokan harinya, sesuai rencana yang sempat ingin dibatalkan Winwin, ia berdiri di depan pintu apartemen yang pemilik sebelumnya bernama Jang Yeeun. Nomor 95 berada di bagian tengah, tepat di atas lubang intip yang terpasang di setiap pintu. Ia ragu-ragu.
Ketuk tidak, ya?
Insting pertamanya adalah berbalik pergi, kembali ke apartemennya dan mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai, tapi pertemuan singkatnya dengan Lee Taeyong telah membuatnya penasaran.
Jadi usai menarik napas panjang, Winwin mengetuk. 1, 2, 3. Tidak keras. Ia tidak mengatakan apa-apa karena lupa bertanya pada Hyuk kalimat yang tepat untuk di ucapkan.
Semoga saja Lee Taeyong ada.
Tapi ketukannya tidak mendapat sahutan.
Jangan-jangan tetangganya kerja shift pagi? Atau dia masih tidur? Tapi ... Winwin menengok smartwatch-nya; jam 9. Apa ini terlalu pagi?
Winwin mengetuk lagi, lebih keras.
Dan akhirnya, pintu mengayun terbuka. Seekor anjing menggonggong, di sebelah seorang pria berpakaian dan berambut acak-acakan yang belum sepenuhnya bangun.
Lee Taeyong menguap, menggaruk tengkuknya. "Haaaaapa?"
Winwin tersenyum, mengangkat cup mie instan yang ia bawa sambil nyengir. "Boleh minta air panas?"
Ia harap cara berkenalannya sudah benar.
Winwin jadi anak nakal dikit disini EAAA .g
Btw, nih tatonya ty buat yang belom tau
Ada di masing2 siku kata "under" sama "stand" yang artinya dia ngajak kita buat jadi orang yang pengertian sama dia pengen di ngertiin 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top