02. Si Pengacara Dan Kesehariannya
Meski malas, meski berat, Taeyong mengakui bahwa ia bukan pria yang terlalu tinggi. Terakhir kali di ukur, tinggi tubuhnya hanya mencapai angka 175 cm. Cocok di masukin ke saku, ejek Doyoung, yang menang soal itu. Ia sempat jadi yang paling pendek di departemen housekeeping, sebelum Moon Taeil masuk dan bergabung bersama mereka.
Park Jisung, bocah aneh itu, sebaliknya, sangat tinggi. Dia sekurus ranting, tapi tubuhnya menjulang bagai tiang listrik. Taeyong kalah setidaknya 4 senti, dan一yang lebih tidak adil lagi一tinggi Jisung masih bisa bertambah. Beda dengannya yang terjebak bersama angka 175 seumur hidup一kecuali ia naik ke atas box besar atau pakai high heels.
Ah, dunia memang kejam.
Taeyong menyalahkan ibunya yang terlalu sibuk bersenang-senang sendiri, hingga lupa memberi ia dan Irene makanan bernutrisi. Akibatnya, mereka jadi pendek, kekurangan kalsium. Tapi mungkin, ada gen-gen tertentu yang membuat seseorang beruntung dan tumbuh tak terkendali seperti rumput liar.
Pria soju itu contohnya.
Taeyong perlu mendongakkan kepala menatapnya, karena pria itu luar biasa tinggi一hampir 2 meter. Ia tidak pernah merasa semungil ini saat berhadapan dengan seseorang. Terlebih, si pembawa soju memberi kesan mengintimidasi yang amat kuat, bak parfum yang aromanya menyengat.
Dan tatapannya memperkuat kesan tersebut. Segala hal dalam dirinya serba tajam; matanya, dagunya, tulang pipinya. Berani taruhan, dia pasti sulit di gambar. Tapi ia tampan. Tampan dan tidak mirip Jisung一sama sekali.
Satu-satunya kesamaan mereka hanya terletak pada tinggi badan.
Apa mungkin ayahnya?
Kalau iya, kenapa Jisung menghindar seolah baru melihat binatang buas?
Saraf-saraf otak Taeyong sulit memahami ini. Tak dapat menebak, tak bisa mencari alasan tepat. Ia bingung一alisnya yang nyaris menyatu mewakili hal itu. "Jisung, kamu ngapain?" Serunya, sebelum sempat menyadari sudah mengucapkan pertanyaan tersebut 3 kali.
Namun yang menjawabnya malah pria soju. Mula-mula dengan tawa, lalu di susul kata-kata. Pita suaranya bekerja, mengeluarkan beberapa kalimat tanya, menggunakan suara yang mengejutkan lembutnya. "Kamu kenal Jisung? Kok nggak pernah keliatan? Dari lantai berapa?"
Kenal. Kenal? Ia dan Jisung jelas tak bisa di sebut kenalan. Saling tahu nama saja tidak. Jisung yang aneh, yang sangat pendiam, jujur saja enggan Taeyong masukkan dalam lingkaran pertemanannya, karena ia sudah punya banyak teman yang tidak normal. "Lee Taeyong." Taeyong mengulurkan tangan seraya berkata begitu. "Unit 95, baru pindah 2 hari. Tadi aku ngeliat Jisung tidur di koridor, kirain sakit atau..."
Sebenarnya ia mengira Jisung adalah hantu atau mayat, tapi itu detail yang tidak perlu di tambahkan.
"Shin." Tangan berotot pria yang ternyata bernama Shin itu menjabat tangan Taeyong erat, menunjukkan kepercayaan dirinya. Botol-botol soju di tangannya yang lain kembali berdenting, lehernya saling beradu. Satu bahkan tampak hampir jatuh. "Bukan tidur, Jisung paling lagi ngehindarin Asa. Biar nggak kena marah."
"Asa siapa?" Kening Taeyong berkerut, semakin bingung pada banyak hal; kenapa Shin tidak menyebut marga, identitas pemilik nama 'Asa' yang tidak biasa, dan kalimat terakhirnya. "Dimarahin kenapa?"
"Mamanya," jawab Shin, bergerak luwes ke dekat Jisung, dan merangkul bahunya walau agak canggung. "Jisung ini nakal. Sering pulang malem abis main sama temennya, terus pulang waktu semua orang tidur. Maklum." Dia tersenyum, menatap Jisung minta persetujuan. "Namanya juga remaja."
Senyumnya tidak mendapat balasan.
Remaja yang ia maksud sibuk menunduk, menatap kakinya sendiri. Tapi bahkan dari posisi itu, Taeyong tahu Jisung tegang. Dia tidak tampak seperti remaja nakal yang akan menyelinap diam-diam saat一dengan asumsi Shin ayahnya一kedua orang tuanya tidur.
Taeyong pasti lebih percaya jika Shin bilang Jisung jarang keluar rumah karena kecanduan main game dan komik.
Itu lebih cocok.
Tapi Taeyong tahu apa? Tinggal di sini saja belum hitungan minggu. Terlalu dini untuk berpikiran macam-macam. Ia tahu betul kenapa kita tidak boleh menilai orang melalui penampilan luar saja.
Ibunya merupakan contoh nyata bahwa orang yang cantik di luar, belum tentu cantik di dalam.
Hal yang sama tidak lucunya dengan menemukan mayat adalah bermusuhan dengan tetanggamu karena sesuatu yang tidak jelas. Jadi Taeyong memutuskan memutus kecurigaannya, berkata, "Oh gitu. Lain kali bilang, Jisung. Jangan diem aja."
Ia menyindir; sengaja dan lantang.
Sebagai respon, Jisung mendongak sedikit, namun tidak menyahut. Sudah diduga. Bila ada lomba tutup mulut, Taeyong一tanpa ragu一yakin dia akan jadi pemenangnya.
Dalam hati, Taeyong bersyukur dirinya tidak punya adik一tidak akan pernah mau.
Shin tertawa, rupanya menangkap sindiran itu. Suasana pun kembali cair sedikit demi sedikit. Ketegangan menghilang seperti daun kering tersapu angin musim dingin. "Dia emang gini; nggak banyak omong. Yuk, masuk sekarang, Jisung. Taeyong juga pasti mau tidur kan?"
Itu sih sudah jelas.
Setelah hormon endorfin yang di sebabkan Seulgi lenyap, yang tersisa di tubuh Taeyong hanya rasa kantuk yang amat merasuk. Kehadiran Jisung sempat menekan kantuk itu, tapi kini dia kembali; lebih kuat, lebih banyak. Membawa bayangan bantal serta tempat tidurnya yang empuk. Ia tidak sabar memeluk mereka, mengistirahatkan punggungnya yang tadi bolak-balik office dan lantai 2 sebanyak 3 kali, karena ada tamu yang iseng minta kopi dan gula secara terpisah.
Taeyong mengangguk sopan pada Shin. Menyaksikan pria itu dan Jisung masuk ke rumah mereka; unit 92. Pintunya terbuka sedikit lama, karena Jisung melangkah hati-hati dan pelan.
Tapi Shin tidak memarahinya, atau berkata ia harus bergegas. Shin sepertinya baik.
Mereka pun berlalu, lenyap di telan pintu.
Namun sesaat sebelum melangkah pergi ke apartemennya sendiri, samar-samar Taeyong mendengar suara halus khas wanita yang menyalak galak, "Siapa yang nyuruh kamu masuk, anak sialan?!"
Di apartemen Ahyeon, ada 2 jenis unit; yang kedap suara dan yang tidak. Jenis pertama di peruntukkan bagi mereka yang memiliki hewan peliharaan, agar tidak mengganggu tetangga yang lain.
Milik keluarga Park tampaknya tidak.
Apakah itu suara Asa? Kenapa dia marah-marah?
Anak yang pendiam. Ayah yang ramah. Dan ibu yang misterius. Semua itu membuat Taeyong menyimpulkan bahwa apartemen Ahyeon punya cerita yang menarik.
Bagi Lee Irene, ruang sidang itu ibarat medan perang.
Oke, ralat, sebenarnya tidak seserius itu kok. Tapi sungguh, banyak kejadian tidak terduga di sini一entah menyenangkan seperti bermain monopoli, atau menyebalkan yang kadang membuatnya ingin mengecek tensi darah di rumah sakit.
Setelah secara resmi di angkat menjadi pengacara beberapa tahun lalu, Irene telah merasakan pahit manis pekerjaan ini, yang dulu menarik hatinya karena ia melihat drama tentang hukum.
Sepele memang, tapi hal-hal kecil yang bagi orang lain tak berarti kadang dapat mengubah hidupmu.
Prosesnya panjang, melelahkan, sulit, dan ya, penuh drama. Karena Irene sempat ingin menyerah saja dan belajar mencopet. Ia ingat malam-malam menyedihkan itu, ketika ia menangis karena lelah dengan semuanya, di temani buku-buku tebal yang banyak memuat bahasa Inggris. Ia menahan isakan dibantalnya, bertanya-tanya, apa gunanya ini? Kenapa aku nggak cari cowok tampan kaya terus ngeracunin dia pakek sianida?
Beruntung, Taeyong menyelamatkannya一tidak hanya secara finansial.
Saat ia lelah, Taeyong pasti mengajaknya keluar, entah ke taman atau sungai Han. Pokoknya tempat yang tidak butuh tiket mahal untuk memasukinya.
Taeyong lalu berkata, "Sabar, santai. Kamu kira sukses segampang ngupil? Kalo gitu semua orang juga bisa. Nih, nih, upil!"
Adiknya memang tidak pandai mengarang kalimat motivasi.
Tapi dia benar. Benar. Taeyong percaya padanya, dia bilang Irene pasti akan jadi pengacara hebat一dan lihatlah dimana dia sekarang!
Duduk di kursi panas yang di impikan dirinya saat masih muda. Ini mimpi, tapi jenis mimpi yang bisa ia nikmati dengan mata terbuka.
Sementara itu di depan, hakim menegakkan tubuh, jarinya mengelus palu di dekatnya一kebiasaan一sebelum mengangguk ke arah Irene. "Pembela, silahkan sampaikan pidato penutupmu."
Maka Irene berdiri, tak berbekal apapun selain otak dan lidahnya. Ia berhenti persis di tengah-tengah ruangan, memastikan semua orang dapat melihatnya dengan jelas.
"Yang Mulia," ujarnya memulai, menarik napas dalam-dalam. "Pertama, saya akan berkata bahwa inti kasus ini adalah cinta. Terdakwa menghajar korban yang hendak memperkosa pacarnya. Sebagai seorang laki-laki, instingnya adalah melindungi. Dia tidak memikirkan apapun kecuali pacarnya waktu bertindak dan一perlu ditekankan一klien saya tidak melakukannya atas unsur kesengajaan. Dia anak baik. Dia mahasiswa, kekasih, dan kakak yang baik一catatannya yang hanya berisi 1 pelanggaran tilang membuktikan itu.
"Tindakannya." Irene meneruskan, menoleh sekilas pada jaksa penuntut yang menatapnya tidak suka. "Mungkin tak dapat dibenarkan bagi beberapa orang, tapi dia berhak mendapat pembelaan atas tuduhan penyerangan tak berdasar ini. Masyarakat memperhatikan, mereka menilai, ingin tahu seberapa kuat hukum di negara kita. Bila seorang pemuda yang tidak bersalah justru berbalik jadi tersangka, sudah seharusnya kita pergi ke pemakaman dan mengucapkan selamat tinggal pada keadilan. Sekian dari saya. Terima kasih, Yang Mulia."
Merasa puas dan bangga karena tidak perlu membawa-bawa kertas seperti Han Sung, Irene tersenyum, kembali duduk.
Pelototan pria itu tidak berpengaruh apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Dan itu tidak Irene ucapkan hanya karena ingin menenangkan kliennya, tapi karena ia yakin, sebesar keyakinannya bahwa air laut takkan berubah manis一seperti dirinya.
Cantik atau tampan, kata dosennya dulu, itu nggak penting. Kalo mau jadi pengacara, kamu cuma harus kerja keras dan teguh pendirian.
Duh, persetan.
Irene nyaris tertawa waktu itu, membantah ucapan dosennya yang salah. Tapi ia tak ingin menarik perhatian yang tidak diperlukan, sehingga mengurungkannya.
Dunia ini sudah rusak一itu faktanya. Kita semua mungkin sudah meninggal pada kiamat tahun 2012, dan sekarang一tanpa ada yang sadar一sedang berada di neraka.
Alasan apalagi yang bisa menjelaskan tentang banyaknya orang yang hanya melihat orang lain dari luar? Inner beauty tidak berlaku lagi. Mari jujur saja, kalau kau cantik, dunia pasti lebih ramah padamu.
Ingin bekerja? Harus berpenampilan menarik.
Ingin punya banyak teman dan penggemar? Datangi klinik operasi plastik!
Intinya, dosen tersayang, pendapatmu nggak bener. Kita butuh kecantikan supaya dapat bertahan. Hal itulah yang mendorong Irene belajar make up, memoles wajahnya yang tak tersentuh pisau bedah. Ia sebenarnya tidak suka ini, membuatnya merasa memakai topeng. Tapi terkadang, kita terpaksa melakukan sesuatu yang tidak kita gemari.
Para pengacara tahu betul soal itu.
Tapi Irene mencintai pekerjaannya. Aroma ruang sidang, tatapan kagum dewan juri, bahkan Han, yang mendengus ketika melewatinya ke toilet, dan berdesis, "Hobi banget ya belain penjahat? Klienmu itu hampir ngebunuh orang, Irene. Itu salah, nggak peduli apa alasannya."
Tawa Irene tergugah karenanya. Pria yang berpakaian terlalu besar itu selalu dapat di andalkan untuk membuatnya terhibur, mengikis rasa suntuknya karena kehabisan permen. "Lho, emangnya kenapa? Keluarganya bayar aku mahal kok."
Itu bohong, itu dusta, tapi baik nada bicara dan ekspresi Irene tak menggambarkannya. Ia pembohong yang baik. Kenyataannya, keluarga terdakwa hanya mengandalkan pengacara publik yang di sediakan negara, sebelum ia mengajukan diri. Bayarannya sedikit sekali, tapi publisitas kasus ini gila-gilaan一dan itu sepadan. Menjadi kendaraan kilat yang akan melejitkan namanya dengan cepat.
"Siapapun nggak masalah buat aku," lanjut Irene, membetulkan poninya yang dijepit ke belakang saat bekerja. "Mafia, Yakuza, atau Ted Bundy bakal aku bela asal dia kaya."
Pancingannya berhasil.
Han bereaksi mirip granat yang hendak meledak, menyemburkan serpihan amarah kemana-mana. Kemarahannya seperti banteng; besar, ganas, tak terkendali. Yang langsung ia luapkan. "Sombong kayaknya syarat utama ngelamar kerja di Damjang, hm? Hati-hati, kesombongan itu sinonim kata jatuh. Ada saatnya kamu terpeleset, tunggu aja."
Namun yang di peringatkan cuma tergelak. Mengibaskan tangan. Tak menunjukkan rasa takut. Perasaan itu sudah hilang一lama sekali, lenyap bersama masa kanak-kanaknya yang menyenangkan. "Bener! Kamu contohnya, dari dulu terpeleset terus nggak bangun-bangun. Makanya." Ia menjeda, sengaja, mengambil waktu untuk mendekati telinga Han dulu dan berbisik, "Jangan ngeremehin wanita lagi, ya."
Kemudian Irene berbalik, berlalu sebelum Han sempat mengucapkan sesuatu.
Han Sung, 30 tahun, adalah jaksa muda yang telah banyak memenangkan kasus-kasus mengejutkan. Namanya dikenal luas, sering masuk koran dan diwawancara. Prestasinya cemerlang.
Irene tidak punya masalah dengannya一pada awalnya. Sampai suatu siang, ia mendengarnya pamer pada seorang jaksa junior, dengan bangga berujar, "Lee Irene itu bisa apa sih? Dia cantik doang tapi nggak ada otak, ntar juga kalah!"
Begitu katanya.
Tapi Irene membuktikan dia salah.
Persidangan kali ini, menentukan nasib Baek Seung Hwan yang di tuduh melakukan penyerangan terhadap pemerkosa pacarnya, menjadi kali ketiga Irene menang dari Han.
Kemenangan lain menyusul一pasti.
Shin, Asa, Han, ini bukannya males ngarang nama apa gimana ya, tapi gua sengaja nyari yang simpel 😂
Btw aneh kagak sih gua pake bahasa campur aduk gini? Abisnya mana cocoque pan kalo Irene ngomong aku-kamu ke hakim :vv semoga gak aneh aja ya 😳👍
Pengacara Irene kyaaa 💞
Ps : makasih buat Cherry yang nyumbang ide kasus disini wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top