01. Si Room Boy Dan Kehidupannya

2019

Keadaannya sepi.

Koridor lengang tanpa orang. Pintu-pintu tertutup rapat karena sudah waktunya istirahat. Lift juga berhenti bergerak meski sesaat. Menjelang tengah malam, hotel NEO bisa di bilang tenang.

Satu-satunya ruangan yang cukup bising hanya kantor housekeeping, dimana seorang room boy tengah bermain game di kursi order taker.

Name tag bertuliskan "Lee Taeyong" tersemat di dada kirinya.

Bagi Taeyong, ini adalah kondisi yang sempurna; ketika realita melebur ke dalam dunia virtual permainan. Rasanya seperti tidak bekerja, tapi beginilah suasana yang dirasakan pekerja shift sore. Jauh lebih longgar daripada shift pagi yang super sibuk.

Damai seperti ini, siapa yang tidak suka?

Namun kehadiran room boy lain bernama Kim Doyoung mengusik kedamaian itu. Dia berdiri di belakang Taeyong, memberi semangat (menurutnya) dengan tangan menggenggam segelas kopi hangat. "Hajar zombie pelemparnya, bego!" Perintah pemuda itu. "Tuh, makin deket!"

"Ini ada yang lebih deket lagi, bego!" Seru Taeyong sebal, menunjuk gerombolan zombie berbaju tahanan yang mengepung dirinya. "Jangan teriak di kuping!"

Heran sekali Taeyong. Siapa yang main, siapa yang lebih heboh. Bukan Doyoung namanya jika tidak membuat orang lain emosi ke titik tertinggi. Alih-alih diam dan duduk manis, ia malah mengeraskan suara. "Pakek adrenaline! Cepet, cepet, ntar mati!"

Item bernama adrenaline yang dimaksud Doyoung tampak teronggok di bagian bawah layar, siap digunakan. Tapi angka 1 yang memberitahu jumlah item tersebut mengurungkan niat Taeyong. Terlalu sedikit, dan membelinya butuh banyak permata. Ia menggeleng. "Hampir habis, Doy. Jangan."

"Halah, gembel!" Ledek Doyoung seraya mencibir, sengaja menepuk bahu rekannya untuk semakin mengganggu konsentrasi. "Masa gitu aja nggak mampu beli?"

Berharap memiliki lebih dari 2 mata untuk memelototi Doyoung dan fokus ke layar, Taeyong berdecak. "Ngaca! Jabatan kita nggak beda, berarti sama-sama miskin!"

Hari yang biasa dengan rutinitas biasa pula bagi duo room boy yang punya julukan "Tom & Jerry". Tanpa keributan, orang-orang justru akan mengira keduanya bertengkar. Doyoung berdalih, bahwa semua ejekan dan adu mulut yang mereka lakukan adalah cara unik mengekspresikan kasih sayang一membuat Taeyong bergidik ngeri mendengarnya.

Doyoung yang menolak kalah kemudian meraih papan job sheet, menghantamkan benda oranye cerah itu ke punggung Taeyong. "Lho, aku terpaksa kerja disini, ntar juga pindah."

"Ke departemen spa?"

"Iya, biar bisa ngasih pelayanan xxx!"

Tawa seketika memenuhi kantor, di pantulkan dinding, dan menyusup lewat celah bawah pintu hingga terdengar ke koridor. Letaknya yang bersebelahan dengan kantor accounting sering mengakibatkan mereka dapat omelan ketika sedang ribut, tapi karena tempat itu kini kosong, Taeyong dan Doyoung bisa berbuat seenaknya一termasuk terbahak bak orang tidak waras.

Sementara itu di layar, zombie terakhir telah tumbang, roboh dihantam peluru MP-5. Taeyong berhasil menyelesaikan misi, dengan HP yang sangat rendah. Bila ini sungguhan, ia bisa di sebut menembak dalam posisi terkapar di lantai. Tapi tak apa, Taeyong selalu bangga saat sukses menghentikan perlawanan zombie tanpa menggunakan item apapun, hanya usaha sendiri.

Ia pun bangkit, meraih tas dan mengeluarkan jaketnya dari sana一senjata wajib para pekerja shift sore atau malam, lalu memakainya. "Mau balik, capek."

Anggukan Doyoung menjadi jawabannya. Ia sibuk menunduk ke arah job sheet, membaca status kamar dan catatan-catatan kecil yang di tulis Taeyong. Senyumnya muncul kala mengetahui dirinya tidak punya banyak pekerjaan. "Ya udah sana, ganggu aja di sini lagian."

Taeyong mendengus. Tas sudah tersandang rapi di salah satu bahunya, berwarna gelap yang serasi dengan seragam abu-abunya. Sederhana memang, tapi membersihkan kamar tak perlu pakaian yang bagus. "Mana?"

"Apanya?" Doyoung mengerjap tidak mengerti. Lebih tepatnya, pura-pura tidak mengerti. Kilatan nakal di matanya menandakan dia paham, tapi memilih menguji kesabaran Taeyong dulu.

Sayang, rencananya berjalan terlalu lancar. Taeyong tidak cuma bertambah kesal, tapi juga balas menendang kakinya, yang menyebabkan rasa sakit sampai ke tulang. "Bayarannya lah!"

"Woi!" Doyoung mengumpat tertahan, melompat-lompat seperti orang yang menginjak kotoran. Pria yang setahun lebih muda dari Taeyong itu merengut, beralasan, "Kirain udah lupa! Nih." Dengan perasaan tidak rela yang tergambar jelas di wajahnya, ia memberi Taeyong kotak berukuran sedang berisi setengah lusin makaron warna-warni. Lengkap dengan pita yang belum terlepas.

"Asyik." Cengiran Taeyong muncul saat menerimanya, begitu lebar seolah itu adalah berlian besar. Ia selalu menyukai makanan manis, terlebih jika makanan itu gratis. "Kalo mau pacaran lagi terus tukar shift jangan sungkan bilang, ya? Asal ada sogokan pasti beres."

"Monyet!" Doyoung menggerutu, mendorong Taeyong ke arah pintu keluar dengan kasar. "Minggat sana, bapak Lee Taeyong!"

Taeyong kembali tertawa selagi berjalan ke lift khusus pegawai. Sudah jam 11 malam lebih sekarang, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Lift tiba dengan suara denting samar, kosong melompong. Bayangan tubuhnya terpantul di logam yang dingin itu saat Taeyong masuk, menekan tombol "B" yang akan mengantarnya ke basement.

Nyaris tanpa suara, lift pun bergerak turun.

Salama itu, Taeyong berkaca, memeriksa wajahnya. Ia suka pekerjaan ini一walau terkesan biasa一tapi setiap pekerjaan pasti melelahkan. Ia tak sabar tiba di rumah, berbaring ditemani Ruby一anjing berbulu cokelatnya yang manis一dan tidur.

Karena senyaman apapun tempat kerja, rumah adalah yang utama.

Namun mendadak, pintu lift terbuka di lantai yang bukan tujuannya, sedikit mengagetkan Taeyong. Ia segera berdiri tegak, memasang tampang datar. Berharap siapapun yang masuk itu tidak melihat tingkahnya.

Harapannya tidak terkabul.

Kang Seulgi, seorang resepsionis baru di hotel ini, menertawakannya. Gadis yang lebih cocok jadi model atau aktris itu bergabung bersamanya, menyikut sikunya pelan. "Udah ganteng, nggak perlu ngaca terus."

Telinga Taeyong memerah. Berkaca bukan sesuatu yang memalukan, namun ia tetap saja malu. Karena yang memergokinya kali ini Seulgi, Seulgi, si cantik yang senyumnya sangat manis. Mata monolid miliknya tampak menyipit menggemaskan, mirip tokoh di anime.

Taeyong berpikir cepat, mencari topik obrolan yang menarik, dan langsung menemukannya ketika melihat hadiah dari Doyoung. "Mau makaron?"

"Mau dong!" Sahut Seulgi antusias, mengambil 1 tanpa di minta 2 kali. Inilah yang Taeyong suka dari Seulgi, ia tidak pernah sok imut untuk terlihat imut. Caranya bicara, tertawa, sikapnya, semua selalu apa adanya. "Dapet dari mana? Bekas tamu?"

"Jelas bukan!" Ralat Taeyong tegas, gengsi di anggap gembel, meski faktanya ia cukup sering memungut snack tamu yang tertinggal. "Ini sogokannya Doyoung, dia minta tukar shift."

Seulgi mengangguk, tak bicara sejenak karena masih mengunyah. Pipinya menggembung lucu, sebagian remah-remah makaron mengotori dagunya. Bersamaan dengan itu, lift berhenti di basement, isyarat kebersamaan mereka hampir berakhir. "Kamu," ujar Seulgi, menarik pintu kaca yang langsung terhubung ke tempat parkir. "Kata Doyoung pindah apartemen, ya?"

Doyoung. Dasar biang gosip. Taeyong tak masalah sebenarnya dia bicara pada Seulgi, asal tidak membongkar rahasia-rahasianya, misal saat ia terpeleset di bath room, atau salah masuk kamar dan menangkap basah 2 orang sedang...

Tapi karena Doyoung adalah Doyoung, dia pasti menceritakan semua itu. Taeyong tak meragukannya. "Iya, di Ahyeon. Biar lebih deket."

"Betah nggak?"

Taeyong mengangkat bahu, senang Seulgi memperpanjang pembicaraan mereka. Di tengah tempat parkir yang cahayanya tak terlalu terang, 2 orang itu mengabaikan motor masing-masing yang sudah menunggu, berdiri saling berhadapan. "Lumayan, sewanya murah."

"Kok diem-diem aja?" Seulgi protes, melipat tangan rampingnya di depan dada. "Mestinya ngundang temen, perayaan gitu."

"Males," jawab Taeyong terus terang, membagi makaron kedua pada Seulgi, berwarna hitam一dark chocolate一yang sama seperti rambut si resepsionis. "Ntar Doyoung dateng ngabisin makanan. Kamu mau mampir?"

Seulgi memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang. Barangkali, ia bisa mendengar detak jantung Taeyong yang menggila di dadanya. 24 tahun hidup, Taeyong belum pernah mengucapkan kalimat semacam itu pada gadis manapun. Karena tak ada gadis yang ia anggap cocok mendengar kalimat tersebut.

Taeyong kini gugup. Apakah itu terdengar tidak sopan? Apakah ia terlalu buru-buru? Tapi mengundang teman normal saja kan? Mungkin ini kesempatan mengajak Seulgi kencan一secara terselubung.

"Boleh deh." Setelah waktu yang rasanya sangat lama, Seulgi memutuskan setuju. Mengeluarkan ponsel dari saku setelan seragamnya yang cantik, dan menyodorkan benda itu ke Taeyong. "Catet coba."

Gagal menyembunyikan senyum, Taeyong menurut. Jari-jarinya bergerak lincah mengetikkan alamatnya di sebuah aplikasi notes. "Apartemen Ahyeon nomor 95, Seodaemun-gu, Seoul, Korea, Bumi, Galaksi Bima Sakti."

"Udah." Lapornya, mengembalikan ponsel pada sang pemilik, sempat mengusap layarnya sekilas. "Lengkap nih."

Seulgi terkikik, mengangkat setengah makaron yang tersisa sebagai salam perpisahan. "Oke, aku pamit dulu. Dadah, TY!"

"Dadah, Seulbear!" Taeyong melambai, tak beranjak hingga lampu motor Seulgi menghilang dari pandangan. Ekspresinya tenang, tidak aneh, tidak berlebihan.

Tapi setelah beberapa detik, ia melompat kegirangan, berulang-ulang mengatakan "yes!" dan一tak mempedulikan cctv yang merekamnya一menari-nari kecil menghampiri motor.

Room boy yang satu itu bahagia, sebab telah selangkah lebih dekat dengan gadis yang ia suka, Seulgi.

21 adalah jumlah menit yang dibutuhkan Taeyong untuk sampai di apartemen barunya, yang ia sewa usai resmi di angkat menjadi staf. Letaknya dekat dengan hotel, dan jauh dari ibunya. Sesuai yang ia inginkan. Tapi tempat itu masih kacau karena baru 2 hari di tempati.

Rencananya, Taeyong mau beres-beres total saat hari libur besok. Itu pun kalau dia tidak malas. Untung saja dia tak memiliki banyak barang. Bisa makin repot nanti.

Meski begitu, ia sudah merasa nyaman disini. Penerangannya bagus dan aliran airnya lancar. Di tambah lingkungannya yang tenang semakin membuat betah. Ia tidak punya keluhan apalagi masalah.

Oh, sebenarnya ada.

Sesosok tubuh yang meringkuk dalam jarak 3 unit darinya membuatnya takut.

Taeyong tak sengaja melihatnya saat akan membuka pintu, tapi tidak berani mendekat. Apalagi karena di kanan dan kirinya tidak ada siapapun selain dia. Para tetangga一yang tak satupun ia kenal一telah terlelap. Hanya ada dia dan sosok itu. Sosok itu dan dirinya. Tanpa cctv.

Ini agak menyeramkan.

Pikiran Taeyong mulai mengarang berbagai skenario一namun semuanya mengerikan.

Bagaimana kalau dia hantu? Atau yang lebih buruk lagi, mayat?? Tidak lucu kan kalau dia menemukan mayat dan dituduh sebagai pembunuh?

"Seorang pegawai hotel menghabisi nyawa tetangganya di hari kedua dia pindah."

Itu akan membuatnya terkenal, dengan cara yang amat buruk.

"Jangan dilihat, jangan dilihat, jangan dilihat." Taeyong menggeleng, terus mengulang kalimat itu bagai sebuah mantra. Tubuhnya tampak miring, berusaha tidak melihat sosok misterius tadi. Ia fokus sepenuhnya memasukkan angka demi angka yang menjadi password pintu hingga terbuka. Lalu setelahnya, masuk.

Tapi baru beberapa detik kemudian, dia keluar lagi.

Manusia diciptakan dengan rasa penasaran yang tidak mudah disingkirkan, yang kadang menjadi sesuatu yang merepotkan. Taeyong menyalahkan hal itu atas sikap labilnya. Maka meski takut, ia tetap mendekat, meninggalkan Ruby yang terlanjur bangun. "Woi! Nggak apa-apa kan?"

Tidak ada jawaban.

Kengerian Taeyong bertambah. Bahaya sekali kalau itu benar-benar mayat. Irene pasti menghajarnya habis-habisan kalau terlibat masalah kriminal. Sepertinya ia harus melapor pada pihak keamanan.

Ya. Ide bagus.

Tapi.

Punggung sosok itu tampak naik turun. Berarti masih hidup. Mungkin dia hanya mabuk dan salah mengira koridor ini kamarnya? Bisa saja. Ragu-ragu, Taeyong menendang orang itu, sedikit terlalu keras.

Usahanya berhasil.

Si pemilik tubuh mendongak, menampilkan seraut wajah yang menatapnya dengan ekspresi bingung. Bukan hantu. Bukan pula mayat. Taeyong menghela napas lega, tapi juga terkejut, sebab orang yang ia kira pemabuk ternyata hanya remaja yang memakai seragam sekolah berwarna kuning; milik salah satu sekolah paling terkenal di Seoul. Usianya pasti tidak lebih dari 18 tahun. Mungkin 16?

Entahlah. Berapapun itu, yang jelas dia tidak mabuk, melainkan tidur.

Tidur. Di. Koridor.

"Ngapain kamu?" Taeyong melongo, tak habis pikir ada yang menganggap dinding koridor enak di buat bantal. Seunik-uniknya manusia, ia tidak pernah bertemu yang seperti ini, bahkan Doyoung sekalipun yang eksentrik. "Di mana rumahmu, bocah?"

Bocah itu mengerjap. Bentuk matanya yang kecil menarik perhatian Taeyong. Tapi dia tidak menjawab.

"Apa yang ini?" Tebak Taeyong. Tangannya menunjuk pintu di dekatnya, bernomor 92, lalu mengetuk beberapa kali. Ia bahkan mengintip lewat lubang intip一sesuatu yang takkan ia lakukan di hotel一tapi sia-sia. "Ada orang nggak sih?"

Taeyong mengetuk semakin keras, selagi si remaja mencoba berdiri dengan susah payah. Tindakan sederhana itu membuatnya kesulitan. Dia memegangi kaki kirinya, menahan rasa sakit yang tak sepenuhnya bisa ditahan, dan akhirnya keluar lewat ringisan.

Mata Taeyong memicing curiga. "Kakimu kenapa?"

"Kram," jawab remaja itu cepat, terlalu cepat. Ekspresinya tidak meyakinkan. Dan suaranya一yang lebih berat dari dugaan Taeyong一nyaris tak terdengar. "Cuma kram." Dia mengulang, tapi menunduk menghindari tatapan Taeyong.

Bohong.

Dahi Taeyong berkerut. Tangannya terangkat, memegang bahu murid SOPA itu guna membaca name tag-nya. Huruf-huruf yang ada disana membentuk 1 nama yang terdiri dari 2 kata. "Park Jisung."

Seperti nama pemain sepak bola.

"Jisung, ya?" Ujar Taeyong, mengamati Jisung dari atas ke bawah, berhenti lama di kakinya yang berlapis kaus kaki putih, dengan sedikit noda kecokelatan di salah satu sisinya. Taeyong jadi tidak tahu apakah dia terluka atau tidak. "Ngapain kamu di koridor tengah malem gini, Jisung? Latihan jadi setan? Orang tuamu mana?"

3 pertanyaan beruntun tak ada yang di jawab Jisung. Ia membisu, tampak gugup一jari-jarinya mencengkeram tali ransel dengan erat, seolah benda lusuh itu dapat melindunginya.

Kesabaran Taeyong lenyap dengan cepat. Lengannya bersedekap. Ia mulai berpikir dirinya sudah membuang-buang waktu tidurnya yang berharga "Ngomong itu gratis kan? Apa berbayar khusus kamu?"

Ia mengomel, gemas pada remaja berwajah bayi yang一ya ampun!一lebih tinggi darinya itu. Kakinya lalu menyingkir, hendak mengetuk kembali pintu paling dekat dengannya, mengira itu sungguh rumah Jisung.

Namun suara lift menghentikannya.

Taeyong berbalik, menunggu beberapa detik sebelum orang yang keluar dari lift muncul. Karpet koridor meredam derap langkah setiap penghuni apartemen, sehingga ia tak dapat menebak berapa orang yang datang一dan keheningan ini tidak membantu.

Sampai kemudian, bunyi berdenting yang Taeyong kenali menyapa pendengarannya. Ia tahu bunyi tersebut, merasa pernah mendengarnya di suatu tempat.

Apa? Apa itu?

Taeyong penasaran, dan jawaban menghampirinya ketika melihat seorang pria berbadan tegap membawa botol-botol soju dalam sebuah kantong plastik besar. Sojunya banyak, dari situlah suara berdenting berasal.

"Jisung?" Sapa pria itu.

Tapi Jisung tiba-tiba bergerak mundur, bersembunyi di balik punggung Taeyong.

Karena pengen sesuatu yang beda, Taeyong gua bikin jadi room boy disini gaes 😳 kalo ada istilah yang bingungin kalian, jangan sungkan nanya ya 👌

Taeyong sama Ruby uwu 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top