7. Prank
Tujuanku kembali ke rumah—tempat paling nyaman yang tiada tandingannya—sebenarnya kupilih agar aku dapat mendinginkan otakku. Senja yang mengunjungi permukaan bumi ini seolah-olah menarikku untuk meninggalkan kantor dengan segala masalahnya.
Biasanya, anakku akan pulang malam dengan alasan kerja kelompok atau kegiatan ekstrakulikuler, walaupun aku tahu dia tak setiap hari melakukannya. Pernah aku melewati sekolahnya, mendapati anak itu sedang nongkrong bersama teman-temannya, bermain kartu dengan mangkuk-mangkuk yang berjajar di atas meja. Beberapa di antara mereka merokok, walaupun aku tak melihat jika anakku menjadi seorang perokok. Kala itu pun, aku bukanlah seorang ayah yang ingin mengganggu kesenangan anaknya. Aku terkejut—tentu saja—tetapi kutahan reaksiku.
Jadi, daripada menyuruhnya berhenti untuk berkumpul bersama kawan-kawannya, aku lebih memilih untuk memberikan pesan untuk tak merokok atau bermabuk-mabukkan, sebaik ataupun seburuk apapun teman yang dipilihnya. Aku tidak peduli teman seperti apa yang dipilihnya, selama ia tidak menjadi salah satu bagian dari orang-orang yang tak baik.
Pekerjaanku memberikan pandangan luas mengenai hidup. Aku mengenal beberapa orang pembunuh—tentu saja karena itu bagianku—serta beberapa perampok untuk tahun-tahun pertamaku ketika mendapatkan kepercayaan menjadi seorang Ajun Komisaris Polisi. Kebanyakan di antara mereka hanya tak beruntung—aku lebih suka menyebutnya seperti itu. Mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari orang tua mereka, berasal dari keluarga yang broken home, tetapi tak jarang juga karena pergaulan yang salah—yang tak kuinginkan terjadi pada anakku.
Namun, hari ini, Loka—nama dari anakku itu—telah sampai di rumah lebih dulu daripada diriku. Ia memainkan ponselnya sambil tiduran di atas sofa yang biasanya kugunakan untuk bersantai, menyelonjorkan kaki dan mengedarkan darah-darahku menuju seluruh tubuh.
Sebagai sapaan keterkejutan atas kehadirannya di rumah ini, aku menanyakan kabarnya, mencaritahu alasan mengapa ia pulang lebih dulu. Namun, anak itu hanya menjawab karena ia sedang ingin sendiri, sedikit membuatku kecewa karena ia mengatakan itu tepat di depanku, di rumah ini, yang jelas-jelas juga aku tinggal di sini.
Aku tidak mengerti apakah sikap tak acuhnya itu disebabkan oleh kematian istriku atau bukan. Yang pasti, seingatku dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Dan kuharap aku—atau mungkin dia—tak perlu menyalahkan kematian istriku atas sifat yang kini dimilikinya.
Selain itu, dengan dinginnya anak itu mengatakan bahwa sebuah paket pengiriman sudah datang, ditujukan padaku, yang membuatku sedikit bingung karena aku tak pernah merasa memesan apa-apa.
"Paket apa?" tanyaku padanya yang masih tak melepaskan pandangannya dari ponselnya itu.
"Mana aku tahu."
Aku hanya menghela napas, kemudian melanjutkan, "Paketnya di mana?"
"Di samping televisi."
Aku kembali menghela napas untuk kedua kalinya. Aku merasa seperti hidup sendiri, padahal aku tak menginginkannya. Pekerjaanku seolah menyita waktuku untuk menemaninya, dan seolah-olah anak itu telah terbiasa, tidak menganggapku ada, menjadikan kami sebagai orang asing dalam satu rumah.
"Terima kasih," ucapku, tak menghilangkan kebiasaan baikku itu biarpun Loka hanya mengangguk pelan, dengan pandangan yang terus menangkap cahaya radiasi ponselnya itu.
Aku segera mendekati paket yang dimaksud, terbungkus dengan kertas coklat dan perekat yang membungkus beberapa bagian paket itu. Tak ada nama pengirim, hanya ada namaku yang ditulis dalam secarik kertas—lebih tepatnya dicetak, karena jelas tulisan itu adalah tulisan komputer. Artinya paket itu dikirimkan secara langsung untukku karena tak kudapati alamat tujuan. Tidak mungkin seorang pengirim pos dapat mengirimkan paketnya dengan selamat tanpa alamat tujuan, kan?
"Loka, kamu lihat siapa yang ngirim, nggak?" aku bertanya, setengah berteriak, menarik perhatiannya yang juga ia jawab dengan sedikit membentak.
"Nggak! Tadi Loka lihat udah ada di depan pintu."
Aku membolak-balikkan paket ini, berbentuk bola kasar dengan ujung-ujungnya yang seolah sudah dikikis. Aku menerka-nerka isi dari paket ini sebelum akhirnya aku memikirkan sesuatu yang membuatku mual. Sangat mual.
Benda ini berbentuk bulat, sedikit berat. Aku tak ingin memikirkan isi dari paket ini, tetapi kepalaku tak dapat mencegahnya. Semakin tak ingin kuterka, semakin kuat perasaan itu. Kabut dalam otakku seolah-olah mengirimkan bayangan gambar mengerikan mengenai kepala wanita yang dipotong dengan rapi. Mulut yang terbuka dengan lidah yang menjuntai keluar, mata yang terbelalak dan tak dapat mengedip dalam kepala botak akibat rambut yang telah dipotong. Semua bayangan mengerikan itu seolah-olah tak ingin keluar dari otakku.
Aku berusaha sekeras mungkin untuk tak memikirkannya.
Sialan, sialan, sialan.
Aku berjalan menuju kamarku, menghindari seluruh kemungkinan terburuk dari sergapan Loka, walaupun yang ia lakukan selama ini hanya memainkan ponselnya—tak peduli dengan kehadiranku. Kemudian, kututup pintu kamarku, menarik napas sedalam mungkin sebelum menggerakkan telunjukku, melepaskan perekat yang terikat dengan kencang pada kertas berwarna coklat ini.
Kugunakan kuku telunjukku, mengelupasnya secara perlahan. Di saat itu jugalah jantungku berdetak dengan sangat kencang. Beberapa kali aku mengutuk sang pembunuh—yang aku sendiri belum tahu siapa. Hingga akhirnya aku dapat melihat sedikit bagian dalam dari paket ini.
Sepotong kulit. Bukan, bukan kulit manusia, tetapi kulit plastik.
Semakin kupercepat aksiku, membuka seluruh bungkusan ini tanpa mempedulikan keindahannya, seolah-olah aku adalah zombie yang sedang mencabik-cabik kepala manusia untuk mencari otakknya.
Bukan, bukan kepala manusia.
Untuk sesaat, aku bersyukur, mengadahkan kepala ke atas, menarik napas sedalam-dalamnya, dan kembali mengeluarkannya dalam ritme yang pas.
Ini hanya manekin. Manekin sialan dengan bagian dalam yang diisi batu agar terasa berat. Siapapun yang mengirimkan benda ini, sungguh lelucon yang keterlaluan, bahkan tak lucu sama sekali.
Jantungku kembali berdetak dengan normal, darahku kurasa mengalir sebagaimana seharusnya. Kulap keringat yang mengalir melalui pelipisku, tanpa menjatuhkan kepala manekin ini.
Jadi, siapa yang mengirimkan benda ini? Apakah si pembunuh? Atau orang iseng.
Kemudian, mengingat tulisan R3 yang sebelumnya ada pada dua manekin di tubuh korban, aku mencoba mencari tahu apakah tulisan itu tertera pada manekin yang dikirimkan entah oleh siapa padaku ini.
Namun, aku tidak mendapati tulisan R3 sebagaimana yang kukira. Sebagai gantinya, sebuah tulisan tangan buruk, menuliskan tulisan yang lain dengan tebal, menimpanya dengan garis berkali-kali, walaupun tetap saja tulisan itu jelek.
PRANK
===
"Kau juga mendapatkan paket itu?"
Wijaya mengangguk.
"Sudah pasti pengirimnya pembunuh itu."
Wijaya—dengan catatan dalam ponselnya itu—memasangkan wajah setuju. Ia mengangguk untuk kedua kalinya. Namun, kali ini diselingi dengan pernyataan, "Dengan tulisan PRANK di dalamnya."
"Bukan R3."
"Benar."
Namun, aku kembali pada topik yang sebenarnya ingin kubicarakan dengannya, alasanku mengapa memanggilnya ke ruanganku untuk berdiskusi.
"Dengar, Wijaya, aku tahu kau tak akan setuju dengan rencanaku itu, tapi kurasa itu adalah pilihan terbaik yang dapat kita lakukan kali ini."
Wijaya masih menggeserkan jempol kanannya pada layar ponsel itu—layar yang tak kuketahui menampilkan apa karena aku tak dapat melihatnya. "Walaupun saya berharap kita masih bisa mengerucutkan jumlah kemungkinan tersangka, tapi saya rasa Anda memang benar, Pak. Saya belum tahu bagaimana caranya."
"Kau setuju dengan rencanaku?"
"Tepatnya terpaksa, Pak," katanya, sembari menahan senyum. Namun, aku tak merasa tersinggung. Mendengarnya menyetujui rencanaku saja sudah membuatku sedikit senang, karena artinya tak perlu ada lagi perkelahian di antara kami. Aku pernah memiliki beberapa pengalaman buruk bersama rekan-rekanku sebelumnya, percekcokan antara dua rencana yang tak sejalan. Lalu, entah karena merasa kurangnya pengalaman atau perhitungan yang tepat dari kalkulasinya, Wijaya menyetujui keinginanku.
Sejujurnya, aku pun sama seperti Wijaya, menginginkan kasus ini selesai sesegera mungkin, membuat kesan baik di mata komisaris, juga membantu Wijaya dalam penyelidikan pertamanya yang rumit. Namun, kurasa cara inilah cara tercepat yang dapat kulakukan sekarang.
Akhirnya, kucoba mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang lain.
"Dari tadi kau memainkan ponselmu, ada apa?"
Wijaya menghentikan pekerjaannya sekejap, membalasku, "Tidak apa-apa."
"Kita sudah bekerja sama seminggu lebih. Aku sudah tahu benar kebiasaanmu, kau tidak akan memainkan ponsel ketika sedang dalam pembicaraan seperti ini, kecuali sesuatu yang ada di ponsel itu menurutmu benar-benar penting." Aku tertawa kecil. "Bukan hanya kau saja yang dapat melihat keadaan sekitar, Sherlock."
"Oke, saya kalah, Pak," katanya, dalam nada yang tak beraturan. "Saya sedang mengecek profil mereka, lima calon tersangka kita."
"Lalu?"
"Mereka semua berasal dari universitas ternama dengan prestasi yang tinggi semasa kuliah, termasuk ketika mengambil gelar profesinya."
Aku mengangguk pelan.
"Selain itu belum ada yang menarik lagi."
"Lalu, apa yang sedang kau cari sekarang mengenai mereka?"
"Keluarga mereka, profil sebelumnya."
"Belum kau dapatkan?"
"Belum saya dapatkan, Pak."
Aku mengangguk lagi.
"Aku senang kau melakukannya," pujiku. "Tapi, Wijaya, jika kau melakukan itu, kuharap kau memberitahuku. Kita rekan kerja, kan?"
Wijaya menahan senyum malunya. Kini, ponselnya digeletakkan di atas meja dalam keadaan terkunci, tanpa warna layar yang terang benderang, menyilaukan mata. "Maaf, Pak, saya sedikit kesal ketika itu. Saya pikir dengan saya mencarinya sendiri, saya dapat membuktikan pada Anda bahwa saya tidak salah, Pak."
Aku tidak menyalahkan ucapannya. Spontanitas seperti itu dapat terjadi pada siapa saja, termasuk dirinya yang ingin membuktikan bahwa dia bisa. Namun, aku tidak menganggapnya gagal juga, hanya saja belum beruntung.
Terkadang kejadian kala itu pun membuatku kembali berpikir mengenai Loka. Sebuah kesalahan kecil dapat membuar seseorang berubah, bahkan seseorang seperti Wijaya, yang biasanya terlihat santai dan tenang, berbicara tanpa emosi, datar tetapi tidak dalam kesan yang dingin. Apakah Loka juga seperti itu? Apakah karena ibunya yang meninggalkan bocah itu secara tiba-tiba berpengaruh secara psikologis pada anak itu?
Aku tidak tahu. Yang pasti, apapun yang terjadi, aku berharap tak akan terjadi apapun padanya. Selain itu, kemampuan Wijaya dalam mengontrol emosi patut kuacungi jempol. Aku tak akan ragu mengatakan ini, Wijaya adalah rekan terbaikku dalam bekerja hingga detik ini.
===
Pikiranku masih mengarah pada kepala manekin yang dikirimkan padaku itu. Aku tak pernah memberitahu media mengenai tulisan R3 yang berada dalam manekin, yang artinya jika seseorang menuliskan kata PRANK dalam manekin itu, maka tindakannya bukanlah orang tolol tanpa kehidupan yang hanya mengikuti pekerjaan si pembunuh. Si pembunuh itu benar-benar mengirimkannya.
Aku telah memberikan bungkusan yang kusobek dengan berantakan itu pada penyidik, mencoba mencari sidik jari yang mungkin menempel pada perekat biarpun aku tahu itu percuma karena kertas coklat yang hampir 99 persen menempel pada perekatnya. Selain itu, aku pun memberikan manekin—yang ditujukan padaku—pada penyidik, mencoba mencari tahu apakah ada jejak yang tertinggal, semacam rambut atau mungkin goresan kulit. Namun, hasil yang didapatkan tetap sama, pekerjaannya terlalu bersih untuk didapatkan jejak. Tentu saja, si pembunuh itu adalah seorang dokter—biarpun masih berupa dugaan—yang pasti akan membersihkan seluruh jejak pembunuhan selayaknya ia membersihkan jejak operasi pada pasiennya.
Di samping itu, kami melakukan rencana yang kucanangkan. Aku meminta bantuan tiga penyidik lain untuk melakukan penguntitan pada masing-masing calon tersangka, walaupun aku menutupinya dari Komisaris Yudha karena ia pasti akan membunuhku jika tahu aku membuang-buang tenaga tiga orang di luar wewenangku. Untungnya, orang-orang menganggapku seorang senior di sini karena umurku yang hampir menginjak 40 tahun—biarpun terkadang membuatku sedih karena tak kunjung mendapatkan kenaikan pangkat.
Aku pun tak lepas dari rencana itu, membuntuti dokter Ryan yang hampir setiap hari pulang pergi menuju rumah sakit Borromeus yang terletak di kawasan Dago, berdekatan dengan lokasi ditemukannya mayat pertama. Dokter Ryan sendiri membuka jam praktek di rumahnya. Tidak terlalu ramai, tapi hampir selalu ada orang yang mengunjungi rumahnya sekadar untuk berobat.
Dapat dibilang orang itu tak memiliki waktu luang.
Aku tak pernah melihatnya keluar rumah dengan mencurigakan. Lelaki itu bekerja, kemudian pulang, tak ada kehidupan malam menculik wanita-wanita yang diinginkannya, menyekap mereka, mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tali, kemudian menggunting kepalanya secara halus. Sialnya, hal yang sama pun terjadi pada rekan-rekanku yang lain : tak ada kejadian mencurigakan apapun.
Aku hampir putus asa, merasa bahwa rencana yang kususun sedemikian rupa ini sia-sia. Namun, aku tak dapat menelan ludahku sendiri, membiarkan diriku diinjak-injak karena harga diriku yang sengaja kujatuhkan. Aku tetap berteguh pada pendirian, begitu pula dengan keempat rekanku—termasuk Wijaya. Mereka tak mengeluh sama sekali, membuatku tak dapat mengeluh karena berusaha memberikan contoh sebaik mungkin.
Tak ada hasil, semuanya sama, hingga Wijaya memberikan satu profil yang menarik perhatianku.
Dokter yang kubuntuti—Dokter Ryan—berbeda dari orang lain. Ia dibesarkan tidak dengan kedua orang tuanya karena pembunuhan yang terjadi pada kedua orang tuanya. Ryan ditemukan dalam genangan darah kedua orang tuanya, menangis dalam usia tiga tahun dan tak dapat berbuat apa-apa. Kedua orang tuanya ditusuk sebanyak empat kali. Sang ayah meninggal akibat tikaman pada jantungnya, sedangkan sang ibu diduga kehabisan darah akibat tusukan yang mengenai diafragmanya. Tangisan Ryan kecil menyadarkan para tetangganya bahwa ada sesuatu yang tak beres, menemukan pemandangan mengerikan yang tak dapat hilang begitu saja. Ryan kecil akhirnya diasuh oleh tetangganya—yang sangat dengan orang tuanya.
Tak ada catatan lain mengenai hal itu—menurut Wijaya. Yang pasti, profil dokter Ryan adalah profil yang paling mencolok di antara mereka berlima. Selain itu, kehidupan keempat calon tersangka lainnya sangatlah biasa. Berasal dari keluarga kaya, sekolah, bekerja, tanpa adanya liku kehidupan yang tak terduga, membuatku menyarankan rekan-rekanku untuk menghentikan penguntitan pada keempat dokter lainnya dan lebih berfokus pada dokter Ryan.
Mereka setuju—tentu saja—biarpun sebenarnya aku tak ingin menduga terlebih dahulu sebelum mendapatkan buktinya. Namun, mengingat pengintaianku sendiri ini didahului oleh dugaan, maka tak ada salahnya, kan?
Sudah beberapa hari aku melakukan pengintaian—atau mungkin kami, karena aku mengajak Wijaya—tak ada pergerakan yang aneh dari dokter Ryan. Namun, sama seperti sebelumnya, aku harus menunggu dengan tenang, menunggunya bergerak.
Jadi, kapan dia akan bergerak, mengambil korban selanjutnya dan menjadikan hal itu sebagai bukti kuat untuk persidangan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top