4. P̷̡͈͇̟͎̭̗̱̬̹̊̀̚̕u ̵́͆̓̊̑̈́̋̄̀̌̚͠͠z̬̆z ̷̨͕̣̈́͋́͋̈͌̚l ̶̢̨̬͇̼͈̠̲̫̓̐̌͝e͉̞̼
Boneka adalah salah satu kelemahanku, utamanya boneka yang berbentuk manusia. Tatapan mata yang kosong terkadang membuatku berpikir macam-macam, seolah-olah melihatnya berkedip atau bergerak tanpa komando. Untungnya, manekin itu—yang sengaja diletakkan oleh sang pembunuh—tidak dibuat menyerupai manusia semirip mungkin, hanya bentuk kepala dari plastik berwarna krem muda tanpa adanya gambar apapun.
Di hari kedua kami, setelah memutuskan perkara yang akan kami lakukan, kami mencari tahu dari mana manekin-manekin itu dapat dipesan, bertanya pada beberapa pemilik toko yang dengan kerjasamanya, membuat kami berhasil mendatangi produsen pembuatan boneka manekin semacam itu.
Tempat produksinya tidak seperti sebuah kantor, bahkan lebih terkesan semacam rumah biasa dengan ukuran sedang. Bahkan, mungkin rumahku lebih luas dari tempat ini. Dengan dinding warna putih dan halaman rumah berhiaskan rumput hijau serta marmer berbentuk kotak yang sengaja diletakkan di antaranya, membentuk sebuah jalan kecil, menunjukkan betapa minmalisnya rumah—tempat produksi manekin—ini.
Segera setelah keluar dari mobil, aku membuka pintu gerbang sembari berkata, "Kurasa kita harus melakukan ini beberapa kali. Produsen manekin tidak mungkin hanya satu, kan?"
"Yang saya takutkan bukan itu, Pak. Bagaimana jika pembunuh itu membeli manekinnya dari luar kota? Di luar yuridis kita?"
"Kita akan meminta tolong," ucapku. "Sialan, ini akan jadi pekerjaan yang sangat panjang."
Aku mengetuk pintu yang setengah terbuka, beberapa manekin terlihat terpampang di dalam ruangan yang ternyata lebih luas dari yang kukira. Lantai kayu yang dipoles hingga mengilap itu menambah kesan estetik rumah ini. Kemudian, beberapa detik setelah ketukan yang kulakukan, seorang wanita berumur 35 tahunan menyambut kami dengan ramah. Wanita itu menggunakan kaus hitam, tak berdandan, dengan celana jeans yang sedikit gombrang.
"Punten, Bu," sapaku ramah, memulai pembicaraan.
"Mangga, Pak. Peryogi naon, Pak?"
"Sanés, Bu. Punten kawitna bilih abdi ngaganggu. Abdi ti kepolisian, bade naros sababarapa patarosan."
Awalnya, perempuan itu terlihat bingung ketika aku memperkenalkan diri. Namun, pada akhirnya, perempuan itu menjawab, "Oh, mangga atuh kalebet, Pak."
Wanita itu dengan ramah, mempersilakanku untuk masuk ke dalam, disertai dengan wajah bingung Wijaya.
"Ibu itu mengatakan apa, Pak?"
Aku tak kalah terkejutnya dengan WIjaya. Kupastikan bahwa orang ini tak bercanda, jadi aku menatapnya untuk beberapa saat sampai aku tahu benar bahwa dirinya tidak sedang bercanda.
"Loh, bukan orang Sunda?"
Wijaya menggeleng, membuatku tertawa kecil.
"Saya kira orang Sunda!" teriakku, agak keras. Aku yakin suaraku itu memekikkan telinganya karena memiliki frekuensi yang lebih tinggi dari seharusnya. "Intinya, aku hanya mengatakan ingin menanyakan beberapa pertanyaan, ibu itu mempersilakan kita masuk. Jadi, ayo masuk."
Wijaya mengangguk, mengerti apa yang kuucapkan dengan membulatkan bibirnya, mengeluarkan bunyi huruf o yang cukup panjang.
Ruangan yang luas ini seolah terbagi menjadi dua bagian. Sebuah sofa panjang dan dua buah sofa kecil sengaja diletakkan di depan ruangan, mengelilingi meja kaca dengan taplak berwarna hijau muda bermotifkan batik. Selain itu, bagian belakang ruangan ini dipenuhi oleh beberapa manekin. Kardus-kardus yang terletak di antaranya pun ikut memenuhi ruangan. Beberapa plastik membungkusi manekin-manekin yang tampaknya telah selesai dan siap untuk dikirimkan.
Wanita itu membersihkan bagian depan ruangan ini, membenarkan taplak meja dan menyingkirkan butiran-butiran debu dengan tangan kosong. Aku membantunya, walaupun aku tak merasa membantunya, sedangkan Wijaya telah duduk terlebih dahulu, membuatku tertarik untuk mengikutinya. Akhirnya, aku duduk pada sofa panjang, di sebelah Wijaya ketika perempuan itu hendak mengambilkan minum.
"Upami abdi nyuunkeun cai bodas wungkul, wios, Pak?"
"Teu kedah sesah-sesah, Bu, moal lami da."
Wijaya terlihat bingung mendengar percakapan kami, jadi aku memberitahunya, "Ibu itu ingin menyajikan air minum untuk kita. Aku menolaknya."
Uh, kadang-kadang aku merasa geli ketika aku berinteraksi menggunakan bahasa daerah, sedangkan seseorang di sampingku tak mengerti apa yang kuucapkan, kemudian membuat mimik yang unik. Mungkin, itu pula terjadi padaku jika aku sedang merantau ke negeri orang. Sejujurnya, aku tak tahan untuk menggoda Wijaya, bercanda menggunakan bahasa daerah yang tidak diketahuinya. Namun, aku tahu itu bukanlah hal yang baik.
Akhirnya, perempuan itu mendengarkan instruksiku, ia lebih memilih untuk duduk pasa sofa yang tersisa ketimbang mengambilkan kami air minum. Lagipula, memang aku pun tak mengharapkan hal itu, dan aku yakin Wijaya memikirkan hal yang sama.
"Jadi, bu, sebenarnya kami di sini hanya ingin menanyakan beberapa hal," kataku, mengganti pengaturan bahasaku agar Wijaya dapat mengerti obrolan kami. "Oh, ya, Roy."
Kuulurkan kedua tanganku, membentuk tanda perkenalan di mana perempuan itu melakukan hal yang sama. Kemudian, Wijaya melakukan tindakan persis seperti yang kulakukan, memperkenalkan namanya, mengulurkan salam, dan dibalas oleh perempuan itu—Rita.
"Jadi, bu Rita pemilik produksi manekin, ya?" tanyaku, memulai wawancara secara tak resmi.
"Iya. Kenapa, Pak?"
"Ah, ya, saya hanya ingin bertanya apakah beberapa hari sebelumnya pernah ada orang di luar dari langganan ibu yang memesan manekin, Bu? Lebih khususnya, mungkin hanya membeli kepalanya saja."
Bu Rita sedikit bungkam. Alisnya dikerutkan. Kemudian, dengan nada rendah, ia bertanya, "Ini téh tentang pembunuhan itu, ya?"
Aku mengangguk. "Agak menyinggung ke sana,Bu."
"Tapi gak ada, da. Semua yang pesen langganan saya," beritahunya.
"Boleh saya minta daftar orang-orang yang memesan ke ibu, Bu?"
"Tunggu, rasanya saya simpen di kamar." Bu Rita segera beranjak dari tempat duduknya, menuju ruangan lain yang belum kujamah. Jadi, aku hanya menunggunya di sini, tanpa kepastian yang jelas. Seolah-olah menjadi bayanganku, Wijaya melakukan hal yang sama—tidak melakukan apa-apa—hingga akhirnya wanita itu kembali dengan membawa buku tebal berukuran folio dengan tebal yang kuterka sekitar dua ratus halaman, berwarna kuning dengan sedikit tulisan pada sampul halaman depannya, tetapi tak sempat kubaca karena bu Rita lebih dulu membuka lembaran demi lembaran buku itu.
"Ini dari sekitar lima tahun lalu, Pak." Bu Rita menyerahkan buku itu padaku dalam keadaan tertutup, sehingga aku dapat membaca tulisan pada sampul depannya. Pembeli, itu yang tertulis di sana.
"Ditulis manual, Bu? Nggak pakai komputer?"
"Saya nggak bisa pakai komputer, Pak."
Uh, aku tak percaya di zaman modern seperti ini masih ada orang yang menggunakan tulisan tangan untuk membuat daftar sebanyak dan setebal ini. Beberapa tulisan terlihat berbeda satu sama lain, menandakan sang penulis adalah orang yang berbeda-beda, membuatku sadar akan satu hal.
"Oh, iya, bu, gak ada karyawan, Bu?"
"Lagi pada istirahat, Pak, lagi pada di dalem."
Aku hanya mengiyakan saja pernyataannya itu. Tidak aneh juga, sih, karena di siang bolong seperti ini memang sudah waktunya bagi para pekerja untuk istirahat. Namun, apakah itu berarti rumah ini tidak seminimalis seperti yang kukira? Aku tak mendengar celotehan orang-orang di ruangan belakang yang harusnya terdengar. Jika Bu Rita saja bisa mendengarku mengetuk pintu, mengapa aku tak dapat mendengar mereka?
Kemudian, kuserahkan buku itu pada Wijaya agar dia pun dapat membacanya. Namun, berbeda denganku yang lebih tertarik untuk membaca buku itu, Wijaya segera menarik ponsel keluar dari saku kemejanya, kemudian mengambil beberapa foto dari lembaran-lembaran buku itu, walaupun aku yakin dia tidak akan memfotokan seluruh halaman. Gila saja, dua ratus halaman, hampir terisi penuh, diambil gambarnya satu-satu.
Kemudian, setelah selesai dengan pekerjaannya, Wijaya lebih memilih untuk menutup bukunya, membaca hasil jepretannya dari ponsel dengan serius. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya, tetapi tatapannya itu seolah mengatakan bahwa dia menyadari sesuatu.
"Ada satu orang yang tidak pernah ada di daftar sebelumnya," ucapnya, memberitahu kami, membuat kami terbelalak. Masa sih secepat itu dapat ditemui? Ini baru produsen pertama dari beberapa daftar produsen yang akan dikunjungi, loh.
"Afrizal Dirgantara, bukan nama lembaga."
"Oh, yang itu," tukas bu Rita, membuatku dan Wijaya melayangkan perhatian padanya. "Itu anak SMA yang pesen."
Aku dan Wijaya saling bertatapan, seolah-olah bertanya 'Apakah harus diselidiki? Kenapa anak SMA membutuhkan sebuah manekin?' sedangkan kami tak tahu pilihan yang harus dilakukan, membuat kami berada dalam suasana canggung, tak berbicara, tetapi penuh tanya.
"Kapan dia memesannya?"
"Dua minggu lalu," jawab Wijaya, begitu kembali membaca tulisan yang telah ia foto dalam ponselnya.
Sekarang, muncul pertanyaan lagi. Apa mungkin seorang anak SMA melakukan kegilaan seperti itu? Atau aku harus mencari tahu lebih jauh lagi sebelum menjatuhkan kecurigaan terhadap seseorang?
Akhirnya, setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama, kami berpamitan, berterima kasih pada bu Rita atas seluruh bantuan yang telah dilakukannya, kembali menuju mobil yang terparkir di samping jalan, memenuhi hingga setengah dari lebar jalanan itu.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Pak?"
Aku berdeham.
"Kita tidak boleh langsung mengerucutkan tersangka langsung pada satu orang itu. Masih banyak kemungkinan," kataku. "Selain itu, aku baru saja mendapatkan kabar bahwa seseorang mengaku telah kehilangan anggota keluarganya, ia berada di kantor kita, sekarang."
"Jadi kita akan ke kantor kepolisian dulu?"
"Kita bagi dua saja. Kau ingin mencari informasi dari para produsen manekin atau berhadapan dengan seseorang yang kehilangan anggota keluarganya?"
Wijaya terlihat berpikir keras. Matanya menjadi serius, kemudian berhenti berjalan, membuatku terpaksa melakukan hal yang sama karena tak ingin meninggalkannya.
"Mungkin saya akan cari-cari orang saja, Pak, sekalian jalan-jalan."
"Kalau begitu kau yang menyetir, ya?" Kulemparkan kunci mobilku padanya. Untungnya, refleksnya cukup bagus sehingga kunci itu tak terjatuh dan menimbulkan kegaduhan. "Tapi saya minta tolong antar ke kantor dulu, setelah itu saya titip mobilnya, ya."
"Oke, Pak!"
===
Berhadapan dengan seseorang yang kehilangan anggota keluarganya sebenarnya bukanlah bagianku. Namun, karena kurasa pengaduannya akan sedikit menyinggung kasus yang sedang kutangani, jadi dengan sabar kutemani rekan kerjaku yang lain, selain Wijaya untuk membantu memberikan beberapa pertanyaan yang dirasa akan bersinggungan dengan kasus itu.
Seorang pria berumur tiga dua, berpakaian rapi bagaikan pebisnis yang telah sukses, memainkan kesepuluh jari lengannya, mengetukkan jari-jari itu pada kedua pahanya dan membuat irama yang tak terlalu beraturan. Pria itu mengaku bahwa istrinya telah menghilang selama tiga hari tanpa kabar. Awalnya, dia merasa tidak terlalu begitu peduli karena memang di saat bekerja, biasanya sang istri tidak akan pulang selama beberapa hari, bahkan minggu. Namun, baru kali ini ia kehilangan kabar sepenuhnya dari wanita itu.
"Bisa ceritakan mengenai Anda dan istri Anda, Pak?" rekanku bertanya dengan ramah, bahkan tetap berusaha menampilkan senyumnya yang sopan, tetapi tertahan karena suasana yang tak memungkinkan. Mana mungkin ia dapat tersenyum ketika seseorang sedang kehilangan hal yang dicintainya?
"Saya dan istri saya sudah menikah beberapa tahun. Ya ampun, saya sangat mencintainya," ceritanya, dalam sela isak tangis yang tak dapat ditanggulanginya. "Dia seorang arsitek, sedangkan saya menjalankan usaha di rumah."
"Usaha apa yang Anda jalani, Pak?"
"Benda-benda miniatur. Ya ampun, saya tidak tahu harus menceritakan apalagi, saya bingung." Rasa khawatir sang pria itu semakin terlihat jelas. Ucapannya mulai terbata-bata.
"Anda bilang istri Anda seorang arsitek, kan?"
"Arsitek lepas."
"Maksud Anda?"
"Biasanya dia dimintai tolong jika ada sebuah proyek. Dan jika itu terjadi, biasanya pun dia akan pergi beberapa hari, menginap di hotel. DIa sudah mendesain banyak rumah untuk properti. Astaga, bahkan aku tak ingin mengingatnya."
"Mau saya ambilkan air?" selaku, sebelum ia melanjutkan ceritanya. Namun, pria itu menolak.
"Biasanya, aku masih dapat mendengar kabar darinya, tetapi tiga hari terakhir ini saya benar-benar tak dapat menghubunginya."
"Biasanya Anda menghubunginya melalui apa?"
"Whatsapp, Pak."
"Bisa berikan ciri-ciri atau kebiasaan istri Anda yang mungkin Anda ingat?"
"Apa, ya? Ya ampun, saya sedang tak dapat berpikir jernih untuk saat ini." Matanya terlihat gelagapan, ketukannya semakin dikencangkan, menandakan dirinya yang tak nyaman dalam situasi seperti ini. Mungkin, orang ini terbiasa untuk memendam segala masalah sendirian. Namun, kala ini ia benar-benar terpaksa untuk menceritakan semuanya pada kami.
"Tingginya mungkin sepantar dengan bahu saya. Dia selalu menggunakan anting dengan gantungan bolap erak kecil, menggunakan nail polish."
"Berwarna merah?" selaku, segera setelah ia mengucapkan hal itu.
"Saya tidak ingat, mungkin iya, itu kebiasaannya. Dia selalu menggunakan gel nail polish."
Aku memandang rekan sementaraku itu yang sedang mengetikkan seluruh percakapan kami. Kemudian, aku baru sadar bahwa orang ini mungkin tidak mengetahui beberapa hal detail mengenai pembunuhan yang terjadi. Kebenaran yang kusembunyikan mengenai kuku korban yang masih berwarna merah tentu saja akan mencegah pemberitaan tersebut tersebar dalam media massa. Jadi, jika memang kebiasaan wanita itu seperti yang diucapkan pria ini, kemungkinan besar sang korban memang merupakan istrinya.
"Anda memiliki foto istri Anda, Pak?" tanyaku dengan segera, menghindari kesunyian yang dapat membuat pikiran kami berjalan ke mana-mana.
"Oh, ya, tentu ada." Pria itu merogoh kantung celananya, mengambil sebuah ponsel kemudian menggerakkan jari-jarinya, mengambil sebuah galeri di mana foto-foto tersimpan.
Dengan segera, kuambil ponselku, mengirimkan beberapa gambar yang pria itu katakan sebagai istrinya, menyimpannya dalam ponselku, kemudian berterima kasih. Lalu, beberapa pertanyaan tambahan kuberikan, sekadar memberikan sedikit informasi mengenai dirinya, hingga selesai.
Pria itu siap untuk pergi setelah ia mengatakan, "Saya mohon pertolongannya, Pak."
Kubalas dengan senyuman, menyembunyikan kemungkinan bahwa wanita itu merupakan istrinya. Aku tahu, cepat atau lambat dia harus segera tahu. Namun, hasil penyelidikan yang masih nihil membuatku enggan untuk menceritakan tentang korban pada dirinya. Kurasa ia belum siap jika wanita itu memang merupakan istrinya—dan aku harus tetap menyelidikinya lebih jauh apakah memang benar seperti itu atau tidak. Namun, jika itu benar, artinya sang wanita telah hilang sejak tiga hari lalu. Sang suami tak mencarinya dalam kurun waktu 24 jam karena memang biasanya wanita itu pergi ketika ada proyek.
Aku mendapatkan informasi tambahan, aku bisa mengunjungi proyek yang dimaksud, walaupun dengan beberapa kendala. Proyek apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top