3. Force of Will


Penyelidikan yang kulakukan belum menemukan titik terang. Tidak sepenuhnya jalan buntu, tetapi, jika dianalogikan, semacam aku mendapatkan beberapa persimpangan yang tak kuketahui akan membawaku ke mana. Jadi, aku menunggu seseorang untuk memberikanku sebuah senter agar aku dapat menerangi jalanku, mencari tahu jalan mana yang terbaik.

Malam ini, aku hanya membereskan laporan yang tersisa, menempeljak jari-jariku pada keyboard ketika kesadaranku mulai goyah. Aku tak memebeli kopi karena aku tak berniat untuk berada di sini lebih dari pukul sembian malam. Beberapa paragraf lagi seluruh pekerjaanku selesai, jadi aku tak ingin menyia-nyiakan 3000 rupiahku untuk hal yang tak dapat kunikmati. Sedangkan Wijaya, kurasa sudah pulang, menutup kasus pertamanya itu tanpa kesimpulan yang jelas.

Segera setelah kuselesaikan seluruh tugasku, kumatikan komputernya, membuat layarnya menjadi gelap, mengambil beberapa barang yang kuperlukan, kemudian berjalan keluar, menikmati udara malam kota Bandung yang sejuk. Aku menghirup napas, memasukan gas oksigen ke dalam paru-paruku. Suasana yang tak akan pernah kulewati, menyegarkan otakku setelah kesemrawutan yang kujalani siang ini. Lalu, sebelum aku menggapai rumah, mengistirahatkan badanku di atas kasur empuk kemudian tidur terlelap, kuputuskan untuk membeli sebungkus makanan terlebih dahulu dari pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya di tempat yang telah disediakan.

Waktu benar-benar terasa begitu cepat, rasanya baru saja kemarin, para pedagang ini belum ditempatkan seperti sekarang ini, mengganggu hak pejalan kaki tanpa rasa bersalah. Namun, keadaan sekarang lebih baik.

Sambil menunggu pesananku yang tampaknya akan lama datang karena antrian pelanggan yang cukup panjang, kuputuskan untuk berselancar terlebih dahulu dalam dunia maya, menghalau rasa bosan akibat menunggu. Kudapati berita tadi tersebar dengan sangat cepat, termasuk dalam dunia maya. Mengerikan, seolah-olah ada sebuah sistem otomatis yang menyalin artikel dari suatu laman ke laman lain. Pencarianku terhadap 'Pembunuhan kepala manekin kota Bandung' bahkan menampilkan lebih dari seratus laman berita, baik yang kredibel maupun tidak.

Kulihat namaku yang dicatut di sana, "Bagi siapapun yang merasa kehilangan anggota keluarganya, perempuan berumur 26 hingga 35 tahun, harap menghubungi kami."

Aku bersyukur karena setidaknya pesan itu dapat tersampaikan walaupun beberapa berita membuat judul yang terkesan melebih-lebihkan, membuatnya menjadi sebuah clickbait yang tak kusuka.

Geger! Seorang siswi menemukan mayat berkepala manekin di kota Bandung!

Pertama kali terjadi, sebuah pembunuhan terhadap wanita dengan kepala yang diganti oleh sebuah manekin!

Pembunuhan terhadap seorang wanita, pengakuan polisi akan membuat Anda terkejut!

Cih, pengakuan polisi akan membuat terkejut apa? Seenaknya saja mereka melebih-lebihkan.

Akhirnya, setelah tenggelam terlalu lama dalam dunia maya, makananku datang, membuatku merogoh saku, mengambil dompet, memberikan uang pecahan senilai dua puluh ribu rupiah. Namun, pikiranku masih kesal karena berita-berita yang menjadikan judul clickbait sebagai pilihan mereka.

"Hatur nuhun, A," kataku, setelah mendapatkan pesananku sebagaimana harusnya. Sekarang, aku hanya perlu kembali ke rumah, memakan makan malam, kemudian mengistirahatkan otakku. Besok akan menjadi hari yang baru dengan kasus yang baru juga, kan?

===

Kami—aku dan Wijaya—mendatangi labolatorium kepolisian untuk meminta hasil visum yang katanya telah ada. Sama seperti Wijaya, seolah-olah ini adalah kali pertama kutangani sebuah kasus pembunuhan, mataku berbinar seolah-olah tak sabar untuk mendapatkan hasil yang kutunggu-tunggu.

Sebuah mayat terpampang nyata di hadapanku, terbaring di atas kasur empuk dengan bagian atas yang sengaja dinaikan. Lampu neon yang tak begitu terang membuat suasana ruangan ini menjadi tak nyaman, seolah-olah aku berada pada salah satu adegan film horor, menunggu mayat ini hidup.

Berbeda dengan sebelumnya, aku tak mendapati kepala manekin yang menempel pada bagian tubuh mayat ini. Mungkin dilepaskan oleh dokter Dalton—sang dokter yang menangani mayat ini.

"Jadi, bagaimana cara pembunuh itu menyambungkan mayat wanita ini dengan kepala manekinnya?" tanyaku, begitu dokter Dalton mencari arsip mengenai kasus ini.

"Kalian tidak akan percaya, pekerjaannya sangat rapi."

"Kejadian ini telah terjadi, kurasa aku akan percaya."

"Si pembunuh itu menjahit leher korban untuk ditempelkan pada kepala manekin, apakah saya benar?" tukas Wijaya, secara tiba-tiba.

"Bagaimana kau tahu?"

Wijaya menunjukan kepala manekin yang tergeletak di atas meja dengan kain bersih yang sengaja diletakan di bawahnya, sebagai alas agar kepala manekin itu tidak kotor. Kemudian, kuperhatikan kepala tersebut, lubang-lubang kecil berada di sekeliling leher manekin, membuatku membayangkan seorang pembunuh menjahitkan kulit leher korban pada lubang manekin ini.

"Menjijikkan," komentarku. Bahkan, aku hampir muntah ketika membayangkan seluruh kejadian yang timbul dalam benakku itu.

"Pekerjaanya sangat rapi," Dokter Dalton melanjutkan, "Untuk membuat jahitan seperti itu, yang pas dengan leher manekin serta panjang kulit leher korban, bukanlah pekerjaan mudah. Pembunuh itu memperhitungkannya dengan tepat, benar-benar menggantikan kepala mayat wanita malang itu dengan sebuah manekin."

"Menurutmu, orang seperti apa yang akan melakukan pekerjaan seperti ini?"

"Psikopat gila yang memiliki banyak waktu senggang?" sela Wijaya.

Setelah dokter Dalton mendapatkan barang yang diinginkannya, mengambil sebuah map plastik dan memberikannya padaku, ia berkata, "Kurasa Anda harus memeriksa para dokter bedah di kota ini. Anda mengerti maksud saya, kan?"

Aku mengangguk.

"Tak ada darah sama sekali?"

"Tak ada darah yang membekas di sekujur wanita itu. Ada sedikit bekas pada bagian leher, tapi tidak begitu banyak. Seperti yang saya katakan, pekerjaan itu sangatlah sulit, apalagi memotong leher korban tanpa menimbulkan cipratan darah sama sekali."

"Jadi, menurut Anda bagaimana cara ia melakukannya, Dok?"

Dokter Dalton menggeleng, "Saya tidak tahu. Saya tidak menemukan bekas pembekuan darah yang disengaja sama sekali, mungkin orang itu terlebih dahulu mengeluarkan seluruh darah dengan membuat lubang kecil pada bagian atas leher wanita itu. Kemudian, setelah semuanya keluar, ia baru memotongnya."

"Benar-benar psikopat gila yang memiliki banyak waktu senggang," Wijaya membenarkan pernyataan sebelumnya.

"Jadi, bagaimana dengan waktu kematian dan semacamnya, Dok?"

"Itu semua ada di dalam sini," katanya, sembari mengetuk map plastik yang tengah berada dalam genggamanku itu beberapa kali. "Anda bisa membacanya."

Tanpa berpikir panjang, segera kubuka lembaran-lembaran hasil visum itu, begitu pula dengan Wijaya dengan rasa penasarannya yang tinggi. Ia mendekatiku, berjinjit sedikit, mencari tahu isi dari laporan ini.

Seorang wanita dengan tinggi diperkirakan 155 sentimeter, seperti yang kukatakan, serta berumur akhir 20-an. Pembunuhan diperkirakan terjadi kemarin malam sekitar pukul tujuh malam, kehabisan darah. Tak terdapat lebam di sekujur tubuhnya, tetapi ada dugaan bahwa wanita ini sebelumnya disekap, terdapat bekas tali pada kedua tangan dan kakinya, tidak begitu kencang, tetapi cukup menahan pergerakan wanita ini.

"Mayatnya telah mengeras dan kaku, kan?"

"Tidak sepenuhnya, Pak."

Kulanjutkan beberapa hasil yang didapatkan yang tertera pada laporan ini, sama seperti Wijaya yang tak berkomentar apa-apa. Namun, tiba-tiba saja Dokter Dalton berkata, "Oh, ya, saya lupa memberitahu Anda satu hal."

Pandanganku teralih padanya untuk sejenak, menaikkan sebelah alis, lalu bertanya, "Apa?"

Namun, dalam kemisteriusannya, Dokter Dalton tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mengambil kepala manekin itu, mengangkatnya dengan hati-hati, kemudian membalikannya, memperlihatkan bagian bawah manekin itu.

"Kenapa?" tanyaku, memperhtikan sesuatu yang tampaknya tak ada apapun.

"Perhatikan baik-baik."

Aku mendekatkan wajahku. Ternyata, sebuah tulisan melekat pada bagian dalam manekin itu, terlukis di antara celah-celah kosong bekas sang pembunuh mengaitkan benang. Sebuah tulisan yang begitu kecil, hampir tak terlihat.

R3

===

Andaikan aku adalah psikopat gila, mungkin aku telah mengetahui maksud dari R3 itu.

Jadi, apa maksud dari R3 itu? Apakah itu tulisan yang sengaja ditinggalkan oleh sang pembunuh atau sebenarnya hanya kode produksi kepala manekin yang tak ada hubungannya sama sekali dengan sang pembunuh?

R3, R3.

Dua simbol itu terus terngiang dalam kepalaku. Apakah maksudnya motor Yamaha keluaran terbaru? Namun, apa maksudnya? Untuk apa tulisan itu sengaja diletakkan di sana, menimbulkan kekacauan yang seharusnya tak terjadi?

Uh.

Bersama dengan Wijaya, kami menyantap makan siang di foodcourt Bandung Indah Plaza, mengisi perut kosong yang kelaparan di tengah keramaian. Rasanya, orang-orang di sekitar tempat ini seolah tak peduli akan kematian seorang wanita yang ditemukan kemarin. Mereka berjalan santai, tertawa seperti biasa, memakan makanannya tanpa perasaan takut sama sekali. Aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan oleh wanita itu.

Kami sendiri—aku dan Wijaya—bukanlah seorang mata-mata yang harus bersembunyi dari segala kemungkinan, tidak memercayai siapapun. Jadi, tak ada salahnya kami menampakkan diri di tempat ramai seperti ini, kan?

Kami mendiskusikan kasus yang sedang ditangani dengan suara sepelan mungkin, hanya dapat didengar oleh kami berdua, disertai oleh suapan makanan yang menghujam mulut kami.

"Jadi, bagaimana pendapatmu?" tanyaku.

"Pendapat apa?"

"Apakah menurutmu kita harus mengejar seluruh dokter bedah di kota ini?"

"Itu akan memakan banyak waktu."

"Tentu saja maksudku tidak begitu," balasku, sedikit tertawa. "Tentu saja kita hanya perlu memanggil beberapa orang yang berpotensi dan terlihat mencurigakan."

"Bagaimana cara kita menyusun orang-orang yang akan kita curigai?"

Kukernyitkan dahiku. "Ya, aku pun belum memikirkan hal itu." Kuambil suapan selanjutnya. Kemudian, dengan mulut yang penuh, aku berkata, "Atasan kita gila, ya. Ini kasus pertamamu dan ia langsung memberikan kasus yang bahkan baru pertama kali terjadi di kota ini, tipe aneh yang tak pernah kupikirkan sebelumnya."

"Mungkin karena mereka memercayai Anda yang akan mengajari saya banyak hal, Pak?"

"Jangan buat aku menjadi sombong," ucapku, sembari meninju dadanya, membuatnya tergerakkan ke belakang beberapa sentimeter. "Tapi, serius, kasus seperti ini baru pertama kali terjadi di kota ini."

"Mungkin juga di Indonesia?"

"Mungkin."

Kemudian hening, kami tak membicarakan apapun sampai akhirnya Wijaya berinisiatif untuk membuat topik obrolan yang baru.

"Bagaimana dengan mencari dokter bedah yang tidak bekerja malam? Saya rasa itu akan membantu."

"Ya, aku telah memikirkan hal itu."

"Menurut Anda, apakah orang ini hanya membunuh sekali saja, atau dia ingin menjadi seorang pembunuh berantai, Pak?"

Aku terkejut mendengar pertanyaannya.

"Kenapa kau berpikiran seperti itu?"

Wijaya terlihat enggan untuk menjawab, sebelum akhirnya tatapan tajamku memaksanya untuk meluapkan seluruh pikirannya.

"Entahlah, tetapi saya rasa si pembunuh bukanlah orang yang melakukan pembunuhan atas dasar motif tertentu yang berhubungan dengan korban. Siapa orang gila yang sengaja membeli manekin untuk menggantikan kepala perempuan itu, membunuhnya, kemudian memenggal kepalanya dan menggantinya dengan kepala manekin."

"Itu dia!"

Wijaya terlihat bingung mendengar teriakanku.

"Manekin itu! Kurasa manekin-manekin seperti itu hanya akan dipesan oleh toko baju atau aksesoris rambut. Jika ada seseorang yang tidak menjual benda seperti itu tetapi memesannya, bukankah orang itu terlihat mencurigakan?"

Kurasa akhirnya Wijaya memberikan senter padaku, membuatku dapat melihat mana jalan terbaik untuk kulalui.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top