22. Between Humanity


Diriku terkesiap. Mataku langsung terbelalak dan jantungku tak dapat menghentikan percepatan detakan yang terjadi.

Dari balik cahaya yang masuk ke dalam ruangan ini, aku dapat melihat empat buah kepala yang disusun sedemikian rupa, memenuhi tengah-tengah ruangan yang kosong tanpa perabotan apapun. Selain itu, seonggok mayat kaku seolah sengaja diletakkan di tengah-tengah ruangan. Mayat seorang lelaki, menghadap ke atas dengan kedua tangan yang sengaja dilipat, bagaikan hendak dikubur.

Aku ketakutan. Sungguh, demi apapun aku benar-benar ketakutan! Seolah dapat mendengar keempat kepala mayat itu menjerit, mengelilingiku, berteriak padaku karena aku tak sempat menolongnya, membiarkan mereka mati di tangan Raymond tanpa adanya usaha sama sekali untuk mencegah hal itu. Kepala-kepala itu seolah sedang mengelilingiku, bukan mayat lelaki yang tengah berada di ruangan ini. Mulut mereka terbuka lebar, memaksaku untuk bertanggung jawab dengan cara yang mengerikan.

Kukepalkan kedua lenganku, berusaha untuk tegar. Namun, raut wajahku tak dapat menyembunyikan semuanya.

Sekali lagi kucoba untuk menekankan batinku. Mereka telah mati, mereka tak akan dapat menghantuiku, mereka ... hanya orang-orang malang yang menjadi korban kesadisan Raymond.

Selain itu, berulang kali Wijaya mengucap lirih, "Ya ampun!" katanya sambil menutupi mulutnya dengan salah satu bagian lengannya. Aku bersumpah, jika ruangan ini dipenuhi oleh darah-dara korban, berantakan dan berwarna merah kecokelatan di sana-sini akibat darah yang mengering, mungkin dia sudah muntah lebih dulu. Untungnya, tidak seperti itu.

Mayat yang utuh itu—lelaki—tak lain adalah Dokter Ryan. Dari pandanganku yang lebih tinggi, aku masih bisa melihat permukaan wajahnya yang memucat. Putih bersih, bagaikan perawatan yang sengaja dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Ia telanjang—mungkin ditelanjangi—tanpa sehelai benang pun. Kulitnya benar-benar halus dan pucat. Matanya tertutup, tetapi pada dahinya dapat kulihat sesuatu yang terukir, tak begitu jelas hingga akhirnya kuputuskan untuk mendekat.

Aku berjinjit, masih dengan perasaan yang campur aduk. Takut, penasaran, merasa bersalah atas semua kematian tetapi aku tak dapat mengembalikan mereka lagi. Sedangkan Wijaya, masih sama seperti sebelumnya, menutupi mulutnya sambil berucap setiap kali ia melangkah mengikutiku, membuat suara aneh dari balik rongga yang ia buat pada sela-sela jarinya.

Bahkan, setelah beberapa lama, cahaya matahari yang masuk seolah membuat kesan yang lebih baik dari pemandangan ini. Ia menyinari ruangan ini dengan baik, dengan sempurna, membuat kesan estetis yang luar biasa, bagaikan sebuah objek fotografi yang tak ingin kulepaskan dari pandanganku—tentu saja jika bukan menyoroti lima buah mayat ini.

Semakin mendekat, semakin terbayang dalam benakku segala hal yang Raymond lakukan pada orang-orang malang ini.

Beberapa korban ini telah menjadi mayat untuk berbulan-bulan. Namun, dengan kondisi yang sebaik ini, kurasa Raymond mengawetkannya, sengaja melakukannya agar ia dapat meletakkan mereka pada tempat seperti ini, dengan posisi seperti ini. Mayat dokter Ryan yang sengaja diletakkan di tengah ruangan serta kepala mereka—mayat-mayat itu—mengelilinginya, digeletakkan pada ujung-ujungnya, membentuk sebuah persegi panjang jika kutarik garis lurus pada masing-masing kepala yang bersesuaian. Bagaikan sebuah ritual. Ritual pemenggalan kepala.

"Raymond benar-benar gila." Wijaya menggelengkan kepalanya. "Gila dalam konteks yang tak wajar. Maksud saya, ya ampun ...."

"Aku tahu." Aku berjongkok, tepat di samping mayat Dokter Ryan yang kini telah kulavidasi—benar-benar dia. "Aku pun bergerak terlalu pelan. Brengsek, seharusnya aku tahu bahwa itu adalah dia. Seharusnya aku bisa menyelamatkan nyawa laki-laki ini."

Aku menarik napas.

"Tolol sekali, brengsek!" Kupejamkan mataku dengan erat, membayangkan seluruh situasi yang terjadi sebelum ini. Ketika aku menangkap Dokter Ryan, ketika aku dapat menahannya dalam sel sehingga ia tak perlu keluar, berlindung dari balik saudaranya sendiri yang mengincar dirinya. "Dia sudah berada dalam pengawasanku walaupun untuk hal yang berbeda. Seandainya waktu itu aku tahu bahwa kakaknya yang hilang itu belum benar-benar mati—brengsek—ia tak akan berakhir seperti ini."

Wijaya menyela, "Semuanya telah terjadi, Pak."

"Tetapi bisa saja tak terjadi, kan?"

Wijaya mundur, membiarkanku berjongkok, kemudian berlutut, menahan beban tubuhku pada kedua lututku, menatap lama mayat lelaki ini. Tenang, kosong, pucat, tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa meminta maaf akan apa yang terjadi. Tak terucap, tapi dalam hatiku, aku benar-benar melakukannya.

"Saya akan memanggil ambulans, Pak." Akhirnya Wijaya segera keluar ruangan sambil merogoh sakunya, mencari ponselnya dengan cepat ketika aku membaca ukiran yang tertempel pada dahi Dokter Ryan. Sebuah tulisan yang tampaknya ditulis dengan tinta untuk tato. Rapi, artistik, seperti tulisan bersambung karya tangan yang tak ada duanya.

Revolution.

===

Bulan ini telah memasuki pertengahan musim hujan. Biasanya, aku tak memiliki masalah mendalam dengan musim ini. Namun, beberapa kejadian terakhir membuatku berpikir ulang. Bahkan, penemuan mayat terakhir yang kami—aku dan Wijaya—lakukan pun berakhir dengan basahnya rerumputan, terinjak oleh para petugas rumah sakit yang sengaja dikirimkan untuk membawa mayat-mayat itu ke tempat lebih baik, menutupi mereka dengan kain, memberikan rasa hormat padanya. Brengseknya, sekali lagi, entah dari mana para wartawan mendapatkan berita penemuan mayat-mayat itu, mereka mendatangi tempat kejadian perkara, berusaha mewawancaraiku yang tentu saja kutolak.

Brengsek memang, siapa orang yang dapat berbicara dengan tenang setelah mendapatkan penemuan seperti itu? Siapa orang yang dapat dengan santainya berjalan di antara kerumunan orang, melewati berbagai kamera yang menyoroti, padahal mengetahui bahwa nyawa orang-orang itu—seluruhnya—seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Aku tak bermaksud untuk kasar, tapi mereka tak memberikanku pilihan. Aku menahan diri untuk tak menghajar mereka, membuat mereka lumpuh tanpa alasan yang jelas—menurut mereka. Untungnya, Wijaya berada di belakangku, melindungiku, menarik perhatian mereka bagaikan lalat yang mengerumuni bangkai, membuatku keluar dengan segera.

Beberapa hari setelah itu, aku kembali berhadapan dengan sang pembunuh. Berwajah sama dengan mimik yang sama, tak berubah. Bahkan, dapat kukatakan dia terlihat lebih senang dari sebelumnya. Tersenyum, tertawa penuh kemenangan, seolah-olah berhasil mempermainkanku, sambil bertepuk tangan. Namun, kembali kutekankan pada diriku bahwa ia adalah orang gila yang memang pantas untuk mati. Aku berusaha untuk tak terlibat pada permainannya, merasa marah dan mendorongnya hingga jatuh, menghajar wajahnya, memenuhi berita harian dengan judul 'Seorang polisi menghajar seorang tersangka' yang pastinya akan membuat citraku lebih buruk, apalagi setelah sengaja kucampakan mereka karena tak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Akhirnya dengan berpangku tangan, aku mendengar celotehannya.

"Selamat, Pak!" katanya. "Permainanmu telah selesai. Permainanku. Permainan kita."

Dadaku kembang kempis. Untungnya, suasana ruangan ini yang remang-remang membuatku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, juga sebaliknya—aku yakin. Namun, aku tahu benar bahwa dia senang melihatku. Marah, penuh kekecewaan. Brengsek, memang.

"Kenapa kau melakukan semua ini?" tanyaku. "Permainanmu telah selesai, seperti yang kau katakan, tak ada alasan lagi bagimu untuk tak memberitahukannya, kan?"

"Entahlah, karena aku ingin melakukannya?"

"Kenapa?"

Raymond tak berusaha untuk berdiri. Ia duduk dengan tegap, santai, tanpa adanya keraguan dari mulutnya, tidak seperti para pembunuh yang kutemui sebelumnya. Laki-laki ini benar-benar tak menyesali perbuatannya, sedikitpun tidak. Kepercayaan dirinya telah berada pada puncak yang paling tinggi, melihat seluruh benda yang berada di sekitarnya begitu rendah.

"Kau tak tahu apa yang sebenarnya terjadi," lanjutnya lagi. "Tak akan pernah tahu. Tak akan pernah mengerti."

Aku tak membalas, sedikitpun tidak. Dalam seketika, Raymond berubah, auranya berbeda, bukan menjadi orang gila yang suka tersenyum sinis, menertawakan semua orang, dia berubah menjadi seseorang yang menakutkan. Suaranya datar, rendah, seperti adanya seseorang yang mengambil alih jiwanya. Wajahnya menjadi serius, biarpun aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Alisnya mengerut.

Dia berubah seratus delapan puluh derajat.

Aku berusaha mendekati dirinya, berjalan, mengetukkan kedua sol sepatuku pada keramik yang dingin. Raymond menatap tajam ke arahku, bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya. Namun, kedua tangannya yang diborgol, serta beberapa petugas yang kuperintahkan untuk berjaga di luar, menunggu sesuatu yang kuharapkan tak terjadi, seolah memastikan dirinya bahwa ia tak memiliki kekuatan untuk sekarang ini. Tak dapat melawan.

Matanya seolah berwarna merah, mengilap, mengerikan, bagaikan iblis. Ia tak tersenyum, tak seperti dirinya. Jujur, sedikit membuatu bergidik ngeri, tetapi aku yakin bahwa itulah yang diinginkannya. Jadi, aku pun melawannya, mendekatkan wajahku menghadap dirinya, bertatapan empat mata secara langsung. Tak ada di antara kami yang mengalah, berkedip, menyerah, kami tetap berada dalam situasi yang menegangkan ini, hingga akhirnya Raymond berkata, "Tak akan pernah."

Aku dapat mendengar napasnya yang menggebu-gebu.

"Kau membunuh orang-orang yang tak kau kenal, puluhan orang. Kau bahkan membunuh saudara kandungmu sendiri. Kenapa kau bisa menjadi seorang monster seperti itu?"

Namun, Raymond kembali mengeluarkan senyum sinisnya. "Sudah kukatakan kau tak akan mengerti, kan?"

"Kau membunuh saudaramu sendiri!"

"Cukup setimpal. Bahkan kalian tak mencariku ketika sang pembunuh orang tuaku itu telah ditangkap."

Jujur, aku terkejut. Namun, untuk saat ini aku tak dapat memperlihatkan hal itu padanya, atau Raymond akan menganggapku kalah dalam permainan 'tatap wajah' ini. Bahuku yang telah semakin berat kucoba untuk mempertahankannya, membuatnya tak terjatuh dan mempermalukan diriku sendiri tepat di hadapannya, menunggu ceritanya hingga selesai.

"Ketika ia membawaku pergi, meninggalkanku di antah berantah, ketika itu pula ia tak pernah kembali, meninggalkanku sendirian, kedinginan, di tengah hutan, kehujanan. Aneh, bukan? Umurku yang masih sangat kecil saat itu mampu mengingat semuanya. Kau tahu kenapa? Karena tak ada yang datang mencariku, karena tak ada seorangpun yang yakin bahwa aku masih ada di dunia ini."

"Kenapa dia tak membunuhmu seperti memebunuh kedua orang tuamu?"

"Entahlah. Perdagangan manusia, mungkin? Orang-orang brengsek yang tak tahu diri."

"Kau tak pantas mengatakan hal itu."

Namun, Raymond tak peduli dengan ucapanku. Ia terus melanjutkan, "Kau tahu bagian terbaiknya? Ketika aku sendiri tak tahu harus ke mana, harus melakukan apa, beberapa orang menemukanku, membawaku ke kantor polisi hanya untuk menyadari satu hal: mereka tak peduli. Di saat itulah aku tahu bahwa kedua orang tuaku benar-benar mati, dibunuh, hingga akhirnya orang-orang yang menemukanku itu 'merawatku'. Namun, hal yang benar-benar menggangguku adalah mereka tak pernah mengatakan bahwa adikku masih hidup, bahkan dengan kehidupan yang lebih baik."

Akhirnya, Raymond mundur, ia menarik kepalanya, menjauhi diriku, bersandar pada sandaran kursi dan sedikit merilekskan tubuhnya.

"Kalian tak tahu apa yang kualami kala itu. Brengsek."

Raymond menyingkapkan bajunya, menarik bagian bawah hingga ke atas, menampilkan bagian perut yang sedikit berantakan, luka di sana-sini. Bahkan, kurasa aku melihat beberapa jahitan, juga beberapa bagian kecil semacam guratan pisau yang melintang sekitar sepuluh sentimeter.

"Setiap hari aku berharap untuk dapat keluar dari tempat itu. Hingga akhirnya aku melakukannya, berusaha untuk kembali ke tempat di mana aku dibesarkan, di mana orang tuaku dulu dibunuh. Aku pikir dengan kembalinya diriku ke tempat itu dapat membuat semuanya lebih baik, kembali pada kehidupan semula. Di saat itu pulalah aku melihat Ryan, tanpa rasa bersalah sedikitpun tertawa lepas, ketika aku berada dalam semua siksaan itu. Aku hanya bertanya-tanya, kenapa semuanya terasa tak adil? Tentu, di saat itu pula pada akhirnya aku merencanakan semuanya, mengambil dirinya yang hidup dengan nyaman di balik penderitaanku selama ini, bertahun-tahun. Aku ingin hidup kembali, seperti manusia normal pada umumnya, tetapi aku tahu aku tak akan dapat melakukannya, jadi aku melakukan perubahan yang lain, menghilangkan dirinya."

Raymond menarik napas.

"Adil, kan?"

"Kau membunuh adikmu."

"Kalian membunuh diriku." Mata Raymond mulai berkaca-kaca. "Aku hanya merasa semuanya tak adil. Ketika ia dapat hidup dengan bahagia di sana, sedangkan diriku, bahkan tak ada yang mencariku. Astaga." Raymond menepuk dahinya. "Aku membenci perempuan itu, ibu angkatku. Brengsek, bahkan aku tak pernah ingin menyebutnya ibu."

Raymond terlihat mengusap matanya, tak membiarkan air matanya mengalir begitu saja melalui pipinya.

"Ketika aku mengetahui semuanya, aku tak dapat berpikir secara rasional lagi. Aku hanya ingin menggantikan posisi adikku, bertukar nasib dengannya. Tetapi aku tak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Belasan tahun yang kuhabiskan dengan perempuan itu, semuanya tak sebanding hanya dengan mengambil posisinya. Aku tak tahu, apakah karena aku tak ingin melukai perasaan adikku? Ataukah karena aku ingin tetap bersamanya? Semua perasaan itu bercampur aduk dalam pikiranku. Aku tak dapat berpikir secara rasional, hingga akhirnya kuputuskan untuk menghabisi nyawanya, keluar dari seluruh perasaan itu. Astaga, astaga, astaga."

Terkesima, aku tak dapat berkata apa-apa. Berkali-kali kudengarkan cerita menyedihkan yang menimpa para pelaku kejahatan, tetapi aku tak pernah mengantisipasi cerita seperti ini, cerita brengsek yang bahkan harus kuakui, aku tak dapat menyalahkannya. Maksudku ... apakah Raymond hanya orang biasa yang berada pada situasi yang salah? Atau memang dia adalah orang brengsek yang akan melakukan hal sama biarpun dia tak berada dalam situasi itu?

Aku tak tahu, yang pasti semuanya telah terjadi.

Aku dapat melihat secara jelas dari sorot matanya. Yang ia inginkan hanyalah perhatian, tak jauh berbeda dengan media massa yang sering memberikan judul clickbait untuk artikel mereka. Hanya saja, Raymond melakukannya dengan cara yang ekstrim, cara yang tak termaafkan. Kupejamkan kedua mataku, menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya secara perlahan. Kemudian, sama seperti gerakannya, aku mundur sambil tetap menatap ke arahnya. Kusilangkan kedua lenganku, memangku dada. Suasana yang sepi ini benar-benar membuat perasaanku campur aduk.

Apakah aku harus bersimpati akan segala hal yang terjadi padanya? Tapi bukankah dia sendiri melakukan hal yang salah? Astaga, ini semua benar-benar mengembalikanku pada beberapa tahun lalu, ketika kudapati sahabatku yang juga melakukan motif yang sama seperti Raymond. Bedanya, Raymond tak menggambarkan raut penyesalan dari wajahnya. Tak ada rasa sedih, tak ada tangisan yang menderu-deru. Namun, aku yakin ia melakukannya, hanya saja tak terlihat.

"Kau sudah menjelaskan semuanya," kataku. "Dengar, aku tak akan bersimpati hanya dengan cerita sedihmu itu. Kau melakukan hal yang salah, hanya itu."

Aku berbohong, tentu saja. Aku hanya menggertak. Aku tak dapat memikirkan hal lain selain membuatnya merasa bersalah, karena hingga sekarang aku tak melihatnya seperti itu. Tapi, ya ampun, aku tak dapat menghilangkan perasaan kecil dalam hatiku, perasaan tolol yang selalu merasa peduli pada orang lain. Kenapa aku harus memilikinya?

"Aku tak pernah meminta rasa simpati maupun empatimu, Pak Detektif," balasnya.

"Baguslah kalau begitu," tukasku.

"Terima kasih karena telah mendengarkan ceritaku. Orang pertama yang mendengarkan ceritaku."

Secepat mungkin aku keluar dari ruangan, hampir membanting pintu. Brengsek kenapa dia berterima kasih padaku? Sialan, sialan, kenapa semua orang selalu mengucapkan terima kasih untuk hal yang tak jelas?

Kukepalkan lengan kananku. Ya ampun!

Rasa emosionalku membuat kerasionalan berpikirku hancur. Melodi mengerikan seolah muncul dalam otakku, begitu saja, nada rendah yang mengungkapkan kesedihan di balik hujan, kembali memperlihatkan semuanya. Sahabatku, Riska, istriku, Loka. Semua orang pernah berada dalam kondisi yang buruk. Kenapa beberapa di antara mereka memilih jalan yang sulit, membuatku tak dapat memilih di antara dua pilihan atau lebih?

"AKP Roy!" Secara tiba-tiba, Komisaris Yudha berlari mendekatiku, entah datang dari mana. Yang pasti, tubuh gempalnya bergerak memenuhi seisi lorong, menemuiku yang sedang berada dalam keadaan kacau.

"Pak Komisaris?"

"Saya ingin Anda menemui saya di ruangan."

Aku tertegun. Mulutku terasa kaku, tetapi tetap kuusahakan untuk bergerak.

"Maaf jika saya lancang, Pak, tetapi untuk apa?"

"Temui saya sekarang."

Dia berjalan, mengacuhkanku, seolah-olah aku tak memiliki hak bicara yang tentu saja harus kuingat bahwa memang begitu adanya. Aku menggelengkan kepala sembari mengikuti langkahnya. Lalu, dengan suara yang begitu kecil, aku membalas, "Baik ... Pak."

Mungkin tak terdengar olehnya, bahkan telingaku saja hampir tak dapat mendengarnya. Namun, aku tetap tak bisa melawannya. Bagaimanapun juga, dia adalah atasanku. Hingga akhirnya aku terpaksa mengikuti perjalanannya, menuju ruangannya. Ia mempersilakanku duduk seperti biasanya.

"AKP Roy, selamat atas penangkapan yang Anda lakukan," pujinya, mungkin untuk yang pertama kali. Aku tidak yakin. Namun, aku tak dapat membanggakan diriku sendiri. Aku tak tersenyum. Sungguh, aku ingin melakukannya, tetapi tak dapat kulakukan. Mataku kembali kosong, mengingat cerita yang Raymond berikan padaku.

Kemudian, merasakan hal yang salah, Komisaris Yudha bertanya, "Apa yang terjadi pada Anda?"

Aku menggeleng, berbohong, "Tidak ada apa-apa."

"Akan kubuat sesantai mungkin." Gaya bicaranya berubah, tidak tampak seperti seorang atasan yang berbicara pada bawahannya. Ia tertawa, mungkin menertawakanku—aku tidak tahu. Namun, ia tak membuat suasana yang lebih baik.

"Aku hanya ingin bertanya padamu, mengenai anak baru kita. Kau tahu, kan? Wijaya." Komisaris Yudha menahan kepalanya dengan kedua lengannya, menjadikan kedua lengannya sebagai sandaran sambil mendorong tubuhnya ke belakang, membuat decitan kaki kursi yang khas—kursi reyot.

"Apa yang ingin Anda tanyakan, Pak Komisaris?"

"Roy, sudah kukatakan aku ingin membuat suasana sekarang ini sesantai mungkin, kan?" jelas Komisaris Yudha. "Aku akan memosisikan diriku pada tempatnya. Untuk sekarang ini, anggap kita adalah teman. Kita pun dulu pernah berada dalam satu posisi, kan?"

"Ya ...." kujawab dengan datar, sangat datar. Suatu hal yang Komisaris Yudha tak sukai. Namun, seolah-olah ia tak peduli, atau mungkin tak ingin terbawa suasana, ia kembali melanjutkan seluruh pekerjaannya, berbicara denganku.

"Apa pendapatmu mengenai Wijaya? Apakah dia cukup baik untuk berkoordinasi? Kau tahu, kan? Dia belum pernah berada di divisi ini sebelumnya."

"Dia anak yang cerdas. Jika boleh jujur, mungkin lebih cerdas dari diriku," kataku. "Dia sangat teliti, selalu memperhatikan keadaan sekitar secara saksama. Dia pun selalu berpikir cerdas, membuatku berpikir rasional. Jadi, ya, kau bisa membuat kesimpulan sendiri, kan?"

Komisaris Yudha mengangguk.

"Kurasa mulai sekarang, jika ada kasus yang harus kau tangani, atau dia tangani, kalian akan selalu kujadikan rekan kerja, selalu bekerja sama dalam setiap kasus. Kau keberatan?"

"Tunggu dulu," cegahku, sebelum Komisaris Yudha berkata lebih lanjut. Ucapannya itu benar-benar berada di luar dugaanku. "Kenapa?"

"Aku pernah bekerja bersamamu, Roy. Beberapa kali, aku tahu benar kepribadianmu, bagaimana kau akan terlarut dalam suasana. Menghajar orang-orang ketika kesal, tak dapat berpikir rasional ketika kau melihat semua manusia sebagai ... kau, tahu, kan? Manusia." Komisaris Yudha menurunkan kedua lengannya. "Sejauh penglihatanku, ketika kau bekerja sama dengan Wijaya, kau tidak melakukan hal itu. Mungkin, ya, aku tidak tahu, tetapi tidak begitu signifikan."

"Ya, aku ingat ketika menghajar wajahmu, hampir mematahkan hidungmu hanya karena perbedaan pendapat." Aku tertawa kecil, tertawa bersamanya—bersama Yudha. Menertawakan kejadian tolol yang terjadi ketika kami masih berada pada tingkat yang sama, ketika kami menyelidiki kasus yang sama. Sekarang? Ia berada pada posisi yang lebih tinggi.

"Kau memang menyebalkan, Roy," katanya lagi, masih dengan tawa yang meledak memenuhi seisi ruangan. "Tapi, sungguh, kurasa sebaiknya seperti itu. Tentu saja jika kau tak keberatan."

Kami menghentikan tawa, membuat ruangan menjadi sepi. Hening, tanpa suara apapun. Semuanya kembali serius, bahkan sikap dari tubuh kami. Tegap, bagaikan dua orang yang tengah melakukan negosiasi penting.

"Sebenarnya, Wijaya pun berkata demikian," lanjutnya lagi. "Dia bilang dia belajar banyak darimu. Bagaimana kau dapat berpikir cepat. Bahkan, katanya, tanpa tindakanmu itu, mungkin kalian masih harus mengejar sang tersangka. Apa itu benar?"

Aku tidak yakin bagian apa yang Wijaya tuju. Namun, pikiranku tak lepas dari pilihanku untuk segera menangkap Dokter Ryan, menguncinya di sel sehingga Raymond, yang kala itu mungkin tak tahu bahwa Dokter Ryan telah ditangkap, melanjutkan seluruh rencananya, menimbulkan paradoks bahwa tak mungkin satu orang yang sama dapat berada di dua tempat sekaligus. Mungkin Wijaya menuju ke arah sana, mungkin juga tidak. AKu tidak tahu. Yang pasti, Wijaya mengatakan itu karena suatu sebab. Jadi, aku berusaha untuk membantunya.

"Ya," kataku. "Mungkin, jika Wijaya berkata seperti itu. Aku tak ingin terlalu percaya diri karena aku pun tak merasa seperti itu."

"Kau selalu merendahkan dirimu, Roy." Komisaris Yudha meninjuku tepat pada bagian bahu, kembali membuatku merasa sedikit sakit akibat punggung yang belum begitu pulih. Sialan, memang. "Jadi, bagaimana?"

Butuh beberapa detik hingga kuproses semuanya. Aku tidak tahu apakah harus kuterima tawarannya atau tidak. Aku tak tahu apakah mengatakan 'ya' merupakan pilihan yang terbaik bagiku, atau juga bagi Wijaya—Oh, sialan, sekali lagi aku terlalu peduli dengan urusan orang lain. Namun, aku sendiri tak dapat melihat hal yang buruk dari pilihan 'menerimanya'.

Akhirnya, aku mengangguk.

"Baiklah," kataku, membuatnya tersenyum. Girang, benar-benar girang. Untuk pertama kalinya semenjak si sialan itu bergerak melebihiku, menjadi atasanku.

"Ah, Yudha ... Komisaris Yudha."

"Tak akan ada yang mendengar, Roy, santai saja."

Aku tersenyum simpul. "Aku ingin menanyakan satu hal padamu. Mungkin terlalu tiba-tiba. Aku tidak tahu, hanya saja pertanyaan ini langsung menempel begitu aku menemui Raymond tadi. Sedikit filosofis. Namun ... brengsek, aku tak tahu apakah aku harus benar-benar menanyakan hal ini atau tidak."

Komisaris Yudha memperhatikanku, membuatku menarik napas dalam-dalam, menguatkan tekadku. Menahan segala rasa gelisah yang sedari tadi mendera tubuhku.

"Apa kau pikir seorang manusia dapat berubah? Maksudku ... dalam kasus ini, mungkin kau tidak tahu. Tetapi, Dokter Ryan dan Raymond, mereka saudara kembar, berasal dari darah yang sama. Keduanya dibesarkan dengan cara yang berbeda, membuat perbedaan yang signifikan. Aku tahu, Raymond mungkin terlihat jahat bagi semua orang. Dia pun selalu terlihat tegar, berusaha merendahkan orang-orang yang berada di sekitarnya. Tapi, ya ampun, brengsek! Aku tak salah dengar bahwa ia mengatakan terima kasih padaku. Maksudku, untuk apa? Aku menangkapnya, ia tahu situasinya, tetapi ia masih bisa mengatakan hal itu. Di saat itulah pikiranku kelut. Apakah dia orang baik? Apakah dia orang yang jahat?"

"Kau mengalami hal yang sama seperti yang dialami temanmu waktu itu, kan?"

Sekali lagi, kutarik napas dalam-dalam. Aku tidak tahu apakah perasaan itu adalah hal yang sama, tetapi, demi apapun, aku tak ingin merasakannya.

"Anggap saja seperti ini: hanya adalah pilihan yang baik dan buruk. Semua orang dapat mengambil salah satu di antaranya untuk setiap pilihan. Jika memang ia memilih satu pilihan buruk di antara seribu pilihan baik, tergantung dari mana kau melihatnya." Namun, secara tiba-tiba, Komisaris Yudha tersenyum. "Pilihanmu untuk menghajar wajahku hingga hidungku hampir patah adalah pilihan yang buruk, aku masih menganggapmu sebagai orang yang buruk, Roy."

"Brengsek kau!" Aku menerjangnya, meraih kerah kemejanya. Walaupun terhalangi oleh meja ini, aku tetap berusaha meraihnya, mencoba mencekiknya. Namun, tentu saja dalam konteks bercanda—hanya main-main. Aku tahu dia hanya menggodaku. Membuat kami tertawa, bergulat kecil.

Seolah semua beban pikiranku telah terlepas.

Semuanya hilang.

Seolah aku bebas.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top