20. Criminal Mind

Setelah beberapa menit, Wijaya memutuskan untuk memesan makanan ketika piringku telah bersih mengilap menyisakan sepasang sendok garpu di atasnya. Seolah menggodaku, ia memakannya dengan halap, berharap agar aku kembali memesan makanan—bagian kedua—dan menghabiskan seluruh uang yang ada di dompetku. Namun, tentu saja kutahan nafsu itu. Biarpun kuakui perutku masih belum terasa kenyang, tetapi aku tak ingin menyia-nyiakan sisa uang yang menghuni dompetku.

Akhirnya, keputusanku jatuh untuk menyisir pemandangan sekitar, melihat betapa banyaknya orang yang memenuhi food court ini ketika kunyahan Wijaya masih terdengar dengan jelas pada telingaku—disertai seruputan akibat udara yang memenuhi rongga sedotan yang diminumnya pada sela-sela kunyahan. Di antara lautan manusia ini, aku dapat melihat beberapa kegiatan yang terlihat dominan. Beberapa di antara mereka terlihat sedang menyantap makan siang dengan lahap—umumnya adalah keluarga. Beberapa di antara mereka hanya berjalan-jalan, berlalu lalang di luar area food court ini, sedangkan yang lainnya—cukup menyedihkan—menjatuhkan diri pada ponsel, tak melepaskan tatapan mata mereka pada benda kecil itu, padahal sang lawan bicara ada di hadapan mereka—yang juga memainkan ponsel.

Karena aku tak ingin terlihat bodoh dengan hanya menganalisis keadaan sekitar dan menunggu Wijaya untuk menghabiskan santapannya, akhirnya kubuka kembali pertanyaan yang mungkin akan membuatku memiliki kegiatan yang bermanfaat—mengobrol.

"Kenapa orang-orang harus mengunjungi tempat ini secara berkelompok jika pada akhirnya mereka akan memainkan ponsel masing-masing?"

Wijaya belum siap mendengar pertanyaanku. Mulutnya masih penuh, pipinya bergumul dan bergerak seirama dengan kunyahannya, kemudian menelan sisa makanan yang ada di mulutnya sambil kemudian menjawab pertanyaanku, "Memangnya kenapa, Pak?"

"Mereka dapat melakukan hal itu di rumah mereka masing-masing, kan? Tak perlu membawa kebiasaan itu di sini. Maksudku, ya ampun, mereka hanya membuang-buang waktu juga tempat."

"Maksud saya, kenapa Anda begitu peduli, Pak?" perjelas Wijaya, sesaat sebelum kembali menyuapi mulutnya dengan sesendok nasi dan mengunyahnya.

"Entahlah, kurasa karena itu mengingatkanku pada Loka."

Wijaya menelan makanannya. "Ada apa dengan Loka?"

"Dulu dia tak akan melepaskan tatapannya pada ponsel, bahkan ketika aku sedang berbicara dengannya."

"Dulu?"

"Ya, dulu."

"Bagaimana dengan sekarang?"

Aku tersenyum sambil mengangkat kedua bahuku. "Kurasa sudah ada perubahan."

"Perubahan ke arah yang lebih baik."

"Aku tahu."

"Ya, kehidupan tidak akan selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan, kan, Pak?" Wijaya meletakkan sendok dan garpunya, melepaskannya dari genggaman, seolah-olah berusaha untuk fokus pada topik pembicaraan kali ini. "Termasuk mencegah anak-anak yang memainkan ponsel."

"Bagaimana denganmu sendiri, Wijaya? Kau sudah siap?"

Wijaya mengangkat sebelah alisnya. "Siap untuk apa?"

"Berkeluarga," jelasku sambil cekikikan.

Wijaya terlihat canggung, terkejut akan lontaran kalimatku yang begitu tiba-tiba. Namun, aku tahu dia tak dapat menutupi rasa gundah yang menyelimuti dirinya. Aku tahu betapa bimbang hatinya untuk menghadapi hari itu—hari yang mungkin akan mengubah dirinya seutuhnya, selamanya. Walaupun begitu, Wijaya sendiri berhasil menutupi seluruh rasa ragunya dengan baik. Dengan sigap ia menjawab, "Tentu, Pak."

Aku tak dapat menahan tawa.

"Pak, kenapa pembicaraan kita mengenai Dokter Ryan dan Raymond tiba-tiba berujung pada pernikahan saya?"

"Salah sendiri kau memesan makanan dan malah terlalu menikmati makanan, membuatku tak tahu harus membicarakan apalagi." Akhirnya kutahan rasa gelitik yang memenuhi perutku, aku berusaha untuk tenang, setidaknya tidak membuat Wijaya marah. "Anggap pembicaraan ini adalah penyegaran dalam hari-hari kita yang berat, Wijaya."

Namun, seolah tak mendengar ucapanku, Wijaya melanjutkan santapannya, mengenyangkan perutnya dan membuatnya terisi penuh. Ah, kembali membuat perutku keroncongan, padahal aku yakin perutku telah setengah terisi.

===

Hujan kembali membasahi kota Bandung. Wiper mobil kunyalakan, menghapus seluruh jejak air yang berada pada jendela depan mobilku di bawah lampu merah yang tengah menyala. Seperti biasa, beberapa anak jalanan sengaja membasahi jendelaku dengan sabun yang tergenang di dalam ember—tentu saja ember yang mereka bawa—tanpa persetujuanku, membuatku terpaksa mengangkat telapak tangan, memberi isyarat bahwa aku tak akan memberikan uang pada mereka untuk kebaikan yang mereka lakukan—kebaikan yang dipaksakan. Aku bukan orang yang kikir—sungguh—hanya saja pekerjaan seperti itu tidak terlalu menarik simpatiku. Aku tahu benar orang-orang yang memberikan komando di belakang, memerintahkan anak-anak itu untuk bekerja, dan aku sangat tidak menyukainya. Aku lebih memilih untuk menangkap orang-orang yang memberi komando itu, memberinya hukuman sosial yang mungkin dapat membuatnya jera. Sayangnya, itu bukan bagianku. Kalaupun aku ikut campur, aku tak bisa melakukannya atas nama seorang polisi, yang artinya bisa saja aku berakhir babak belur akibat kebrengsekanku yang seenaknya saja ikut campur.

Selang beberapa detik, akhirnya lampu hijau menyala disertai suara klakson mobil yang berbunyi nyaring dari belakangku. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka berpikir aku hanya ingin membuang-buang waktu untuk menunggu lampu merah dan tak akan menginjak pedal gas seandainya lampu hijau telah menyala? Apa mereka aku ketiduran di dalam mobil ini sehingga tidak menginjak pedal gas? Atau mereka berpikir aku adalah orang gila yang tak layak mengendarakan mobil—tidak mengetahui aturan bahwa lampu hijau menandakan bahwa aku boleh maju?

Masih banyak hal yang dapat kukeluhkan dari masyarakat di kota ini, menandakan bahwa pekerjaanku sebagai seorang polisi belumlah beres—masih sangat banyak.

Jalanan yang macet seolah-olah sudah menjadi hal yang biasa di kota ini—walaupun hanya di bagian-bagian tertentu. Membuatku terpaksa berhenti lama, bahkan lebih lama daripada ketika aku berhenti di depan lampu merah. Membuatku kembali membayangkan seluruh kejadian yang telah terjadi hari ini, biarpun sebagian besar otakku masih berkutat pada percakapan yang kulakukan bersama Wijaya.

Jika memang Dokter Ryan telah dibunuh, di mana Raymond menyembunyikannya?

Raymond adalah tipe orang gila yang ingin memperlihatkan seluruh pekerjaannya pada orang lain. Pertama, dia membuat album foto mengerikan yang bahkan tak pantas untuk diedarkan. Kedua, secara nekat ia mengganti seluruh kepala korban pembunuhannya dengan manekin, meninggalkannya begitu saja di tempat terbuka sehingga kami—pihak kepolisian—dapat dengan mudah menemukannya. Mungkin juga ia tertawa terbahak-bahak di balik layar begitu melihat berita yang ada, menertawakan kami dengan cara yang menyebalkan.

Jika kedua hal itu adalah dua bagian dari seluruh pekerjaannya, artinya ada bagian ketiga yang ingin ditunjukkannya, kan? Setidaknya kurasa itu menunjukkan sesuatu yang dapat dikaitkan dengan R3.

Pada bagian kedua dari pekerjaannya pun, seolah-olah dia menungguku dan menuntunku ke rumah itu, rumah lamanya yang bermasalah, seolah-olah memang menginginkanku mengunjunginya, mendapatkan informasi mengenai album foto buatannya. Artinya, memang Raymond secara terang-terangan akan memberi petunjuk padaku bagaimana kinerja yang dilakukannya—mengerikan, menyebalkan dan sangat tak patut untuk ditiru.

Sebuah sepeda motor hampir menyerempet mobilku ketika mataku lengah untuk beberapa detik, membuat sang pengendara menoleh sesaat padaku hingga akhirnya menghiraukanku. Memang, aku tidak memakai plat nomor polisi, melainkan nomor pribadi, tetapi untungnya beberapa pengendara di kota ini masih memilih untuk tidak mengurusi hal-hal sepele daripada harus berkelahi di jalanan. Mungkin juga dia tak ingin berurusan denganku karena hujan yang semakin deras, membuatnya malas untuk turun dari motornya dan lebih berharap untuk mencapai rumah dengan cepat.

Selain itu, mengapa Raymond memilih untuk membiarkan Riska hidup? Aku tahu jika seluruh pekerjaan Raymond terdengar seperti omong kosong, membunuh puluhan wanita tanpa alasan yang jelas kecuali untuk menambah adrenalinnya—mungkin juga rasa puasnya—yang aneh. Namun, seluruh pekerjaan yang dilakukannya pasti memiliki alasan yang jelas, kan? Setidaknya baginya, jika memang tak jelas menurut orang lain. Aku sendiri harus berpikir menjadi dirinya—sulit.

Apakah Raymond ingin menghancurkan hidup perempuan itu? Kenapa? Apakah Raymond ingin perempuan itu merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan? Kalau begitu, kenapa ia tak membunuh dokter Ryan juga istrinya sejak dahulu?

Bagaimana dengan Dokter Ryan sendiri? Kenapa dia tak menolong istrinya di saat itu? Berdasarkan kesaksian Riska, kejadian itu terjadi di malam hari yang artinya Dokter Ryan tidak sedang dalam jam tugas. Biarpun ada operasi dadakan seperti yang terjadi saat aku mengikuti Raymond, bukankah seharusnya ada catatan mengenai pekerjaan yang dilakukannya di rumah sakit? Kenapa aku tak menemukannya?

Apakah kala itu Raymond sudah menghabisi nyawa Dokter Ryan? Apakah Raymond menghabisi nyawa Dokter Ryan terlebih dahulu sebelum akhirnya membunuh istrinya tepat di depan anaknya?

Tunggu dulu.

Bagaimana jika memang benar seperti itu? Bagaimana jika ternyata Raymond telah membunuh Dokter Ryan, menyimpan mayatnya di suatu tempat dan segera menghabisi nyawa istrinya, sengaja melakukan semua hal itu tepat di hadapan anaknya bukan hanya untuk bersenang-senang.

Bagaimana jika Raymond memberikan suatu petunjuk pada Riska, yang kami—aku dan Wijaya—tak ketahui?

Jantungku kembali berdetak dengan kencang di bawah hujan yang semakin lebat. Namun, gemericik air seolah tak terdengar oleh kedua telingaku. Pikiranku terlalu kusut walaupun kini mulai teratur kembali. Jika memang Wijaya telah memeriksa seluruh penjuru dari rumah itu—baik rumah dokter Ryan maupun mantan rumah dokter Ryan—artinya memang tidak ada apa-apa di sana. Aku percaya Wijaya, pekerjaannya yang selalu teliti dan selalu berhasil mencengangkanku akibat penglihatannya yang tajam terhadap hal-hal asing di sekitar, membuatku tak memiliki alasan untuk meragukannya.

Aku yakin, ia sudah memeriksa seluruh penjuru rumah itu kecuali satu hal, Riska!

Kami tidak pernah berbicara mengenai pembunuhan kedua orang tuanya dengan Riska, kecuali memberitahukannya bahwa Dokter Ryan—ayahnya—tidak melakukan tindakan keji yang akan diingatnya seumur hidup. Selain itu, tak pernah, karena aku dan Wijaya terlalu takut untuk membicarakannya, semakin menghancurkan perasaan yang telah dibangunnya sejak kecil dan kembali mengingat trauma mendalam yang menerpa dirinya.

Raymond memikirkan semuanya dengan matang. Oleh karena itu ia menertawakanku ketika ia menyadari bahwa pekerjaannya belum kami lihat seutuhnya, padahal sebuah petunjuk berada tepat di depan kami.

Riska pun tentu tak akan bisa kusalahkan, menganggapnya tak berkoordinasi dan menenggelamkan hal itu dalam-dalam, tak memberitahukannya pada siapapun. Aku yakin, dia tak ingin mengingat kejadian itu lagi, mungkin juga dia tak begitu sadar akibat obat bius yang diterimanya, walaupun bukan bius total. Namun, aku tak memiliki penjelasan yang lebih masuk akal lagi seandainya Raymond memang selalu memberikan petunjuk secara terang-terangan.

Aku berputar balik, membanting setir ke kiri pada perempatan selanjutnya, berjalan langsung tanpa memedulikan lampu lalu lintas yang tengah menyala. Di saat yang bersamaan, kuraih ponselku, menghubungi Wijaya sambil berkendara. Aku tahu, ini adalah hal yang salah—tidak boleh dilakukan—tetapi aku merasa tak memiliki pilihan lain. Aku tak ingin seluruh pemikiranku ini akan hilang kemudian, membuatku harus berpikir keras lagi dari awal.

Di bagian sana pun, Wijaya menerima panggilan yang padahal aku yakin Wijaya sedang mengemudikan mobilnya. Tanpa basa-basi, aku segera memberikan seluruh pemikiranku yang baru beberapa detik lalu kupikirkan—tak sengaja—membuat Wijaya pun terkejut, kemudian menerima ajakanku untuk bertemu dengan Riska yang kini sedang berada di rumah orang tua Wijaya.

Akhirnya, karena aku tak ingin menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat, kuminta Wijaya untuk mengirimkan alamatnya—dengan cepat—kemudian segera mengembalikan ponsel itu ke tempat yang seharusnya.

Mobil ini kukendarai semakin cepat, membuat cipratan di samping kiri dan kanan jalan akibat genangan air yang memenuhi seisi jalan. Untungnya, tidak ada pejalan kaki yang berjalan melintasiku, selain itu jumlah pengendara motor pun telah tereduksi akibat hujan yang semakin lebat ini, membuatku leluasa untuk menambah kecepatan tanpa harus memedulikan keselamatan pengendara lain, biarpun tetap aku tak dapat berkendara pada kecepatan maksimal akibat pandangan yang terpaut cukup dekat.

Sialan, kenapa aku tak menyadarinya ketika sedang berada di food court bersama Wijaya?

===

Rumah orang tua Wijaya berada di kawasan Bandung Timur, terpaut beberapa kilometer dari tempat tinggalku yang berada di kawasan Bandung Utara, menyebabkanku harus mengisi bensin beberapa liter dan mampir pada sebuah minimarket karena rasa haus yang tak tertahankan. Sedangkan Wijaya, segera setelah kuberitahu seluruh deduksi yang kulakukan, juga mengikutiku, segera mengunjungi rumah orang tuanya.

Sebuah rumah minimalis dengan halaman yang bisa dibilang tak ada menjadi daya tarik tersendiri bagi perumahan ini, yang umumnya didominasi oleh rumah-rumah kosong. Mungkin karena jarak yang cukup jauh dengan akses menuju pusat kota, membuat para penghuni yang dulunya sempat menghuni perumahan ini pergi.

Mobil Wijaya telah terparkir tepat di depan rumah itu, di antara genangan-genangan air yang membuat jalanan becek, bahkan beberapa bagian di antaranya menjadi berlumpur akibat tanah merah yang bercampur dengan air, membuatku terpaksa berjinjit untuk menghindari sol sepatu yang kotor. Sedangkan Wijaya, di saat yang bersamaan, segera menyambutku, keluar dari rumah itu dan melambaikan tangannya sambil tersenyum, berlari kecil mendekatiku, membukakan gerbang untukku.

"Perjalanan yang panjang, ya, Pak?" sapanya segera setelah kulewati gerbang yang ia bukakan.

"Juga basah."

Namun, Wijaya membalas, "Untung saja hujan sudah reda."

Kuseret kedua kakiku, mencari bagian dari permukaan bumi yang aman untuk kupijak. Namun, tak perlu waktu yang lama, segera kulepaskan sepatuku akibat jarak antara gerbang dan keramik halaman depan yang bahkan tak lebih dari satu meter, membuatku melepaskan pantovel hitam dengan bagian bawah yang sedikit terselimuti oleh tanah merah, juga kaus kakiku. Sedangkan Wijaya hanya perlu melepaskan sandal jepitnya, membuatnya melakukan mobilisasi lebih cepat dari yang kulakukan.

Di saat yang bersamaan, Aku dapat melihat seorang anak laki-laki menyembul dari balik pintu, sedikit terhalangi oleh raga Wijaya, tetapi dengan jelas dapat kulihat ia memang berdiri di sana, membuatku menatap tajam, memastikan bahwa penglihatanku tak salah.

Namun, seolah menyadari keanehanku, Wijaya berbalik, menatap ke belakang, melihat wujud yang juga tengah kulihat, tetapi melakukan reaksi yang berbeda denganku. Wijaya tak keberatan dengan kehadiran anak itu.

"Dia adik saya, Pak," beritahunya.

"Aku tidak pernah berada dalam situasi seperti ini, penuh dengan anggota keluarga."

"Ah, sebenarnya saya anak pertama dari tiga bersaudara, Pak," tukas Wijaya. "Adik saya yang pertama sedang kuliah, dia tidak berada di sini, dan ini adik saya yang kedua. Jadi mungkin rumah ini akan lebih sepi dari biasanya."

Uh, ternyata keluarga ini lebih besar dari yang kuduga. Aku sendiri adalah anak tunggal, tak memiliki saudara kandung, walaupun tetap saja aku tak merasakan kesepian sedikitpun, biarpun pada akhirnya kedua orang tuaku pergi meninggalkanku untuk selamanya.

"Ditambah dengan Riska tentu rumah ini akan semakin ramai, kan?" candaku, walaupun memang benar adanya.

"Ya," balas Wijaya sembari cekikikan.

Akhirnya, setelah berhasil melepaskan seluruh alas kakiku, aku memasuki rumah itu, tentu saja sesuai dengan persetujuan WIjaya. Membuatku memasuki ruangan lain yang terlihat kecil, tetapi tak mengalahkan kesan elegan yang timbul darinya.

Sebuah foto keluarga dipampang di ruangan depan ini, menampilkan sosok adik pertama Wijaya seperti yang dibicarakannya tadi. Namun, hal yang membuatku menarik adalah di mana Wijaya mengenakan seragam kepolisiannya, tersenyum—mungkin pertama kalinya ia berada di akademi kepolisian. Selain itu, ruangan ini tertata dengan rapi juga bersih, seolah-olah sudah dipersiapkan untukku, dengan empat buah kursi yang mengitari meja kecil dengan taplak berwarna hijau. Sebuah vas bunga dengan ornamen bunga buatan dibuat menghiasi meja itu.

"Silakan duduk, Pak Roy." Wijaya segera melangkah, menelusupi rumah ini lebih dalam sedangkan aku hanya bisa menuruti perintahnya. Kemudian, adik Wijaya pun mengikuti Wijaya, meninggalkanku sendirian di ruangan ini ketika aku dapat mendengar Wijaya yang berteriak memanggil kedua orang tuanya, membuatnya segera menemuiku yang baru saja duduk beberapa menit—terpaksa kembali berdiri untuk menyalami mereka.

Entah adat dari mana, padahal aku hanya ingin mengetahui kesimpulan dari deduksiku, benar atau salah, tetapi Wijaya malah memperkenalkanku dengan keluarganya, seolah-olah aku adalah tamu penting yang tak akan kembali ke tempat ini untuk kedua kalinya. Bahkan, mereka menawariku minum. Akhirnya, adik Wijaya—yang akhirnya kuketahui bernama Teguh—membuatkanku, juga beberapa orang dari anggota keluarga ini secangkir teh. Padahal, sudah beberapa kali kutolak karena tujuan utamaku ke sini hanya untuk alasan yang singkat.

Kuakui, keluarga Wijaya memang sangat ramah, kami dapat tertawa setiap menitnya, biarpun Teguh tampaknya sedikit pendiam dari kakaknya ini. Kami mulai membicarakan hal-hal yang general, seperti politik, cara berkendara, termasuk keluhanku mengenai ponsel yang tak dapat dilepaskan dari anak-anak pada jaman sekarang, hingga hal-hal yang personal seperti bagaimana kinerja Wijaya di mataku.

Selain itu, mereka mengatakan bahwa Riska sedang tertidur. Kurasa tak ada salahnya juga untuk mengobrol bersama mereka sembari menunggunya untuk bangun, kan?

"Wijaya orang yang teliti dan telaten," pujiku, kembali menimbulkan tawa yang memenuhi seisi ruangan. Padahal, aku sedang tidak bercanda.

"Padahal dulu Wijaya sering bulak-balik ke BK gara-gara hal sepele," komentar sang ayah, membuat Wijaya mendorong bahu ayahnya itu, memintanya untuk berhenti bercerita.

"Benarkah?"

"Dia nggak suka ke sekolah pakai sepatu, jadi dia seringnya pakai sandal."

"Ya ampun, Pak, kenapa harus diceritain?" Wijaya kembali mendorong bahu ayahnya itu, seketika memperlihatkannya seperti anak kecil padahal umurnya sudah menginjak kepala dua.

"Beneran, loh!"

"Untung Wijaya nggak seperti itu di kantor, bisa-bisa dia udah dipecat," tukasku, meledakkan tawa semua orang yang berada di ruangan ini, termasuk Teguh yang terlihat canggung untuk menertawakan komentar tololku itu.

Namun, tak berselang lama, aku dapat melihat Riska—dengan baju berwarna merah yang sedikit kebesaran—memandangi kami dari sudut yang lain, membuat tawaku segera terhenti.

"Riska?"

Semua orang menoleh ke arah yang kumaksud, segera, seolah-olah sudah diatur seperti itu, seperti robot yang mengikuti perintah suara.

"Ah, Riska udah bangun? Ayo sini, ikut ngobrol!" ajak ibu Wijaya sambil melambaikan tangannya, membuatku segera berdiri dan mempersilakannya untuk duduk, membuatku dan Wijaya berdiri tanpa tempat duduk. Ya, aku tidak masalah akan hal itu.

Obrolan kami lanjutkan, membicarakan berbagai hal tak penting lainnya, khas keluarga yang biasa-biasa saja. Bahkan, kurasa semakin lama aku merasa menjadi bagian dari tempat ini. Telah bertahun-tahun tak kurasakan gelak tawa di antara keluarga, membuatku sedikit merindukan masa-masa itu, di mana aku masih bisa merasakan hangatnya genggaman kedua orang tuaku.

Tak akan pernah ada yang tahu kapan orang yang kusayangi akan menghilang. Orang tuaku, termasuk istriku, mungkin Loka suatu saat nanti. Walaupun aku menyukai suasana yang sedang terjadi ini, rasa sedih sedikit tersayat dalam hatiku, mengetahui bahwa semua perasaan ini tidak akan kutemui lagi selamanya di keluargaku. Ah, ya ampun.

Hampir satu jam, yang artinya waktu telah menunjukkan pukul setengah enam. Aku hampir lupa akan misi pertamaku akibat sambutan ramah yang diberikan oleh keluarga Wijaya. Namun, pada akhirnya, aku meminta izin pada mereka untuk membicarakan hal itu secara empat mata dengan Riska—mungkin juga tidak empat mata karena aku mengajak Wijaya. Membuat mereka meninggalkan ruangan, termasuk Teguh, membuat atmosfir yang ada di ruangan ini berubah seratus delapan puluh derajat.

Tak ada rasa tawa.

Tak ada kebahagiaan yang tadinya tampak.

Aku sendiri tak menyukai hal ini, tetapi terpaksa kulakukan. Riska pun demikian, matanya gelagapan, melihat ke seluruh penjuru sebelum akhirnya ia tundukkan kepalanya. Aku yakin dia tahu bahwa aku, juga Wijaya, akan menanyakan segala pertanyaan yang tak akan disukainya, membuatnya terpaksa kembali menyelam ke dalam lautan kenangan yang selalu ingin dibuangnya.

"Riska," kataku. "Maafkan saya, tetapi saya tetap harus menanyakan beberapa hal. Saya mohon jawab sejujur-jujurnya."

Hujan telah mereda, tetapi aku tak dapat melihat kebahagiaan yang timbul darinya.

Aku hanya dapat mengharapkan yang terbaik.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top