16. Departure
Mayat kaku yang terbelenggu dalam trash bag hitam itu tak dapat berbicara. Di dinginnya pagi, sekumpulan orang mengelilingi mayat itu, menyayangkan keadaannya, dalam kemalangan di tengah rintik hujan. Memang, sedari kemarin hujan belum begitu reda, biarpun tidak sederas kemarin.
Berlindung di bawah payung, segera kudekati mayat itu dengan gemericik hujan yang menimbulkan suara gaduh pada permukaan payungku. Beberapa petugas siap untuk mengangkutnya, seolah tahu apa yang harus dilakukan karena kejadian ini bukanlah kali pertama. Lalu, sekali lagi, aku kecolongan, sang pembunuh beraksi lebih dulu sebelum aku sempat mengidentifikasinya, membuat rasa kesal semakin bergumul di dalam batinku.
Wijaya lebih sederhana dariku, dia hanya menggunakan jas hujan murahan berwarna hijau tosca, mengambil beberapa kesaksian dari orang-orang yang berkumpul di sini, sedangkan aku lebih tertarik untuk melihat keadaan mayat. Kucegah petugas-petugas yang hendak mengangkut seonggok daging itu, kemudian aku berjongkok, membiarkan beban tubuhku turun dan berusaha menahan genggaman payungku agar tak jatuh. Satu perbedaan yang pasti didapatkan dari mayat keempat ini, dia basah.
Kutarik bagian atas plastik, mengambil gambaran mengenai jahitan sang pelaku yang sangat kukenal. Rapi, mulus, dengan jarak di antara tusukannya yang seirama, tak terlalu panjang juga tak terlalu pendek. Sekali lagi, jahitannya lebih rapi. Di samping itu, kepala manekin tanpa hiasan mata seolah-olah memperhatikanku, penuh harap dalam tetesan hujan ini.
Aku ingin meminta maaf pada semua korban karena aku tak dapat bekerja dengan cepat. Dalam hati, permintaan maaf itu telah kulontarkan berkali-kali, tetapi aku tak ingin dianggap sebagai orang gila untuk yang lainnya, berbicara dengan mayat. Jadi, tak pernah kuucapkan secara lisan.
Merasa puas, kukembalikan mayat ini pada para petugas yang siap mengantarkannya pada ruang pembedahan kepolisian, mencari tahu penyebab kematian biarpun kurasa tak begitu diperlukan karena aku yakin modus yang dilakukan pastilah sama. Bahkan, kurasa Dokter Dalton pun akan setuju.
Penemuan mayat kali ini lebih ekstrim. Ditemukan tergeletak begitu saja pada sebuah taman, di depan sebuah kampus, ditemukan di pagi hari oleh seseorang yang menghubungi kepolisian secara tiba-tiba. Tentu saja karena tempat penemuannya yang begitu terbuka serta di waktu yang sama untuk beraktivitas, tempat ini langsung ramai, dipenuhi oleh para pedagang serta mahasiswa yang penasaran akan pembunuhan itu. Bahkan, perlu kuteriaki berkali-kali agar mereka tak bergerak terlalu mendekat.
Mayat itu diangkut, dinaikkan ke dalam mobil ambulans dan segera pergi dari lokasi ketika hujan mulai mereda.
Di saat Wijaya masih sibuk untuk mewawancarai orang-orang, aku lebih memilih untuk duduk pada kursi taman—tentu saja yang terlindung dari air hujan. Kutepuk permukaannya, memastikan bahwa celanaku tak akan basah jika duduk di atasnya. Lalu, setelah memastikan semuanya aman, kuambil tindakan itu. Duduk, diam, berpikir dalam-dalam.
"Ahli kimia seperti apa? Apoteker?"
Aku tak pernah bersinggungan sama sekali dengan obat-obatan, bukan keahlianku. Memang, dari berita yang kudengar, obat-obatan seperti itu mudah dijangkau masyarakat—biarpun sebenarnya ilegal. Namun, aku tak tahu harus mencarinya dari mana, apakah aku harus mencari seluruh zat yang berguna sebagai anestesi di kota ini? Tak mungkin, kan? Ada berapa banyak kemungkinan yang bisa diambil? Bahkan, Dokter Dalton pun menertawaiku ketika aku bertanya padanya. Aku harus bisa mengerucutkan jumlah kemungkinan, meminta Dokter Dalton untuk membuat laporan yang lebih spesifik mengenai alat bius yang digunakan. Sialannya, dia berkata sang korban kemungkinan diberikan bius total, tak memberitahuku obat seperti apa yang digunakannya. Mungkin juga obat tidur.
Mengingat sang penculik yang melakukan aksinya dalam satu minggu, berturut-turut, meyakinkanku bahwa dia adalah sang penguntit yang lihai. Brengsek, memang. Setelah melakukan aksinya, dia segera membuntuti perempuan yang lain, mencari tahu aktivitasnya, kemudian berhasil menangkapnya, membunuhnya, memajangnya.
Aku tak kuasa menahan kemungkinan semua tersangka, membuatku menyandarkan kepalaku, menahan keningku dengan lengan kanan ketika Wijaya berjalan menghampiriku sambil melepaskan jas hujannya.
"Pak, tulisan Rebirth itu juga ada di samping korban."
"Sungguh berita yang menyebalkan."
Wijaya duduk di sampingku, menemaniku setelah ia pun mengusap kursi keringnya.
"Kita tidak mungkin membiarkan korban-korban itu hanya untuk menunggu kesalahan yang dibuatnya, kan?" Wijaya menghela napas ketika aku berbicara tanpa berpaling sedikitpun.
"Mungkin kita dapat mengetahui keterkaitan di antara korban jika keluarga dari korban ketiga dan keempat menghubungi, sayangnya tidak ada sama sekali."
"Apa orang tua mereka tak menghubungi?"
"Ini hanya asumsiku, tetapi mungkin mereka wanita karier yang tidak terlalu sering menghubungi orang tua mereka, sehingga sampai sekarang pun mereka tak tahu apa yang terjadi. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum mereka menghubungi kita."
"Jika seperti itu, artinya di saat yang bersamaan akan ada lebih banyak perempuan yang mati dibunuh hanya karena kita menunggu sebuah petunjuk, yang bahkan mungkin tak akan membantu kita."
Namun, tiba-tiba saja Wijaya bertanya, "Anda mau sarapan, Pak? Anda belum sarapan, kan? Saya juga."
Kugoyangkan tanganku, mengarahkan telapak tanganku padanya, "Belum lapar."
Sama sepertiku, Wijaya mengalami jalan buntu, benar-benar jalan buntu, bukan dalam kegelapan dan menunggu senter untuk menerangi kegelapan. Kami berdua seolah-olah menjadi anak kembar yang melakukan hal sama, mengadahkan kepala ke atas, melihat awan yang berjalan secara perlahan, menunggu timbulnya secercah cahaya dari langit setelah hujan turun.
Di Bandung, memang biasanya suhu udara dapat mencapai sembilan belas derajat celcius. Namun, hujan di pagi hari membuat semuanya lebih buruk, lebih dingin.
"Jadi, apa yang kau dapatkan setelah bertanya pada orang-orang itu?"
"Tidak ada. Mereka semua sama seperti kita, Pak, tidak mengetahui apa-apa."
Aku menghela napas.
Dengan tubuh yang sedikit menggigil, kuperhatikan kerumunan ini semakin tak ramai, memperlihatkan bahwa orang-orang di sana hanya peduli pada sang mayat—penasaran. Begitu mayat dipindahkan, mereka terlihat kecewa, meninggalkan pertunjukan yang telah selesai ini ketika para petugas masih berusaha mencari sesuatu yang mungkin tertinggal pada lokasi kejadian—atau lokasi penemuan.
Namun, di saat yang bersamaan, dapat kulihat seorang petugas dengan seragam coklatnya menghampiriku sambil menggandeng lelaki berumur dua puluh tahunan. Kuduga dia seorang mahasiswa. Pakaiannya tidak terlalu rapi, terbalut dalam kaus putih dan kemeja yang tak dikancingkan, celana jeansnya terlihat sedikit sobek pada bagian tumit kaki—untungnya bukan pada bagian lutut. Selain itu, gaya rambutnya memperlihatkan dirinya yang terlihat bagaikan anak muda.
Sang petugas tidak menariknya secara paksa, lebih seperti menuntunnya. Yang pasti, ia terlihat menuntun anak itu ke arahku, membuatku spontan berdiri. Dengan meletakkan payungku di samping, aku menunggu kedatangan mereka yang tiba-tiba.
"Pak," sang petugas menyapaku. "Anak ini bilang dia yang menghubungi, dia juga mengaku melihat sang pelaku."
Sontak, mataku terbelalak. Bahkan, Wijaya yang sedari tadi mengadahkan kepalanya ke atas pun, pasti terperanjat. Buktinya, ia segera berlari mendekati kami. Sedangkan sang mahasiswa itu—mungkin—menatapku, tetapi tak dapat kupastikan maksud dari tatapannya itu. Wajahnya datar, tak berekspresi, sangat berbanding terbalik dengan keadaan wajahku kala ini.
"Kau tidak berbohong?"
Anak itu menggeleng. "Tidak, Pak."
Aku melihat sorot matanya. Jujur.
Aku menarik bahu anak itu, melepaskan genggaman tangan sang petugas. "Kau mahasiswa, kan?"
Anak itu mengangguk.
"Ada kelas hari ini?"
"Pukul sepuluh pagi."
Sepuluh pagi, lima jam dari sekarang.
"Keberatan jika saya ... kami ... meminta keteranganmu?"
Anak itu menggeleng. "Saya rasa tidak, Pak."
Kupalingkan wajahku, melihat Wijaya. Ia mengangguk.
"Ikuti saya," perintahku, yang kulanjutkan dengan berjalan kaki di antara beceknya tanah. Cipratan air terdengar secara samar di dalam telingaku, bergema dan merangkap dengan langkah-langkah lain yang ada. Kakiku benar-benar tak sabar untuk sampai ke kantor. Anak ini seperti senter, menerangi jalanku, mencari jalan lain yang kukira telah buntu. Aku yakin Wijaya pun merasa seperti itu.
===
Beberapa menit telah berlalu—setidaknya itu yang terlihat pada rekaman.
Mahasiswa ini—Arya—adalah mahasiswa tingkat akhir program studi teknik kimia. Setidaknya, tingkat akhir jika dia benar-benar akan lulus tepat waktu. Bukan berarti aku bermaksud untuk merendahkan, tetapi ia sendiri yang berkata seperti itu. Arya sangat kooperatif, menjelaskan seluruh kronologi kejadian yang dilihatnya secara langsung. Mulai dari ketika seseorang mencoretkan piloks hingga meletakkan mayat itu.
Berdasarkan pengakuannya, memang sang pembunuh memiloks paving blok di taman itu terlebih dahulu sebelum meletakkan mayatnya, dan aku tidak terlalu terkejut akan hal itu. Tak mungkin si pembunuh ingin mengambil resiko ketahuan dengan sengaja meletakkan mayat itu sebelum mengukirkan tanda tangannya, kan?
Kakiku mengetuk pelan, duduk di bangku yang sangat nyaman sedangkan Wijaya memilih untuk menemaniku, mengawasiku dari jarak yang cukup jauh, bersender pada dinding dengan menyilangkan kedua tangannya, membiarkanku bekerja sendiri.
Dalam perjalanan pulang, sehabis menginap pada kosan temannya, Arya mengaku melewati taman itu, berjalan karena tak memiliki kendaraan untuk kembali ke kosannya. SIalnya—atau mungkin untungnya—kala itu ia melihat sesuatu yang tak biasa, seseorang sedang mencorat-coret paving blok. Awalnya, Arya berpikir itu hanya ulah pengrusakan biasa yang sering dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Aku sendiri tak menyalahkannya untuk berpikir seperti itu, tulisan rebirth sendiri belum pernah dipublikasikan, memberitahukannya pada masyarakat bahwa kemungkinan besar tulisan itu dibuat oleh sang pembunuh—yang sekarang kuyakini kebenarannya.
Rasa keingintahuannya akan sang pelaku pengrusakan membuat Arya bersembunyi, mencari tahu lebih lanjut. Lalu, di saat itulah semua masalah terjadi. Anak ini mendapatkan pemandangan yang mungkin tak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Ia melihat orang itu kembali, membawa plastik besar semacam trash bag dengan isi yang terlihat berat. Dipanggulnya plastik itu, kemudian diletakkan tepat di samping tulisan yang baru saja dicoretnya. Kemudian, sebagai sentuhan terakhir, sang pembunuh itu menarik bagian atas trash bag, menyisakan kepala manekin yang menyambul ke luar.
"Sesaat setelah itu saya menghubungi polisi," akunya, segera setelah menceritakan seluruh kronologi kejadian yang disaksikannya secara langsung.
"Kau tidak berusaha mencegah pelaku untuk kabur?"
"Saya ... takut, Pak."
Sekali lagi, aku tak dapat berkomentar. Kejadian seperti itu memang akan sangat mengerikan bagi orang awam. Jangankan orang awam, aku pun mungkin akan ketakutan jika melihat pemandangan yang serupa. Tak bergerak, kecuali kutekankan diriku bahwa aku memang harus mengejarnya, seperti ketika kukejar Dokter Ryan—atau mungkin bayangannya.
"Tapi saya mengikuti orang itu, Pak. Saya ingat plat nomor mobilnya."
Aku terkesima. Benarkah?
Arya segera menyebutkan nomor plat mobil yang dimaksud, yang kemudian segera kucatat dalam memo ponsel. Wijaya pun melakukan hal yang serupa. Memang, sialan dia, seolah-olah tak mendengarkan percakapan kami padahal telinganya terpasang di mana-mana.
"Terima kasih," kataku. Namun, Arya malah merogoh sakunya setelah kedua matanya berkedip beberapa kali. Ia terlihat menyadari sesuatu, sesuatu yang penting yang belum diberitahukannya padaku.
"Ah, saya juga mengambil foto pelaku, Pak."
Aku terkejut.
"Benarkah!?"
Arya mengambil ponselnya, memasukkan kombinasi angka dan melepaskan kuncinya, segera menuju galeri di mana seluruh foto di simpannya. Dari jarak yang cukup jauh, aku dapat melihat beberapa foto terbaru—agak gelap, tidak terlalu jelas. Namun, begitu Arya menekannya, memilih salah satu foto terbaik yang dipilihnya, ia segera memberikan ponselnya padaku.
Membuatku bergidik ngeri.
Orang yang sangat kukenal, berjongkok dengan jaket hitam dan hoodie yang sengaja dikenakannya, tengah menaruh sebuah trash bag pada taman tempat kejadian. Suasana gelap membuatku sulit untuk mengidentifikasi wajahnya. Namun, semakin lama aku semakin terbiasa, mencari tahu bahwa kedua mataku tak salah, dan aku yakin kali ini benar-benar tidak salah.
Aku tak dapat memercayainya.
Dokter Ryan.
===
Aku menggeram. Bahkan, Wijaya beberapa kali menawarkanku untuk bertukar posisi, membuatnya mengambil alih kemudi, tetapi kutolak. Aku berkendara bagaikan supir angkot yang berandai-andai menjadi pengemudi formula satu. Mungkin, beberapa pengemudi yang lain—yang berpapasan denganku—telah mengutukku, mengucapkan berbagai sumpah agar aku mati. Namun, aku tidak peduli. Mereka tidak tahu bahwa aku sedang berada dalam sebuah misi—misi penyelamatan manusia.
Aku terguncang, Wijaya terguncang, kami berdua tak dapat memercayai kesaksian Arya, tetapi foto itu benar-benar membuktikan semuanya. Aku tak peduli akan alibinya yang sempurna, bagaimana ia dapat menciptakan dirinya yang lain untuk berdiri di tempat yang lain. Namun, satu kepastian yang kudapatkan hari ini, dia adalah pelakunya. Jadi, sesegera mungkin aku mendatangi lokasi kerjanya, mendapati Dokter Ryan mangkir dan tak ada di sana, membuatku terpaksa berkendara menuju rumahnya.
Beberapa kali kupukul kemudi ini sambil menggerutu, sialan!
Seluruh aktivitasku sebelumnya seolah terasa sia-sia. Aku hampir menangkapnya—benar-benar hampir. Pada akhirnya aku malah meminta maaf padanya, dan aku yakin dia menertawakanku saat itu. Aku dapat mendengar tawa sinisnya, merendahkanku, meludahiku, merendahkan harga diriku dan menertawakan kebodohanku. Aku benar-benar merasa malu, merasa tolol, sangat tolol, meminta maaf pada orang yang salah. Brengsek, perasaanku memang tak salah, logikaku yang menahan semuanya. Seharusnya aku tak dapat memercayai siapapun, tapi tololnya aku malah memercayainya—memercayai ia tak bersalah.
"Pak Roy, maafkan saya." Berulang kali Wijaya pun menepuk-nepuk dashboard. Aku tidak akan mengatakan Wijaya adalah manusia paling bodoh yang pernah kutemui, karena buktinya aku pun terjebak dalam permainan Dokter Ryan. Setidaknya, kami berdua sama-sama bodoh.
"Bukan salahmu, Wijaya," beritahuku, tetapi tampaknya dia masih tak dapat menerimanya.
"Kasus pertamaku benar-benar bodoh! Astaga, aku tak dapat memercayainya!"
"Kasus pertamamu bukan kasus remeh seperti seorang suami yang membunuh istrinya karena sakit hati, atau seorang lelaki yang membunuh temannya karena alasan uang. Orang itu manipulatif, pintar, kita dapat mengikuti jejaknya pun telah menjadi poin yang sangat tinggi, bukan?"
"Tetap saja ... Oh, sialan! Brengsek!"
Untuk pertama kalinya aku mendengar Wijaya mengutuk.
"Kita sudah tahu siapa pelakunya, kita tahu apa yang harus kita lakukan sekarang, itulah hal penting yang harus kita pikirkan sekarang ini."
"Pak, aku benar-benar minta maaf."
Aku tak membalas permintaan maaf Wijaya itu. Aku tahu, berkali-kali kukatakan bahwa semua itu bukan salahnya, ia tak akan berhenti meminta maaf padaku, menganggap semua itu kesalahannya karena tak mendukung analisisku—yang mungkin ternyata benar. Sifatnya memang seperti itu, membuatku merasa bahwa kami menjadi rekan kerja yang cukup baik. Sudah satu bulan kami mengusut kasus ini, kurasa semuanya berjalan dengan lancar.
Akhirnya, kami sampai di rumah Dokter Ryan. Dengan segera kulepaskan sabuk pengamanku, membanting pintu dan berlari dengan cepat, menuju rumah yang besar itu hanya untuk mendapatkan satu kenyataan sialan yang tak kuharapkan.
Kosong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top