15. Mayat Keempat
Juntaian awan yang memenuhi langit-langit membuat kesan mendung semakin menjadi-jadi. Warna kelabu memenuhi seluruh sudut penjuru kota ini, menandai masuknya musim hujan setelah kemarau yang cukup berkepanjangan. Aku tak sabar ingin merasakan kembali tetesan air hujan sembari menyesap secangkir kopi di malam hari, memikirkan pertanyaan-pertanyaan tak bermutu yang sering mengganggu otakku, seperti :Kenapa berjalan kaki menggunakan kedua kaki secara bergantian?
Aku sedang bebas tugas, melepaskan seluruh jeratan pekerjaan dari otakku, walaupun sebenarnya tak seperti itu juga. Biarpun namanya bebas tugas, bagiku itu hanya sebuah padanan kata yang sengaja ditempelkan, mengganti bekerja dengan seragam menjadi bekerja dengan pakaian bebas. Selebihnya, tak ada perbedaan yang lain, apalagi dengan kasus yang sedang kuusut seperti ini.
Namun, berusaha untuk membuat perbedaan dalam keseharianku, kuputuskan untuk mengunjungi dokter Ryan, meminta maaf secara personal padanya. Untungnya, ia belum diputuskan bersalah sehingga aku tak perlu membuat surat pernyataan untuk mengembalikan nama baiknya, walaupun sebenarnya aku sudah membuat klarifikasi di tempat kerjanya—dengan setengah hati tentunya, karena kala itu aku belum bisa melepaskannya dari dugaanku.
Sang istri menyambutku dengan ramah. Memang, sudah beberapa kali kami bertemu. Gelagat wanita itu tak pernah berubah semenjak pertama aku mengunjunginya, walaupun tampaknya sekarang ia lebih bahagia, mengetahui suaminya tak terlibat. Sedangkan dokter Ryan, masih dengan tubuh tambunnya menyambutku seperti biasa, mempersilakanku untuk duduk dan berdiskusi. Ah, ya, aku sendiri mengunjunginya di saat yang tepat, ketika ia tak sedang dalam jam praktik—setidaknya belum.
Walaupun aku menolak, berbeda dengan kebanyakan orang, istri dari Dokter Ryan tetap menyuguhiku minuman, kopi instan yang sebenarnya tak begitu kusukai karena campuran creamer yang begitu pekat. Aku lebih menyukai kopi pahit, tanpa gula, tanpa apapun, merasakan sensasi nikmat dan harum dari asap yang mengepul keluar. Namun, tetap saja untuk menghargai tuan rumah, kusesap air berwarna coklat itu, meneguknya secara perlahan sambil meniup pinggiran cangkir. Dokter Ryan pun melakukan hal yang sama, tak kusangka ia suka minum kopi.
"Saya ingin meminta maaf, Dok," kataku, di sela-sela pesta kami dengan aliran hangat yang memenuhi tenggorokanku. Ampas kopi sedikit terasa pada langit-langit mulutku, tetapi kuhiraukan.
"Saya mengerti, Pak Roy," balasnya. "Jika saya berada dalam posisi Anda pun, mungkin saya akan melakukan hal yang sama."
Benar-benar sebuah perbincangan yang menenangkan hati. Tak ada perkelahian, rasa marah, semuanya didasari atas dasar kemanusiaan, mengerti keadaan satu sama lain. Kemudian, di saat Dokter Ryan telah meneguk minumannya untuk ketiga kali, ia berkata, "Ah, ya, Pak Roy, rasanya saya mengetahui maksud dari R3 itu."
"Anda mengetahuinya?"
"Tidak begitu ingat. Saya pernah melihat tulisan seperti itu." Jelasnya, membuatku termangu. "Tulisan itu terngiang dalam pikiran saya. Mungin ingatan saya ketika masih kecil, saya tak begitu ingat."
"Tulisan?"
"Tertulis dalam sebuah buku. Saya tak begitu ingat."
Dokter Ryan terlihat kesulitan untuk mengingatnya. Beberapa kali ia naik turunkan alisnya, menyegarkan otaknya, tetapi tak satu pun kalimat keluar dari mulutnya, membuatku terpaksa membuat topik yang dapat melanjutkan pembicaraan.
"Ah, Anda tak perlu memaksakan diri, Dok."
"Maafkan saya yang tak dapat membantu."
"Itu cukup membantu," kataku, kemudian kembali meneguk cairan coklat yang berada di hadapanku. "Ah, ya, Dok, apa Anda meningat nama Ferdinand?"
"Orang yang menjual rumah saya?"
"Mayatnya ditemukan di rumahnya, dikubur oleh seseorang."
"Apa?" Dokter Ryan tersentak kaget. Wajahnya menatap tak percaya. "Kenapa?"
"Sedang kami selidiki. Saya mohon jangan beritahukan pada siapapun. Sebenarnya belum tentu benar mayat itu adalah Ferdinand, tetapi saya rasa benar adanya."
"Saya tidak percaya."
"Ya, saya pun tak percaya."
Mulutnya kaku, tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga aku memutuskan untuk berpamitan dengannya, juga dengan istrinya, lalu pergi meninggalkan rumah itu dan segera menghubungi Wijaya.
Tetesan hujan mulai membasahi kota ini. Langit yang sedari tadi mendung seolah tak kuasa menahan beban berat hingga menjatuhkannya, membuat bajuku terkena percikan air, membasahinya biarpun tidak basah kuyup.
Lalu, begitu Wijaya mengangkat panggilanku, tanpa sedikitpun pembukaan, segera kuperintahkan dirinya, "Kita akan memeriksa kembali rumah Dokter Ryan. Kalau kau punya tangga, bawalah, itu akan sangat membantu."
===
Akhirnya, hujan deras membasahi kota ini, tetesan demi tetesan air jatuh, menimpa berbagai benda pada permukaannya, termasuk atap mobilku juga mobil Wijaya, membuat kebisingan yang tak kusukai. Lalu, dengan jaket, kututupi seluruh bagian kepalaku, menghalau percikan air yang dapat membasahi rambutku dan membuatku pusing. Sambil berjinjit, kudekati mobil Wijaya, membuka bagasinya begitu Wijaya keluar dari bangku pengemudi, mengambil sebuah tangga kecil yang akan kugunakan nanti.
Mobil-mobil yang berkendara dengan kencang menciprati tubuhku dengan air, membuatku sedikit menggeram, hampir berteriak pada para pengemudi itu sebelum menyadari bahwa tindakan itu akan sia-sia—mereka tak akan memedulikannya!
Dengan segera, kubawa tangga ini, sedangkan Wijaya terlalu sibuk untuk mengunci kendaraannya sebelum akhirnya ia pun berlari kecil—sedikit berjinjit—menyusulku, lebih cepat dariku yang sedang kelelahan akibat membawa barang yang berat ini. Kemudian, dari sisi yang aman—tanpa cipratan air—ia berusaha untuk menarik benda yang tengah kupanggul, hingga akhirnya kami berada di posisi yang aman.
Kubuka tudung jaketku, kemudian melepaskan resletingnya, menanggalkan seluruh bagian jaket dan memerasnya. Aku tak suka suasana lembap yang melingkupi tubuhku, membuatku kedinginan, sedangkan Wijaya tampak anteng dalam keadaan basah kuyup. Lalu, segera setelah kukeringkan jaketku ini, kuambil kunci mobil yang tersembunyi di dalam kantung celanaku, mengunci mobilku sendiri.
"Aku tidak membenci hujan, aku hanya membenci hujan yang turun di saat yang tidak tepat," gerutuku, sedangkan Wijaya hanya tertawa melihat kelakuanku.
Akhirnya, kami kembali pada tempat ini. Mungkin sudah ketiga atau keempat kalinya bagiku, tetapi kurasa masih menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap. Bahkan, aku tak merasakan suasana mistis seperti yang awal kurasakan, seolah-olah tempat ini telah menjadi rumah kedua bagiku. Sedangkan Wijaya, ia tampak kedinginan akibat tubuhnya yang basah kuyup, ia tak menggigil, tetapi gemertakan giginya tak dapat disembunyikan. Namun, seolah tetap tak peduli, ia mengikutiku memasuki rumah ini, segera menuju lantai atas untuk kembali pada atap yang bermasalah.
Pemandangan yang sama terlihat seperti saat terakhir kutinggalkan. Pintu yang terintegrasi dengan atap itu menggantung, terbuka, membuatku dengan mudah mengetahui lokasinya dan meletakkan tangga ini, yang tak begitu tinggi tetapi tetap memabntu tepat di bawahnya, memosisikannya sebaik mungin sehingga aku tak perlu memanjat dengan susah payah seperti terakhir kali kukunjungi atap itu.
Aku baru ingat bahwa Wijaya belum pernah mengunjungi ruangan itu, aku hanya menceritakannya, tetapi ia belum pernah melihatnya secara langsung.
"Ruangan apa itu?" tanyanya ketika aku sedang bersusah payah memindahkan seluruh beban tubuhku pada puncak tangga itu.
"Ruangan yang pernah kuceritakan padamu."
"Kenapa kita kembali ke sini."
"Kurasa aku meninggalkan sesuatu," kataku. "Ah, mungkin kau lebih baik mencarinya di tempat lain."
Wijaya tampak kebingungan. "Mencari apa?"
"Sebuah buku. Jika ada tulisan Rebirth, Resurrect, atau R3, itu lebih baik."
Wijaya memangku dadanya, melihatku seperti seorang bocah yang sedang bermain dalam pengawasan orang tuanya. "R3?"
Aku mengangguk. "Ya." Kemudian, segera kuambil ancang-ancang, memasuki ruangan yang bermasalah itu. Tak sesulit sebelumnya, kini aku dapat menggapainya secara langsung tanpa perlu terjatuh, kembali memandangi setumpuk kardus tak terpakai. Pandanganku jauh lebih luas dibanding sebelumnya, mungkin karena aku tak memeriksa seluruh ruangan ini di malam hari, seperti sebelumnya.
Seolah tak mengindahkan perintahku, aku dapat melihat kepala Wijaya yang menyembul, menggapai dasar atap ini dengan kedua tangannya kemudian mengangkat tubuhnya, tak kesulitan sama sekali—sialan, aku rindu masa mudaku.
"Sudah kubilang untuk mencari di tempat lain, kan?"
"Maaf, Pak, saya penasaran," katanya. Lalu, sesaat kemudian, ia mengernyitkan dahinya. "Uh, bau obat-obatan."
"Sudah kukatakan padamu sebelumnya, kan?"
"Saya benci bebauan seperti ini."
Kuselusuri kembali ruangan ini, semaksimal mungkin tanpa adanya sudut yang terlewat. Langkah kakiku—mungkin kami—menggema, menggetarkan seisi ruangan bagaikan seorang raksasa yang tengah berjalan di hutan dan menyingkirkan pepohonan.
"Ah, ya, Wijaya, apakah aku tak mengganggumu?"
Di tengah pencariannya, Wijaya membalas, "Mengganggu apa?"
"Meneleponmu secara mendadak dan menyuruhmu untuk ke sini. Kau juga sedang bebas tugas, kan?"
"Ya," balasnya. "Tapi tak masalah, toh saya sedang bermain game, Pak."
"Biasanya seseorang yang sedang bermain game tak ingin diganggu, bukan?"
Wijaya tertawa kecil. "Memang," lanjutnya. "Tapi saya tetap harus profesional, kan, Pak?"
"Ah, kau tipe orang malang yang tak pernah dihargai."
"Maksud Anda, Pak?"
"Bukan bermaksud untuk menyinggung, Wijaya," kataku. "Kau berada di tempat yang salah. Jarang sekali aku menemukan orang sepertimu, terlalu jujur. Sedangkan media massa hampir selalu memberitakan keburukan instansi ini, membuat orang-orang berpikir bahwa kita semua memiliki perilaku yang sama."
Wijaya kembali melanjutkan tawanya. "Bukankah itu artinya hal yang sama berlaku pada Anda, Pak?"
"Aku tak mementingkan pamor."
"Saya juga, Pak." Wijaya meregangkan tubuhnya di sela-sela pencarian. "Saya hanya melakukan apa yang saya suka, selama tidak merugikan orang lain."
Ini semua keajaiban. Aku dan Wijaya sedang melakukan pencarian di sisi yang berlawanan, cukup jauh, tetapi tak mengurungkan rasa keterikatan kami sebagai rekan kerja, mengobrol sambil setengah berteriak, menertawakan keadaan di luar sana sambil terus mencari buku yang menjadi target utama kami.
Setengah jam berlalu, kami tak mendapati benda yang dimaksud. Buku itu tak ada di ruangan ini, membuat kami menyisir ruangan-ruangan lain, tempat di mana buku yang dimaksud berada. Satu-satunya hal yang membuatku yakin bahwa buku itu berada di rumah ini adalah karena Dokter Ryan mengaku tak begitu mengingatnya, tetapi tetap mengingatnya, yang artinya benda itu kemungkinan besar menjadi salah satu benda penting hingga tersimpan di dalam memorinya. Di masa kecilnya, kemungkinan besar memori yang tersimpan adalah rasa trauma akibat pembunuhan yang terjadi pada orang tuanya. Artinya, buku itu menjadi memorinya, tepat ketika pembunuhan itu terjadi—atau sekitarnya.
Sialannya, pencarian terus kami lanjutkan selama dua jam dengan hasil yang nihil. Seluruh penjuru ruangan telah kami selidiki, semaksimal mungkin. Bahkan, jika rumah tikus pun ada dan menempel di dinding-dinding rumah, menyisakan sebuah lubang untuk mereka keluar dan masuk, aku yakin tak akan terlewatkan dari pindaian kami. Sialannya, buku itu tetap tak dapat kutemukan. Apakah analisisku salah?
"Dokter Ryan kala itu masih sangat kecil, kan? Bagaimana jika ia salah lihat?" komentar Wijaya begitu aku menginginkan pendapatnya. Memang, mungkin ada benarnya, mungkin pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini mengacaukan pikirannya, sehingga sebuah delusi muncul di dalam otaknya, memperlihatkan sesuatu yang sebenarnya tak pernah terjadi.
Pertanyaannya, apakah ia akan menceritakan sesuatu yang tak diyakininya padaku? Salah-salah dia dapat ditangkap dengan pemberian informasi palsu, bukan?
"Bagaimana jika kita kembali melakukan hal yang mungkin seharusnya kita lakukan, Pak? Mungkin menyusun kembali daftar kemungkinan tersangka."
"Oh, sialan! Aku akan sangat membencinya!"
"Kita tak akan bisa menemukan mayat-mayat lainnya tanpa menangkap pelakunya."
"Ya, kecuali si pembunuh itu menghilangkan jejaknya, menenggelamkannya dalam larutan asam pekat seperti ...." Pikiranku terguncang, napasku tersedu, padahal tak ada air mata yang keluar dari kedua bola mataku. Aku hampir tak melanjutkan ucapanku, sebelum akhirnya tak dapat kutahan untuk kukeluarkan. "Breaking Bad."
Sama sepertiku, Wijaya tak percaya akan ucapanku.
"Apa ada kemungkinan si pembunuh itu seorang ahli kimia?" tanyaku, sesaat setelah ucapan itu terlintas melalui mulutku secara tolol dan tan sengaja. Di samping itu, Wijaya terlihat setuju akan ucapanku.
"Kita terlalu terpaku akan jahitan pada leher korban, membuat kita berpikir ia seorang dokter bedah," lanjutku. "Kita tak pernah berpikir bahwa orang itu berlatih selama ini, kemudian melenyapkan seluruh korban yang gagal ia eksekusi, membuatnya berlatih selama lima tahun."
"Kita hanya melihat pekerjaan yang dilakukannya sekarang ini," balas Wijaya.
"Ya, dan sialannya dia berhasil melakukannya!"
"Pak, apakah Anda siap?" Wijaya menatapku secara serius. "Ini hanya asumsi, kita tidak tahu apakah mayat-mayat itu belum ditemukan atau mungkin memang tak akan ditemukan. Bagaimana jika kita salah untuk kedua kalinya?"
"Aku tidak ingin menantangmu untuk mencari cara lain yang lebih baik, Wijaya." Kembali kuingat kala itu, ketika aku dan dirinya memiliki perbedaan pendapat dan berseteru, tidak begitu menegangkan, tetapi benar-benar terlihat bodoh. Pada akhirnya, Wijaya tak dapat mengalahkan argumenku, tetapi ternyata pada akhirnya anggapanku pun tidak sepenuhnya benar. Tak ada yang menang di antara kami, juga tak ada yang kalah. "Apa pendapatmu?"
"Saya baru saja berpikir, jika kala itu saya mencegah Anda untuk menangkap dokter Ryan, mungkin selamanya kita tak akan tahu bahwa dokter Ryan tak melakukannya. Bahkan, mungkin kita malah akan menuduhnya karena tak ada alibi sempurna yang tercipta. Jadi, saya rasa mungkin untuk saat ini kita harus melakukan apa yang dapat kita lakukan."
Ah, ya, memang benar. Jika aku tak menangkap Dokter Ryan kala itu, mungkin alibi yang sempurna tak akan tercipta, walaupun itu artinya secara tak langsung, kuanggap penglihatanku mengalami kegalatan, melihat sesuatu yang tak seharusnya kulihat. Itu bukan Dokter Ryan—mungkin.
Jadi, kini aku akan kembali pada masa-masa yang menyebalkan :Mencari kemungkinan tersangka.
===
Rintik hujan semakin menjadi-jadi, Gelapnya malam kini ditemani oleh suara rintik yang menyapu seluruh permukaan genting rumah. Beberapa di antara dari mereka tengah tertidur pulas, beberapa lainnya sedang beraktivitas di waktu yang tak layak. Namun, satu yang pasti, hujan terus membasahi permukaan kota.
Kendaraan yang biasanya berlalu lalang kini tereduksi, membuat jumlahnya semakin sedikit, terutama sepeda motor. Sebagian besar dari mereka ketakutan akan serbuan air hujan yang turun tiada henti dengan intensitas tak terkira. Membuat suasana semakin sepi, gelap, dingin, seolah tak berpenghuni, bagaikan kota mati dengan kelap-kelip cahaya lampu yang terang benderang.
Dari langit, kota ini terlihat bercahaya. Namun, tetap saja beberapa bagian kota ini memiliki sisi gelap.
Di saat yang bersamaan, sepotong mayat ditinggalkan dalam dinginnya hujan, terbungkus di dalam plastik hitam dengan kepala manekin yang menyembul keluar.
Mayat keempat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top