14. Delirium
Suasana rumah ini memiliki kesan yang sama seperti yang kurasakan ketika berkunjung ke rumah dokter Ryan. Bedanya, jika aku dapat menganggap rumah dokter Ryan sebagai istana kerajaan, rumah ini bisa kuanalogikan sebagai rumah seorang tabib, kesatria, ahli filsuf atau orang-orang terpandang lainnya, tidak sekelas pekerja kasar, tidak pula sekelas seorang tabib istana. Memiliki eksterior yang memanjang ke samping, kurasa rumah ini sebenarnya dua buah rumah yang terintegrasi, memiliki halaman yang luas, cukup digunakan untuk tempat bermain, menyimpan beberapa ayunan dan jungkat-jungkit, mentransformasikan tempat ini menjadi tempat bermain anak-anak—tentu saja jika diurus.
Entah karena waktu yang kurang tepat atau tempat ini tidak seluas rumah dokter Ryan, aku tak merasakan kesan mistis yang seharusnya kukesampingkan. Seolah-olah aku berada pada sebuah rumah yang memang ditinggalkan seorang pemilik tanpa latar belakang dan cerita yang mengerikan di balik peninggalan rumah ini.
Setelah berdalih untuk mengekspedisi rumah ini pada sang ketua RT, aku dan Wijaya diberikan izin, mencari sesuatu yang mungkin akan kami temukan, penting maupun tak penting.
Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa rumah ini tertata cukup baik. Tak ada barang yang ditinggalkan, semuanya tersimpan seperti sedia kala, berbagai perabotan tersimpan secara terstruktur dan nyaman untuk dipandang. Aku yakin gaji sebagai operator warnet tak mungkin untuk menutupi segala pembayaran perabotan-perabotan ini, membuatku semakin yakin bahwa ia melakukan pekerjaan lain seperti menjadi perantara untuk menjual rumah seseorang pada seseorang yang lain.
Aku dan Wijaya memutuskan untuk berpencar. Selain itu, aku berpesan padanya untuk tidak meninggalkan tempat ini tanpa penyelidikan yang menyeluruh, sekecil apapun, termasuk memeriksa apakah rumah ini memiliki atap yang dapat dipakai sebagai gudang, biarpun aku ragu karena gaya rumah ini tidak terlalu kebarat-baratan.
Aku menyambangi bagian barat, sebuah ruangan yang luas yang kuduga sebagai tempat bersantai serta sebuah kamar dengan interior yang masih tertata rapi walaupun beberapa benda terlihat rusak. Selain itu, halaman belakang terlihat dari balik jendela, menyisakan rerumputan yang menjulang tinggai di baliknya, sebuah sumur menyertai bagian halaman belakang rumah ini, membuatku sedikit terpukau. Masih adakah orang yang menggunakan sumur di masa ini?
Akhirnya, merasa akan mendapati sesuatu pada kamar ini, aku menelisik ruangan sejauh dan sedetail mungkin, bahkan membuka semua laci meja hanya untuk mendapatkan sebuah petunjuk hingga akhirnya aku menemukan sebuah catatan kecil yang sedikit memelikkan pikiranku. Hampir sama seperti berkas yang kutemukan pada rumah dokter Ryan. Bedanya, tak dilengkapi foto dan catatan mendetail mengenai kegiatan manusia yang ditargetkan. Catatan ini hanya berisi sebuah nama, tanggal serta beberapa tanda contreng di samping kanan kertas.
Selain itu, aku menemukan nama dokter Ryan di sana.
Kusakukan catatan itu, menutup laci meja sambil mencari benda lain yang mungkin kutinggalkan, menelisik jauh lebih dalam hingga kolong kasur walaupun hasilnya nihil.
"Wijaya, kau mendapatkan sesuatu?" tanyaku setengah berteriak, tetapi ia tak menjawab. Mungkin tak terdengar karena jarak kami terpaut cukup jauh. Akhirnya, kembali kuperintah saraf-saraf motorikku untuk mengambil tindakan lain, menyingkirkan beberapa benda, mencari benda-benda lain yang mungkin ada. Di balik seprai yang masih tersimpan rapi, di balik sarung bantal yang masih menyelimuti bantal, hingga membuka lemari baju yang tak terkunci. Tak ada apapun.
Hingga akhirnya aku mendapati Wijaya tengah berada di halaman belakang. Memang, tempat itu tersambung dengan bagian belakang rumah, sedangkan aku hanya dapat melihatnya dari balik jendela, kemudian melambaikan tangan padanya seperti anak kecil, menyapa lelaki yang tengah mengelilingi halaman belakang, walaupun tampaknya ia tak menyadari keberadaanku.
Aku membuka jendela, membuatnya tersentak dan segera menolah padaku. Aku tersenyum, benar-benar seperti anak kecil.
"Wijaya, kau mendapatkan sesuatu?" tanyaku kembali untuk kedua kalinya. Kini, aku yakin benar ia mendengarkan pertanyaanku. Lalu, Wijaya menggeleng, menandakan jawaban yang tak kuinginkan.
"Belum," katanya, tetapi seolah pikirannya telah penuh dan ia memerlukan diriku untuk berbagi pikiran, tiba-tiba saja ia bertanya, "Pak, apa Anda melihat sesuatu yang aneh?"
Dalam sedetik, aku berusaha mencari tahu maksud dari sesuatu yang aneh itu, melihat halaman belakang dari balik jendela sambil menyembulkan kepalaku ke luar. Memang, ada sesuatu yang aneh yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Pada beberapa bagian, rerumputan terlihat tumbuh dengan anomali, terlihat berbeda di antara yang lain, membuatku langsung jatuh pada kesimpulan yang kurasa sama dengan pemikiran Wijaya.
"Aku akan mencari sekop." Kumasukkan kembali kepalaku, membuatnya berdiri tegak tersambung dengan badanku yang kini berlari kecil, mencari tahu di mana gudang peralatan ada atau mencari garasi di mana kemungkinan besar alat itu ada. Jika memang Ferdinand sengaja membiarkan halaman belakangnya hidup, tak dirusak dan menimpanya dengan semen, kurasa kemungkinan besar ia akan memiliki sekop yang mungkin ia gunakan untuk berkebun.
Hingga akhirnya aku menemukannya, pada sebuah ruangan kecil dengan jaring laba-laba yang menjuntai pada seisi ruangan, membuatku berharap tak akan ada laba-laba yang jatuh mendarat di pundakku, kemudian menggigitku.
Aku menyusul Wijaya, tengah memperhatikan lokasi yang sama. Semakin kudekati, semakin kuyakini ada sesuatu yang salah pada bagian itu. Dengan cepat, kuserokkan sekop ini, mengambil tanah-tanah dan merusak kebahagiaan rerumputan yang tumbuh dengan subur. Berkali-kali hingga dapat kurasakan sekopku mengenai sesuatu. Sesuatu yang agak keras, tak sekeras besi juga tak selembut busa pencuci piring. Sebuah tekstur yang kurasa kukenali.
Semakin lama, aku dapat melihat sebuah kain putih yang tertanam pada tanah. Tak begitu putih akibat tanah yang menyusupi permukaan kain. Namun, aku yakin benar jika benda itu merupakan kain putih yang telah ternoda. Hingga akhirnya aku sadar bahwa penemuan Wijaya ini tak salah, semua perkiraanku—mungkin juga perkiraannya—tepat, seratus persen.
Sebuah mayat.
Begitu merasa cukup, kuletakkan sekopku, menjatuhkannya dengan kasar dan menimbulkan suara gemerisik akibat penampikan sekop itu dengan rerumputan. Aku berlutut, membuat celanaku sedikit kotor—untungnya ini seragam kepolisian, bukan celana kesukaanku. Sedangkan Wijaya hanya memandangku dari jarak yang cukup jauh.
Sepotong tengkorak kini dapat kusaksikan dengan jelas. Kuusap secara halus, tengkorak asli, masih berselimutkan baju dengan utuh, mungkin juga celana—aku tidak tahu karena aku tidak menggali lebih jauh lagi.
"Jadi, Pak," Wijaya akhirnya menggerakkan mulutnya, tak kuasa menahan seluruh pertanyaan dalam dirinya. "Apa mungkin dia Ferdinand?"
"Mungkin." Kubulak-balikkan tengkorak itu, ke kiri dan ke kanan. Aku tak tahu wajah dari sang Ferdinand seperti apa, aku sendiri pun tak dapat menerka bentuk wajah mayat ini sebelum menjadi tengkorak. Namun, seluruh kejadian yang ada, secara kronologis, otakku tak mampu untuk berkata bukan.
"Kenapa tak ada seorang pun yang menyadari bahwa orang itu di kubur di sini?"
Aku berdiri, membersihkan lutut-lututku, mengusapnya dengan kedua telapak tanganku. "Alasan yang sama dengan orang-orang hilang lainnya. Jika ini benar-benar Ferdinand, tak menutup kemungkinan jika orang-orang yang ada di arsip itu, arsip yang kuberikan padamu, dikubur di suatu tempat."
"Saya benar-benar mual," balasnya sambil menutup mulut dengan kedua lengannya.
"Kurasa kita tak hanya sedang mengejar seorang pembunuh, Wijaya," kataku, tak mengindahkan keluhannya. "Kita sedang mencari sebuah penemuan besar. Mayat-mayat yang mungkin telah dikubur selama bertahun-tahun. Dan mayat ini hanyalah salah satu dari mereka."
Perutku kemudian memberikan reaksi yang sama seperti yang Wijaya alami. Membayangkannya, aku benar-benar merasa mual.
===
Kedatangan ambulans menarik banyak perhatian orang. Pertanyaan-pertanyaan mereka yang tak kujawab seolah menjadi magnet untuk menarik orang-orang lainnya, mendesakku hingga akhirnya terpaksa kubeberkan kenyataan yang ada, memberitahukan pada mereka bahwa seonggok mayat—atau mungkin tengkorak—manusia telah ditemukan. Namun, jika disandingkan dengan tiga penemuan mayat wanita yang kepalanya diganti dengan manekin, penemuan ini bukanlah sebuah penemuan besar, membuat tak banyak media massa yang secara tiba-tiba mendatangi tempat ini, hanya beberapa wartawan lokal yang merasa tertarik untuk memberitakannya.
Namun, dengan kepiawaianku dalam menyembunyikan kenyataan—dengan kata lain berbohong—aku berkilah bahwa penemuan ini terjadi karena ketidaksengajaan setelah mencari orang yang hilang, tak dihubungkan dengan keterlibatan tiga pembunuhan manekin. Membuat orang-orang tak begitu tertarik—setidaknya tak seantusias pada pembunuhan manekin.
Aku meminta para petugas untuk mengirimkan mayat itu pada Dokter Dalton, memberikan hak istimewa padanya untuk menelusuri arsip orang hilang. Kalau bisa, kuharap dia dapat mengindetifikasi mayat itu biarpun tampaknya akan sulit. Memang, dugaan terbesarku jatuh pada kesimpulan :mayat itu adalah Ferdinand. Namun, bukan berarti akan tepat seratus persen.
Sedangkan aku dan Wijaya lebih memilih untuk mencari petunjuk lainnya, menelusuri berbagai sudut rumah, tak seteledor ketika aku menyelidiki rumah dokter Ryan. Sialnya, ketika aku merasa telah bekerja sebaik mungkin, aku malah tak mendapatkan petunjuk yang kuinginkan.
Dibantu beberapa petugas lainnya, semua pekerjaan ini terkesan sia-sia, tak menunjukkan adanya pergerakan. Kosong, buntu, tak ada kelanjutannya. Di samping itu, kurasa Wijaya pun mengalami hal yang sama. Biasanya, ia terlihat gigih, mencari tahu sesuatu yang belum ia ketahui. Kini, ia hanya duduk termangu pada salah satu kursi yang tersimpan di ruang depan—mungkin.
Aku menemaninya, sama-sama dalam keadaan yang sulit. Sialnya, sekali lagi dugaanku salah. Dia tidak sedang duduk dalam keputusasaan, menunggu sebuah keajaiban datang dan mengungkap segala kebenaran. Begitu aku duduk, Wijaya segera bertanya padaku, "Kenapa pembunuh itu menguburnya?"
Aku benar-benar merasa tolol. Ketika aku mencari petunjuk tambahan, Wijaya tengah memikirkan sesuatu yang tak kupikirkan.
"Memangnya kenapa?" tanyaku padanya.
"Kenapa ia tak melemparkan mayat itu ke dalam sumur? Lebih mudah, bukan?"
"Mungkin ia tak ingin bau bangkai mayat itu tercium?"
"Bagaimana dengan mengawetkan mayatnya? Bukankah tak akan tercium? Bukankah tak akan menimbulkan kecurigaan?"
Kuteguk ludahku, tak berasa. "Secara tak langsung kau ingin mengatakan bahwa dokter Ryan tak melakukannya, kan? Karena ia pasti lebih memilih untuk menceburkan mayat itu daripada harus susah payah menguburnya."
Wijaya menatapku dingin. Ia tak melakukan pergerakan apapun, tetapi aku yakin ia setuju akan lontaran kalimat terakhirku itu.
"Yang saya takutkan adalah sang pembunuh bukan seorang dokter, Pak," katanya. "Kita lupa bahwa alat anestesi, juga formalin, barang-barang kedokteran, gunting, semuanya barang yang bisa didapatkan dengan mudah di sini."
"Ya, brengsek memang orang-orang yang menjual barang-barang itu secara bebas."
"Kita terlalu terpaku pada cara si pelaku bekerja. Rapi, tanpa cacat. Namun, bagaimana jika ternyata seluruh pekerjaan yang ia tampilkan sekarang ini, yang sempurna tanpa sedikitpun kesalahan adalah pekerjaan yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun? Bagaimana jika ternyata selama lima tahun ini, mungkin lebih, orang itu telah bekerja keras, membunuh, membuat karya terbaiknya, kemudian memajang korban-korban dengan pekerjaan yang sempurna?"
Aku berdeham. Tak dapat berkomentar, sedangkan Wijaya kembali memberikan pandangan mengerikannya.
"Bagaimana jika sang pembunuh bukanlah seorang dokter, tetapi ia telah berlatih selama bertahun-tahun hanya untuk menunggu hari ini, hari di mana semua orang takjub pada pekerjaannya?"
Walaupun aku tak menyukai kesimpulannya, tetapi aku tak dapat berlindung dari kesimpulan itu. Sekali lagi, kemungkinan itu ada dan aku terlalu takut untuk menyetujuinya. Brengsek, memang. Aku terlalu takut untuk menyadari bahwa kemungkinan itu ada. Aku terlalu takut jika pekerjaanku ini tak akan selesai, tak tepat waktu, membuatku berujung pada kesimpulan yang salah.
"Kau benar," kataku. "Kita harus mengulang semuanya dari nol."
===
Kuputar-putar manekin itu, berulang kali, membuat tulisan PRANK yang tertera di dalamnya pun turut berputar. Pikiranku kosong, aku merasa gagal. Aku kira penyelidikan ini akan segera selesai, ternyata aku belum membuat sebuah kemajuan sama sekali. Jika saja sang pembunuh sebenarnya tidak melakukan kesalahan dengan menyerangku di saat yang bersamaan ketika dokter Ryan bekerja, mungkin aku sudah menjebloskannya ke penjara, sebuah kesalahan fatal yang seharusnya tak kulakukan, menghancurkan hidup seseorang.
Kulemparkan beberapa kali kepala manekin ini, menjadikannya mainan baruku ketika aku bersila di atas kasur dan tak tahu pekerjaan apa yang harus kulakukan. Bayangan dalam pikiranku menunjukkan sederet kemungkinan tersangka, panjang, tak berujung, menuju ketakhinggaan yang kutakutkan. Sang pembunuh bisalah siapapun, dan aku belum meraihnya sama sekali, bahkan sehelai baju yang ia kenakan pun tidak, membuatnya berlari menjauhiku, meninggalkanku, menertawakanku dari kejauhan. Aku dapat mendengarnya dan itu menyebalkan.
Loka pulang sambil menenteng tasnya. Decitan pintu yang terbuka langsung membuatku berlari, mendekatinya yang terlihat lesu, tak bersemangat seperti biasanya. Akhirnya, dengan naluri seorang ayah, aku kembali menanyakan hal yang sama seperti kemarin.
"Apa yang terjadi?"
Namun, sekali lagi, Loka berusaha menghindariku. Bahkan, kini ia tak ingin melakukan kontak mata denganku. Ia terus menunduk, membuat genggamanku pada bahunya semakin mengeras.
"Saha si bangsat nu nggeus neunggeulan maneh? Sok ku aing teunggeul!"
Loka terkejut. Untuk pertama kalinya ia mendengarku berbicara kasar—sangat kasar—seperti itu, sesuatu yang tak patut kulakukan di depannya. Napasnya mendengus kencang, ia menatapku tak percaya, tetapi kukernyitkan dahiku, membuatnya semakin yakin bahwa aku tak main-main.
"Ini bapak, kan?" tanyanya tak percaya, masih dengan napas yang mendengus kencang.
"Ya iya lah."
Namun, bukannya menjawab pertanyaanku, Loka malah tertawa kecil, seolah-olah ia melihatku sebagai Mike Wazowski yang sedang berusaha membuatnya tertawa untuk mengisi tabung energi.
"Nggak apa-apa, kok," lanjutnya, membuatku melepaskan genggamanku pada bahunya. Mungkin ini kali pertama ia tersenyum—dalam makna sebenarnya, bukan tersenyum sinis—padaku setelah ibunya meninggal. Atau mungkin ini benar-benar kali pertama baginya untuk tersenyum padaku? Aku tidak yakin benar. Yang pasti, ia segera menuju kamarnya, meninggalkanku berdiri dengan kaku. Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiran anak itu.
Aku tahu, aku terlalu sibuk bekerja, bahkan setelah menikah dengan ibunya, aku tak ingat kapan terakhir kali kami berjalan-jalan. Mungkin tidak pernah. Apakah itu yang menyebabkannya membenciku—atau sekadar tidak menyukaiku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top