1. Pilot

Pagi ini, kota Bandung dikejutkan dengan penemuan mayat perempuan di kawasan Dago. Media massa tak kalah cepatnya denganku, segera mendatangi tempat kejadian perkara, di mana wanita malang itu terbujur kaku dalam sebuah selimut yang sengaja kami—pihak kepolisian—berikan, menutupi mayat dari serbuan pasang mata yang penasaran akan kejadian ini.

Panggilan mendadak yang membuatku tersentak di pagi hari memaksaku untuk menggunakan kemeja putih bagus dengan corak garis berwarna biru yang melintang dari ujung atas hingga bawah. Mayat itu ditemukan oleh seorang siswi yang sedang berjalan, menuju sekolahnya. Penasaran akan trash bag besar dengan manekin kepala yang menyembul di atasnya, siswi itu berteriak dengan kencang setelah mengetahui isi dari plastik besar itu, menarik perhatian para pengguna jalan, membuat mereka menghubungi kami.

Mayat wanita itu—berdasarkan kesaksian banyak orang—terbungkus dalam sebuah trash bag berwarna hitam dengan manekin kepala yang sengaja diletakan untuk menggantikan kepala asli wanita itu. Tubuhnya telanjang bulat, warna kulitnya putih pucat, mayatnya telah kaku dan terdapat warna merah pada kukunya, membuatku berasumsi bahwa wanita itu sebelumnya menggunakan nail polish sebelum kejadian malang ini menimpanya.

Dalam radius beberapa meter, tempat kejadian perkara telah disterilisasi. Garis polisi berwarna kuning melintang sepanjang trotoar, mencegah orang-orang tak berkepentingan masuk dan merusak lokasi ini. Beberapa media massa menayangkan penemuan ini secara langsung setelah kami berkoordinasi. Beberapa di antaranya lebih memilih untuk tayang secara off air, menjadikan berita ini sebagai santapan makan siang televisi. Setidaknya, mayat itu telah dievakuasi, seharusnya tak ada gambar yang tak seharusnya ditayangkan di televisi.

Aku mendengar hiruk piruk para wartawan, bagaimana penemuan terjadi, bertanya-tanya siapa mayat wanita itu dan siapa yang membunuhnya. Bahkan, beberapa di antaranya berusaha untuk mewawancarai siswi yang menemukan mayat itu, padahal bocah SMA itu masih dalam keadaan terguncang. Tentu saja, bagaimana mungkin seorang bocah dengan hari-harinya yang tenang dapat merasa nyaman ketika mendapati sebuah mayat dalam kantong plastik dengan kepala yang diganti oleh manekin?

Kemudian, dengan beberapa halauan, aku menarik bocah itu, bocah berkerudung putih dengan seragam putih abu-abu dan logo sekolah yang tertera pada bajunya. Aku membawanya ke tempat yang lebih aman—tentu saja aman dari jangkauan wartawan—untuk memberitahunya, "Pulang sekolah nanti jangan ke mana-mana dulu, ya, saya harus menanyakan beberapa hal."

Aku tak ingin merusak harinya. Dia adalah seorang pelajar dan tentu saja artinya dia tetap harus sekolah. Namun, aku yakin suasana yang akan didapatinya nanti pastilah berbeda. Teman-temannya, mungkin guru-gurunya, pasti akan bertanya-tanya mengenai kegegeran ini padanya. Dasar orang-orang yang selalu ingin tahu.

Aku sendiri adalah seorang detektif polisi, bagian pembunuhan, alasan yang tepat mengapa aku dipilih untuk mendatangi lokasi ini—sudah jelas itu pembunuhan, kan? Dalam kasus ini, aku belum ditemani oleh seorang rekan kerja, karena penemuan yang mendadak, serta di jam padat di mana orang-orang sedang berangkat kerja dan sekolah, memaksaku yang kebetulan tinggal di sekitar wilayah ini untuk segera mendatangi lokasi atas suruhan atasanku. Biasanya, aku meminta seorang rekan kerja untuk menyelidiki sebuah kasus, biarpun aku tak tahu siapa yang akan menemaniku. Namun, tentu saja untuk saat ini aku belum dapat melakukannya, kan?

Sebagai gantinya, beberapa penyidik berusaha mencari jejak tambahan dari lokasi kejadian.

"Bersih," kata mereka. "Jika Anda melihat mayat tersebut dengan teliti,Pak, Anda tidak akan melihat adanya bekas sayatan yang tertinggal. Semuanya rapi."

"Seperti pekerjaan dokter bedah?"

"Bahkan lebih rapi dari itu."

Aku mendeham, memahami maksud dari seorang teman yang menggunakan topi kepolisiannya itu.

"Terima kasih," kataku, mengasumsikan ini barulah awal dari penyelidikan.

Sebuah pembunuhan terhadap seorang wanita, sengaja mengganti kepalanya dengan manekin, itu adalah hal baru yang pernah kutemui. Biasanya, pembunuhan yang kutemui tak lebih dari sekadar seorang kekasih yang sakit hati atau masalah rumah tangga. Mungkin, kasus ini pun memiliki motif yang sama, tetapi tak pernah kutemui cara dan teknis seperti ini. Cara yang gila, menurutku.

Aku masih mencari beberapa barang yang mungkin tertinggal di lokasi, termasuk tempat di mana plastik itu diletakkan—di samping huruf D pada tulisan D A G O yang menjulang tinggi. Beberapa penyidik pun melakukan hal yang sama, mencari hampir di semua lokasi. Dalam rumput, trotoar, hingga pos kosong yang berada di dekat sana. Namun, kami tak menemukan apapun.

"Kurasa kita tak akan mendapatkan apapun lagi sekarang ini," sahutku pada mereka, membuat pekerjaannya terhenti sejenak biarpun ada beberapa yang tetap bandel, tak mendengarkan ucapanku.

Salah seorang dari mereka, yang kelihatannya lebih muda dariku beberapa tahun, mendekatiku yang tengah berdiri di lokasi, memperhatikan orang-orang yang masih ingin mencari tahu tentang kejadian ini. Memangnya mereka semua tak memiliki pekerjaan, ya?

"Pak, selanjutnya apa yang harus kami lakukan?"

"Tutup dulu saja tempat ini untuk beberapa waktu, silakan lakukan pencarian walaupun saya ragu akan menemukan sesuatu." Aku benci sebuah pembunuhan di tempat terbuka. Aku tak dapat mengerucutkan tersangka dalam waktu yang cepat, terlalu banyak kemungkinan. Selain itu, aku belum mendapatkan informasi apa-apa mengenai wanita itu. Siapa dia, apakah dia warga kota Bandung atau luar kota, dan berbagai macam pertanyaan lainnya.

Selain itu, para wartawan berupaya untuk mendekatiku, mewawancaraiku dan menanyakan kelanjutan dari kasus ini. Gila, mereka memangnya tidak berpikir, ya? Baru tiga puluh menit sejak penemuan mayat ini, mereka sudah menanyakan kelanjutan kasusnya? Memangnya aku orang sepintar itu yang dapat menuduh dengan tepat, apa?

Jadi, sebagai bentuk balasan akan kekesalanku, aku memberikan pesan pada mereka, bagi siapapun yang merasa kehilangan seorang anggota keluarga, perempuan dengan umur kisaran 26 sampai 35 tahun dan tinggi kurang lebih 155 sentimeter untuk segera menghubungi pihak kepolisian. Sialnya, kepala yang diganti dengan manekin itu menyulitkanku untuk memberikan ciri-ciri yang lebih khusus. Selain itu juga, tak ada tato apapun yang dapat mengidentifikasikan korban secara jelas, walaupun nail polish itu sebenarnya bisa menjadi tambahan penting untuk ciri-ciri yang bersangkutan. Namun, kuurungkan hal itu. Selain karena akan ada banyak sekali orang yang menggunakan nail polish, aku tak tahu alasan mengapa wanita itu masih menggunakan nail polish.

Akhirnya, setelah merasa peranku cukup di lokasi ini, aku segera berkendara menuju kantorku, menghindari wartawan yang menghalangi jalanku dan segera menginjak pedal gas, menjauhi mereka. Jika saja aku bukan seorang aparat kepolisian, mungkin aku telah mengacungkan jari tengah pada mereka karena telah menghalangi jalanku.

Sebuah kasus baru. Kuharap tak akan sulit. Bahkan, aku berharap tak akan pernah terjadi lagi pembunuhan di kota ini, membuat kota ini menjadi damai tanpa adanya kekerasan. Biarpun sebagai manusia, mungkin hal itu terdengar mustahil.

===

Mejaku sedikit berantakan. Beberapa berkas yang belum kurapikan terlihat berserakan di atasnya, sedangkan komputerku yang telah kehilangan zaman terlihat bagaikan benda rongsok yang tak layak pakai. Memang, aku sedang dalam keadaan kosong, tidak sedang terlibat dalam kasus apapun, membuatku yakin bahwa kasus yang tadi pagi terjadi pasti harus kutangani.

Atasan kami memanggil semua orang, menuju ruang meeting dan aku tahu apa yang akan terjadi. Dia akan memilih di antara kami untuk menangani kasus yang tadi pagi terjadi, dan karena aku sudah berada di lokasi lebih dulu dari yang lain, tentu saja aku akan menangani kasus ini.

Ruang meeting kami terdiri atas dua belas kursi dan meja yang disusun berjajar seperti sekolah-sekolah. Sebuah whiteboard berlapiskan kaca terpampang di depan ruangan. Selain sebagai papan tulis, whiteboard itu pun dapat beralih fungsi menjadi layar untuk proyektor. Ruangan ini tidak terlalu terang, tetapi juga tidak terlalu gelap hingga memerlukan sebuah lampu untuk dinyalakan. Beberapa poster mengenai etika kepolisian, visi misi hingga penghargaan terpampang pada bagian kiri dan kanan dinding.

Aku menyukai bangku paling belakang. Dari sudut ini, aku dapat melihat semua pergerakan para teman perjuanganku. Jadi, seperti biasa, aku langsung mengambil tempat itu sebelum seseorang menghancurkan keinginanku.

Divisi kami terdiri dari tujuh orang—termasuk aku. Pembunuhan di kota ini tidak termasuk dalam tahap bahaya, tidak memerlukan banyak orang seperti kami. Namun, tetap saja harus berjaga-jaga untuk menjaga kemungkinan terburuk, kan?

Seperti biasa, pertemuan mendadak ini diawali oleh salam dari atasan kami, menjelaskan secara singkat akan kasus yang baru saja terjadi, kemudian pemilihan—mungkin lebih tepat jika kusebut penumbalan—untuk memastikan siapa yang harus terlibat dalam kasus ini.

"Karena pak Roy sudah lebih dahulu mendatangi lokasi kejadian dan telah mengetahui lebih dahulu keadaan yang terjadi. Saya putuskan pak Roy untuk menangani kasus ini. Lalu, hari ini kita memiliki anggota baru, saya rasa pilihan saya untuk membuat pak Wijaya bekerja bersama dengan Anda adalah pilihan terbaik. Jadi, Anda akan bekerjasama dengan pak Wijaya."

Aku baru menyadari bahwa di ruangan ini terdapat sembilan orang. Tujuh orang seperti biasa, satu orang atasan kami, dan tentu saja itu artinya ada satu orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Ya ampun, bagaimana aku bisa seceroboh itu?

"Ada pertanyaan lagi?"

Suasana hening.

"Baiklah, pertemuan ditutup. Terima kasih," lanjutnya, kemudian berjalan meninggalkan ruangan, disusul oleh teman-temanku sembari memberikan semangat padaku, meninggalkan kami berdua—aku dan seseorang yang tak kukenal.

Aku melihat lelaki itu, seorang pemuda yang tampaknya berumur 10 tahun lebih muda dariku. Wajahnya bersih, rambutnya rapi bagaikan seorang laki-laki Eropa pada tahun 40-an, hanya saja berwajah asia. Tidak berkumis dan tidak berjanggut, sangat berkebalikan denganku yang memiliki wajah semrawut ini. Namun, tampangnya itu tak membuatnya terlihat seperti orang sombong. Ia tersenyum padaku.

"Pak," sapanya, membuatku membalas, "Ya?"

"Pak Roy, ya?"

Aku mengangguk, kemudian beranjak dari kursiku, mendekatinya dan segera menjulurkan lengan.

"Roy," kataku.

"Wijaya."

"Berapa umurmu?"

"25 tahun."

Aku terbelalak.

"Yang benar?"

Lebih buruk dari dugaanku, dia dua belas tahun lebih muda dariku. Tak aneh dia memiliki gaya seperti seorang pemuda kota berwajah bersih, bagaikan hitam dan putih jikaaku berdiri di dekatnya.

Wijaya mengangguk.

Dengan pelatihan yang dijalaninya, artinya anak ini dipromosikan hanya dalam waktu beberapa tahun. Aku tak dapat memercayainya ketika aku sendiri membutuhkan waktu hingga mendekati sepuluh tahun untuk dipromosikan menjadi seorang detektif bagian pembunuhan.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajaknya menuju lokasi kejadian. Setidaknya, mungkin aku dapat menemukan sesuatu yang luput dari pandanganku kala itu karena diriku yang sadar tak sadar akibat rasa kantuk di pagi hari. Selain itu, membunuh waktu untuk menunggu hasil visum juga tidak salah, kan?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top