2. All That Remains II

Aku harus bersyukur karena tak dilahirkan dalam keluarga yang senang bertaruh uang, menyimpan sebagian besar harta kekayaan dan menunggu keberuntungan berpihak pada mereka, yang seandainya tidak, artinya mereka akan menyesali perbuatannya, tetapi tetap tak belajar dari kesalahannya, tetap berjudi. Sebenarnya, situasi yang sama sedang terjadi padaku, mencari tahu apakah sang lelaki yang telah menjadi mayat ini sebenarnya korban pembunuhan atau bunuh diri. Mungkin, aku bisa memasang dengan harga sejuta dengan meyakinkan Wijaya bahwa lelaki ini bunuh diri. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak terlahir dalam keluarga yang seperti itu.

Kerumunan manusia semakin menipis. Kini, aku dapat melihat celah kosong di antara bahu orang-orang yang sebelumnya tak tampak. Selain karena waktunya berangkat kerja—yang padahal waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi—dan membuat mereka memilih untuk meninggalkan lokasi ini dengan cepat, kurasa karena mereka pun berpikir bahwa kasus ini adalah kasus remeh, yang biasa terjadi atau dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun. Walaupun begitu, aku harus tetap profesional dengan menjalankan segala prosedur yang ada. Itulah yang membedakanku dengan masyarakat sipil.

Kuperintahkan Wijaya untuk menelisik sekitar, menyisiri seluruh tempat kejadian tanpa meninggalkan satu titik pun hal yang mungkin luput dari penglihatan. Aku memercayainya—tentu saja—sebab Wijaya adalah orang paling teliti yang pernah kukenal. Kurasa akan lebih efektif jika ia melakukannya, sementara aku lebih memilih untuk mendekati Pak Erlangga yang berdiri tak jauh dari petugas polisi, memandangiku yang tengah melangkahkan kaki mendekatinya.

Dalam penglihatanku, seorang lelaki paruh baya, bertubuh kurus dengan kemeja putih polos berdiri bungkuk. Kacamatanya menghiasi wajah dengan kerutan yang sedikit memenuhi wajahnya. Rambutnya beruban, tetapi hanya sebagian, membuat warna abu yang malah membuatnya terkesan eksotis. Kaki-kakinya menopang beban tubuhnya dengan sempurna, bercelana bahan hitam dengan pantovel yang mengilap. Tipe pria paruh baya yang bisa berada di manapun.

Begitu jarakku tak terpaut jauh dengannya, aku segera menyapa, "Pak Erlangga?"

Pak Erlangga mengeluarkan kedua tangannya yang sedari tadi dimasukan ke dalam masing-masing saku celana, membuat kepalan tangan yang tergantung di samping tubuhnya.

"Ya?"

Kuulurkan lenganku. "Perkenalkan, saya Roy, yang akan menyelidiki kasus ini."

"Erlangga." Pak Erlangga membalas jabatan tanganku, mengayunkan lengannya ke atas dan ke bawah. Kemudian, tak berselang lama, kulepaskan keramahannya itu, kembali memosisikan kedua lenganku pada tempat yang biasanya.

"Mohon koreksi jika saya salah, Pak. Pak Erlangga adalah orang pertama yang menemukan mayat, kan?"

"Ya, saya orangnya."

Lelaki ini benar-benar santai, seolah-olah penemuan mayat yang menimpanya adalah kejadian biasa, bukan sesuatu yang sangat luar biasa yang membuatnya harus menyombongkan diri, mengambil sebuah foto dan menarik perhatian banyak orang begitu jepretannya diunggah ke media sosial.

"Saya ingin menanyakan beberapa hal. Sekiranya Bapak berkenan, saya hendak menanyakannya sekarang."

"Saya tidak keberatan."

Kusisir sekeliling. Memang, biarpun suasana di tempat ini sudah lengang, tidak seramai sebelumnya, tetapi masih belum cukup tertutup bagiku untuk mendapatkan informasi yang mungkin saja di antaranya tidak boleh diketahui oleh banyak orang. Jadi, kuraih bahu Pak Erlangga, mendorongnya secara halus, isyarat baginya untuk pergi ke tempat yang lebih aman, menuju mobil yang bermasalah, menjaga jarak beberapa meter dari kerumunan orang-orang yang tak dapat mendekati lokasi lebih dekat lagi. Kemudian, seolah mengerti maksudku, Pak Erlangga segera mengikutiku, melangkahkan kakinya sesuai dengan ketukan sepatuku.

Begitu kurasa cukup, lenganku kulepaskan, mengambil ponsel dan segera membuka memo, bersiaga untuk mencatat ucapan Pak Erlangga yang sekiranya kubutuhkan. Aku tahu, mungkin merekam suaranya akan jauh lebih baik, aku dapat mendengar ulang seluruh kalimat yang ia lontarkan, tapi tidak dengan suara kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jarak yang tak cukup jauh.

Kucatat tanggal hari ini beserta tulisan 'Erlangga – saksi 1' yang sengaja kusimpan di bawahnya. Tanpa memperlihatkan catatanku itu padanya, aku segera berkata, "Anda bisa menceritakan terlebih dahulu mengenai Anda, Pak. Mulai dari umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan sebagainya."

Pak Erlangga tampaknya langsung mengerti. Tanpa basa-basi, dia segera menjawab pertanyaanku. "Umur saya 47 tahun, saya dosen di salah satu universitas di kota ini. Tempat tinggal saya, Anda dapat melihatnya, Pak, tepat di samping mobil yang terparkir ini."

"Ada nomor yang bisa saya hubungi?"

Pak Erlangga segera menyebutkan sederetan angka yang kucatat secepat mungkin sebelum jemariku berhenti karena tak dapat menyamai kecepatan bicaranya, membuatku menanyakan ulang pertanyaanku. Untungnya, setelah kali kedua kutanyakan pertanyaan yang sama, aku dapat menuliskannya dengan baik—setidaknya setelah kukonfirmasi.

"Baiklah, Pak. Anda dapat menceritakan kronologi kejadiannya. Saya harap sedetail mungkin."

Pak Erlangga mengerutkan keningnya, terlihat berpikir keras.

"Sekitar setengah enam pagi, setelah saya berpamitan dengan istri saya untuk pergi bekerja, saya mendapati mobil ini terparkir di depan pagar rumah saya. Awalnya, saya kira seseorang memarkirkan mobilnya dengan sembarangan." Pak Erlangga menengok, memperhatikan mobil yang tengah terdiam di sampingnya juga di sampngku.

"Saya mencoba mencari tahu sang pemilik mobil. Awalnya saya kira tetangga saya, tetapi begitu kuperhatikan, seseorang berada di dalam mobil ini, pada bangku penumpang. Saya mengetuk pintunya, beberapa kali, tetapi orang itu tak menjawab. Lalu, saya melihat adanya alat pembakaran di bangku belakang. Tanpa berpikir panjang, saya mencoba membuka pintunya, tetapi terkunci, jadi saya langsung mengambil kunci inggris yang biasa saya simpan dalam mobil, langsung memecahkan jendelanya. Segera setelahnya, saya memeriksa korban, tidak bernapas. Jadi saya memanggil ambulans dan polisi."

Kuangkat sebelah alisku. "Saya bisa mengerti alasan Anda memanggil ambulans, Pak. Tapi kenapa Anda menghubungi polisi?"

"Refleks," balasnya, masih dengan nada datar tanpa sedikitpun keraguan, membuatku menghela napas dan mencoba menyelidiki lebih lanjut, karena seluruh informasi ini telah kudapatkan dari Komisaris Yudha, tak ada tambahan sedikitpun kecuali identitas dari Pak Erlangga yang juga tak begitu mendalam. Jadi, aku kembali bertanya padanya.

"Ketika pertama Anda menemukan mayat, Pak, bisa Anda deskripsikan bagaimana keadaannya. Maksud saya ... segalanya, apapun yang menempel dalam pikiran Anda."

"Duduk, diam, tak bernapas, kemungkinan telah meninggal. Saya tak tahu apalagi yang bisa saya ceritakan."

"Bagaimana dengan kondisi mobilnya?"

"Kondisi bagaimana?"

"Apakah mesinnya dalam keadaan menyala, atau sebagainya. Lalu, kapan Anda menyadari bahwa kunci mobil tersebut masih menggantung pada lubangnya?"

Pak Erlangga terbelalak, seolah seluruh ketenangannya tadi sirna. Selain itu, ia mengangkat sebelah alisnya, tanda keheranan. "Untuk mesinnya, saya yakin dalam keadaan mati. Untuk kunci sendiri, saya tak memperhatikannya. Segera setelah mengecek kondisinya, saya segera menelepon ambulans dan polisi, keluar dari mobil. Lagipula bukankah anak ini bunuh diri? Beberapa polisi telah menanyakan hal yang sama pada saya, kenapa saya harus menjawabnya lagi?"

"Memastikan," tukasku, membuat Pak Erlangga menaikkan sebelah alisnya.

"Memastikan?"

Namun, aku tak ingin membahasnya lebih jauh. Segera kulayangkan topik yang lain.

"Apakah Anda mengenal korban?"

Pak Erlangga menggeleng. "Saya tak mengenal anak ini."

"Bagaimana dengan malam sebelumnya? Atau mungkin pagi hari, mungkin ada keanehan. Apakah Anda mendengar mesin mobil yang menyala? Maksud saya ... tak mungkin mobil ini bergerak sendiri, kan?"

"Saya pulang kemarin malam sekitar pukul delapan. Tak ada mobil yang terparkir di depan rumah saya. Pagi hari pun saya tak mendengar apapun. Entahlah, mungkin memang ada, tetapi saya baru bangun pukul lima pagi."

"Lalu, bagaimana dengan perumahan ini, apa Anda pikir tetangga Anda, atau siapapun itu mendengar sesuatu sebelum mayat ditemukan?"

"Mungkin." Pak Erlangga menelan ludahnya dengan cepat. "Mungkin saja mereka mendengarnya, tetapi tidak peduli. Ketika saya pecahkan jendela mobil ini pun, tak ada tetangga yang keluar sekadar untuk melihat apa yang tengah terjadi. Ya, Anda tahu sendiri, kan, Pak?"

"Saya mengerti."

Uh, individualisme. Entah kenapa sifat seperti itu tak dapat dilepaskan dari kehidupan perkotaan, utamanya di perumahan elit—biarpun tempat ini tidak terlalu seperti itu. Sejujurnya, aku sendiri pun tak berhak menggeneralisasi satu sifat pada sekumpulan orang-orang tertentu. Brengseknya, beberapa pengalamanku seolah mencegah hal itu, membuat otakku terpaksa mengumumkan sesuatu yang seharusnya khusus. Aku tak berkata bahwa aku membencinya, hanya saja aku berharap jika hal itu dapat dikikis, menghilang dari peradaban manusia.

Ponselku bukanlah keluaran terbaru, membuatku terpaksa membuka lembaran memo yang baru karena keterbatasan karakter yang disediakan untuk satu memo. Walaupun begitu, aku tetap berusaha menulis rangkuman dari seluruh wawancaraku sedetail mungkin. Kondisi yang ada, keadaan sebelum penemuan mayat ini, semuanya. Lalu, merasa cukup, akhirnya kuakhiri seluruh percakapan kami, berterima kasih pada Pak Erlangga karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab beberapa pertanyaanku yang spontan. Aku memang tak menyiapkan pertanyaan apa-apa sebelumnya.

"Jadi, apa sekarang saya boleh meninggalkan lokasi?" tanyanya segera setelah kuucapkan terima kasih padanya sembari membenarkan posisi kacamatanya, mencoba membuatnya terasa lebih nyaman.

"Tentu," kataku.

"Syukurlah. Dari tadi para polisi tak mengizinkan saya pergi." Rasa lega terlihat dalam raut wajahnya, disusul dengan hela napas yang panjang, seolah-olah ia memang telah menunggu jawaban yang kulontarkan. Namun, tentu saja aku tak akan melepaskannya begitu saja, membuatku bertanya, "Ah, jika saya boleh tahu, ke mana Anda akan pergi?"

Lalu, pria itu menjawab sembari menolehkan pandangannya pada arloji yang melekat di lengannya, berwarna perak mengilap, terlihat mahal. "Tentu saja mengajar, Pak. Saya kira saya harus meniadakan kelas hari ini. Untung saja saya belum memberitahukan hal ini pada mahasiswa-mahasiswa saya."

"Bukankah Anda hendak berangkat pukul enam pagi?"

"Sebenarnya, saya masuk pukul delapan. Saya terbiasa untuk datang satu jam lebih awal. Anda mengerti kan, Pak? Supaya saya tidak datang terlambat. Juga supaya mahasiswa saya yang terlambat dapat saya pantau." Pak Erlangga menurunkan lengannya. "Walaupun mungkin saya akan telat hari ini. Saya permisi dulu, Pak."

Kemudian, tanpa menunggu balasan dariku, pria itu setengah berlari, menuju mobilnya yang kini telah terparkir di bahu jalan. Bahkan, sebelum aku sempat beranjak dari tempatku, mobil itu telah menghilang dari pandanganku, melesat dengan cepat meninggalkan lokasi ini, membuatku menyimpulkan satu hal: dia memang terburu-buru.

Aku berusaha untuk tidak peduli untuk saat ini, biarpun sebenarnya hatiku terus bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada seseorang yang dapat pergi ke tempat kerjanya sedangkan ia tahu bahwa pagi ini ia baru saja menemukan mayat di depan rumahnya?

Tanpa sadar, kepalaku menggeleng dua kali, entah karena merasa bingung akan kekuatan hati Pak Erlangga yang seolah-olah menjadikan hal ini adalah hal yang biasa, atau karena dedikasinya yang tinggi untuk mengajar, membuatnya menginjak pedal gas kuat-kuat dan melesat meninggalkan lokasi ini. Padahal, aku yakin mahasiswa-mahasiswanya akan lebih bahagia seandainya ia memilih untuk meniadakan kelas. Pengecualian jika ia memutuskan untuk mencari hari pengganti.

Di samping itu, Wijaya terlihat sibuk menelaah seluruh sudut bagasi. Badannya membungkuk, bagaikan seseorang yang mencari cincin kawinnya yang tak sengaja terjatuh di antara rerumputan. Ah, omong-omong tentang cincin, Wijaya kini selalu mengenakannya. Jari manis kirinya menjadi salah satu hal yang selalu mencolok mataku, mungkin juga mata banyak orang. Bahkan, di kala pertama ia mengenakannya, aku tak menggodanya tiada henti, membuat dirinya tersipu malu, membuat pipinya berwarna merah biarpun tampaknya ia sudah terbiasa sekarang ini.

Karena saksi yang kuperlukan telah meninggalkan lokasi, akhirnya kuputuskan untuk membantu Wijaya, mendekatinya kemudian menepuk pundaknya, persis seperti yang kulakukan pertama kali pada petugas yang mengurus lokasi ini. Bahkan, semuanya terlihat seperti reka adegan kejadian. Wijaya pun terlonjak kaget, sama seperti petugas itu, membuatku tertawa kecil.

"Menemukan sesuatu?" tanyaku segera, sebelum Wijaya merasa kesal padaku karena telah membuatnya terlonjak kaget.

"Ya ampun, Pak!" Wijaya membetulkan posisi berdirinya. Dari raut wajahnya, sudah jelas dia tak menyukai perbuatanku tadi, seperti bocah yang kesal setengah mati karena dikerjai oleh temannya. "Mungkin bisa disebut penemuan, tapi tidak terlalu seperti itu juga, Pak. Tapi kurasa akan semakin menekankan bukti bahwa mayat itu dibunuh, Pak." balasnya, membuatku menyilangkan kedua lenganku.

"Maksudmu?"

Wijaya segera berjalan, meninggalkan bagasi tanpa isyarat apapun. Sebenarnya, ada dua kemungkinan: ia tahu aku akan mengikutinya atau ia kesal padaku karena telah mengejutkannya. Atau mungkin gabungan keduanya. Yang pasti, kuikuti permainannya. Wijaya berhenti tepat di bangku kemudi di mana mayat yang malang itu masih tergeletak, belum dievakuasi.

"Perhatikan pangkal hidungnya," perintah Wijaya padaku. Lalu, tanpa menunggu perintah tambahan, segera kutopang dagu mayat—untung aku tak pingsan karena telah terbiasa—yang belum berubah warna, masih tampak seperti manusia yang tertidur. Secara tepat kuperhatikan bagian yang disebutkan oleh Wijaya.

Sejujurnya, perlu beberapa waktu bagiku untuk menyadari apa yang dimaksudkan oleh Wijaya. Sungguh, daripada memikirkan bercak aneh pada pangkal hidung mayat ini, aku lebih terkesima akan kemampuan Wijaya untuk memperhatikan keadaan korban, lebih teliti dari yang kuduga. Maksudku ... ya ampun, bahkan tampaknya dari semua orang di dunia ini, hanya Wijaya yang akan menemukan sebuah bekas menghitam di pangkal hidung mayat ini.

Dalam beberapa lama, kuperhatikan dengan seksama bekas menghitam yang menyelimuti pangkal hidung mayat ini. Berbentuk oval di kedua sisinya, menajam pada bagian bawah.

"Dia pengguna kacamata, ya?" terkaku. Sejujurnya, aku sendiri tak pernah menggunakan kacamata, tak tahu apakah bekas ini akan timbul pada pangkal hidungku jika kugunakan kacamata. Namun, satu benda yang digunakan dalam selang waktu yang lama, sehingga menimbulkan bercak hitam seperti ini, tak ada yang lain dalam pikiranku selain benda itu. Lalu, seolah setuju, Wijaya pun mengiyakan terkaanku. Aku merasa seperti bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menjawab dengan tepat pertanyaan dari gurunya.

"Dari tadi saya mencari kacamata yang mungkin tersimpan di dalam mobil. Tapi saya tak menemukannya."

Kutarik tubuhku keluar, memastikan seluruh bagian tubuhku berada di luar mobil. "Kau ingin mengatakan mustahil baginya untuk berkendara seorang diri tanpa menggunakan kacamata, ya?"

"Benar."

"Bagaimana jika seandainya dia tak memerlukannya? Mungkin dioptrinya tidak sebesar itu. Mungkin hanya setengah atau seperempat, sehingga dia tak begitu memerlukan kacamata di setiap waktu, termasuk saat mengemudikan mobil?"

"Kalau begitu, seharusnya bekas itu tak ada karena dia jarang menggunakannya, kan? Asumsi saya, dia selalu menggunakan kacamata ke manapun, Pak, sehingga bercak hitam membekas pada pangkal hidungnya."

"Tidak menutup kemungkinan bahwa kejadiannya seperti apa yang kukatakan, kan? Mungkin juga dia lupa menggunakanya di saat ia akan bunuh diri. Pikiran orang yang akan bunuh diri mungkin akan kacau, membuatnya lupa akan kebiasaannya."

"Begitu juga dengan yang saya katakan, Pak. Bagaimana jika seseorang membawanya ke sini setelah membunuhnya terlebih dahulu, dan sang pembunuh lupa membuat sang mayat mengenakan kacamata."

Kemudian, untuk beberapa saat, kami tak melanjutkan argumen yang masing-masing lontarkan sebelumnya. Percuma saja, itu yang kupikirkan. Mungkin juga itu yang dipikirkan oleh Wijaya.

Aku menghela napas. Wijaya menghela napas. Kami menghela napas di saat yang bersamaan, malah membuat kami tersenyum kecil, pun di saat yang bersamaan.

Akhirnya, menghentikan seluruh rasa canggung ini, sekaligus mengakhiri seluruh perdebatan kami, aku berkata, "Kita tak dapat berbuat apa-apa seandainya tidak memeriksa penyebab kematian orang ini."

"Ya, tapi kita perlu meminta izin dari keluarganya dulu, Pak. Beberapa petugas tengah mencari keluarganya. Dari informasi yang saya dapat, mereka menemukan orang tua korban, sedang menuju ke sini." Wijaya membuat jeda, beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan. "Bagaimana dengan saksi tadi? Apa Anda mendapatkan sesuatu, Pak?"

"Sejujurnya ... tidak," kataku. "Semuanya sama seperti yang disebutkan dalam pertemuan awal. Selebihnya hanya informasi mengenai sang saksi. Sialan, aku tak begitu menyukai orang itu." Aku berusaha untuk tak mengatakannya, sungguh, tetapi seolah-olah mulutku tiba-tiba saja berkata. Bahkan, tangan kananku mengepal tanpa sebab yang jelas. Ya, walaupun aku berkata jujur, sih. Maksudku, gila, apakah dia begitu mencintai pekerjaannya sampai-sampai sosok mayat yang ditemukannya saja tak mengganggunya? Atau karena dia tak peduli?

Akhirnya, karena kurasa aku tak dapat melakukan apapun, maksudku untuk sesuatu yang berarti. Aku hanya berharap orang tua dari anak ini—yang terbujur kaku pada bangku penumpang—cepat datang sembari berusaha terlihat sibuk, mencari-cari benda yang bahkan tak kuketahui wujudnya—aku memang tak sedang mencari apapun.

Aku sempat menemui istri dari Pak Erlangga, hanya saja diakhiri dengan tangan kosong. Tak ada kesaksian yang berarti selain segala ucapannya yang mirip seperti yang disebutkan oleh Pak Erlangga. Terbangun pada pukul empat pagi, tak mendengar apapun, kemudian memasak nasi dan lauk pauk yang akan disantap sebagai sarapan—berdua. Kemudian, seperti waktu yang disebutkan oleh suaminya, mereka berpamitan. Bahkan, harus kuakui kesaksian sang istri tidak sebegitu informatif seperti kesaksian Pak Erlangga. Ia bahkan tak menyadari jika Pak Erlangga memecahkan kaca mobil dengan alasan segera menuju kamar mandi untuk membasuh dirinya segera setelah Pak Erlangga menginjakkan kaki keluar dari rumahnya.

Pak Erlangga sendiri, berdasarkan kesaksian istrinya, baru memberitahukan hal itu setelah ia menelepon ambulans dan polisi.

Wijaya pun sama sepertiku, berusaha mencari sebuah benda yang bahkan tak tahu wujudnya seperti apa. Kami hanya membuat sebuah kesibukan yang tak berarti. Menunggu keluarga dari mayat ini datang, mencoba meminta izin pada mereka untuk melakukan autopsi pada sang mayat. Hingga akhirnya, aku dan Wijaya menemukan batang hidung mereka. Datang menuju kerumunan orang yang semakin lama semakin menipis. Bahkan dapat dihitung jari.

Mobil polisi yang disusul oleh kendaraan pribadi segera menepi, membuatku lega karena pada akhirnya aku tak perlu melanjutkan permainan peranku—pun Wijaya. Dengan segera, kujelaskan situasi yang ada para mereka:seorang lelaki paruh baya dengan kaus polos, seorang wanita yang juga paruh baya, tetapi tampak lebih muda dari sang lelaki, serta seorang pria yang ... uh, aku tidak yakin harus mengatakan apa. Tampilannya tidak berntakan, hanya saja aku dapat melihat sebuah tato melintang di sepanjang lengannya, bertubuh kekar dengan rambut cepak yang menghiasi kepalanya.

Mereka datang dengan raut wajah yang berbeda-beda. Sang lelaki paruh baya—yang kuduga sebagai ayah dari sang korban—terlihat terkejut. Matanya terlihat menatap tak percaya, berdalih padaku bahwa semua ini hanya kebohongan. Sang wanita—ibu, kurasa—terlihat lebih parah. Aku dapat melihat air matanya mulai berlinang, matanya memerah disertai wajah yang terlihat ketakutan. Sedangkan sang pemuda terlihat lebih santai, dapat mengontrol seluruh emosinya biarpun pada wajahnya masih dapat kulihat rasa terkejut akan berita yang kami sampaikan.

Aku berusaha menceritakan segala hal yang kurasa perlu kuceritakan pada mereka. Tak termasuk mengenai adanya kemungkinan bahwa orang ini adalah korban pembunuhan. Sejujurnya, aku harap semuanya berjalan lancar. Namun, tahukah apa yang mereka katakan ketika aku meminta izin dari mereka agar dilakukan autopsi pada mayat?

"Tidak," kata sang ayah, membuat isak tangis sang ibu semakin meledak.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top