6. Model and Simulation

AKP Rama mendengarkan rekaman yang kuberikan. Pipi tirus dengan rahang kotak berjanggut tipisnya tak bergerak sedikitpun. Walaupun bola matanya mengadu ke mana-mana, bergerak ke segala arah dan melihat ke seluruh penjuru ruangan, tetapi aku yakin otaknya tengah memproses informasi yang telinganya berikan. Sebelah tangannya disimpan di atas meja, menunggu saat yang tepat untuk mengetuk—mungkin itu rencananya saat audio dari rekaman berhenti berputar.

Namun, AKP Rama menghentikan audio secara paksa. Begitu selesai, ia mengembalikan ponsel itu padaku, menyebrangkannya melewati sebelah lengannya yang masih belum bergerak.

"Saya turut berduka cita, Pak Komisaris," komentarnya, segera setelah aku menerima kembali ponselku dan mengantunginya.

"Terima kasih."

Dalam beberapa detik, pikiranku kosong. Namun, segera kucegah dengan memberikan salinan rekaman itu. Hard Drive hitam yang sedari tadi kutinggalkan di atas meja kini berpindah tangan. AKP Rama menerimanya dengan senang hati.

Hard Drive itu bukan milikku, melainkan milik Luthfi. Lelaki bertopi itu baru memberikannya pagi hari ini, tepat ketika aku akan berangkat kerja. Seperti kebiasaannya—sok misterius, menunggu agar aku menghampirinya terlebih dahulu. Dia bersandar pada pintu pengemudi mobil, mengambil bagian yang tertutup dan tak dapat dilihat orang-orang. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, sedangkan tangan satunya lagi terlalu sibuk mengotak-atik ponsel.

Ketika aku melihatnya pertama kali, aku tak akan berbohong untuk mengakui bahwa aku benar-benar kaget. Tubuhku tersentak, refleks melompat ke belakang, tetapi tidak terlalu terlihat seperti seekor kelinci yang kabur menghindari predatornya. Sedangkan Luthfi, tanpa melibatkan terlalu banyak emosi, menghampiriku, seolah-olah dia tahu persis kapan aku keluar rumah. Dia tak mengatakan apapun selain data yang kuinginkan malam kemarin—ketika aku mengunjungi rumah Januar tanpa undangan—ada di dalam Hard Drive yang ia keluarkan dari saku jaketnya.

Lelaki bertopi itu berjalan, pergi meninggalkan kawasan tempat tinggalku tanpa kendaraan, membuatku baru sadar bahwa selama ini tak pernah kudapati Luthfi mengendarai kendaraan pribadi—atau mungkin aku lupa?

Terbatasnya waktu perjalanan—tak ingin terjebak macet—serta karena kurangnya fasilitas yang memadai, membuatku terpaksa mengecek isi dari Hard Drive di kantor. Ketika kabel USB kupasangkan, membuat sambungan antara komputer jadulku dengan Hard Drive itu, di saat itulah kudapati mesin virtual, persis seperti apa yang kulihat di komputer Januar, yang memuat informasi-informasi rahasia Januar. Ukurannya yang terlalu besar membuatku tak dapat menyalin informasi-informasi yang ada terlebih dahulu ke dalam komputerku. Terlalu lama. Lagipula, aku sudah memanggil AKP Rama perihal kasus yang sedang ditanganinya.

Jadi, kini AKP Rama memegang semuanya: barang bukti yang menguatkan kesalahan pelaku pembunuhan serta beberapa data tambahan yang dapat mengungkapkan lebih banyak anggota-anggota polisi korup. Walaupun mungkin agak berbahaya untuk memberikan bukti-bukti kuat yang tak mungkin bisa didapatkan oleh sembarang orang, hal itu terpaksa kulakukan. Lagipula, seharusnya Luthfi menyimpan salinan datanya, kan? Entah di mana.

AKP Rama melumat kedua bibirnya. Lelaki itu ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan, entah karena ragu dalam bentuk penyampaiannya atau merasa apa yang akan diucapkannya itu hanya sekadar omong kosong. Namun, akhirnya aku mendorongnya untuk berbicara.

"Ada yang ingin kaubicarakan?"

Sekali lagi, AKP Rama terlihat ragu, tetapi pada akhirnya ia memberanikan diri.

"Sebenarnya ada, Pak Komisaris."

Kuangkat sebelah alisku, mempersilakannya berbicara. Namun, AKP Rama malah menyodorkan sebuah berkas padaku. Memang, sebelumnya kulihat ia membawa-bawa map kuning yang tak begitu kuperhatikan. Sebab, akulah yang memintanya untuk datang ke sini, untuk menyerahkan barang bukti yang bisa ia gunakan untuk membantu penyelidikannya, bukan karena ia yang ingin bertemu denganku. Aku pikir dia membawa-bawa berkas itu karena terburu-buru datang ke kantorku—aku memang memintanya datang pagi, sih. Namun, ternyata benda itu memang ditujukan untukku.

Namun, begitu aku membukanya, tak perlu menunggu waktu lama, otakku langsung mengolah informasi mulai dari halaman depan. Kasus yang melibatkan tiga rekan kerjaku dulu—Guntur, Fandi, dan Bagas. Ketiga mayat yang sengaja ditenggelamkan dengan leher yang patah—persis seperti apa yang terjadi pada Loka. Saat-saat brengsek di mana aku baru mengetahui betapa sialannya para polisi korup itu bergerak dalam bayang-bayang.

"Ada apa dengan kasus ini?" Aku bertanya pada AKP Rama sambil berpura-pura membaca. Halaman demi halaman kubuka, tetapi otakku sama sekali tak mengolah kalimat-kalimat yang ada di dalamnya.

"Saya rasa kasus ini ada hubungannya dengan kematian ... maaf, Pak Komisaris, bukannya bermaksud menyinggung, tetapi ...."

"Kalau begitu kau harus memperbaiki kalimat-kalimat yang kau ucapkan agar terdengar lebih baik," balasku dengan cepat, tanpa memalingkan pandanganku sedikitpun dari kertas-kertas yang menumpuk ini. "Ubah menjadi 'ada hubungannya dengan kasus yang sedang saya tangani' atau semacamnya."

"Maaf, Pak."

"Santai saja, aku bukan orang yang mudah tersinggung."

AKP Rama merupakan orang baru di bagian pembunuhan. Walaupun aku yakin bahwa kasus ini bukanlah pengalaman pertamanya dalam menyelidiki suatu kasus, tetapi kurasa perasaan canggung akibat berinteraksi dengan orang yang belum pernah dikenalnya membuatnya sedikit salah tingkah.

"Lalu, apa yang kauinginkan dari kasus yang sudah ditutup ini?" Kulayangkan map itu setelah sebelumnya kututup dengan rapat, membuat hentakan di atas meja, walaupun hampir tak terdengar.

"Ah, seperti yang saya bilang, Pak Komisaris. Saya rasa kasus itu ada hubungannya dengan kasus yang sedang saya tangani."

"Lalu? Kenapa kau harus memberikan berkas ini padaku?"

AKP Rama kembali melumat kedua bibirnya. Bedanya, kini ia berdeham pelan. Alisnya mengangkat, tampak ragu dan menimbang kembali seluruh perbuatannya. Namun, sayangnya sudah terlambat—secara tak langsung aku telah memaksanya untuk berbicara, dan dia harus melakukannya.

"Saya rasa kasus ini ditutup secara tak wajar."

"Aku tahu. Lalu?"

"Saya ingin kasus ini dibuka kembali, dilakukan penyelidikan ulang."

"Siapa yang akan menyelidikinya?"

"Ah, anu, Pak ...." Rama memutar kedua bola matanya. Jelas, Rama tak tahu siapa yang akan menyelidiki kasus itu nantinya. Jika dia mengajukan diri untuk menyelidiki kasus yang telah ditutup itu, dia pasti tahu jika aku akan memarahinya, toh kasusnya saja belum diselesaikan, kan?

"Kau sudah membaca laporan kasus ini, kan?" Aku bertanya, dan AKP Rama mengangguk dua kali tanpa ragu.

"Seharusnya kau sudah tahu jika Pak Dadang—polisi yang menyelidiki kasus ini—terlibat dalam kasus kelompok polisi korup itu. Dan berdasarkan daftar nama yang dulu kuungkapkan, ketiga korban di kasus ini pun ikut terlibat." Aku membuat jeda, memastikan Rama mengikuti ceritaku. "Jadi, mungkin saja Pak Dadang menutupi kasus ini agar kelompok mereka tak diketahui oleh orang-orang."

AKP Rama terlihat ciut. Oh, sialan, sekarang aku malah merasa menjadi pemutus harapan seseorang. Jadi, sebagai bentuk permintaan maaf, aku bertanya padanya.

"Kenapa kau bisa berpikir jika kasus ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang kau tangani?"

Wajah anak itu kembali sumringah akibat rasa ketertarikanku akan motif yang ia punya. Dengan sigap, Rama melantunkan argumennya.

"Saya hanya berpikir jika seseorang menaruh dendam pada Anda, Pak Komisaris. Salah satu hal besar yang berhubungan Anda adalah mengenai pengungkapan besar-besaran para polisi korup yang Anda ungkap. Kemudian saya berpikir, kenapa mereka harus menenggelamkan anak An ... maksud saya, korban, Pak."

Aku tidak berkomentar. Sebaliknya, indera pendengaran kupasang sebaik mungkin, membuat Rama kembali berceloteh.

"Padahal, mereka seharusnya cukup mengambil nyawa korban, tak perlu repot-repot menenggelamkan korban yang sudah meninggal. Dari sana saya mencari-cari kasus yang berhubungan dengan para polisi korup itu dan kasus pembunuhan yang berkaitan dengan cara yang sama terhadap pembunuhan korban. Jadi, saya menemukan berkas kasus ini."

"Apa lagi yang kau dapatkan?"

"Dokter yang memeriksa ketiga mayat korban mengatakan leher mereka patah, Pak. Tapi hal itu tak pernah diungkapkan di dalam laporan."

"Leher mereka patah?" Aku berpura-pura bodoh, memasang wajah terkejut, kemudian penasaran, mengernyitkan kedua alisku. Sungguh, pribadiku benar-benar merasa bersalah—membohongi bawahanku yang terlihat antusias dalam menangani kasus. Namun, aku tak memiliki pilihan lain. Apa jadinya jika dia sadar bahwa sebenarnya aku telah mengetahui kenyataan itu? Salah-salah, orang-orang malah menganggapku ikut bergabung dengan kelompok polisi korup itu dan mengkhianati mereka.

Dengan polos, AKP Rama menyetujui pertanyaan sekaligus pernyataanku. Aku harap dia tak sadar atas kebohonganku.

"Aku mengerti akan kesimpulanmu," kataku, "Tetapi kasus ini kurasa sebaiknya tetap tak dibuka."

AKP Rama terlihat kecewa.

"Citra kita sudah sangat buruk, Rama. Pengungkapan polisi-polisi korup itu sudah cukup membuat orang-orang melihat instansi kita sebagai kelompok bobrok, berita mengenai pembunuhan yang dilakukan seorang polisi terhadap anak seorang polisi pun akan menjadi sorotan media masa, mungkin sebentar lagi. Jika kasus ini dibuka, hanya akan menambah citra yang sama. Aku mengerti keinginanmu dalam menyelidiki kasus ini sangatlah besar, tetapi kau hidup bermasyarakat. Mungkin aku akan setuju jika seandainya korban pembunuhan di kasus itu—Guntur, Fandi, dan Bagas—tidak masuk ke dalam anggota polisi korup. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Kasus itu adalah urusan mereka, kita tidak perlu ikut campur. Kau mengerti, kan?"

AKP Rama menghela napas, aku pikir kekecewaan serta rasa kesal bercampur menjadi satu dalam dirinya. Namun, jelas anak itu tak memiliki pilihan. Alih-alih memaksakan kehendaknya, pada akhirnya anak itu menyerah. Ia menjawab, "Baik, Pak Komisaris."

"Aku sudah membantumu dalam penyelidikan kasus yang sedang kautangani. Kau hanya perlu meneruskannya. Jadi, silakan keluar dari ruangan ini dan melanjutkan penyelidikan, oke?"

"Saya mengerti, Pak."

Akhirnya, AKP Rama kembali mengambil berkas yang sebelumnya ia bawa. Selain itu, kini ia menenteng Hard Drive hitam pemberianku. Ketika kedua kakinya mengetuk permukaan lantai hingga hampir sampai di depan pintu, kuberikan kata-kata terakhir untuknya.

"Dan Rama, jangan pernah menunjukkan rasa kesal atau kecewa di hadapanku hanya karena aku tak memenuhi keinginanmu, itu tidak sopan. Kau mengerti, kan?"

Rama berbalik sesaat, dia mengangguk setelah sebelumnya berhenti karena rasa canggung. Namun, pada akhirnya ia berkata, "Baik. Maaf, Pak Komisaris." Kemudian, lelaki itu melengang pergi, membuka pintu dengan lebar dan memperlihatkan sosok Wijaya: mengetuk pintu ketika pintu itu masih terbuka. Walaupun begitu, pandangannya teralihkan pada raga Rama yang tengah berjalan menunduk. Hanya beberapa detik, sih.

Wijaya masuk tanpa kupersilakan. Mungkin, seharusnya aku marah, menganggap sikapnya itu sebagai bentuk pelanggaran sopan santun, tetapi aku tak ambil pusing. Aku tahu, sikap istimewa seharusnya tak kuberikan pada siapapun, tetapi kenapa aku harus marah padanya ketika memang tak ada tamu lain dalam ruanganku? Selain itu, salah-salah Wijaya malah menganggapku sombong karena posisiku kini aku sudah berada satu tingkat di atasnya.

Memang belum lama ini aku baru menjadi Komisaris. Ketika masih menjabat sebagai Ajun Komisaris Polisi, biasanya aku akan menyelidiki kasus yang sama dengan Wijaya. Satu tahun bekerja bersamanya membuat batas hubungan antara atasan-bawahan semakin tipis, berbeda dengan Rama.

"Pak Komisaris," Sapa Wijaya, segera setelah menutup pintu, membuatku sedikit merasa geli.

"Wijaya! Ya ampun! Sudah kubilang panggil saja namaku ketika tak ada siapapun."

"Tapi di luar sana banyak orang, Pak." Wijaya mengayunkan lengannya, melepaskan jempol dari genggamannya dan menunjuk arah belakang, tepat ke arah pintu yang sebelumnya ia lewati. Ia melakukannya tanpa wajah dosa, benar-benar seperti anak kecil polos yang baru mengenal dunia.

Bisa saja aku membalas ucapannya, tetapi aku tahu benar Wijaya tak akan mengubah ideologinya semudah itu, membuatku terpaksa membiarkan keinginannya hidup di dunia ini.

"Ada apa dengan Rama, Pak?"

"Dia hanya ingin membuka kasus lain, padahal kasus yang ia tangani sendiri belum selesai. Aku menolaknya."

Wijaya mangut-mangut, masih dalam posisi berdiri tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan duduk.

"Dia mengingatkanku padamu, Wijaya." Aku tertawa kecil, tetapi hal yang berbeda timbul dari wajah Wijaya, lelaki itu malah terlihat kebingungan.

"Bagaimana mungkin, Pak?"

"Daya analisisnya tajam, sangat antusias, persis seperti dirimu," kataku. Sekali lagi, aku tertawa, sedangkan Wijaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, masih dengan alis yang mengerut tanda tak setuju. Kemudian, segera setelah tawaku habis, kembali kulanjutkan dengan pertanyaan.

"Jadi, kenapa kau datang ke sini?"

Bahkan, tampaknya tak hanya dari daya analisis dan keantusiasannya, cara Wijaya dan Rama menyampaikan pemikirannya—dengan catatan dalam bentuk keragu-raguan—hampir sama. Wijaya menekan tenggorokannya, membuat suara menelan ludah yang aneh, kemudian bertanya.

"Maaf, Pak. Sebenarnya saya tak ingin membahas hal ini, tetapi saya penasaran. Saya melihat Pak Januar digiring ke ruang interogasi, dan saya dengar dia menjadi pelaku pembunuhan. Apa itu benar, Pak?"

Aku menghela napas.

"Ya."

"Apakah pembunuhan itu ...."

Wijaya belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi aku tahu jelas ke mana arah pembicaraannya. Jadi, tanpa perlu menunggu pertanyaannya selesai, aku langsung menjawab, "Loka, benar."

Kuacungkan tangan kananku, menampilkan lebam-lebam pada ruas jari di punggung tanganku. Rasa nyerinya sudah pudar, tetapi warna kulit yang membiru belum berubah, membuat siapapun yang melihatnya tahu bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada kepalan tanganku.

Wijaya terkejut, punggung tanganku yang membiru pasti tepat memberikan informasi bahwa wajah Januar yang babak belur merupakan ulahku.

"Aku punya bukti kuat yang menunjukkan bahwa Januar melakukannya. Tenang saja, aku tak salah menghajar orang."

Aku tahu, Wijaya bukan penggemar kekerasan, tapi dia pasti menyadari motivasiku untuk menghajar Januar, membuatnya tak mengomentari perbuatan burukku.

Ah, iya, sebelum menempati tempat duduk ini pun—yang berada di kantorku, aku terpaksa diam beberapa menit di dalam ruang interogasi. Kekerasan yang kulakukan bukanlah tindakan terpuji, dan aku tak akan berkilah bahwa semua itu kulakukan demi kebaikan. Aku tetap mengikuti prosedur, memberikan cerita mengenai perjalananku walaupun tak sepenuhnya benar.

Cerita dalam versiku menggambarkan Luthfi sebagai sosok preman bayaran yang sengaja kusewa untuk menghajar Januar. Aku yakin, Luthfi bukanlah orang terbuka yang bisa merasa aman mengetahui identitasnya terbongkar dan diketahui banyak orang. Jadi, sengaja kubuat cerita agak bohong untuk menghormati keinginannya itu. Bisa saja aku membuat cerita lain, berpura-pura pergi sendirian dan menghajar Januar karena alasan pribadi. Namun, tidak mungkin Ganira—anak dari Januar, istrinya, serta Januar sendiri mengonfirmasi ceritaku. Jika hal itu terjadi, perbedaan informasi dari kedua belah pihak, mungkin aku masih belum keluar dari ruang interogasi.

Rekaman yang kuberikan cukup untuk membuat orang-orang terlalu fokus pada kasus pembunuhan Loka, bukannya mencari tahu siapa pria yang kubayar itu, membuatku lepas dari tanggung jawab untuk menceritakannya.

"Saya tak percaya Pak Januar melakukannya." Wijaya memberikan simpatinya, kini dnegan gelengan kepala dan suara decakan dari mulutnya.

"Ya, aku tahu."

"Tapi, bagaimana Anda tahu, Pak Komisaris? Maksud saya, di antara banyaknya orang, kenapa Anda langsung tahu bahwa pelakunya Pak Januar?"

"Tebakan yang beruntung," kataku. "Sudahlah, yang jelas kasus itu sudah selesai, lebih baik kita membicarakan hal yang lain."

Aku tak akan berbohong. Perasaanku masih geram, menginginkan keadilan yang seadil-adilnya untuk dijatuhi pada Januar. Dan semakin banyak orang-orang yang membicarakan kasus itu, perasaan brengsek kembali mencuat, timbul dalam diriku: aku ingin Januar mati.

Aku terlihat biasa saja, aku tahu. Namun, perasaan itu tidak pernah menghilang dari dalam hatiku. Pikiranku yang rasional membendung semuanya, tetapi bukan berarti aku dapat menahan perasaan itu selamanya. Ketika aku menghajar Januar, bisa saja kuhabisi nyawanya. Namun, seperti prinsipku sebelumnya—yang tiba-tiba mencuat: aku harus melakukannya dengan cara yang tepat.

Apa bedanya diriku dengan mereka jika pada akhirnya aku—laki-laki tua brengsek yang kehilangan anaknya—membunuh orang-orang secara langsung? Aku selalu merasa bahwa mereka—para polisi korup itu—tidaklah pantas menjadi polisi. Lantas, jika aku membunuh seseorang hanya karena alasan pribadi, apakah aku pun pantas mendapatkan seragam yang sama?

Aku harap pemikiran itu tidak pudar dengan cepat.

Di saat yang bersamaan, pemikiran semalamku kembali mencuat.

Aku bertanya pada Wijaya, "Apa kau pernah mendengar kasus tabrak lari tujuh tahun lalu?"

Wijaya merengut.

"Kenapa Anda tiba-tiba bertanya seperti itu, Pak?"

"Para polisi korup itu pernah merencanakan kasus pembunuhan pada anak sekolah, seumuran dengan Loka pada kala itu, mereka membuatnya seolah-olah kasus itu merupakan kasus murni kecelakaan." Aku meneguk ludah, mempersiapkan pertanyaan pamungkas yang mengerikan.

"Menurutmu, kenapa mereka ingin mengambil nyawa anak itu?"

Wijaya berdeham pelan. Ruas-ruas jarinya menekan dagu, membuatnya terlihat berpikir serius.

"Karena ingin membalaskan dendam akibat ayahnya yang ... mengungkapkan kelompok rahasia mereka?"

"Sungguh tidak lucu, Wijaya," kataku. "Tetapi jika mereka memiliki motif yang sama, kenapa pembunuhan terhadap anak itu dilakukan secara terstruktur dan terencana? Mereka tak membuat rencana dalam pembunuhan Loka."

Wijaya menyerah, dia tak tahu menahu, sedangkan aku, masih dengan rasa penasaran, kembali menyalakan komputer untuk mencari file kasus yang kuharap telah tersimpan secara digital, tak perlu mencari-cari di dalam tumpukan berkas yang ada di ruang penyimpanan. Dan untungnya, tampaknya permintaanku terkabulkan.

Kasus itu terekam secara digital, tidak terlalu sulit dalam melacaknya. Aku ingat rencana mereka, bagaiman Yusup—si calon korban—keluar dari gerbang sekolah, membuatku tak dapat melupakan nama sekolah yang berada di sekitar kawasanku. Selain itu, Yusup, tanpa f, bukanlah nama yang mudah dilupakan, apalagi jika kau sering menertawakan orang-orang yang memiliki nama dengan huruf p sebagai pengganti huruf f. Bukannya menghina, tapi memang benar, kan?

Dua informasi itu mengarahkanku pada sau file kasus. Anehnya, kasus itu bukanlah kasus tabrak lari, melainkan orang hilang.

Apa para polisi korup itu mengubah rencananya? Atau ... anak itu secara ajaib berhasil kabur dari percobaan pembunuhan mereka dan tidak pernah menampakkan wujudnya lagi di kota Bandung untuk selama-lamanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top